“Boleh aku bergabung dengan kalian?”
Karena terlalu berkonsentrasi dengaan makanan, aku terlonjak kaget saat mendengar suara perempuan yang lembut sehingga menumpahkan secangkir air putih ke lantai. “Sial.”
“Oh! Maafkan aku! Aku mengagetkanmu, ya? Aku sering begitu.” Cewek berkulit bening itu buru-buru mengelap air yang ku jatuhkan lalu mengembalikan cangkirnya ke meja. Dia mengambil segelas air baru dengan tangannya yang ramping. “Jangan menjatuhkannya lagi.”
Aku mengangkat pandangan dari tumpahan air yang menciprati bajuku dan tertegun sejenak. Dari kesan pertama yang ku dapat, cewek ini terlalu cantik untuk berdiri di restoran kecil sambil mengulurkan segelas air putih.
Dia tampak mencolok seperti menara Eiffel di Paris. Yang lain tampak kusam jika di bandingkan dengannya. Rambutnya gelap, bergelombang dan lebih panjang dari rambutku— tergerai sampai ke pinggang. Tubuhnya tinggi semampai dan wajahnya yang nyaris sempurna tampak cukup lugu.
Cewek itu nyengir. “Aku pacar Luhan. Namaku Rosse.” Dia menarik kursi disebelah Luhan.
“Luhan?”
Rosse merangkul pundak Luhan tersenyum geli ke arahku. “Cowok yang mencuri privasi kita.”
Jadi si berengsek Luhan punya pacar. Luhan—, Rose terlalu menarik untuk dirinya.
Luhan tertawa, suaranya ringan dan sedikit parau. “Kasar sekali, Barbie Nara.”
Aku melihat ke arahnya cepat. “Jangan pernah memanggil ku begitu.” Bentakku.
“Itu lebih baik dari pada memanggil seseorang berengsek, bukan?” dia mengelus tangan Rose yang kecil-bening. “Perkenalan yang menarik. Pastinya akan ku kenang selamanya.”
Oke. Cukup sudah. “Kau benar. Aku salah hanya menyebutmu berengsek.” Kataku sambil tersenyum sendiri. banyak yang bisa ku katakana dan lakukan, tapi aku tidak mau membuatnya senang karena melihat betapa marahnya diriku. Luhan hampir membuat urat sabarku putus dari tadi.
“Hebat.” Dia mengerjap.
Ku abaikan segala tingkah Luhan serta suara-suaranya yang makin sering di kepalaku.
“Omong-omong, kau kemari di jemput oleh Kai, Nara?” suara Rose bagaikan gemerincing lonceng di musim natal. Merdu dan selalu ada nada ceria-antusias di sana.
“Dia menolakku Rose.” Jawab Kai, “Dia membawa mobil putihnya kemari, menyetir tiga jam lebih.”
“Yang benar saja.” Rose menggeleng. “Seharusnya kau pergi bersama Kai saja Nara.” Aku menatapnya dengan tajam.
“Dia belum tahu sebanyak itu Rose.” Akhirnya Chanyeol bersuara. Dari tadi dia hanya diam di sampingku. Mengamati kami berdebat. Aku mendongak, ia duduk sangat dekat denganku, kursinya sengaja di arahkan menghadap padaku. Wajahnya memesona, senyum tipis mengembang lagi dibibirnya. Tapi matanya tampak hati-hati.
“Nara?” Lay memanggil namaku lembut. suara seseorang yang penuh kasih sayang. “Kau merasa baikan?” suara Lay selembut beludru meluncur bertanya keadaanku.
“Sebenarnya, aku merasa sedikit...... aneh.” Kataku, mataku tertuju kearahnya.
Aku menunduk, ku biarkan rambutku terurai manutupi wajah.
Aku mendengar sangat jelas ketika kursi di sebelahku bergesar, tapi mataku masih tertuju ke lantai. Jujur. Aku masih gelisah. Aku diam saja. perutku sedikit mulas ketika membayangkan wajah Kris.
“Ya ampun,” kata Rose, kemudian dia tertawa. Aku menatapnya tajam. Bayangan Kris di benakku mendadak buyar. “Maafkan aku. Bisakan kita pergi dari tempat ini? sekarang?” dia tiba-tiba bergerak-gerak dengan penuh semangat. “Aku ingin segera menunjukkan rumah kita ke Nara.” Ia melanjutkan, “Apa masih ada yang mau kau makan?” tanyanya kepadaku. “Aku sih sudah selesai. Sebenarnya aku datang Cuma mau menemuimu Nara.” Jemari Rose mengait di rambut panjangnya. “Kau benar tidak pernah melihatku Nara?” dia menatap kecewa ke arahku.
“Memang kita pernah bertemu?” sebelum aku sempat mengingatnya. Rose menyela.
“Di Rumah sakit?”
Alisku bertaut. “Hah?”
Rose menggeleng. “Kau tidak mengingat wajah perawat yang memberimu obat?”
Aku tahu. Ia menyuntikkan obat penenang padaku bukan obat mual. “Yang benar saja.”
“Omong-omong, aku senang bisa bertemu denganmu lagi disini!” serunya mengubah topik pembicaraan lagi.
“Apa yang kau suntikan waktu itu Rose?” aku bertanya, serius.
“Hmm... Lay?” ia mengalihkan pandangan ke Lay yang tengah asik makan. Ia belum selesai juga?.
Lay sedikit tersedak dengan pergantian topik yang tiba-tiba. “Obat penenang Nara, saat itu aku yakin kau masih sedikit kesakitan. Entah dibagian mana, aku hanya berjaga-jaga. Dan Obat yang aku berikan memberikan efek hangat pada tubuhmu.”
“Kau dokter Lay?” seruku bodoh.
“Yeah.. jika kau menganggapnya seperti itu aku senang.” Ia tersenyum.
Aku berusaha untuk mengikuti arus obrolan Rose. Sedari tadi dia terus memotong pembicaraanku dengan Lay. Meminta aku untuk memperhatikannya. Dengaan cepat, Rose berpindah dari satu topic ke topic lain.
“Seharusnya kau lihat betapa girangnya aku ketika Luhan mengijinkan aku menemuimu. Chanyeol bilang kita seumuran. Aku senang melihat kau baik-baik saja waktu itu Nara.” Aku menatap Rose. Dia tersenyum tulus. Mau tak mau aku nyengir saat berjuang mengikuti arus celotehannya yang tak ada habisnya, sementara kami selesai makan dan sedang menuju parkiran mobilku.
Biasanya bersama orang baru seperti itu selama lima menit saja sudah membuatku risih, tapi antusias di mata Rose dan caranya mengayunkan tumit boleh di bilang sedikit menular.
Aku melupakan kecemasan tanpa alasan itu cukup lama berkat Rose.
Chanyeol, ia berjalan dekat disisiku menuju mobil, masih berhati-hati denganku.
“Nara? Aku harus bersama Luhan.” Kulihat Rose tersenyum getir.
Tak lama mobil Porsche merah mengilap berhenti di belakang Rose.
“Yeah....” entah kenapa aku tidak senang berpisah dengannya.
Luhan membuka jendela. Aku maju mendekatinya, “Dengar baik-baik, ya.” Kataku “Aku hanya akan mengatakan ini sekali. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Rose, berani sumpah.....” aku berhenti. Menggigit bibir dan berusaha memasang tampang datar, tapi lagi-lagi aku tahu dia bisa menebak apa yang kupikirkan dari ekspresinya yang berubah. Luhan menyeringai sambil menatapku.
Sebaiknya kau yang menjaga tubuhmu, Nara.
Aku mengerjap. “Apa katamu?”
“Baiklah nyonya.”suaranya begitu pelan sampai-sampai aku tahu orang lain tak dapat mendengarnya.
Rose membuka pintu, lalu masuk dan melambaikan tangan ke arahku. Dengan gerakan cepat mobil itu menghilang di balik bukit.
“Nara? Kunci mobilmu?” suara Chanyeol tenang.
“Untuk apa?”
“Hmm.. kami tidak bisa membiarkanmu yang mengemudi.” Aku mengakui hal itu. Kuserahkan kunci dari saku belakang celana jinsku. Chanyeol menerimanya kemudian menyerahkan kunci ke Kai. Aku meliriknya.
“Kai ahli dalam mengemudi.” Jelas Chanyeol.
“Kau tidak keberatan jika aku duduk di depan Nara?” oh, Lay. Ia begitu sopan.
“Tentu tidak Lay.” Aku bersungguh-sungguh.
Canhyeol membukakan pintu untukku dan menunggu sampai aku masuk, lalu menutupnya dengan lembut. aku memerhatikan Kai dan Chanyeol memutar ke depan, masih mengagumi rupa mereka. Barangkali seharusnya aku sudah terbiasa dengan itu sekarang—tapi nyatanya belum. Otakku mengatakan tak seorang pun akan pernah terbiasa dengan rupa mereka.
Begitu mereka masuk ke mobil, Kai menyalakan mesin dan pemanas hingga maksimal. Udara dingin sekali. Meski begitu aku merasa sedikit terbantu dalam balutan jaket Chanyeol yang di berikannya di dalam tadi, aroma parfumnya aku suka.
“Kau tidak kedinginan?” aku bertanya ke Chanyeol, ia sedari tadi hanya memakai baju tanpa lengan. Aku tidak melihatnya merasa kedinginan apalagi menggigil.
Ia hanya menggeleng.
Kai mengeluarkan mobil dari lapangan hijau, sepertinya tanpa melirik, berputar menuju jalan beraspal.
Aku menghela napas. Chanyeol sepertinya mendengar dan ia menunduk penasaran.
Aku duduk diam, kepalaku sedikit pening, pikiranku campur aduk. Tanganku terlipat di pangkuan, dan aku bersandar lemah di kursi penumpang.
“Nara?” lay memanggilku lembut.
Aku mendongak, mencai matanya yang bening. “Hmm?”
“Lebih sering merasa demam? Atau kedinginan?” tanyanya langsung.
Aku berpikir, kemudian menjawab. “Ini musim dingin, tentu aku lebih sering kedinginan Lay.” Aku mengelak untuk menjawab yang sebenarnya. Aku pun tidak yakin aku merasa yang mana.
“Benarkah?” tanyanya tidak percaya. Pandangannya bergeser sedikit, melirik kearah Chanyeol. Matanya menyipit. Aku menoleh Chanyeol dan melihatnya mamandang cemas ke arahku.
“Apa?” desakku.
Ia kembali menatap Lay.
“Bagaimana kepalamu?” Tanya Lay polos.
Wajah ku berubah agak kecewa. “Baik-baik saja.” aku berbohong lagi. “Jangan khawatir soal itu.” Sahutku. “Boleh aku bertanya?” ketika Kai memacu mobilnya cepat sekali di jalan yang sepi. Sepertinya Kai memang ahli.
Chayeol menghela napas.
“Satu saja,” katanya menyetujui. Bibirnya rapat membentuk ekspresi hati-hati.
“Hmm... katamu Kai tahu aku berhenti di restoran. Aku hanya bertanya-tanya bagaimana ia melakukannya?” aku berhenti sejenak, mengingat-ingat. “Tidak ada mobil yang mengikutiku dari belakang ataupun depan tadi.”
Chanyeol berpaling, menendang jok kemudi.
“Ku pikir kita telah melewati pertanyaan itu, Nara.” Gerutu Kai.
Lay tersenyum.
“Baiklah kalau begitu, aku memang mengikutimu.” Kai memandang jalan, memberi waktu untuk mengatur reaksiku.
“Kau membuntutiku?” aku tak bisa memikirkan reaksi yang tepat untuk menanggapinya.
“Secara logika mungkin, secara tekhnis tidak.” Aku mencoba berkonsentrasi lagi.
“Bagaimana caranya—mengikutiku? Apakah Lay dan Chanyeol juga bisa?” aku merasa konyol, meminta penjelasan atas sesuatu yang tidak nyata.
“Itu lebih dari satu pertanyaan.” Protes Chanyeol. Aku hanya menjalin jari-jariku dan menatapnya.
Ia menatapku, sorot matanya misterius.
“Tidak, hanya Kai yang bisa.” Lay menjawabnya untuk ku.
Aku belum siap menerima penjelasan semuanya. Tapi aku tetap ingi tahu.
Aku menghela napas. Aku memalingkan wajah keluar jendela, mencoba berpikir. Kebetulan aku melihat pohon-pohon di luar seperti garis puti-hitam tidak beraturan.
“Kai!” seruku.
**
==>NEXT
synopsis bab 7 part 5^^
Chanyeol menyentuh ujung jemariku. Aku ingin menariknya, tapi tidak bisa.
“Nara,” suaranya tegas. Jantungku jungkir balik di buatnya.
“Apa lagi kemampuan yang kalian miliki?”
“Kita membahasnya nanti setelah sampai, oke?” Chanyeol berubah lembut lagi.
“Tidak, aku ingin tahu sekarang. Kau..... kau berhutang hal itu padaku.”
Chanyeol menarikku kesisinya. “Diamlah.” Katanya sebelum aku sempat menarik diri.
****