Kumohon. Keluarkan saja aku dari sini, pikirku. Kalau perlu, aku akan merangkak.
Aku masih sangat pusing.
“Kau terlihat pucat, Nara.” Suaranya lebih dekat sekarang, dan ia terdengar kecewa. Ia memicingkan kepalanya sejajar dengan mataku. Kulihat mata hitam yang gelap sekilas. Aku memejamkan mata, berharap ada yang bersedia menolongku.
“Nara.” Kurasakan ia tepat di depanku. Sangat dekat dari yang sebelumnya. “Kau bisa mendengarku kan?”
Tidak, erangku. Pergilah.
Ia tertawa.
“Ke empatnya sudah tiada,” ia menambahkan. Aku masih bisa mendengar senyuman dari kata-katanya. “Tentu yang dua hanya korban.”, “empat, bukankah aku beruntung? Tidak perlu bersusah payah mencari Lewis Meyer.” menegaskan empat berulang kali, ia tersenyum licik.
Astaga, dia bahkan tahu paman Meyer? Ayah Siwon? Apa ini sebenarnya.
Air mata yang sedari tadi kutahan, sekarang tumpah. Aku tidak peduli lagi.
“Apa salah mereka? Apa yang mereka lakukan kepadamu dulu?” aku balas berteriak.
Ketika aku berteriak, kulihat ia menjauh dariku. Menghembuskan nafas, menoleh ke belakang, memandang penuh minat terhadapku.
Dia tetap tinggal di tempatnya, tidak bergerak mendekat. Menatapku dalam diam. Tidak mengeluarkan sepatah katapun. Dia jelas sangat menikmati keadaan ini.
“Maafkan aku, tapi ayahmu tidak sepenuhnya salah dalam hal ini Nara, dia hanya terlalu pintar untuk ukuran manusia, sampai ia tidak sadar bahwa sedang menciptakan monster. Dan kupikir, sepertinya kau telah menarik sebelas orang yang ku incar Nara.”
“Sejak pertemuan kita di gedung SMA dulu, aku baru menyadari. Mereka mengawasimu. Melindungimu.”
“Aku sangat menikmatinya. Kali ini juga sebuah permainan dan tak diragukan lagi, aku pasti berhasil. Boleh ku tambahkan juga, aku ingin tahu apa sebenarnya rencana ayahmu selama ini.”
Perutku melilit- seakan-akan organ dalamku sedang dijepit dan dipelintir.
Satu-satunya pintu keluar dari ruangan ini adalah lorong sempit tempatku masuk tadi, dan itu ada di belakang pria itu.
Kulihat lorong sempit didepan, aku bergerak sedikit demi sedikit mendekati pintu.
“Siapa kau?”
Lelaki itu tersenyum dan kulihat kilatan dimatanya berubah. Hitam-merah-hitam lagi. Secepat kedipan mata, ia merubah warna mata itu. Apa ini?, pikirku. Siapa yang kuhadapi sekarang. Ini semua konyol, pikirku lagi. Dari semua teori serta penelitianku selama ini, manusia normal tidak bisa merubah warna matanya seperti yang dilakukan pria dihadapanku ini.
Aku berputar, bersiap-siap lari. Aku pasti bisa. Dia tidak akan menyangkanya. Aku pasti bisa. Sekarang!
Aku baru memutuskan untuk lari. Namun belum sempat aku mencapai pintu itu, dalam hitungan detik orang asing itu menghadang langkahku.
Kurasakan semburan hawa dingin keluar dari badannya. Bulu kudukku meremang. Adrenalin menjalar di pembuluh darahku, membuat jantungku berdebar lebih kencang dan gelombang rasa takut bergejolak perih di perutku.
Ada semacam perasaan yang seolah mengembangkan hatiku sedemikian besar sampai rasanya mau meledak dan menghasilkan lubang yang menganga di dadaku. Perasaan yang menyebabkan tenggorokanku panas dan tercekat, yang menyebabkan mataku perih, dan aku tiba-tiba merindukan Siwon.
Ia menghampiriku, tersenyum. “Kau ingin lari Nara?” perutku mual ketika ia berbicara.
“Aku senang jika ada sedikit pemanasan sebelum kita mulai permainan Nara. Kau tahu, bahwa kau di ciptakan oleh ayahmu sama seperti kami? Tapi yang tidak habis pikir, mengapa ia membuatmu seperti manusia normal? Mengapa ia tidak menjadikan gen mu seperti kami, atau lebih kuat dari kami?” ia mendesah.
“Sebagai rasa kesalku terhadap ayahmu, aku menghancurkan wanita di sampingnya.”
“Eomma,” desahku terkejut.
“Ya. Ibumu tersayang. Aku turut berduka Nara.” Ia memasang ekspresi sedih. “Aku cukup terkejut melihat ibumu tidak tahu apa yang sedang di kerjakan ayahmu. Jadi ku rasa, hadiah kecilku itu tidak buruk-buruk amat bagimu. Sebagai permulaan, aku mengawalinya dengan cukup baik bukan?”
“Dan kau, kau seperti magnet bagi mereka. Aku dapat mengumpulkan orang-orang yang yang sudah sangat lama ku inginkan dalam satu kali kesempatan.”
Ia maju selangkah lebih dekat, sampai jaraknya tinggal beberapa senti. Ia menyentuh beberapa helai rambutku dan mengendusnya lembut.
“Kau masih ingin lari Nara?” Suaranya sedingin salju menghembus di leherku. Ia mengangkat tangannya dan mengelus pipiku sekilas dengan jemarinya yang panjang.
Sebelum otakku merespon dengan baik kata-katanya, tangan yang besar-kuat dan sedingin es itu mencengkram lenganku sampai aku mendengar dengan sangat jelas ada suara yang patah disana, terasa menyakitkan. Hembusan nafasnya terasa membekukan sebagian leherku. Aku bahkan tidak sempat merespon.
Laki-laki itu melemparku jauh. Pekikan terlontar dari kerongkonganku saat kurasakan rasa sakit menjalar di lengan dan sebagian lagi di bahu kiriku. Ku coba untuk berdiri dan berhadapan dengan lelaki itu, dapat kulihat jelas wajahnya yang kaku-dingin dan lebih menyeramkan ketika ia memperlihatkan sederet giginya yang rapih dan putih itu. Menertawakan keadaanku.
“Tidak,”gumamnya pada diri sendiri, lalu melihat tangannya, “aku tak mengerti.” Ia mendesah.
“Kau akan membunuhku juga?” pekikku. Mengerahkan semua tenaga yang tersisa.
Aku benar-benar mual sekarang. Ada rasa sakit yang mendekat, semakin jelas sekarang.
Perasaan mual yang menyerangku tiba-tiba, serta lenganku yang patah di ikuti bahu kiriku yang mulai semakin terasa berdenyut-denyut, membuatku sedikit kehilangan kekuatan.
Lututku gemetaran dan aku khawatir bakal jatuh.
Ia melangkah mundur dan mulai mengelilingiku, tenang. Seakan-akan mencari sesuatu yang sedang ku sembunyikan. Wajahnya masih tenang dan tampak menimbang sesuatu, harus bagaimana ia memulai dan mengakhirinya.
Kemudian ia mencondongkan tubuh, dan lelaki itu tersenyum. Dan senyumnya menawan-perlahan melebar, semakin lebar, hingga tidak lagi menyerupai senyuman sama sekali, melainkan deretan gigi putih terpapar jelas. Wajah itu tidak pantas untuknya. Ia seperti malaikat berhati setan.
Aku mencoba lari.
Ia mendorongku keras hingga menyentuh tembok di belakangku. Tubuhku tertekan diantara tembok keras dan kasar, dadaku sesak dan sentakan di lengan dan bahuku menimbulkan rasa sakit yang membakar.
Kurasakan sesuatu yang hangat mengalir turun dari bahu kanan atas, turun perlahan dengan pasti mengalir melalui punggung dan berhenti di lipatan celanaku.
Aku terjerembab kesakitan ketika ia melepaskan genggaman tangannya. Membiarkan tubuhku yang sudah hancur menghempas ke bebatuan di bawahku.
Kemudian ia berjongkok di depanku, bibirnya menyunggingkan senyum sinis saat mencoba mengambil paksa tasku. Dengan sekali hentakan kuat, tali tas yang sedari tadi melekat di badanku terputus. Aku mengerang kesakitan.
“Kau tidak membutuhkan tasmu lagi sekarang.” Dibuangnya tasku.
Aku membelalak. Terkesiap.
Apa yang ia inginkan dariku. Benakku menciut pada titik dimana aku tidak lagi bisa memilah yang mana yang harus ku ikuti kali ini: jangan. Jangan. Jangan.
Aku tidak bisa menjaga pikiranku tetap jernih dari segala kemungkinan paling buruk yang akan terjadi padaku beberapa saat lagi.
Aku mencoba bergerak, berdiri. Aku ingin lari. Sekali lagi, dan ku pastikan kali ini berhasil.
Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, lengan-lengannya yang kuat mencengkram kakiku dan menyentaknya, ia kembali menghempaskanku menjauh darinya, entakan keras menghantam tulang belakangku- tubuhku terlempar ke belakang, dan aku mendengar suara keretak saat badanku menghantam dinding beton kasar. Kerikil berserakan dan bertebaran di lantai.
Reaksiku terlambat untuk merasakan sakit. Aku tidak bisa bernafas.
Kurasakan dengan sangat jelas darah segar mengalir dari bahuku menetes sepanjang lengan.
Kemarahan menguasaiku, menyingkirkan rasa takut, berusaha mengatasinya. Perpaduan dari hal itu membuatku untuk mengambil tindakan. Aku mulai bergerak lagi.
Ku abaikan rasa sakit di sekujur tubuhku. Dengan tangan dan lutut aku merangkak lagi.
Langkah cepat menghampiriku. Dalam kejapan mata Rasa takut menyelimutiku lagi. Aku harus berteriak. Teriakanku tertahan di tenggorokan. Aku berusaha membuka mulut.
“Sssttt,,,,” katanya dengan menaruh jari telunjuk di ujung bibirnya.
Ia membekap mulutku.
Aku tidak bisa menafas, tak bisa bergerak. Dia mematahkan hampir kedua tanganku, ia tidak pernah merasa puas, takkan berakhir dengan cepat permainan ini. memikirkan apa yang akan ia lakukan selanjutnya, itu membuatku merinding.
Laki-laki itu mengambil helai rambutku, memainkannya sebentar, menghirup rambutku. Gelombang marah serta jijik melanda diriku. “Mereka mencintaimu, Nara.” Dia menyingkirkan tangan dari mulutku dan mencengkram lenganku yang patah. “Aku tidak akan membunuhmu, aku hanya mencoba memancing mereka. Sebelas orang terkuat di dunianya. dua orang yang menyembunyikan identitas mereka..”
“Aku... aku tidak mengerti,” kataku, lemah.
“Tentu saja tidak, aku hanya ingin mereka memakan umpan itu mentah-mentah, mulai dari pengait, tali, sampai batu pemberatnya.” Wajahnya menyeriangai puas. “Kau tidak lebih dari sekedar umpan bagi mereka, kau sama sekali tak berguna”
Kupejamkan mata rapat rapat. Aku tidak mau menatapnya lagi. Aku tidak ingin mendengarnya lagi. Aku ingin pulang. Ku mohon....
“Lihat aku!” aku mengabaikannya, dan ia menekan pundakku yang terkoyak disana. ia mencengkram dengan kuat dan memelintir tubuhku lagi. Kepalaku membentur tembok. Dan rasa sakit yang baru mengejutkanku, mataku terbuka paksa. Tangan besarnya yang tadi sedingin es menyentuh wajahku. Ku pusatkan perhatianku pada matanya. Kedua bola matanya besar, hitam-dan kelam, penuh dengan amarah. Aku tidak pernah melihat sesuatu yang sedalam itu. Bola matanya kini berubah, kini berwarna biru kehitaman.
Didalam mata biru itu, kulihat ada dendam disana, lebih buruk dari kematian, ia tidak berniat membunuhku. Ia hanya ingin menyiksaku sampai mereka yang ia maksud datang. Itu lebih buruk dari apapun, lebih buruk dari melihat tubuh orang tuaku yang terbujur kaku, lebih buruk dari berita bahwa Siwon mendengar aku telah mati di tangan orang yang sama dengan yang membunuh orang tuanya. Ada dendam disana- ia akan membunuh mereka jika kemari- tanpa belas kasihan.
“Mereka mencintaimu Nara, mereka melindungimu selama ini.” tiap suku kata ditekankan.
Suaranya penuh luka.
“Baiklah,” ia berdiri. “mungkin mereka butuh sedikit dorongan lagi.”
Sedetik kemudian dia mencekikku. Sebelum aku punya kesempatan, nafasku terputus. Kepanikan melandaku, menggelepar di dada. Aku berusaha menendangnya, menyikutnya. Berusaha membebaskan diri.
Namun, cengkramannya semakin erat menekan leherku yang rapuh. Kurasakan dingin menjalar disekitar tubuhku, tangan yang mencengkram leherku menjadi sangat dingin, membekukan urat nadiku. Kemudian sedetik kemudian ia melepaskan cengkramannya.
Tanganku mulai mati rasa, tidak lagi terasa sakit.
Aku akan mati.
Aku takkan pernah melihat Siwon lagi. Aku akan membuatnya khawatir. Aku sudah tidak menepatkan janjiku untuk membuat diriku aman. Aku tidak boleh mati seperti ini, tanpa alasan apapun.
Rasa perih disekujur tubuhku mulai menghilang. Digantikan dengan rasa terbakar yang lebih menyakitkan.
Kurasakan penglihatanku mulai memudar.
“ Kris!!!” kudengar suara pria lain berteriak. Lebih lantang. Menyebut sebuah nama. Kris. Memori dalam otakku dengan cepat menyimpan nama itu dengan baik.
“Lepaskan aku.! Mereka belum datang!!” itu suara pria yang mencekikku.
“Ini melanggar aturan bermainnya!”
Apa? Mereka menganggap ini sebuah permainan? Yang benar saja!!. aku mengumpat. Aku masih bisa mendengar semuanya. Ku tahu sebentar lagi akan kehilangan kesadaran. Mataku sudah mulai mengantuk.
“Kau ingin berjalan sendiri? atau ku patahkan kedua kakimu?!” pria dengan suara lantang sedikit menggeram. Wow, pria dengan suara lantang lebih kuat. Itu yang di cerna otakku. Setuju dengan ide mematahkan kedua kakinya.
Lima detik yang lama. Keheningan menguasai ruangan raksasa ini. tidak ada suara-suara perdebatan lagi. Tidak ada orang yang ingin melemparku lagi. Mereka meninggalkanku seorang diri. Mereka akan menemukan mayat perempuan berusia 22 tahun terbujur kaku dipenuhi luka lebam. Mereka akan menyangka ini perbuatan preman jalanan.
Aku mulai merasakan kegelapan menarikku.
Sunyi. Gelap. Aku benci gelap.
Kesadaranku perlahan menghilang.
Digantikan suasana sepi.
Yang kudengar di kepalaku hanya rintihan. Sekujur tubuhku mati rasa.
Mataku terpejam dan akupun tak sadarkan diri.
***
==> NEXT
synopsis bab 4^^
“Oh... Nara... tidak,” suaranya muram.
Di belakang suara itu ada suara langkah ringan lain- suara putus asa. Suara marah yang mengerikan. Namun ku pusatkan konsentrasi ke suara yang sudah sangat lama kucari.
“Nara.. ku mohon! Nara, ku mohon.! Tidak, Nara!!” ia memohon.
Aku ingin sekali membalas ucapannya. Aku ingin sekali menjawabnya. Tapi aku tidak bisa.
“Lay.!” Ia berteriak, kesedihan menyayat terdengar jelas dalam suaranya. “Nara.. ku mohon. Nara.. bernafaslah.!” Dan suara yang semakin pilu itu pun menangis.
*****