Pertanyaanku telah dijawab, tetapi jawaban dari pertanyaan itu memunculkan pertanyaan lain. Kenapa aku masih saja peduli pada Minho? Pertanyaan yang aku sendiri ragu untuk menjawabnya.
Pikiranku masih saja terpekur pada jawaban Myungsoo tadi, mengenai objek foto yang diambil Minho. Myungsoo menjelaskan bahwa dia tak bisa mengenali perempuan itu karena anehnya dalam foto-foto tersebut tak menampakkan wajah si perempuan. Sepertinya Minho sengaja mengambil foto dari arah belakang.
Aku jadi menyesal menanyakan hal itu. Karena ini seperti memukul mundur usahaku untuk menjauhi Minho. Rencana tinggal rencana. Ternyata dalam prakteknya susah untuk menghilangkan rasa peduli pada orang yang disukai.
Jika tahu akan terjadi hal seperti ini mungkin lebih baik sejak sore tadi aku tak keluar-keluar dari kamar ini. Tapi kenyataannya kini bermacam pertanyaan tanpa jawaban menumpuk di kepalaku.
Karena tak bisa konsentrasi sejak tadi, kumatikan saja komputer dan bergegas tidur. Kutunda sekali lagi pengerjaan draft webtoon.
Tepat saat tubuhku terbaring di ranjang, kudengar bunyi cukup keras berasal dari jendela kamarku. Dugaanku, seseorang sedang melempari kaca jendela dengan sesuatu. Sekali, dua kali dan sebelum ada yang ketiga kali sudah kusibak tirai jendela yang semula tertutup. Kulihat Minho berdiri di luar sana, melambaikan tangan ke arahku.
Antara kaget dan bingung, segera saja aku sambar jaket dan bergegas keluar rumah.
"Ada apa kesini malam-malam?" Pertanyaan pertamaku.
"Ada yang ingin aku bicarakan."
"Bicara di dalam rumah saja, disini dingin." Ajakku.
Minho menahan tanganku dan menggeleng.
Enggan. Tapi aku turuti.
"Hmm, begini, hmm.." Minho tampak ragu dengan bahan pembicaraannya.
"Apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Aku mencoba sabar menahan udara dingin yang menyusup celah jaket dan kini menemukan kulitku.
"Seorang sunbae menawariku kencan buta dengan kenalannya. Hmm, kupikir kamu harus tahu soal ini."
Aku mematung, bukan karena dingin tapi karena bingung harus bereaksi apa.
"Oh,ya?" Hanya itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
"Sebenarnya aku belum memutuskan akan datang atau tidak. Jadi, apa aku boleh datang ke kencan buta itu?"
Aku tambah bingung, kenapa dia justru bertanya padaku?
"Goeun-ah, aku tanya sekali lagi, apa aku harus datang ke kencan buta besok?" Minho mulai tak sabar karena mendapatiku masih diam.
"Tentu kamu harus datang, jangan mengecewakan sunbaemu." Jawaban inilah yang kukeluarkan. Jawaban tak jujur.
Setelah mendengar jawabanku kini giliran Minho yang terdiam. Perlahan dan sopan dia mendekatkan wajahnya ke arahku. Dia menatap mataku tak berkedip, seolah dengan begitu akan ditemukannya jawaban lain. Seketika itu juga aku gugup dan tak bisa menghindari matanya yang seperti sedang membaca pikiranku. Untunglah hal ini tak berlangsung lama. Minho menarik kembali wajahnya, terlihat ada raut kekecewaan disana.
"Harusnya kamu katakan saja 'jangan pergi' atau 'jangan datang' . Itu terdengar lebih menenangkan bagiku. Tapi apa boleh buat, rasa-rasanya aku harus mengiyakan tawaran sunbaeku itu." Papar Minho dengan ekspresi kombinasi antara bercanda dan menggoda.
Sial. Dia mempermainkanku. Dia tahu aku punya jawaban lain. Semudah itukah dia membaca pikiranku? Satu lagi pertanyaan muncul.
Saat ini ingin rasanya aku memberondong dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini ada dalam benak. Setidaknya itu akan memberi ketenangan dalam hidupku. Tapi sayangnya tak bisa, ini bukan saat yang tepat. Minho yang berada di depanku ini sedang dalam pengaruh alkohol. Baru kuketahui saat dia mendekatkan wajahnya tadi.
"Ada lagi yang ingin kamu bicarakan? Kalau tidak aku mau masuk." Jujur aku ingin mengakhiri percakapan ini.
Minho menggeleng. Dia tersenyum.
"Kamu juga cepat pulang, jangan menyetir sendiri. Sewa saja orang untuk mengantarmu pulang. Mengerti?" Imbuhku.
Minho mengangguk. Dia tersenyum. Lalu menarikku dalam pelukannya. Sebuah gerakan yang tak kuantisipasi.
"Gomawo chingu-ya." Bisiknya tepat di telingaku.
Aku mematung lagi, bukan karena dingin juga. Kali ini lebih karena detak jantung yang berdebar kencang. Bisa kudengar itu, entah milikku atau miliknya.
***
Rupanya ada hal yang mengalahkan sensasi dipeluk Minho malam-malam. Aku menyebutnya sensasi jantung copot. Hal ini terjadi begitu aku masuk kembali ke dalam rumah. Mataku tertumbuk pada penampakan makhluk menakutkan. Noeul Oppa, kakakku itu berdiri dalam kegelapan dengan muka yang ditempeli masker wajah. Orang waras manapun pasti menjerit ketakutan melihat pemandangan ini.
"Minho?" Tanya kakakku itu dengan suara tak jelas akibat memakai masker.
Aku mengangguk saja, tak mampu berkata-kata karena masih kaget.
"Kenapa dia kemari larut malam seperti ini?" Interogasi oleh Noeul Oppa dimulai.
"Bukan apa-apa." Jawabku ogah-ogahan.
Tak puas dengan jawabanku, dia menghalangiku masuk kamar. Sorot mata dari lubang masker itu menuntut jawaban gamblang. Terpaksa aku meladeninya. Sepanjang aku bercerita, Noeul Oppa hanya diam mendengarkan dan beberapa kali manggut-manggut. Siapapun yang tak mengikuti dari awal pasti mengira aku sedang mengobrol dengan sosok alien.
Di akhir cerita, barulah Noeul Oppa bereaksi. Dengan mantap dia meletakkan kedua tangannya di bahuku.
"Semoga ini jadi peringatan terakhirku, hati-hati dengan Minho. Dia bukan seperti yang terlihat selama ini." Ucapnya serius.
"Aku sadar Oppa, aku sepenuhnya sadar. Jangan khawatir." Kusingkirkan tangannya dengan sopan.
Noeul Oppa, adalah satu-satunya orang yang tak suka melihat aku berteman dengan Minho. Aku tahu alasan dia bersikap demikian. Kakakku itu entah bagaimana bisa mengetahui sisi lain seorang Minho saat bertemu pertama kali. Sisi lain yang disembunyikan dibalik senyum hangat dan sikap bersahabat. Berbeda dengan kakakku, akulah yang justru terlambat tahu.
Dari awal Noeul Oppa memberitahuku untuk menjaga jarak yang aman dengan Minho. Hanya teman, jangan lebih. Kurang lebih begitu petuahnya waktu itu. Namun, pada awalnya aku meremehkan petuahnya. Aku anggap kakakku itu hanya overprotective. Dan sekarang
aku sadar pesan kakakku bukanlah bualan kakak yang overprotective. Seiring kesadaran itu aku takut tak mampu menjaga pertahananku. Aku takut jika sudah terseret dalam perangkap yang tak kusadari.
Malam ini kudapati sebuah pertanyaan untuk diriku sendiri. Pertanyaan yang tak ingin kujawab.
***
To be continued..
Done with chapter five,
Thanks for reading!
^^~ Dee_Panda