BAB TIGA
Aku menggertakkan gigiku dan menjejalkan buku-buku itu ke dalam box mobil, aku memasukkan semua ke tas, dan menyandangkan talinya di bahuku dan menarik nafas panjang. Aku akan baik-baik saja, aku menghibur diri. Ku tarik nafas dalam-dalam sebelum keluar. Ku pegang amplop putih yang mulai terasa sangat berat sekarang.
Aku berjalan ke trotoar dan hujan dengan senang mengguyurku, membuat rambut serta pakaianku menjadi setengah basah.
Di hatiku yang paling dalam menuntut untuk terus maju, masuk ke dalam sana, dan melihat siapa mereka. Namun intuisi perempuanku mengatakan itu adalah keputusan yang bodoh, tapi aku tetap ingin tahu. Mengapa mereka melakukan itu? Terlebih kepada orang tuaku. Dan. Siwon.
Aku berusaha sebaik mungkin agar terlihat normal, meski bagian diriku yang lain sangat menolak untuk bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa, bagian diriku yang lain mengatakan lari, pergi dari sana.
Akhirnya aku menghirup nafas sebanyak mungkin dan melangkah percaya diri. Aku mendorong pintu masuknya. Seorang petugas menyapaku dan tersenyum, ku katakan berikan aku meja kosong yang dekat dengan jendela.
Pagi ini restoran yang menyajikan makanan ala Eropa ramai- bunyi riuh dentingan sendok-garpu dan pisau dari perak, mesin pembuat espresso dan percakapan lainnya melalui ponsel.
Tak lama kemudian petugas dengan badan tegap dan bermata coklat terang itu mengantarku ke meja paling pojok, menghadap langsung ke jalan raya. Aku mendesah. Duduk perlahan dan mulai melihat sekitar. Menurutku tidak ada siapapun disini yang pantas untuk dicurigai. Beberapa orang sedang bercakap-cakap dengan ponsel, disisi lain beberapa orang bersetelan jas sedang sibuk dengan kertas-kertas mereka- saling memberikan kertas ke yang lainnya, lalu empat pasang lain sedang menikmati sarapan pagi mereka.
“Permisi nona?” satu suara serak menyapaku. Memberikan segelas minuman hangat warna putih yang masih mengepul. “Anda ingin memesan sesuatu, nona?” ia bertanya dengan merendahkan suaranya satu tingkat dari sebelumnya.
“Ah.. tidak. Aku sedang menunggu seseorang. Nanti aku pesan setelah ia datang.” Balasku dengan mengeluarkan senyum terbaik.
“Baiklah, selamat menikmati nona.” Ia balas tersenyum dan pergi.
Ku lontarkan kembali pandanganku ke sekeliling dan melihat tiga orang sedang berjalan memasuki restoran, mereka terlihat keren menurutku. Mereka langsung menuju meja kosong dengan sofa panjang berwarna merah serta kursi berlengan berwarna kecoklatan. Pria tinggi dengan potongan rambut pendek langsung duduk di sofa, dua pria lainnya menarik kursi berlengan itu sebelum mendudukinya. Meja mereka tepat berhadapan dengan meja yang ku tempati sekarang, hanya berjarak sepuluh meter.
Laki-laki di sofa itu tersenyum ke arahku. Dapat kulihat matanya yang tajam menatap lurus kearah mejaku. Sebelum otakku dapat memahami tatapan pria itu, kuedarkan pandangan ke meja resepsionis yang berada cukup jauh dari sini, untuk berjaga-jaga Setidaknya aku tahu ke arah mana pintu keluar.
Kurasakan tatapan mata dari pria di meja sebrang menembus pertahananku. Manciutkan nyaliku yang memang saat ini hanya sebesar biji jagung. Mungkinkah mereka yang mengirimi ini?. ku gertakkan gigiku dan melihat mereka lagi, dengan lebih jelas. Menyerap semua tingkah laku yang sekiranya mencurigakan.
Ketika aku beradu pandang untuk kedua kalinya dengan pria yang baru kusadari ia mengenakan blus merah terang, aku tetap saja merasa mulas, tergerak untuk buru-buru menyingkir dari hadapannya. Kedua temannya bercakap-cakap, kadang sedikit menyunggingkan senyum, dan kuakui mereka cukup tampan.
Pria di sofa, dia menyandarkan badannya menjadi setengah terbaring, dengan mata tertutup dan kepalanya disandarkan ke sandaran sofa, tapi dia setengah membuka matanya sekarang dan melirik ke arahku. Dia menggelengkan kepalanya seperti seorang laki-laki yang jauh dari rasa puas.
Temannya yang memakai jaket hitam tebal melihat ke arahku, di ikuti dengan teman yang satunya. Kerja yang bagus Kim Nara, umpatku. Sekarang mereka bertiga menatapku secara bersamaan. Tiga lawan satu. Dalam lima detik yang menurutku seabad itu, aku mengambil cangkir yang berisi minuman lalu menenggak habis. Ku habiskan semuanya tanpa berpikir panjang. Berusaha mengabaikan mereka bertiga. Ku alihkan pandanganku ke luar. Hujan semakin lebat. Jalanan mulai sepi. Orang-orang enggan melakukan aktifitas di luar rumah dalam cuaca yang seperti ini. mereka kebanyakan memilih menonton televisi di rumah dengan menyalakan penghangat serta beberapa minuman seperti kopi atau coklat panas.
Dengan bingung, aku menengok jam di dinding restoran. Pukul 11.32 siang hari.
Kini aku duduk dengan membelakangi ketiga pria di sebrang. Nyaliku tidak cukup besar untuk menghadapi tatapan mereka bertiga sekaligus.
Lima belas meter dari restoran tempatku berada, tanpa terhalang apapun, pria bertubuh tinggi memakai mantel hitam berdiri tegak di bawah guyuran hujan. Sekilas aku mengira ia tidak berniat mandi hujan di tengah musim dingin seperti ini. tapi selang lima menit kemudian, pria itu tidak beranjak dari posisinya. Kulihat ia tersenyum tipis ke arahku, mengambil sesuatu di sakunya. Dapat ku lihat dengan sangat jelas ia mengeluarkan kertas putih seukuran sepuluh centimeter. Tunggu, pikirku. Itu dia. Jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari sebelumnya. Lelaki itu memegang amplop putih sama seperti punyaku.
Seketika perutku seakan di pelintir, dan nafasku memburu, antara cemas bercampur takut. Melawan keingin tahuan yang telah terpendam bertahun-tahun. Jawaban ada di depanku sekarang.
Aku mengerang ketika melihat pria itu melambaikan tangan dengan memegang amplop putih dan mulai melangkah mundur. Tidak. Jangan pergi.
Ku abaikan intuisi untuk tidak mengejarnya. Segera aku keluar dari restoran itu, melewati tiga pria yang sedari tadi berbincang dan tidak memesan apapun, sama sepertiku.
Ketika aku bergerak menembus hujan, dan menyaksikan pria itu semakin menjauh, aku menyadari bahwa aku bisa dengan mudah berpikir-ulang, meninggalkan tempat ini dan pulang ke rumah dan berbaring di balik selimut yang hangat. Tetapi aku merasa bahwa itu mungkin ide yang buruk.
Ketika tubuhmu tidak menuruti perintah otak yang berulangkali mengatakan. Jangan. Disitu dimana kau merasa sangat frustasi di buatnya. Aku terus bergerak menuju kearah pria bermantel hitam itu menghilang, aku punya perasaan yang sangat tidak nyaman bahwa aku sedang menyebrangi ambang pintu yang di sana terdapat sebuah jurang.
Kejadian tadi pagi yang menyerupai mimpi, kembali terpikirkan olehku. Enam jam yang lalu, aku masih tertidur di kamar ku. Kini aku berdiri di tengah-tengah jalan menerobos hujan yang semakin lama semakin deras, mengejar pria bermantel hitam yang aku tidak pernah tahu nama dan wajahnya. Mengejarnya. Seorang diri. Aku terperangkap dalam permainannya, pikirku.
Aku melenggang jalan ke gang sempit dengan batu kerikil di mana-mana. Semakin masuk- sebuah pintu kecil terbuka, aku melangkahkan kakiku memasuki ruangan raksasa dengan penerangan seadanya. Suram dan sepi. Aku harus kembali, erangku menyalahkan diri sendiri.
Ketika aku berbalik, dari kegelapan di depan sana muncul seseorang menuruni tangga. Lelaki itu bertubuh tinggi gempal dan berkulit putih agak sedikit kecoklatan ketika ia melewati lampu sorot di samping tangga, rupanya nyaris menyerupai model tampan dengan mengenakan kemeja hitam berlengan panjang yang digulung hingga siku-siku, serta kaos merah didalamnya.
ia melepas mantel hitamnya, gumamku.
Dia berjalan ke arahku.
“Bicaralah.” Perintah suara itu, suaranya sopan, ramah. Namun ada ancaman di dalamnya.
Dan tiba-tiba aku tersadar. Nyaliku hilang.
Pria itu tersenyum lelah. “Aku memilih waktu yang tidak pas ya?” matanya yang gelap menggodaku dengan penuh hasrat. Irisnya hitam gelap, nuansa merah di pinggirnya mengintimidasiku. Dendam. “Maafkan hal itu Nara, tapi tidakkah lebih baik kalau aku memberimu kejutan seperti ini sesekali?”
Ia melangkah lebih dekat. Berdiri beberapa meter dariku, tangan di selipkan di saku celana, menatapku dengan sorot kecewa. Tak ada ciri-ciri pria brengsek pada wajah atau tubuhnya. asalkan jangan membiarkannya bicara. Wajah atau tubuhnya. tampan luar biasa. Ia mempunyai wajah bak malaikat, namun dapat berubah menjadi iblis sekejap kedipan mata. Tampan sekaligus mengerikan.
“Sepertinya begitu.” Suaraku terucap lebih pelan dari pada yang ku niatkan. Aku menyibak rambut basahku dan mendeham. “Kau yang memberikanku ini?” ku keluarkan amplop putih itu.
“Kau mempercayainya?” ia bertanya, dan bagiku ia seperti berusaha menilai pendapatku.
Aku bergerak-gerak gelisah.
“Ya,” aku menjawab. Suaraku meyakinkan.
“Kau tidak terdengar takut meskipun aku yang telah mengirimimu sebuah surat.”
“Memang tidak.” Suaraku tiba-tiba meninggi, memicu adrenalinku. Aku mulai pusing.
“Kurasa kau akan membutuhkan bantuan.” Ia seperti berharap-harap.
“Tidak, kurasa tidak.”
“Benarkah?”
“Mungkin, aku tidak tahu.” Aku seperti orang tolol bisa berkomunikasi dengan pembunuh yang sopan ini. “Seseorang pasti melihatku kemari.”
“Mungkin. Dan menurutmu mereka akan datang kemari?” suaranya sedikit mengintimidasi sekarang. Nada sinis mewarnai nada bicaranya yang sopan.
“Kuharap begitu.”
“Hmmm... well, mungkin saja.” ia menggigit bibir bawahnya. “Nara, sebenarnya aku tidak berniat untuk menakut-nakutimu, tapi aku sangat ingin mengatakannya sekarang.” Ia merunduk, memainkan batu kerikil di bawah sepatu hitam yang di pakainya itu. “Kematian adalah motivasi yang kuat bukan?” ucapnya seperti berbisik.
Aku hampir tersedak dibuatnya.
Aku menunggu dalam diam.
“Ketika aku tidak menemukan jejak sebelas orang yang ia ciptakan. Aku menyuruh seseorang untuk mencari jejak ayahmu. Tak ada gunanya berlari mencari mereka ke seluruh dunia padahal aku bisa duduk santai dirumah. Jadi, setelah berbicara dengan orang itu, kuputuskan untuk pergi ke Seoul mengunjungi ayahmu. Ku dengar ia memiliki seorang putri. Awalnya, aku tak pernah menyangka ia akan memiliki seorang anak. Kemudian aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa? Aku menertawakan sebagian diriku yang lain.”
“Yeah, tapi tentu saja aku tidak yakin akan hal itu, itu hanya dugaan. Dan informasi semata, yang belum ku pastikan sendiri. Namun, setelah melihatmu.” Ia menggantungkan kalimat itu. “Mmm, aku biasanya mempunyai insting jika lawanku bertambah kuat, kau tahu, semacam intuisi yang biasa dimiliki wanita.”
“Aku mendengar pesan dari orang yang bekerja dengan ayahmu, mereka membicarakan suatu hal yang mustahil, tapi tentu saja aku tak yakin dengan rumor itu sebelum memastikannya sendiri. menemui ayahmu tentu sangat berguna, dan aku tahu bahwa rumor itu hanya lah sebuah rumor. Aku sudah memastikannya waktu itu. Tapi aku masih penasaran denganmu.”
“Kemudian kalian naik pesawat meninggalkan Seoul berpindah ke desa terpencil di Jeju. Orang lain mengawasi keluarga kalian untukku. Tentu saja, dalam sebuah tim dengan banyak pemeran, aku tidak mungkin bekerja sendirian. Jadi mereka memberikan informasi apa yang ku butuhkan, bahwa keluargamu telah pindah. Jauh dari padatnya kota Seoul.”
“Ketika aku mempersiapkan permainan. Beberapa bulan kemudian seseorang yang jauh lebih menarik datang mengunjungimu. Seseorang yang sama sulitnya untuk di cari. Sama seperti yang ayahmu lakukan, ia bersembunyi jauh dari Negara ini. dan hari itu, aku sudah sepenuhnya siap. Aku telah menemukan hal yang menarik. Kemudian tinggal sedikit gertakan saja.”
“Sangat mudah, kau tahu, menjebakmu sama seperti enam tahun yang lalu. Jadi begini, ku harap hari ini aku medapat jawaban yang pasti melalui dirimu.”
“Kematian adalah motivasi yang kuat.” Ucapnya seperti berbisik.
Aku menggigit bibir bawah dan hanya berdiri terdiam. Kurasakan tenggorokanku memanas dan bersamaan dengan itu bulir air hangat mengalir ke pipiku sebelum jatuh menyentuh bajuku yang sudah sepenuhnya basah.
“Apa ... yang kau lakukan dengan mereka?” suaraku parau.
Pria itu maju dan berputar mengelilingi tubuhku. “Kau lebih dekat dari pada yang kupikirkan ternyata.” Ia menyentuh ujung rambutku yang basah.
Muncul keheningan sejenak.
Mendadak perutku sakit. Aku serasa ingin muntah. Perih melanda bagian atas perutku lalu menjalar naik ke tenggorokan yang membuatku merasa mual.
Terdengar helaan nafas gembira.
“Nara, kau baik-baik saja?” Tanyanya. Suaranya sangat dekat, mengagetkanku. “Apa kau mau pingsan?”
Aku tidak perlu melihat bagaimana ekspresinya. Aku hanya diam. Aku ingin muntah. Dan mulai kurasakan tubuhku melemah.
Kumohon. Keluarkan saja aku dari sini, pikirku. Kalau perlu, aku akan merangkak.
==> *NEXT
synopsis bab 3 part 2^^
Sedetik kemudian dia mencekikku. Sebelum aku punya kesempatan, nafasku terputus. Kepanikan melandaku, menggelepar di dada. Aku berusaha menendangnya, menyikutnya. Berusaha membebaskan diri.
Namun, cengkramannya semakin erat menekan leherku yang rapuh. Kurasakan dingin menjalar disekitar tubuhku, tangan yang mencengkram leherku menjadi sangat dingin, membekukan urat nadiku. Kemudian sedetik kemudian ia melepaskan cengkramannya.
Tanganku mulai mati rasa, tidak lagi terasa sakit.
Aku akan mati.
***