Aku menyetir cepat melewati persimpangan. Ketika matahari mulai merangkak naik. Tak banyak yang kulihat, selain garis-garis putih di aspal dan terkadang rambu hijau besar yang mengarahkanku semakin ke timur. Kini aku terburu-buru.
Tapi aku tidak yakin mengapa aku terburu-buru. Kurasa untuk keluar dari semua teka-teki ini, keluar dari rasa bersalah, keluar dari rasa sakit, keluar dari rasa penasaran akibat semua kejadian aneh yang tak kunjung menemukan titik terang. Apakah itu berarti aku akan terus berurusan dengan hal itu? Aku tidak bisa memikirkan jawaban lain. Aku masih akan bertanya kepada mereka, tapi rasanya seakan keputusan telah di buat. Rasanya ketika aku memutuskan untuk menghubungi Chanyeol tiga jam yang lalu, di dalam kepalaku terus mengatakan aku tidak akan bisa lagi keluar dari masalah itu. Aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri.
Akan kucoba memahaminya.
Aku menyetir setengah buta di sepanjang jalan bebas hambatan sempit dua jalur. Hutan-hutan itu tampak lebih monoton dan mati dari pada sebelumnya—lebih menyeramkan-membosankan-lebih tidak berwarna.
Hari ini aku makan sedikit dan perutku bergemuruh ketika menyadari hal itu.
Chanyeol akan menungguku di suatu tempat. Lalu perutku bergolak, sejenak rasa lapar di gantikan perasaan mual. Otomatis kakiku terangkat dari pedal gas.
Ku gertakan gigi dengan frustasi.
Ku periksa GPS di depan. Aku akan segera tiba di tempat pemberhentian kecil, di tempat bernama Geumdae-ri. Mungkin aku akan berhenti untuk menyantap sesuatu di sana. Menunda pertemuan dengan Chanyeol selama beberapa saat.
Jangan bertingkah seperti criminal, saran otakku.
Aku menyetir sedikit lebih cepat, bertanya-tanya apakah tempat seperti itu aman bagiku. Apakah aku melakukan hal yang benar kali ini?.
Pohon-pohon mulai jarang, diganti perbukitan rendah berbatu-batu—dan pemukiman penduduk yang semakin sering. Aku bisa melihat tempat pemberhentian kecil dengan toko sederhana dan restoran kecil yang salah satu sisinya di batasi lapangan hijau— ku parkirkan mobilku disana.
Sekarang bagaimana? Pikirku bertanya-tanya. Berhenti untuk makan siang larut atau makan malam kepagian? Mengisi tangki bensin, lalu meneruskan perjalanan ke belokan depan untuk mengungkapkan semua rahasia itu?
Pikiran itu begitu memuakkan, sehingga rahangku terkatup menahan perut kosongku yang tiba-tiba bergejolak. Ku buka pintu lalu berjalan menuju restoran dengan pilihan menu yang sedikit itu. Aku menarik napas pelan. Sebaiknya aku mengisi perutku dulu sebelum bertarung. Entah bertarung dengan apa nanti, yang jelas otakku akan 100% di gunakan disana, di gunakan untuk menerima hal-hal yang sekarang belum bisa di terima otakku secara terbuka.
Telapak tanganku terasa dingin di balik lapisan sweter putih, walaupun ruangan itu cukup hangat. Jendela lebar memasukkan terlalu banyak udara musim dingin, sehingga tak sanggup menyeimbangi penghangat ruangannya.
Yang mana?, pikirku ketika maju memilih menunya.
Yang berkuah akan lebih enak. Bisik seseorang dalam benakku.
Lonceng yang tergantung di pintu masuk bergemerincing, mengumumkan kedatangan pengunjung lain ke restoran kecil itu. Aku terkejut. Disanalah empat pria berumur sekitar dua puluh-an masuk, tenggorokanku tercekat ketika aku pertama kali melihat mereka. Aku mengenali dua diantaranya. Yang benar saja! batinku. Yang tiga langsung duduk di sudut restoran, sejauh mungkin dari pintu masuk.
“Perlu bantuan?” tawar seseorang di depanku. Aku menggigit bibir. Bisa kudengan Siwon menyemangati dengan kalimat favoritnya, “Ayolah Nara, jangan jadi pengecut.” Aku menegakkan bahu. Toh, tidak ada yang salah denganku.
Helaan napasnya terdengar berat dan dia sangat dekat denganku, lenganku hampir bersentuhan dengan tubuhnya, dan aku menatap dada bidang dan kulit putih kecoklatan. Baju tanpa lengan di musim dingin. Kuturunkan pandanganku dan napasku bisa di bilang......tersekat.
Perutnya rata. Sempurna. menurutku, itu bukan jenis perut yang akan di miliki cowok seumurannya. Dari pengamatanku, dia masih seperti tujuh belas tahun.
Aku tidak bisa bicara.
Aku hanya menatapnya.
Akhirnya ku angkat pandanganku lagi, dan aku melihatnya tersenyum—bulu matanya gelap-tebal yang membingkai tulang pipinya. Aku penasaran dengan warna matanya.
“Halo?” katanya lagi, “Nara?” suaranya berat dan lembut, bulumatanya terangkat, mengungkapkan bola mata yang hitam-jernih, tapi agak sedikit kecoklatan. Aku menarik napas panjang dan mundur selangkah. Rasa kaget bercampur-campur membuat wajahku memanas.
Dia bersikap ramah, ujarku mengingatkan.
Tarik napas Nara, Chanyeol tidak akan memakanmu. Suara pria di kepalaku mengingatkan lagi.
“Ku pesan menu nomor dua-lima porsi, bisa di antarkan ke meja di ujung sana bibi?” ia memesannya untuk kami. Yeah! Kami.
Rasanya aku mau mati saja, desakku.
Jangan konyol Nara, kau tahu bagaimana susahnya mempertahankan nyawamu?. Jawab pria di otakku.
“Aku.....”
“Aku tahu,” katanya lagi. Satu tangannya mencoba merangkul pundakku. Hawa panas memancar dari tubuhnya.
“Aku senang melihatmu baik-baik saja.” tangannya terulur dan meraih tanganku, menarikku lebih dekat. Tahu-tahu saja, aku sudah menempel di dadanya yang hangat dan lengannya merangkul pinggangku.
Aku ingin menanggapi sikapnya, tapi tidak bisa. Kulit kami bersentuhan langsung. Darahku mengalir terlalu cepat.
Setelah itu ia melepaskan rangkulannya di pinggangku dan melangkah mundur.
“Aku Chanyeol.” Suaranya merdu dan tenang. Wajahnya memesona tampak bersahabat, senyum tipis mengembang di bibirnya yang sempurna.
Sekarang ia sangat sopan. Aku harus bicara; ia menunggu. Tapi aku tak bisa mengatakan apapun yang wajar.
“B-bagaimana kau bisa disini?” tanyaku terbata-bata.
Ia tertawa lembut, tawa yang menyenangkan.
“Kai yang memberitahu,” sudah ku duga jawabannya akan seperti itu.
Aku memandangi tiga pria yang duduk di sudut ruangan itu. Mereka bicara satu sama lain, dari ketiganya-yang satu bertubuh tinggi sama seperti Chanyeol, dia Kai—rambutnya berubah menjadi merah bata-masih berantakan seperti terakhir kali bertemu. Yang lain lebih pendek dari Kai, lebih rapi. Badannya cukup berisi dan rambutnya hitam legam. Yang terakhir lebih kurus dengan rambut berwarna pirang keemasan-sedikit berantakan tapi lebih rapi dibandingkan Kai dan agak berantakan jika dibandingkan dengan pria yang satunya. Pria berrambut itam lebih pendiam dari pada yang dua lagi, kelihatannya memang Kai yang paling cerewet.
Aku memandangi mereka karena wajah mereka berbeda namun sangat mirip. Semuanya luar biasa, keindahan yang memancarkan ketenangan untuk pria berambut hitam. Wajah-wajah yang hanya bisa kau lihat di halaman majalah fashion.
“Maaf kan aku, baru muncul sekarang.” Wajahnya berubah—akspresi menyesal tergurat jelas disana.
“Tidak, tidak perlu.” Kataku ragu-ragu.
“Aku tidak pernah jauh darimu Nara, berulang kali aku mencoba untuk mengalihkan kau agar tidak mencariku lagi, tapi kau kenapa?” katanya, seolah-olah dia tidak dapat memahami alasannya. “Kenapa kau tidak menyerah?”
Aku meradang dan menengadah tapi memfokuskan pandanganku ke atas bahunya. “Aku—kau memaksaku melakukannya.” Kerongkonganku terasa kering. “Seseorang menolongku waktu itu. Dan aku tidak tahu siapa.” Jelasku putus asa.
“Kau dapat dengan mudah menganggapnya itu mimpi.”
“Tidak semudah yang kau kira,” aku sengaja memberi jeda. “Kemarin, aku tahu kau akan datang. Selama ini, sepertinya aku tahu ada seseorang, di belakangku—yang menjaga jarak, namun ia seperti tameng.” Aku jujur.
Chanyeol mengulum senyum.
Pipiku terasa panas. “Namun aku tidak tahu kalian seperti apa.”
“Hmm,” kata Chanyeol, mengangguk-angguk.
“Kau harus memberiku penjelasan lebih banyak dari pada ini.”
“Tentu saja,” Chanyeol menghela nafas. “Luhan yang akan menjelaskannya nanti.”
“Siapa yang disamping Kai?” aku bertanya, sengaja mengalihkan topik. Belum siap mendengar penjelasan-penjelasan lebih lanjut.
“Disebelah kirinya Luhan, dan yang di kanan dia Lay.”
“Luhan? Jadi dia yang menyabotase privasiku?” cowok itu menyibak rambut bergelombangnya dari dahi. Dia melirik ke arahku.
Hai?, pikiran makhluk kecil yang seharusnya tidak melakukan itu lagi.
Sekali lagi aku terpaku, terpana. Mustahil. Bagaimana mungkin?
Baiklah. “Sepertinya aku ingin menendang tulang keringnya jika melakukan hal itu lagi.” Ku lihat Luhan tertawa di ujung sana.
“Yang benar saja!” teriakku kera-keras.
“Kau memang pemberani dan sulit di jinakkan Nara.” Ucap Chanyeol. Anehnya suara itu terdengar seperti menahan tawa.
Sebaiknya kita makan dulu, nak. Bisikan Luhan terasa tajam.
“Nak?” aku mengulangi, mataku membelalak. “Aku bukan anak-anak. Aku sudah 22, tahu.”
Oh ya?. Luhan mengerjap dari kejauhan. Kau seperti dua belas tahun atau lima belas. Oh, pacarku punya boneka yang mirip denganmu. Matanya besar dan bulat.
Aku mirip boneka? Boneka bermata bulat? Emosiku membuncah di dada dan naik ke tenggorokanku. “Barapa umur Luhan?” aku mulai berjalan ke arah mereka, tak mampu menahan untuk meninju wajahnya.
“Tiga tahun lebih tua dari kita.” Gumam Chanyeol.
Aku berhenti tiba-tiba. Mulai berbalik menghadap Chanyeol. “What?” aku berbicara tanpa mengeluarkan suara. “Dia lebih tua dariku?” aku seperti orang tolol bertingkah seperti itu di hadapan Chanyeol.
Chanyeol tersenyum lebar padaku. Ia mengangguk.
“Kenapa kau memberi informasi penting di akhir?” aku masih berbicara tanpa suara padanya.
Chanyeol nyengir dan menepuk-nepuk dahinya, “Maaf.”
Aku menggigit bibir. Chanyeol menunduk memandangku, matanya hitam kecoklatan tak di sangka-sangka menenangkanku “Aku tidak bakal tertawa.” Janjinya.
“Kau sudah tertawa.” Tukasku.
Ia menatapku, sorot matanya serius. “Haruskah aku yang memberinya pelajaran?”
“Trims,” gumamku. Lalu Chanyeol kembali membimbingku. Kami berjalan pelan menuju meja dengan tiga orang model cover majalah disana. kalian membuatku terlihat buruk.
“Hei,” sapa Kai akrab.
“Hai.”
Aku tidak bisa memikirkan perkataan lagi, Chanyeol membimbingku menuju kursi. diam. Meski beberapa detik sekali ia memandangku. Kami duduk berhadapan. Di depanku Luhan masih meringis geli. Pria di samping Kai, Lay? Ia tidak banyak bicara.
“Aku penasaran,” kataku sambil mengambil segelas air putih yang diberikan Chanyeol baru saja, “Kau tidak menyuruhku memanggilmu oppa kan, Luhan?”
Luhan menggeleng-gelengkan kepala, ia memandangku geram, dan sambil terus menatap mataku ia mengambil roti dari nampan, dan dengan sengaja menggigitnya besar-besar, cepat-cepat mengunyah, lalu menelannya. Aku mengamatinya dengan mata membelalak.
“Sebaiknya kau menuangkan air untuknya Kai, sebelum ia mati tersedak.” Kurasakan tubuhku bereaksi terhadap nada mengkritik itu.
Luhan tertawa, “Kurasa aku tidak terkejut.” Katanya.
Kai berdecak tiga kali. “Sepertinya kalian cukup akrab.” Ia tertawa keras-keras. Menertawakanku.
Aku melirik Kai. Melotot.
Kau kekanak-kanakkan. Luhan menyela lagi di kepalaku.
“Chanyeol?” panggilku. Aku menarik napas dalam-dalam kalau cowok ini berani berkata di dalam kepalaku satu kali lagi......Nada suaraku sudah seperti Baekhyun yang mengomel sewaktu aku sedang memainkan benda tajam. “Kau tidak bisa menghajarnya?”
“Luhan?” wajahnya yang luar biasa tampan kini mengerut.
Kulihat Luhan mengangguk. Ia menyeringai ke arahku.
“Kita tidak akan memakannya?” Lay menunjuk lima mangkuk sup yang masih mengepul. Bibi restoran pasti menaruhnya sewaktu aku sibuk bertengkar dengan Luhan. “Ku pikir sebaiknya makan sekarang.” Lanjutnya lagi, ia mendahului kami, memegang sumpit lalu makan lebih dulu.
Kami pun makan dengan tenang. Tidak ada percakapan serius. Hanya Kai terus menyeloteh tentang berbagai hal yang tidak aku mengerti.
“Boleh aku bergabung dengan kalian?”
**
==>NEXT
synopsis bab 7 part 4^^
Dia tampak mencolok seperti menara Eiffel di Paris. Yang lain tampak kusam jika di bandingkan dengannya. Rambutnya gelap, bergelombang dan lebih panjang dari rambutku— tergerai sampai ke pinggang. Tubuhnya tinggi semampai dan wajahnya yang nyaris sempurna tampak cukup lugu.
Cewek itu nyengir. “Aku pacar Luhan. Namaku Rosse.” Dia menarik kursi disebelah Luhan.
“Luhan?”
****