BAB LIMA
Aku tidak membuka mata.
Ku kuatkan diri menghadapi serangan ingatan pertama, yaitu saat saat terakhir aku merasakan hal yang serupa di waktu SMA.
Aku menyiapkan diri.
Ingatan itu menari jelas di pelupuk mata. Ingatan itu menyayat kembali, membuat nyeri jejak luka di kepalaku.
Ia mencengkram ujung tanganku. Rasa terbakar yang sama. Kemudian rasa dingin yang sama.
Aku tidak membuka mata.
Ia memasukkanku ke ruangan yang gelap. Melempar tubuhku hingga menabrak setumpuk kursi dan meja yang menjulang tinggi. Tubuhku terlempar keras. Susunan kursi dan meja goyah, mereka berjatuhan menimpaku seiring bunyi bedebam yang lantang. Saat itu aku dapat mencium bau anyir yang mengalir deras dari kepalaku.
Ku lihat pria itu membakar kursi.
Di biarkannya api dengan cepat membesar.
Mengunci ruangan gelap itu. Meninggalkan tubuhku yag terluka sendirian.
Aku tidak bisa membuka mata.
Dingin yang membakar menyerbu urat-urat nadiku, di sertakan kebencian luar biasa kepada pria yang melakukan itu.
Kurasakan darah berdenyut-denyut di leherku, berdentam-dentam di belakang telinga. Ku rasakan tanganku mengepal erat.
Aku berjaga untuk ingatan yang lain.
Tumpukan tubuh tak bernyawa berkelebat di benakku. Silih berganti-ruangan gelap- tumpukan tubuh.
Telingaku berdenging kuat.
Aku tetap tidak membuka mata.
Lima setik kemudian terdengar suara helaan nafas-gabungan antara terkejut dan marah- lalu sesuatu yang hangat menyentuh kulitku, menggenggam tanganku.
Otot tubuhku meregang seiring tangan itu menggenggam jemariku.
Seseorang bersamaku di kegelapan ini.
Aku tidak sendirian.
***
Keesokan harinya, bisa kukatakan lebih baik... tapi juga lebih buruk.
Lebih baik karena aku terlepas dari ingatan menyakitkan dan terbebas dari kegelapan yang mengurungku ber jam-jam. Dan aku sadar. Aku masih hidup.
Lebih buruk karena ini terulang lagi. Aku telah melewati kematian dua kali. Yang terburuk, karena aku bertemu dengan orang yang sama, ia orang yang melakukan hal yang sama sewaktu aku duduk di bangku SMA. Kris. Aku akan mengingat nama itu. Dan satu lagi. Orang yang sama juga. Penjagaku. Chanyeol.
Ketika terbangun aku melihat cahaya putih terang. Menyakitkan. Kupejamkan kembali mataku. Ku buka sedikit demi sedikit, berusaha agar tidak melihat cahaya langsung.
Aku sangat akrab dengan tempat ini. Ruangan. Sebagai fasilitas medis. Rumah sakit. Langit-langitnya berwarna putih, lampu-lampunya persegi panjang, dinding di cat putih. Warna yang bersih namun aku membencinya. Sama bencinya dengan pria yang membuatku menjadi penghuni ruang ini.
Aku di baringkan di tempat tidur lembut-dengan besi pengaman di sisi ranjang. Bantal-bantalnya hangat dan lembut. ada bunyi bib yang mengganggu telinga tak jauh dariku. Itu menandakan bahwa aku benar-benar masih hidup.
Tangan-tanganku di penuhi slang infus, dan ada sesuatu yang di rekatkan di hidungku, di bawahnya.
Ku lihat Baekhyun di sisi kiriku. Terlelap dengan menggenggam tanganku yang lain. Jong hyun terduduk di kursi menghadap jendela, badannya tegap-kaku, dalam kondisi siaga. Rahangnya kaku. Sorot matanya lurus melihat sesuatu di luar kaca. Ia terjaga semalaman.
Jong hyun jelas marah. Terlepas dari apapun yang telah terjadi terhadapku. Aku tahu ia sekarang berusaha menahan emosinya. Aku berharap ia tetap menutup mulutnya seperti sekarang. Tidak memarahiku. Tidak bertanya apapun. dan tidak memberi tahu Siwon aku terbaring di rumah sakit dan hampir mati. Itu hal buruk yang menghampiri ingatanku setelah tersadar.
Aku pasti bermimpi buruk semalam. Mimpi buruk yang sangat panjang dalam hidupku. Jika itu bukan mimpi buruk. Aku pasti sudah gila.
Meski aku sudah bangun. Aku tetap diam.
Setelah menimbang-nimbangnya sebentar. Ku pejamkan kembali mataku. Berpura-pura tertidur.
Suara dingin-kaku bercakap dengan seseorang.
“Kau punya kabar terbaru?” Jong hyun. Itu dia.
“Aku menunggu, terus cari mereka.” Ia melanjutkan, kemudian terdiam cukup lama, menyimak seseorang di luar sana yang berbicara.
Kemudian bisa kurasakan ia beranjak dari kursi, menggeser kursi berlengan hingga suara decitan itu membuat tubuh Baekhyun sedikit mengguncang kaget.
Kurasakan Jong hyun mendekat ke arahku.
“Kau tidak perlu berpura-pura tertidur Nara.” Oh, sial. Umpatku dalam hati.
“Katakan, siapa yang membawamu kemari?” akhirnya ia duduk di tepi ranjangku, mendesak sebagian tubuhku dengan tubuhnya yang besar. Ranjangnya sedikit mendecit seiring dengan Jong hyun membenarkan posisinya.
Sebelum ku membuka mata, ku rasakan Baekhyun sudah terbangun lebih dahulu.
Ku buka mata-perlahan mengerjap-ngerjap menyesuaikan mataku dengan cahaya sekitar. Melirik ke Baekhyun sebelum beradu pandang dengan mata hitam ke coklatan Jong hyun.
“Apa maksudmu?” suaraku parau. Suaraku tersendat. Tenggorokanku serasa terbakar ketika bicara.
Aku mengernyitkan dahi.
Ku angkat tanganku untuk melepaskan sesuatu yang mengganggu di bawah hidungku. Aku tidak menyukai sensasi yang dibuatnya.
“Jangan, tidak boleh.” Jari-jari lembut menangkap tangan-ku.
Aku menoleh sedikit, dan wajah Baekhyun yang khawatir hanya beberapa senti dariku, ia meletakkan tangannya kembali di ujung bantal. “Oh, Baekhyun aku benar-benar menyesal!”
“Ssstt...,” ia menyuruhku diam. “Tidak apa-apa Nara, semuanya baik-baik saja.”
“Apa yang terjadi?” aku perlu mengkonfirmasi beberapa hal. Aku tak bisa mengingat jelas. Pikiranku barantakan. Simpang siur dengan ingatan ingatan yang lain.
“Nara, bisakah kau setidaknya menebak apa yang kemungkinan akan terjadi denganmu jika kau menegak habis segelas kopi yang penuh dengan kafein itu?” Jong hyun berbicara hal lain yang tidak aku mengerti. Ada perubahan dalam ekspresi wajahnya. Ekspresi khawatir bercampur marah. Sangat minimal, sehingga sulit sekali di tebak.
“Biarkan dia istirahat lebih dulu, tak bisa kah kau membahasnya nanti?” suara Baekhyun lebih tegas dari yang biasanya. Terlihat lebih keren menurutku.
“Ada yang sakit Nara? ingin ku panggilkan dokter?” Baekhyun terlihat cemas sekarang.
“Tidak apa, aku baik-baik saja Khyun.” Aku terdiam lama, “Oppa, apa maksudmu tadi?” aku melanjutkan.
“Kau meminum segelas kopi, di sebuah restoran Nara.” Baekhyun menjelaskan. Ada ekspresi menyesal di sana.
“Aku? Meminumnya?” tanyaku bodoh.
“Well, yeah... lebih tepatnya, kau menghabiskannya.” Baekhyun sedikit terkekeh.
“.....? kopi? Apakah itu lebih penting sekarang? Tubuhku remuk, tulangku patah, bahuku koyak dan kalian meributkan segelas kopi hangat yang ku minum? Kopi hanya membuatku demam dan muntah-muntah bukannya hampir mati.” Ini membingungkanku.
Aku mencoba duduk, tapi kepalaku berputar makin jadi, dan tangan Baekhyun yang lembut menahanku dibantal.
“Kau bisa menjelaskan hal itu Nara?” Jong hyun bertanya. Ku lihat rahangnya mengeras.
Aku mengabaikannya. “Seberapa buruk keadaanku Kyhun?” aku lebih memilih bercakap dengan Baekhyun. Karena kerap kali berbicara dengan Jong hyun, emosiku selalu tidak stabil.
“Kau sudah disini, mereka bilang kau muntah-muntah sebelum kau jatuh pingsan. Kau pucat sekali Nara, dokter menguras isi lambungmu.” Baekhyun heran. “Kau tidak kenapa-kenapa Nara, tidak ada yang patah-tidak ada yang luka, dan kau tidak hampir mati.” Ia berhenti.
“Ayolah Nara... kau aktris yang buruk.” Jong hyun mulai menyerangku lagi.
“Aku mengatakan yang sebenarnya.” Aku berkeras.
“Kau di antar seseorang kemari, mereka meletakkan tubuhmu di ruang UGD. Kau pucat pasi dan demam.” Jelas Jong hyun kesal.
Aku melirik Baekhyun mencari pertolongan.
“Mimpi burukmu pasti hebat,” Baekhyun antusias berusaha mengganti topik, “ceritakan padaku.” Ia menyangga dagu dengan kedua tangannya.
Ratusan pemikiran berkelebat di dalam kepalaku. Aku tidak sanggup berpikir lagi. Aku harus melakukan sesuatu. Aku mengabaikan tatapan menyelidik Jong hyun.
Apakah ada ingatan yang ku lupakan? Aku berjuang untuk berpikir jernih. Ku pejamkan mata, membiarkan otakku memilah-milah potongan puzzle yang berserakan.
Bukan. Bukan mimpi. Itu pasti telah terjadi. Tapi bagaimana aku dapat menjelaskan kondisiku sekarang?
Nara..... ada suara di kepalaku.
Nara, lihat ke arahku. Suara pria di dalam kepalaku terdengar sangat jelas. Aku bergidik ngeri.
Buka matamu nara. Suara di kepalaku mencoba lagi.
Aku pasti sudah gila. Pikirku.
“Hei...” gumam Baekhyun. “Merasa lebih baik?” tanyanya.
“Tidak juga,” kataku singkat.
“Jangan marah Nara,” desahnya. “Aku benar-benar khawatir ketika mendapat kabar bahwa kau di rumah sakit. Semua yang di katakan Jong hyun benar. Seseorang telah mengantarmu kemari. Seseorang yang mengenalmu Nara. Mereka bahkan sudah mendaftarkan namamu di rumah sakit sebelum kami datang.” Jelasnya lembut.
“Apakah kau bersama seseorang disana?” Tanya Baekhyun.
“Aku sendiri khyun. Aku sedang menunggu seseorang yang—”
Jangan Nara! Suara pria di dalam kepalaku terdengar lagi, memotong kalimatku.
Lihat keluar jendela! Sekarang!! Perintahnya.
Ku coba untuk menenangkan diri, sehingga aku mampu memilah pikiran yang melayang-layang bebas di kepalaku.
Aku gila.
Tidak Nara.! Samar tapi sangat jelas ada suara pria di kepalaku.
Diam!!!!
Takkan pernah. Balasnya. Dengarlah Nara.
Ku tutupi kepalaku dengan kedua tanganku ketika sura-suara itu memanipulasi pikiranku. Aku berjuang keras untuk mengontrol suara-suara itu.
Nara.!!! Suara itu membentakku. Dia berbicara padaku. Aku tidak menjawab.
Nara.!! Suaranya semakin keras di kepalaku. Mendengung-dengung di dalam. Mengulang-ulangi namaku.
Buat aku percaya bahwa aku tidak gila.
Aku disana Nara, melihatmu sekarat. Aku tahu Kris, dan seperti apa dia. Aku dapat mendengar dengan jelas apa yang kau pikirkan dan kau bicarakan. Aku akan menjelaskannya padamu.
Bagaimana kau menjelaskan tubuhku?
Lay yang melakukannya. Dengan bantuan Chanyeol.
Perasaan ngeri menjalari tulang punggungku. Aku langsung merasa mual. Masih sangat segar di otakku bagaimana rasa sakitnya.
Dengan gerakan cepat, ku lepas sesuatu yang sedari tadi menempel di bawah hidungku.
“Jangan Nara.” Baekhyun mencoba menghalangiku tapi terlambat.
Jong hyun mencengkram tanganku yang lain.
“Lepaskan oppa, aku ingin melihat ke jendela sebentar.” Ucapku. “Aku harus menjernihkan pikiranku dulu sebelum menjawab pertanyaanmu.” Ucapku lirih. Aku memohon. Biarkan aku memastikannya. Kemudian Jong hyun mengambil kantong infusku yang menggantung. Ia meregangkan jemarinya.
Aku berguling turun dari tempat tidur dan terhuyung-huyung menuju jendela di sebelah kiriku. Perlu beberapa detik bagiku untuk menyeimbangkan tubuh, dan beberapa detik lagi untuk benar-benar bisa berdiri tegak. Lututku masih lemas. Aku takut kalau-kalau jatuh, ku pegang bingkai jendela alumunium di depanku.
Tak sulit menemukan seseorang di bawah sana. Ia sangat mencolok. Sendirian. Berdiri di depan mobil porsche merah. Menatap lekat-lekat ke arahku.
**
==>NEXT
synopsis bab 5 part 2^^
Jong hyun mendesah tanpa membalas tatapanku. “Rasanya mustahil....” ia berbisik, “Mustahil, tapi cukup bagiku untuk saat ini.” akhirnya ia memandangku, “Dan, Maafkan aku Nara.”
Aku mengerutkan dahi. Heran.
“Dia disini.” Ia setengah berbisik. Suaranya terdengar menyesal.
“Siapa?” aku bertanya.
*****