BAB EMPAT
Saat aku tidak membuka mata, aku bermimpi.
Aku mendengar suara langkah kaki berat yang paling menyenangkan yang bisa ku pikirkan-suara indah, memilukan, melegakan sekaligus marah.
Aku di tarik oleh rasa sakit yang tajam. Menusuk-nusuk tanganku yang terbuka, namun aku tidak bisa membuka mata.
Aku yakin aku sudah mati.
Karena, di dalam kepalaku, aku mendengar suara berat memanggil namaku, memanggilku beberapa kali. Suara yang untuk kedua kalinya ku dengar. Suara yang ku cari.
Ku dengar langkah berat menghampiriku.
“Oh... Nara... tidak,” suaranya muram.
Di belakang suara itu ada suara langkah ringan lain- suara putus asa. Suara marah yang mengerikan. Namun ku pusatkan konsentrasi ke suara yang sudah sangat lama kucari.
“Nara.. ku mohon! Nara, ku mohon.! Tidak, Nara!!” ia memohon.
Aku ingin sekali membalas ucapannya. Aku ingin sekali menjawabnya. Tapi aku tidak bisa.
“Lay.!” Ia berteriak, kesedihan menyayat terdengar jelas dalam suaranya. “Nara.. ku mohon. Nara.. bernafaslah.!” Dan suara yang semakin pilu itu pun menangis.
Ia tidak boleh menangis. Ia tidak boleh mengeluarkan suara pilu itu lagi. Aku ingin yang lain. Dulu, aku mendengar kepiluan yang sama dalam suaranya. Aku ingin memberitahunya. Aku baik-baik saja. tidak lagi terasa sakit sekarang, tapi aku tidak bisa. Nafasku tersekat. Aku tidak bisa bernafas.
Kurasakan sesuatu yang hangat menyentuh rambutku. Aku menyukainya. Kemudian ia menyentuh lenganku.
Tidak! Kau tidak boleh menyentuh lenganku! Mereka patah.! Masih sangat segar di otakku bagaimana rasa sakitnya. Biarkan saja. tubuhku sudah mulai merasa ringan. Tidak sakit lagi. Ku mohon.... jangan menyentuhnya.
Kepalaku terangkat.
Sesuatu yang lembut dan hangat menggantikan lantai kasar-berkerikil.
“Lay..!! cepat..!!”
Dan langkah lain, ringan-cepat menghampiri.
“Tolong... ku mohon...” suara pria bertangan hangat tidak lagi merdu, lebih terdengar menyakitkan bagiku.
“Nara.!” Ia kembali meneriakkan namaku.
“Dia membeku Chanyeol. Tapi bagaimana bisa?” suara lembut dan merdu yag lain memberitahuku. “Hati-hati, lengannya patah.”
Gemuruh kemarahan terdengar jelas di bibir pria yang ku ketahui namanya sekarang.
Seseorang. Lain. Menyentuh leherku. Kali ini tidak hangat. Hanya lima detik sebelum ia menarik kembali tangannya.
“Kurasa terlalu banyak luka dan tulang yang patah kali ini.” pemilik suara lembut itu melanjutkan kata-katanya.
“Aku bukan Tuhan Chanyeol,” kini ku dengar suara lain. Ku yakin itu suara seseorang yang baru saja menyentuh leherku.
“Ia terlalu dingin..” katanya lagi.
“Ku mohon... selamatkan dia.” Suara berat yang ku tahu namanya, Chan.... yeol..? itu putus asa.
“Buat suhu tubuhnya normal, aku membantu.”
Tak lama tangan hangat-lembut yang aku mulai menyukainya jika ia menyentuhku, menggapai tubuhku. Menariknya lebih dekat-ke sesuatu yang aku suka. Dia hangat. Dan itu mengurangi rasa sakitku. tapi, sebaiknya kalian jangan keterlaluan menggerakkan lenganku.
Mulai kurasakan kehangatan menjalar mulai dari leher, tempat dimana pria aneh mencekikku. Terus mengalir lembut ke bahu-lengan, sampai ujung jemariku.
“Nara, kau baik-baik saja. kau bisa mendengarku Nara? Aku mohon, bernafaslah.”
“Chan....” aku mencoba bersuara. Aku ingin mengatakan padanya.
“Nara?”
“Wow, dia pucat sekali, Lay.” Suara lain, kecil-nyaring-ringan.
“Sebaiknya kau menghubungi ambulance.” Perintah seseorang yang menurutku ia Lay.
“Jangan..!!” pria bertangan hangat menentang, aku masih bisa mendengar kepiluan dalam kata-katanya.
“Chanyeol, kau bisa melihatnya sendiri, dia terlalu parah. Aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak.”
“Kau dapat menyembuhkannya Lay.!”
“Benar,! Aku dapat menyembuhkan yang sakit, bukan menghidupkan yang mati.” Ia menjelaskan dengan nada defensive.
Mulai kurasakan gelombang perih bercampur mual yang sebelumnya hilang, kini timbul lagi. Semakin lama, perihnya menguat. Mengubahnya menjadi sayatan sayatan tajam mata pisau.
“Ia masih hidup Lay.!” Tangan hangat itu mengentuh lagi. Menyentuh urat nadiku. “Kau bisa meringankan sakitnya...”
“Chan....” aku mencoba lagi. Memanggilnya.
“Ya, aku disini. Aku bersumpah kau akan baik-baik saja Nara, aku bersumpah tidak akan pergi Nara.”
“Sakit,” suaraku lemah.
“Aku tahu, Nara...-” suaranya terdengar amat sangat ketakutan- “Tidak bisakah kau melakukan sesuatu Lay?!”
“Baiklah, pegang dia, pastikan tubuhnya tetap hangat. Aku mencoba.”
Awalnya rasa sakit itu semakin parah. Aku mengerang beberapa kali. Meronta dari pegangan tangan hangat yang menahan tubuhku. Seseorang lagi menahan lenganku yang lain, dan Chanyeol menahan kepalaku dengan tangannya yang lembut dan hangat,- terus memegang leherku.
Sensasi lain menjalar dengan cepat dari tanganku. Sensasi yang kau dapatkan ketika dokter memasukkan cairan kental melalui saluran infus. Sensasi ringan-nyaman. Dan perih di lengan-bahuku kembali menghilang. Digantikan dengan rasa kantuk yang sangat berat.
Aku lelah, pikirku.
Jangan biarkan perih itu kembali.
Biarkan aku istirahat sebentar.
Aku tahu mataku kembali terpejam. Aku membukanya, begitu putus asa mencobanya. Dan dari sekian banyak pemandangan indah yang pernah kulihat. Aku melihat pemandangan indah yang jauh lebih menarik. Aku melihatnya. Akhirnya, aku melihat wajahnya yang sempurna, memandangku, matanya memerah. Mata yang sama seperti Kris. Namun aku tahu ia penjagaku.
“Chan....” suaraku terputus.
“Dia memanggilmu Chanyeol.” Suara lain menyahut.
“Ya, aku disini Nara, maaf...”
“Jangan menghilang, tinggallah...”
“Ya, aku tidak akan mengulanginya Nara. Aku bersumpah.” Suaranya serak, tapi terselip nada lega bercampur sesal di sana.
Aku mendesah. Rasa sakit itu menghilang. Memudar. Berganti dengan rasa kantuk.
“Sudah?” Chanyeol bertanya.
“Sudah tidak apa, tapi kali ini meninggalkan bekas. Aku tidak bisa memulihkan luka sepenuhnya Chanyeol,” katanya pelan. “Ada yang berbeda kali ini, tapi dia sudah tidak apa-apa ku rasa.”
“Nara?” Chanyeol mencoba memanggilku.
Aku berusaha menjawabnya. “Hmmm...?”
“Apakah masih ada yang sakit?”
“Ya,” desahku. “Tidak begitu, maksudku.”
“Aku bersamamu Nara.” Jawabnya.
“Hmmm...” aku menghela nafas, rasanya sangat lelah.
Aku menemukannya.
Aku menemukannya, benakku bicara.
Ya... suara lain menyahut.
Aku pasti sudah bermimpi.
ini bukan mimpi Nara. Balasnya lagi.
Ku putuskan untuk diam.
aku lelah, ingin tidur. Pikirku.
Kau sudah tidur Nara. Ia membalasku lagi.
Jangan membalas ucapanku lagi. Aku benar-benar ingin tidur. Pikirku.
Tak lama kemudian hening. Tidak ada balasan lagi di benakku.
“Nara?” Chanyeol memanggil lagi.
Ku paksakan membuka mata. Aku ingin tidur. “Ya?”
“Di mana Siwon?”
“Di Washington,” aku mendesah. “Jangan memberitahunya, kumohon” suaraku lirih. Aku teringat semua nasihat Siwon. Dia menyuruhku untuk aman.
Kau aman Nara. Benakku kembali membalas.
Siapa kau sebenarnya! Erangku.
Nanti kita berkenalan. Bukan disini.
Apa?
......
Hei?
.....
Hening .
Mungkin ini efek samping dari benturan yang ku alami. Pikirku.
Suara di benakku menghilang.
“Nara?” Chanyeol memanggilku untuk yang kedua kalinya
Dahiku berkerut. Ku buka kembali mataku. “Apa?”
“Aku bersamamu, dan Siwon ku pastikan aman.”
“Jangan memberitahunya, ku mohon.” Suaraku terlalu lemah untuk memintanya.
Ku dengar ia menggumamkan sesuatu.
“Ayo.. dia harus terlihat normal Chanyeol, kita harus memindahkannya sekarang.” Kata pria bernama Lay.
“Tidak, nanti saja. aku ingin istirahat,” Aku menolak.
“Kau bisa Istirahat Nara,” Chanyeol tersenyum lembut.
Tiba-tiba lantai lembut seolah lenyap dari bawahku, seseorang membopongku dengan lembut, menaruh seluruh beban tubuhku pada lengannya- dan itu tidak begitu bermasalah baginya. Begitu mudahnya, seolah beratku hanya seperti empat kilo beras, bukannya 45.
Ku membuka mata karena terkejut dengan gravitasi yang berubah ketika ia mengangkat tubuhku. Samar-samat ia tersenyum. Menggumamkan sesuatu. Seperti kau akan baik-baik saja. dan aku pun berada dalam pelukannya, meringkuk di dadanya- hangat. Rasa sakitnya semua hilang.
Aku masih bisa mendengar mereka berbicara satu sama lain. Memperdebatkan sesuatu. Seseorang yang melakukan ini terhadapku. Mengenai tubuhku. Itu yang ku tangkap dari intinya. Perdebatan yang panjang.
Aku tidak terlalu mendengar lagi percakapan detailnya, suara-suara mereka perlahan menghilang. Digantikan dengan gumaman halus.
Itu hal terakhir yang terekam oleh otakku.
***
==> NEXT
synopsis bab 5 part 1^^
Suara dingin-kaku bercakap dengan seseorang.
“Kau punya kabar terbaru?” Jong hyun. Itu dia.
“Aku menunggu, terus cari mereka.” Ia melanjutkan, kemudian terdiam cukup lama, menyimak seseorang di luar sana yang berbicara.
*****