Tak kusangka berita mengenai penyerangan yang menimpaku beredar cepat di kalangan keluarga, teman dan kenalan. Mereka yang mendengar kabar itu pastinya terkejut dan tak pernah menyangka hal seperti itu terjadi padaku. Sama, aku yang mengalami saja bahkan tak habis pikir kenapa aku diserang oleh orang gila itu.
Aku sebut saja si pelaku adalah orang gila. Aku yang seumur-umur tak merasa punya musuh merasakan adanya keganjilan dalam hal ini. Meskipun masih berupa dugaan, aku berasumsi bahwa pelaku penyerangan pada malam itu bukanlah sekedar orang gila yang menyerang korbannya secara acak. Ada semacam firasat kalau orang itu cukup mengenalku, mengingat bagaimana dia dengan sengaja melukai tangan ini.
Sampai sekarang aku masih menunggu kabar penyelidikan dari polisi terkait identitas pelaku yang masih buron. Kejadian seperti ini begitu mirip dengan apa yang biasanya kubaca dalam novel detektif. Kesan berbeda sungguh terasa ketika mengalami sendiri. Dan untuk pengalaman thrilling macam ini cukup sekali ini saja aku mengalami. Iya, cukup sekali.
Pengalaman mendebarkan yang mempertaruhkan nyawa itu tentunya cocok untuk webtoon bertema detektif atau misteri. Tapi sayangnya bukan webtoon macam itu yang aku kerjakan sekarang. Dalam senyum getir, kuterima saja hidup yang penuh ironi ini.
Hari ini seharusnya menjadi hari dimana aku memberikan presentasi pada 'orang-orang penting' agar webtoon-ku bisa diterbitkan. Namun berhubung sampai saat ini Shin Goeun belum diperbolehkan keluar dari rumah sakit terpaksa presentasi itu hanya tinggal rencana. Kalau kupikir-pikir webtoon yang satu ini begitu banyak halang rintang dalam proses pembuatannya.
"Melamun lagi?" Suara Minho mengagetkanku.
Aku menggeleng samar.
"Hanya kepikiran webtoonku."
"Istirahat dulu, jangan memikirkan pekerjaan. Kamu kalau sudah bikin webtoon lupa kanan kiri." Kata Minho. Nada itu setengah menasehati setengah protes.
Sejak hari aku dilarikan ke rumah sakit Minho selalu datang kemari. Dan anehnya aku justru tak nyaman dengan keberadaannya akhir-akhir ini.
"Kau belum pergi juga? Katamu kau ada latihan musikal sore ini." Kataku sambil meliriknya sekilas.
"Kau mengusirku?" Timpalnya bercanda.
Aku hanya bisa tersenyum samar. Mencoba menepis khayalan kalau orang ini bisa membaca pikiran.
"Oh ya, malam itu, malam saat aku diserang, bagaimana kamu bisa ada disana?" Tanyaku penasaran.
"Waktu itu aku dalam perjalanan pulang dari rumahmu. Niat awalnya aku mau memberimu tiket konser." Jelasnya sambil membenarkan posisi duduknya di sofa.
"Oh, kenapa tak memberitahuku lebih dulu."
"Sudah lupa ya? Aku mengirim pesan dan menelponmu terlebih dahulu waktu itu. Kemana saja sih kamu sampai panggilanku tak diangkat sama sekali?" Minho kelihatan jengkel.
Eng,ing,eng! Aku baru ingat waktu itu Minho memang mengirim pesan dan sempat menelpon. Yang sayangnya tak kugubris sama sekali.
"Mianhe, waktu itu aku sibuk menyiapkan presentasiku."
"Kamu itu ya, selalu seperti itu. Kalau sudah sibuk sendiri tak mau mempedulikan yang lain. Dengar, semisal kamu menerima panggilanku waktu itu, kejadian penyerangan itu tak akan terjadi."
"Kenapa bisa begitu?" Aku mengernyitkan dahi. Tak mengerti.
"Logikanya begini, sebagai teman yang baik aku tak akan membiarkanmu pulang sendirian selarut itu." Minho mendengus, gemas dan kesal bercampur.
"Bagaimana kalau aku tak mau diantar? Aku bisa pulang send..."
"Wae? Kamu mau menghindariku lagi?" Potong Minho cepat. Kali ini dia serius mengucapkannya, tak ada jejak bercanda dalam pertanyaan itu.
"Tentu saja tidak, kenapa aku harus menghindarimu. Kamu ini aneh, maksudku aku kan sudah besar mana mungkin hanya untuk sekedar pulang saja minta diantar." Kilahku, mencoba mengurai suasana yang terlanjur tak enak ini.
Minho hanya diam. Menatapku tajam. Aku bisa merasakan dia marah. Tapi, kenapa dia marah?
Dengan segera ia menyambar jaketnya, bersiap pergi.
"Hey anak kucing, ada saatnya kamu berhenti pura-pura jadi singa. Itu perlu dilakukan untuk selamat dari hukum rimba." Ucap Minho sebelum dia menutup pintu dan menghilang dari pandangan.
Aku melongo, siapa yang anak kucing? Aku? Sialan!
***
Akhirnya kebebasan itu datang. Pagi ini aku terbangun di kamar sendiri dan bukan rumah sakit. Sepele, tapi membahagiakan.
Keluar dari rumah sakit tak berarti aku sudah sembuh total. Tangan kananku masih belum boleh melakukan aktivitas berat. Aku yakin membuat webtoon adalah salah satu aktivitas berat yang dimaksud.
Terdorong rasa bosan akhirnya aku buka-buka lagi materi presentasi yang sudah kusiapkan tempo hari. Semakin sering aku baca semakin aku sadar bahwa plot percintaan di webtoonku ini amatlah klise. Cerita cinta segitiga. Satu orang laki-laki yang dicintai dua orang perempuan. Sejujurnya aku belum tahu bagaimana caranya membuat webtoon ini menarik dan tak membosankan. Perlu banyak detail dan materi yang perlu aku cari dan pilih hingga nantinya tak membuat bosan pembaca. Nah, itu dia PR besarnya.
Tiba-tiba saja aku terpikir untuk membuat setting cerita berada di Busan. Aku punya kedekatan sendiri dengan kota itu. Dua tahun masa remajaku ada di tempat itu. Dibanding Seoul, Busan mungkin lebih romantis. Begitu pikirku. Segera saja aku menempelkan post it warna hijau menyala dan menuliskan 'Busan' di atasnya. Beginilah caraku mengikat ide sebelum menguap hilang dari otak.
Sejenak aku terpikir untuk ke Busan. Ingin mengunjungi kakek dan nenek disana.
Lamunanku buyar saat dering handphone berbunyi. Noeul Oppa memanggil.
"Yoboseyo, ne Oppa" jawabku.
"Goeun-ah, dia sudah tertangkap." Ujar Noeul Oppa dari seberang sana.
"Dia siapa?" Tanyaku bingung.
"Pelaku penyerangan, dia menyerahkan diri tadi pagi. Polisi barusan mengabariku."
Aku terhenyak saat itu juga. Tak tahu bagaimana menanggapi berita ini. Senang? Lega? Penasaran?
"Goeun-ah, kok diam? Kamu masih disana kan?" Sambung Noeul Oppa.
"Ne, Oppa. Apa Oppa sekarang di Coffee Scent? Lebih baik aku kesana saja."
"Oke, baiklah. Akan lebih jelas kalau aku cerita langsung."
Sambungan ditutup. Aku menghela napas panjang, menyiapkan diri untuk tabir misteri yang sebentar lagi akan terbuka.
Tak sampai setengah jam aku sudah berada di Coffee Scent. Tak sampai sepuluh menit Noeul Oppa menceritakan laporan Polisi. Selama itu pula aku mendengarkan dengan seksama. Dan hingga akhirnya dahiku berkerut. Ada hal yang aneh.
"Laki-laki? Pelakunya laki-laki?" Tanyaku tak percaya.
Kakakku mengangguk. "Begitulah yang disampaikan pihak kepolisian."
Aku terdiam. Kuingat kembali kejadian waktu itu. Malam, hujan deras, lalu muncul sosok mencurigakan. Orang itu memakai masker untuk menutupi wajahnya. Namun kenapa aku begitu yakin kalau dia adalah perempuan? Atau memang aku salah menebak? Aku mulai ragu.
"Kamu mau ke kantor polisi untuk memastikan?" Noeul Oppa seolah bisa membaca pikiranku.
"Ayo, Oppa!" Jawabku mantap.
Kami segera beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar kedai. Di saat itulah aku berpapasan dengan perempuan yang tak kutahu namanya tapi kusebut-sebut sebagai fansnya Chanyeol. Dalam dua detik mata kami beradu. Mata itu. Rasanya aku kenal betul, karena saat ini perasaan aneh datang menyusup. Segera saja kuenyahkan pemikiran yang muncul tiba-tiba ini. Ah, mana mungkin perempuan ini pelakunya.
***
To be continued...
Terima kasih sudah membaca hingga chapter ini!
^^~ Dee_Panda