home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > BOOK ONE

BOOK ONE

Share:
Author : Frohmafitri
Published : 04 Jan 2016, Updated : 04 May 2016
Cast : Kim Nara, Chanyeol exo, Siwon super junior , Baekhyun, Kai, Luhan, Kris, Jonghyun cnblue
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |2028 Views |1 Loves
BOOK ONE
CHAPTER 8 : BAB ENAM PART I

BAB ENAM

 

Gumaman percakapan dalam suara bas dan sopran tampaknya berasal dari dalam ruang ini, memantul dari dinding-dinding.

            Kini aku juga bisa mendengar suara-suara rendah dan aku mendengar percakapan.

            Aroma makanan membangunkanku. Ketika membuka mata, cahaya suram dari hari mendung terpapar jelas di jendela yang tirainya sudah setengah terbuka. Aku masih berbaring, lengan menutupi mata, mengantuk dan pusing. Aku merasa pusing dan hilang orientasi.

Sesuatu, sebuah mimpi yang coba kuingat, mecoba menyusup masuk ke dalam kesadaranku. Lalu bayangan hari kemarin membanjiri kesadaranku.

            “Oh!” aku bangun dan terduduk begitu cepat hingga kepalaku benar-benar pusing sekarang.

            “Pagi,” sapa Baekhyun, seraya mengangguk ke arahku.

            Nampan yang sama dengan kemarin tergeletak di atas meja di sampingku. Baekhyun baru saja meletakkannya.

            “Rambutmu terlihat seperti sarang lebah....” Jong hyun memulai. Suaranya tetap tenang, duduk di sudut ruang.

            “Oh... kau menyambut pagiku dengan sapaan hangat oppa.” Ketusku.

            “Agak pengap disini,” keluhnya lagi. Mengabaikan perkataanku seraya mengipas-ngipas uap di depan wajahnya.

            “Tidak juga,” balasku.

            Di gerakkan oleh rasa haus yang menyekat tenggorokanku, aku duduk dan meraih segelas air putih di nampan itu. Ku ayunkan tubuhku ke depan dan kebelakang ketika meminumnya. Pinggulku sakit.

            “Ehem,” ujar Jong hyun. Ia sedang memandangiku. Dibalik rambut coklat terangnya itu, rona wajahnya lebih baik dari kemarin. “Kau ingin mati tersedak?” katanya. “Habiskan minummu, jangan banyak gerak.” Ujarnya tenang. Sempurna menaikkan satu level emosiku.

            Aku mencoba menegak minum itu lebih cepat. Kandung kemihku sangat penuh, sampai terasa nyeri dan mustahil di abaikan. Aku perlu mengeluarkannya.

 

            “Khyun, boleh aku melepas ini sekarang?” aku menunjuk-nunjuk slang di bawah hidungku.

            “Biar kubantu.” Baekhyun dengan senang hati menolongku. Ia tersenyum nakal, “Ingin ku antar?” ia berbisik. Tahu aku mau kemana.

            “Tidak perlu,” jawabku terkekeh malu, memperlihatkan sederet gigi kecilku ke Baekhyun.

            “Ku antar sampai depan pintu. Hmm?” bujuknya. Dengan gerakan cepat dan indah ia mengambil tabung infusku, melepaskan kabel-kabel yang terhubung dengan monitor. “Kurasa sudah tidak di perlukan lagi.” Ia berbisik. Kemudian melirik Jong hyun di sudut ruang.

            “Tentu saja,” aku tertawa bersamanya.

            Aku berjalan ke kamar mandi. Menatap wajah yang ada di cermin— matanya lelah, rambutku benar-benar berantakan. Setelah buang air kecil dan mencoba untuk menggosok gigi aku merapikan rambutku yang berantakan— terlihat seperti tumpukan jerami. Kupercikan air dingin ke wajahku dan berusaha terlihat normal, tapi nyaris gagal. Bayang-bayang kejadian itu terus di putar di kepalaku, suara pria itu seolah masih mengawasiku.

            Aku kembali keranjang. Baekhyun dengan sabar menuntunku lagi. Sudah ku katakan aku tidak apa-apa, aku bahkan sanggup bertanding lari dengannya sekarang. Namun ia menolak membiarkanku berjalan sendirian.

            “Kau lapar?” Baekhyun menyodorkan makanan rumah sakit. Aku mulai bosan melihatnya.

            “Aku ingin nasi Khyun..” rengekku.

            “Sebaiknya kau duduk dan makan.” Jong hyun protes.

            Berhenti membuka mulutmu Jong hyun. Umpatku dalam hati.

            Aku makan dengan cepat, kali ini menyisakan supnya sebagai santapan terakhir. Perutku bereaksi gembira, menyambut makanan dengan lebih anggun, nyaris tidak protes.

            Ku ayunkan lagi tubuhku ke depan dan kebelakang. Berhenti. Karena ku lihat Jong hyun melirikku lagi. Aku makan dengan tenang.

            “Siwon!” aku teringat, tanpa berpikir— aku menaruh sendok di nampan dan ingin turun dari ranjang. Namun perkataan Jong hyun mengurungkan niatku.

            “Dia pergi sejam yang lalu- setelah membuat memo kecil di ujung bantal.”

            Aku mencari sekeliling di mana memo itu di letakkan. Namun Baekhyun menemukannya untukku.

sayang, maafkan aku tidak sempat berpamitan.

Jong hyun dan Baekhyun akan menjagamu.

Jangan membantah mereka, oke?

Baiklah, aku mengalah jika kau ingin tetap tinggal di Nami.

Kau tidur pulas semalam; aku di sampingmu semalaman. Bersamamu.

Kau mengigau Nara. Ada yang mengganggumu akhir-akhir ini?

Kau mendapat masalah?

Telepon aku jika kau sudah sampai di rumah, oke?

Aku mencintaimu Nara.

 

Aku sangat tahu itu oppa. Balasku. Tapi tunggu, “Rumah?” aku bingung.

            “Siwon tahu kau tidak suka terperangkap lebih lama disini,” kata Baekhyun. “Kau ingin pulang?”

            Aku mengangguk penuh semangat. “Secepatnya.” Ku lihat senyum mengembang di wajah Baekhyun melihatku mengangguk antusias. Lalu aku mengulurkan tanganku yang disana menancap jarum dan slang infus ke Baekhyun.

            “Itu di luar wewenangku Nara.” Ia tersenyum lalu berdiri menekan sebuah tombol kecil di atas ranjang.

            Tak lama kemudian perawat lain melakukannya untukku. Aku sedikit meringis ketika ia mencabut jarumnya.

            “Sudah merasa baikan?” Tanya perawat itu. Ramah.

            “Jauh lebih baik.” Jawabku lega.

            “Jangan mengulanginya,” perawat itu tersenyum berusaha menggodaku. Ku balas dengan senyum simpul, kemudian ia keluar ruangan dengan anggun.

            Perlahan Jong hyun bangkit dari singgasananya. Setelah beberapa senti dariku ia menghentikan langkah, mengulurkan tangan untuk menyerahkan beberapa pakaian ganti untukku.  Baekhyun mengambil alih pakaian itu dari tangan Jong hyun.

            “Berpakaianlah— aku akan menunggu disini.”

            Akhirnya aku mengambilnya dan berjalan ke kamar mandi. Aku mengenakan rok panjang, berwarna mint muda yang pernah di puji Jong hyun. Lirikan singkat di cermin memberitahu rambutku berantakan lagi, jadi aku mengucirnya jadi ekor kuda.

            “Oke.” Aku keluar dari kamar mandi menghampiri Baekhyun. Jong hyun sepertinya ingin memperlihatkan ke semua orang bahwa aku memang cukup sekarat sehingga harus menggunakan kursi roda untuk pulang, “Aku tidak keberatan berjalan-jalan.” Mengisyaratkan kepadanya bahwa aku tidak butuh kursi yang ada rodanya itu. Suaraku ceria.

            Aku berjalan dengan kelincahan yang mengejutkan mereka. Jong hyun menilai keceriaan di mataku— mengamati bagaimana aku langsung mendapatkan energi— dan bibirnya mengerut, menimbang-nimbang.

            Aku mencoba terlihat normal. Aku benar tidak tahu caranya berpura-pura. Kurasa Jong hyun mulai curiga dengan sikapku. Aku akan berusaha lebih baik lagi,pikirku. Lalu ia mengabaikan tingkahku dan mulai berjalan ke lorong rumah sakit. “Ikuti aku,” panggilnya, tanpa melihat apakah aku mematuhinya.

            Aku berada tepat di belakang Jong hyun ketika kami tiba di ujung lorong. Ku lihat ia menekan tombol lift. Baekhyun dengan tenang menyeimbangkan langkahku. Ia tidak banyak bicara. Lift terbuka dan kami berjalan memasukinya. Jong hyun kembali menekan tombol disana.

            “Baek, aku tidak bisa tinggal berlama-lama disini, kau urus Nara, aku banyak pekerjaan di Seoul.” Itu terlihat seperti sebuah perintah dari pada meminta tolong.

            “Yup. Dengan senang hati.” Baekhyun melingkarkan lengannya ke pundakku, “Kita bebas.” Ia setengah berbisik dan aku bersumpah Jong hyun mendengarnya. Ku sikut Baekhyun pelan, ia berhasil menghindar. Menertawakanku yang gagal menyikutnya.

            Lift terbuka dan Jong hyun mengantar kami ke mobil sedan merah milik Baekhyun.

            Jong hyun menggumamkan sesuatu seperti “Takkan ku biarkan seorangpun melukaimu.” ketika aku di ambang pintu mobil. Aku menatapnya lamat. Aku bertanya-tanya, apa Jong hyun tahu bahwa aku sedang berpura-pura baik-baik saja. aku ingin bertanya, memastikan maksudnya apa— tapi ia sudah mendorong kepalaku, memaksanya untuk segera masuk dan duduk di dalam mobil dan memakaikan sabuk pengaman sebelum lima detik kemudian ia menutup pintunya.

            Aku melihatnya melangkah ke mobil sport biru dan masuk.

            “Siap?” Baekhyun bertanya dan itu sedikit membuatku kaget.

            “Tentu— ayo.” Aku mencoba tertawa, tapi sepertinya tenggorokanku tercekat.

            Baekhyun mengemudikan mobilnya meninggalkan rumah sakit. Kami melewati jembatan— jalanan membentang ke utara, rumah-rumah yang kami lewati semakin kesana semakin jarang. Kemudian kami meninggalkan rumah-rumah dan memasuki perkebunan berkabut. Aku memulai percakapan.

            “Khyun? kau tidak latihan?”

            “Hmmm? Aku mengambil libur.”

            “Karena aku?” tanyaku sedih.

            “Haha.. bukan. Ada yang perlu ku lakukan minggu-minggu ini.”

            “Kau tidak sedang berbohong?” tanyaku lagi.

            “Tentu saja Nara.” Ia mengacak-ngacak rambutku.

            Baekhyun membelok ke jalan berkerikil. Jalanan itu tak terlihat, hutan menutupi di kedua sisi jalan berkerikil itu. Tak lama jalan aspal mulai terlihat lagi. Ini menandakan sudah memasuki wilayah rumahku. Jalanan di depan kami kelihatan memanjang sejauh beberapa puluh meter, lampu jalan mulai menyala satu persatu.

            “Nara?” Baekhyun memanggilku. “Kau baik-baik saja kan?” ia memastikan.

            “Yeah, tentu.” Balasku bohong. “Tidak pernah sebaik ini.” lanjutku terlihat lebih meyakinkan.

            Ku ulurkan tanganku menyentuh radio di depan kemudi, memilih beberapa lagu yang ku suka. Menggantinya beberapa kali. Kulihat Baekhyun mengernyitkan dahi. Ku matikan radionya kesal.

            “Aku lebih suka suaramu Khyun.”

            Baekhyun tersenyum bangga. Ia kemudian mengeluarkan telepon gengganmnya— menekan sesuatu disana, tak lama— irama-lembut mengalun. Baekhyun menyetel lagu yang sempat ia buat. Beautiful.

            Ku baringkan tubuhku ke sandaran kursi, menatap keluar jendela. Suara yang indah, pikirku. Aku benar-benar menyukai ketika Baekhyun bernyanyi. Aku sempat bertaruh padanya tahun lalu. Jika ia menjadi Idol, ia akan laris manis. Namun ia menolak gagasanku itu, tanpa memberitahu alasannya.

            Kemudian, setelah beberapa mil. Hutan mulai menipis dan kami tiba di depan pintu gerbang kecil atau sebenarnya kunci pertama dari brangkas raksasa?.

            Baekhyun membuka jendela dan menaruh kartu pengenal disana. tak lama pintu gerbang terbuka. Rumahku tampak kecil dari luar, elegan dan barangkali terlihat sedikit membosankan. Kayu coklat serta kaca satu arah yang membalutnya nyaris mendominasi di setiap sudut rumah, berlantai dua, berbentuk segi lima dan simetris. Jendela-jendela dan pintu-pintunya merupakan struktur yang sempurna.

            Aku bisa mendengar suara aliran sungai di dekat kami, serta deburan ombak juga tak jauh dari rumahku.

            “Wow.” Baekhyun menggoda. Disusul tawa renyahnya.

            “Kau selalu begitu, jangan bertingkah seolah ini baru pertama kalinya kau kemari.” Protesku.

            “Bangunan ini selalu menggodaku.” Ia melepaskan sabuk pengamanku dan tergelak melihat reaksiku. “Kau pasti menyukainya?” ia tersenyum. Baekhyun keluar dan membukakan pintuku.

            “Tidak seantusias dirimu.” Aku menertawakannya.

            “Hati-hati.” Ia memperingatiku.

            Kami berjalan beberapa langkah menuju teras rumah. Aku tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Kuletakkan jari telunjukku disana. Klik. Aku membuka pintu untuk Baekhyun, namun ia menolak- mempersilahkan bagiku untuk masuk duluan.

            Bagian dalam rumahku sederhana. Hanya sangat terang, sangat terbuka dan terlihat luas.

            Aku masuk, dan lampu sudah hidup di seluruh ruangan secara otomatis. Baekhyun mendahuluiku. Ia langsung menuju dapur melihat sesuatu disana.

            Dibagian belakang, dindingnya menghadap ke timur lapisan kaca satu arah menggantikan beton yang seharusnya menutupi bagian itu, dan di balik itu terdapat bayangan pohon-pohon yang aku tidak tahu namanya terbentang luas hingga ke ujung sana. Disampingnya ada sungai kecil yang mengalir. Tangga berjejer kecil berada di sudut utara ruangan. Langit-langit rumahku senghaja di buat tinggi. Lantainya terbuat dari beton yang di lapisi vinyl dan di ruang tengah ada karpet tebal. Semuanya merupakan gradasi warna putih dan warna-warna lembut; mint, pink, biru muda, dan hijau.

            “Nara?” Baekhyun memanggilku. “Kau tidak memiliki apapun dirumah? Kulkasmu kosong?” Baekhyun berbicara sedikit berteriak, ada nada marah disana. ku lihat ia membuka lemari-kulkas dan laci disana.

            “Well... aku belum belanja kebutuhan bulanan Khyun.” Aku meringis menyaksikan Baekhyun membuka semua isi lemari yang kosong.

            “Tidak bisa begini,” ia berjalan menghampiriku. “Kau tetap di dalam. Tidak boleh keluar dan jangan melakukan apapun.” itu sebuah peringatan menurutku. “Aku akan segera kembali.” Lanjutnya.

            Aku terdiam. Ia menunggu jawaban. “Oke.” Balasku cepat.

            “Jangan melakukan apapun.” jari telunjuknya terangkat— memperingatiku sambil berlalu.

            “Pastikan pintumu tertutup setelah aku pergi Nara.”

            “Oke, iya.. aku kesana.” Balasku setengah berteriak dari kamar.

            Ku dengar mobil Baekhyun keluar dari halaman rumah dan perlahan suara mobilnya menghilang. Dan sesuai perintahnya, ku pastikan pintu tertutup rapat. Mengapa semua pria disini over reaction. Aku mendesah. Mereka masih menganggap umurku seperti bocah sepuluh tahun.

            Aku berjalan kembali ke kamar. Mengangkat gagang telepon dan mencoba menghubungi Siwon. Aku sangat ingat memo yang di tinggalkannya di rumah sakit.

            Deringan ke tiga langsung di angkat.

            “Oppa?”

            “Oh, sayang. Aku baru saja ingin menghubungimu.”

            “Yeah, sekarang tidak perlu.”

            “Kau di rumah?”

            “Ya..”

            “Baekhyun?”

            “Emm... dia di dapur.” Aku berbohong. Aku tidak ingin Siwon menghubungi Jong hyun dan mengatakan bahwa aku sedang sendirian di rumah. Lalu mereka akan memarahi Baekhyun yang tidak tahu apa-apa.

            “Syukurlah, bagaimana keadaanmu sekarang Nara?”

            “Aku? Lebih baik dari yang kau kira oppa..”

            “Ku harap begitu.” Jawabnya khawatir.

            “Oh.. ayolah. Aku sungguh-sungguh oppa. Baekhyun benar-benar menjagaku dengan amat baik, ia bahkan tak membiarkan aku membuka pintu mobil sendiri.” aku sedikit melebih-lebihkan.

            “Well... sebaiknya kau istirahat sayang. Kau baru pulih.”

“Iya..” aku menelan ludah. “Oppa?”

“Ya?” Siwon menunggu.

“Terimakasih.” Ucapku sungguh-sungguh, “Dan maafkan aku.”

“Jangan mengulanginya, oke?” ia mengajukan syarat.

“Pasti.” Aku berjanji. “Aku menyayangimu.”

“Aku juga, istirahatlah.”

“Iya..” kemudian ku tutup telepon. Dan mencoba berbaring di kasur.

 

***

NEXT ==> 

“Nara?”

            Bukan Baekhyun yang memanggil namaku,.........???

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK