Shin Goeun kini memiliki kesibukan baru yakni bolak balik ke perpustakaan kota. Peralihan dari kreator webtoon bergenre thriller menjadi romance berdampak pada referensi yang menjadi acuanku. Jangan tanya apakah aku punya novel cinta. Sejauh yang aku hafal, koleksi pribadiku tak akan jauh-jauh dari novel misteri, buku-buku bertema kriminal, film dan serial detektif. Karena itulah aku ke perpustakaan ini, disini aku bisa menggali romansa lewat buku. Lewat teori.
Bisa dikatakan aku cukup beruntung dengan draft proposal webtoon yang aku ajukan. Setelah berkali-kali revisi, kena ceramah yang lebih mirip omelan, akhirnya draft cerita cinta Shin Goeun lolos dari lalapan editor. Kini aku hanya perlu menyiapkan presentasi untuk meyakinkan pihak penerbit bahwa karyaku layak untuk dipublish di platform website mereka. Untuk itu aku perlu presentasi yang meyakinkan. Bagaimanapun juga aku ingin karyaku yang satu ini diterbitkan.
"Noona, ayo pulang." Suara Chanyeol yang berat mengagetkanku yang tengah serius mengerjakan presentasi.
"Sekarang?" Aku melirik jam dinding, mendekati jam perpustakaan tutup rupanya.
Segera aku memberesi barang-barang milikku. Sepintas aku mengecek handphone. Ada beberapa pesan masuk, dua panggilan tak terjawab. Yang semua itu berasal dari Minho. Tanpa sempat kubalas kumasukkan segera handphone itu ke dalam tas.
Di luar hujan deras rupanya. Sialnya aku tak membawa payung. Di luar dugaan Chanyeol yang juga berniat pulang mengeluarkan sebuah payung dari dalam tasnya. Sebuah payung warna kuning dengan motif bunga-bunga kecil itu keluar seperti penyelamat kami. Tak pernah kubayangkan pemuda yang cenderung slengekan ini menyimpan benda seperti itu di tasnya.
Selama beberapa hari terakhir aku mengamati Chanyeol sering terlihat di perpustakaan ini. Ditemani beberapa buku-buku tebal dia akan duduk di pojok ruang baca. Belajar. Sebuah kegiatan yang aku sendiri nyaris tak percaya. Setelah kutanya barulah aku bisa mengerti perubahan perilakunya. Chanyeol ingin mendapatkan beasiswa. Sesederhana itu.
Di bawah lindungan payung kuning bunga-bunga itu akhirnya aku nebeng pulang. Sepayung berdua, jangan bayangkan ini adegan romantis. Justru ini hal terkonyol yang kualami. Sepanjang kami berjalan pulang tetes hujan masih saja mengenaiku. Chanyeol yang tinggi berkesempatan memegang payungnya bisa dengan mudah mencondongkan payung itu ke arahnya. Sebuah muslihat yang membuat dia sendiri tak kehujanan.
"Hei, hei, payungnya. Dipegang yang benar." Protesku kesal. Badanku sudah basah separuh.
"Hehehe, maaf noona. Ini payungnya noona saja yang bawa." Ucapnya sambil mengoper gagang payung.
"Kenapa jadi aku yang. pegang?" Tanyaku terheran-heran.
"Halte busku ada disitu, aku harus cepat pulang." Chanyeol menunjuk sebuah. halte bus yang tak jauh dari tempat kami berdiri. "Malam-malam seperti ini noona tak apa-apa pulang sendirian?" Imbuhnya.
"Gwenchana, aku bisa pulang sendiri." Jawabku meyakinkan.
Setelah melepas Chanyeol di halte tadi, dimulailah perjalananku menembus hujan sendirian. Beberapa toko yang kulalui tampak bersiap-siap tutup. Di jalanan pun tak banyak orang lalu lalang. Hujan deras dan malam, dua hal yang cukup untuk menahan orang-orang tetap berada di dalam ruangan. Terbungkus rasa aman dan hangat.
Aku mempercepat langkah kaki. Aku ingin cepat sampai di rumah. Aku ingin makan masakan buatan Noeul Oppa. Semakin aku memikirkan rumah semakin terasa lama perjalanan ini. Perasaanku mulai tak enak.
Perasaan tak enak berubah menjadi rasa takut. Di sela-sela suara hujan yang turun aku bisa mendengar suara langkah kaki di belakangku. Meski tak yakin, aku seperti sedang diikuti. Langkahku makin cepat, napasku mulai memburu dan detak jantung ikut berpacu cepat. Tinggal satu belokan dan rumahku ada disana. Aku akan aman.
Sebelum berbelok, kuberanikan diri untuk berhenti dan mengecek ke belakang. Apa benar ada yang mengikutiku? Lhoh, tidak ada siapa-siapa. Aku ragu dengan penglihatanku. Saat ini aku lebih percaya pada insting yang muncul. Orang itu bersembunyi.
"Nawa !" Teriakku pada jalanan yang lengang.
Tak ada siapa-siapa yang muncul, tapi bagaimana orang ini masih bersembunyi dan mengamatiku saat ini terasa begitu mencekam.
"Keluar!! Hei, aku tahu kamu bersembunyi!" Teriakku sekali lagi, kenekatan yang muncul entah dari mana.
Perlahan, sosok itu muncul dari belakang sebuah mobil yang sedang parkir. Orang itu berpakaian serba hitam, memakai topi dan masker dengan warna yang sama. Tak bisa kulihat jelas muka orang ini tapi ada satu yang aku yakin begitu melihat postur tubuhnya. Dia perempuan.
"Kamu mau apa mengikutiku?" Tanyaku setengah berteriak, bersaing dengan suara hujan.
Perempuan ini hanya diam. Tapi sorot mata itu. Dia melihatku dengan rasa marah dan benci. Detik itulah aku mencium bahaya. Tanpa sempat kuantisipasi dia mendorongku hingga terjatuh. Kepalaku membentur aspal. Rasa sakit seketika merambat dari belakang kepalaku. Belum sempat aku menguasai keadaan, tahu-tahu perempuan ini menyerang lagi. Tangan kananku berhasil dia injak. Yang aku rasakan selanjutnya adalah sakit yang luar biasa. Alas sepatu perempuan ini seolah bisa meremukkan jari-jariku jika dibiarkan lebih lama. Aku melakukan perlawanan sebisaku. Aku tak henti meronta dan berteriak minta tolong. Hingga pada akhirnya seseorang muncul dari kejauhan. Perempuan ini menghentikan penyerangannya lalu kabur secepat kilat. Sesaat kemudian hanya gelap yang menguasai.
***
Begitu aku sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Satu hal yang amat aku syukuri karena tidak berakhir di rumah duka.
Aku masih hidup, berpakaian ala pasien, dipasangi infus dan diperban. Muka Noeul Oppa langsung muncul dalam pandanganku.
"Goeun-ah, kamu sudah sadar? Bagaimana ini bisa terjadi padamu?" Tanya Noeul Oppa parau.
Bagaimana ini bisa terjadi? Ingatan di otakku langsung memunculkan kejadian penyerangan itu. Mata nyalang perempuan yang menyerangku menyisakan rasa takut tiap aku mengingatnya. Siapa perempuan itu? Kenapa dia menyerangku?
Seiring dengan arus ingatan yang kembali muncul, kepalaku terasa pusing. Mungkin ini efek terbentur aspal juga. Aku menduga sekarang ada benjol yang tumbuh di kepala bagian belakang. Rasanya masih nyut-nyutan.
Aku ingin kembali tidur, namun sebelum itu terjadi seseorang masuk ke ruangan ini. Minho datang dengan muka yang sangat kacau. Baru pertama kali kulihat dia seperti ini.
"Dia yang menemukanmu pingsan di jalan. Dia juga yang membawamu ke rumah sakit." Kata Noeul Oppa pelan.
Adanya informasi ini membuatku tak bisa berkata-kata. Jadi orang yang muncul pada saat kejadian itu, Minho? Air mataku mulai membubung, siap jatuh.
"Gomawo, Minho-ya." Ucapku menahan isak.
Minho berjalan mendekati ranjangku. Noeul Oppa berangsur pergi, dia mencoba memberi ruang untuk kami berdua. Meski aku tahu dia tak rela.
Dengan perlahan, Minho meraih tangan kiriku. Menangkup tanganku dengan kedua tangannya. Dia masih tak berkata-kata. Namun dengan begitu dia memberiku rasa hangat saat itu juga.
"Goeun-ah, besok-besok jangan pernah pulang malam sendirian. Berbahaya. Mengerti?" Bisiknya. Suara itu seperti tercekat.
Aku mengangguk. Mengangguk saja, karena tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutku.
To be continued...
Terima kasih telah membaca hingga chapter ini.
^^~ Dee_Panda