Wonbyul lupa jika ia juga akan pasti bertemu orang lama. Tapi sulit dipercaya jika itu adalah orang yang sangat lama.
Hari ini adalah hari pertama Wonbyul di kampus barunya. Ia adalah mahasiswi pindahan dari New Zealand. Negara yang terkenal dengan domba tersebut benar-benar sudah membuatnya bosan. Ia ingin mencari suasana baru dan membuat cerita baru. Tapi ia bingung bagaimana harus memulainya.
Detik ini ia harus memperkenalkan dirinya di depan semua mahasiswa dan mahasiswi yang semuanya sangat asing. Hampir rata-rata mereka semua berambut panjang alias wanita yang cantik-cantik. Tangannya basah penuh keringat tapi tubuhnya sangat dingin. Cemas, tentu saja. Ketika cemas itu datang ia ingin berlari ke kamar kecil, gejala cemas membuat perutnya sakit.
"Annyeonghaseyo," ia membungkukkan tubuhnya rendah-rendah, lalu kembali berdiri tegak. "Nae Ireumeun, Kim Wonbyul imnida. Kalian bisa memanggilku Wonbyul atau Byul saja. Kepribadianku biasa saja, tidak ada yang istimewa dariku."
"Kalau kami boleh tahu, sebelumnya kau darimana?"
"Ye? Jeoyo? Ah," Wonbyul sedikit ragu, namun ia harus mengatakannya. "New Zealand."
"Wow, daebak, kau pasti sangat mahir berbahasa Inggris?"
"Aniyo." sahutnya cepat. "Ini harus ku jelaskan dari sekarang. Meskipun aku bertahun-tahun tinggal di sana. Sedikitpun aku tidak mahir berbahasa Inggris. Semoga kita bisa berteman dengan baik" ia kembali membungkukkan tubuhnya.
“Cih. Bagaimana kau bisa hidup seperti itu?” seorang gadis yang bertanya kepadanya itu, bertopang dagu lalu melanjutkan. “Bertahun-tahun tinggal di sana tapi benar-benar tidak bisa berbahasa Inggris. Bagaimana kau berbaur dengan teman-temanmu dan juga dengan semua mata pelajaranmu. Apa selama ini kau berteman dengan domba?"
Karena perkataan gadis itu, Wonbyul menjadi bahan tertawa para mahasiswa dan mahasiswi di kelas barunya itu. dan hampir terdengar semua adalah gelak tawa kaum hawa.
"Apa itu terlalu penting?” tanya Wonbyul kepada gadis berambut panjang berwarna coklat gelap, berkulit putih, dan memiliki wajah yang sangat cantik itu, sambil menaikan sebelah alisnya.
Wonbyul memang mahasiswi baru, tapi bukan berarti ia bisa ditindas. Pasrah tidak ada dalam kamusnya.
Gadis itu mendengus dan tersenyum ke arah Wonbyul seakan merendahkan Wonbyul. "Aniya, selamat bergabung di kelas kami,"
Wonbyul kembali ke bangkunya yang berada di pojok paling ujung di dekat jendela. Seorang gadis, teman sebangkunya langsung menyambutnya ramah.
** Starlight Becomes You **
Kelas pertama berakhir dan Wonbyul segera meninggalkan kelas. Ketika ia sedang menikmati semilir angin yang mengembus wajahnya dengan lembut, seseorang menawarkan camilan ke arahnya.
Pertama-tama, Wonbyul melihat camilan itu karena kaget. Kedua ia melirik pemilik camilan itu.
Saat itu ia mendapatkan seorang gadis dengan rambut dikuncir seperti ekor kuda sudah tersenyum kepadanya. Ia sangat dikenal Wonbyul adalah seorang gadis berdarah Jepang-Korea.
Yamada Aoko, gadis periang yang cantik dan ramah, namun juga ceroboh. Itulah yang diketahui Wonbyul setelah beberapa jam berkenalan dengannya. Tapi hanya Aoko yang sedia mendekatinya di kelas, Aoko yang sedia membantunya. Dan dia harus terima kenyataan bahwa Aoko lebih tua dua tahun darinya. Dialah teman sebangku Wonbyul.
"Terimakasih, Oneesan," Wonbyul mengambil beberapa bagian dan ikut memakannya. Mereka berdiri di tengah-tengah salah satu jendela besar, menatap halaman kampus yang ramai di lewati penghuni kampus itu.
"Ah, jinjja. Bisakah memanggilku eonni saja, Byul!? Percayalah. Meskipun namaku sangat Jepang, demi Tuhan aku lebih pandai berbahasa Korea. Jangan memanggilku Oneesan lagi, kau bisa memanggilku eonni, atau tidak Aoko saja. Jika seperti ini, aku menyesal mengungkapkan identitasku."
"Hahaha, aratsseo, aku hanya senang menggodamu saja, eonni."
Aoko ikut tersenyum sambil memicingkan matanya. "Apa kau masih tegang?" tanyanya, yang kembali sibuk mengunyah camilannya.
Wonbyul hanya mengangguk kecil. Berbohong jika ia harus mengatakan tidak cemas saat menjalani hari-hari pertama di kampusnya. Sedari tadi ia merasa seperti orang yang hina. Dilirik dan dibicarakan. Meskipun ia tidak tahu apa yang dibicarakan mereka, tapi ia berani bersumpah jika mereka membicarakannya. Keahliannya adalah membaca gerak-gerik tubuh seseorang.
"Jangan pernah pedulikan mereka, aku juga awalnya seperti itu. Apalagi jika aku adalah wanita tertua di kelas kita. Kau tahu, itu benar-benar sangat butuh kesabaran yang ekstra. Toh sekarang buktinya aku bisa menjalani semuanya. Kau hanya perlu mengabaikan semuanya."
Wonbyul menoleh dan tersenyum ke arah Aoko. "Gomawoyo, Eonni. Kenapa eonni terlambat melanjutkan belajar eonni?"
"Karena sewaktu di tingkat sekolah menengah pertama. Aku sakit, dan aku harus beristirahat selama dua tahun.”
“Apa itu parah.”
“Tidak. Oh ya. Aku suka ketika melihatmu berani menjawab Suzy. Mungkin kau adalah orang pertama." Aoko mengancungkan jempolnya."
"Ne? Apa dia sangat berkuasa?"
"Tidak, hanya saja, karena kepopulerannya di kalangan pria, tidak ada yang berani atau bisa melawannya."
Wonbyul mengangguk-angguk kecil.
"Oh ya, ada hal yang benar-benar membuatku penasaran,"
"Apa?" Wonbyul menoleh sekilas, lalu bertopang dagu.
"Kau boleh untuk menjawabnya dan boleh tidak. Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Suzy,”
“Uhm?”
“Bagaimana mungkin kau tidak bisa berbahasa Inggris, apa itu tidak menyulitkanmu?" Aoko melayangkan tangannya ke udara. "Aku tahu pertanyaan itu sangat sensitif," lalu ia kembali memasukkan camilan ke dalam mulut.
"Ck, aku tidak pernah merasa kesulitan tentang itu. Aku memahaminya dari gerak tubuh mereka, dan aku sangat pandai membaca gerak-gerik tubuh seseorang. Jadi eonni berhati-hatilah,"
"Cih, kau mengancamku!" Aoko kembali mengunyah camilannya. "Tapi bukankah akan lebih bagus jika kau mempelajarinya sedikit!"
"Sejak umur enam tahun, aku diajarkan Ibu dan kakakku untuk mempelajari bahasa Inggris, tapi aku tidak mau belajar bahasa Inggris karena aku tidak suka New Zealand atau bahasa asing selain Jepang dan Korea. Ada satu alasan kenapa tidak bisa aku katakan. Sebut saja Aku terlalu cinta Korea. Ibuku bahkan asisten rumah tangga kami di sana juga tidak ada yang berbahasa Inggris. Yah, meskipun aku tahu mereka semua pandai. Keseharian kami menggunakan bahasa Korea. Dan aku sama sekali tidak tertarik bahkan tidak ingin tahu bahasa Inggris. Jika kalian ingin bertanya lagi bagaimana mungkin bisa, ya tentu saja bisa. Selama di sekolah aku tidak mempunyai teman. Ada seorang gadis yang membantuku di sana, dan kupikir aku hanya membutuhkannya untuk menjadi temanku. Daripada bahasa Inggris, aku lebih menyukai bahasa domba, dan aku juga sangat mengerti domba. Disaat mereka mengadu lapar dan mengantuk aku sangat mengetahui itu."
Aoko tersedak ketika mendengar penjelasan Wonbyul yang terakhir. "Ye? Hya, Neo! Jinjjayo?"
"Hahaha. Wae? Jinjjayo, aku tidak berbohong, sungguh, temanku di sana ya para domba di belakang rumah kami. Apa yang dikatakan.. Su.. Su.." Wonbyul berpikir sejenak mengafal nama teman di kelasnya.
"Suzy, Bae Suzy"
"Ah, Suzy, apa yang dikatakannya memang benar, aku hanya berbicara dengan para domba,"
"Heol! Daebak. Kau lebih aneh dariku, Byul." Aoko ikut menopang siku dan kembali menyantap camilannya.
"Hahaha, eonni adalah orang ketiga yang mengetahui ini. Jadi kau harus menjaga keanehan ini. Aku tidak mau tahu, eonni harus menjaganya,"
"Ye?" Aoko membulatkan kedua matanya dengan sempurna. "Kita baru kenal lima jam yang lalu, Byul. Kenapa kau langsung memberiku tanggung jawab seperti ini?" tanya Aoko frustasi.
"Karena ada satu hal dari diri eonni yang membuat aku percaya kepada eonni, hehe," jawab Wonbyul mantap.
"Mwo?" tanya Aoko lagi.
“Entahlah, tapi yang jelas, eonni adalah orang yang membuatku nyaman setelah Ibu dan saudaraku.”
Aoko tersenyum haru sambil menangkup kedua pipinya.
“Aku akui, aku orang yang sangat susah berinteraksi atau mengakrabkan diri dengan seseorang. Karena aku sudah terbiasa menyendiri.”
“Jinjja?”
“Hmm,”
Pada saat itu, dari sudut ekor matanya, Wonbyul menangkap beberapa gerombolan mahasiswi berlari mengerubungi tangga bahkan dari arah merekapun langsung berlari. Rasa penasarannya terbit. Ia melirik Aoko sebentar. Ia melihat Aoko menggeleng sambil mengangkat kedua bahunya. Ketika ia ingin ikut melihat, Aoko langsung menahan pergelangan tangannya.
"Kau bisa melihatnya dari sini,"
"Oh?" Wonbyul mengerjap dua kali ke arah Aoko, kemudian ia kembali melihat ke arah tangga. Saat itu ia melihat tiga orang pria berjalan digerubungi oleh gadis-gadis yang berlarian melewati mereka tadi.
Ige mwoya?
Aoko melipat kedua tangan di bawah dada lalu berkata seakan tahu apa yang di batin Wonbyul.
"Bukan hal yang mengherankan lagi bila tiba-tiba suasana menjadi begitu hidup dan heboh," Aoko melirik Wonbyul yang masih memasang wajah herannya.
"Semua mahasiswi berlomba untuk membuat interaksi kepada mereka. Namun tidak ada yang berhasil. Mereka harus puas hanya dengan mendapatkan senyuman dari ketiganya."
"Apa mereka sepopuler itu?" tanya Wonbyul lagi.
"Sangat," sahut Aoko. "Sangat populer, karena mereka membawa nama baik kampus dengan kemenangan mereka mengikuti lomba festival band di London."
"Band?" Wonbyul menoleh ke arah Aoko. "Apa mereka bermain Band?"
"Oh, yang tinggi berdiri di tengah, dia Kang Younghyun sangat seksi ketika memainkan Bass-nya,"
Aku tahu namanya. Bahkan sangat tahu. Karena aku sudah menulis nama itu di hatiku. Apa? Byul, Tidak. Kau bergurau?
"Lalu yang berdiri di sebelah kirinya itu Kim Wonpil memegang Keyboard. Sangat menawan ketika jari-jemarinya menari di atas tuts" lanjut Aoko. Tapi lagi-lagi Wonbyul membatin.
Dia lebih kukenal dari siapapun. Si tukang tidur dan kakak yang sangat protektif. Semua tentang dirinya. Kecuali ini. Menjadi laki-laki yang populer di kampus. Oh, Wonpil kau membuatku bangga sekaligus geli.
"Terakhir, Park Sungjin laki-laki bersuara emas yang sangat mengagumkan ketika ia bermain gitar. Mereka semua sangat tampan. Tidak dipungkiri cukup menarik dan berkharisma."
Sungjin? Aku tidak mengenalnya. Wonpil belum pernah memperkenalkannya padaku.
Wonbyul bertopang dagu dan menatap Wonpil, Younghyun dan teman satunya lagi sedang tersenyum, dan berusaha melewati para kaum hawa yang mengerubungi mereka. Dan ia sangat merasa geli ketika melihat kakak-kakaknya itu memasang wajah cool mereka.
"Apa eonni juga tertarik dengan mereka?"
"Tidak," sahut Aoko tegas dan mantap.
"Wae? Bukankah eonni bilang mereka menarik dan berkharisma? Normalnya, bukankah juga eonni harus tertarik?"
"Hehe," Aoko menyeruakkan senyum manisnya. "Karena ada yang lebih menarik dan lebih berkharisma dari mereka."
"Nugu? Ah, apa begitu banyak mahasiswa yang populer di kampus ini?"
“Kau akan tahu dia siapa nanti. Tapi kuharap kau tidak akan tertarik dengannya juga,"
"Ckck. Baiklah." Wonbyul kembali melirik Younghyun dan Wonpil sekilas. "Kurasa kita harus pergi sekarang, mereka tidak boleh melihat kita."
"Hahaha, jangan terlalu berharap mereka akan melirik kita, Byul. Suzy yang tercantik dan populer saja masih tidak dilirik. Apalagi kita, yang sudah terlukis jelas sebagai gadis cupu," Aoko menggeleng.
Wonbyul tersenyum tipis. "Suzy mungkin populer. Tapi aku adalah gadis cupu yang sangat beruntung, eon. Kau juga akan menjadi beruntung. Kutanya satu hal, apa mereka sering melewati kelas perawat?"
"Nah itu," Aoko menyusuri rambutnya dan berpikir. "Aku juga tidak tahu kenapa mereka bisa berjalan-jalan ke kelas perawat."
Ck, jadi kalian sngaja ke kelas perawat hanya untuk menunjukkan jika kalian adalah laki-laki paling populer? Aigoo.
“Baiklah," Wonbyul menjetikkan jarinya. "Sebaiknya kita pergi sekarang,"
"Tunggu dulu,"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Aku punya firasat buruk ketika melihat mereka atau mereka melihat kita, aku akan membuktikannya nanti, tidak sekarang."
Belum sempat Aoko menanyakan maksud ucapannya, Wonbyul langsung menarik tangannya dan pergi menjauh dari keramaian yang mulai medekati mereka.
"Oh, Leah? Kau?"
Di tengah jalan Aoko dan Wonbyul berpapasan dengan Dowoon.
Sial
"Dowoon?" ucap Aoko.
"Ah, jinjja," Wonbyul menoleh ke belakang. Ia mendesah dan menggigit bibir.
Dowoon mengerjap-ngerjapkan mata dengan bingung. Tiba-tiba Wonbyul melakukan semua tanpa pikir panjang. Ia menarik lekukan siku Dowoon dan mengajak pria itu mengikutinya juga.
** Starlight Becomes You **
"Keanehan apalagi ini, Byul?" tanya Aoko ketika mereka bertiga sudah berada di bawah kelas perawat.
Mereka bertiga berjalan santai.
"Hahaha, tidak ada, aku hanya menyelamatkan diri."
“Menyelamatkan diri?” ulang Dowoon.
"Tunggu,” Aoko menghentikan langkahnya ketika mereka sedang menuruni anak tangga. “Apa kalian sudah saling kenal?"
Dowoon dan Wonbyul yang mengekorinya ikut berhenti, mereka duduk di tengah-tengah tangga. Dengan posisi Wonbyul duduk di tengah-tengah mereka dan sedikit tinggi.
"Tentu saja," sahut Dowoon. “Dia temanku waktu di sekolah menengah pertama.” Dowoon memutar tubuhnya agar bisa menatap Wonbyul. “Benar, bukan?”
"Kau pernah sekolah di Korea juga?" tanya Aoko lagi.
"Iya, tapi setelah di tingkat dua, dia kembali ke New Zealand," lagi-lagi Dowoon yang menjawab.
“Dan dia orang yang paling sedih ketika aku pergi, dan aku masih mengingat disaat kau menarik pergelangan tanganku dan berkata agar aku jangan pergi, dan kau akan berjanji akan menuruti apapun yang aku inginkan asalkan aku tidak pergi.” sambung Wonbyul.
"Leah–"
Wonbyul membekap mulut Dowoon dengan cepat. "Dan juga kau berjanji untuk tidak memanggilku Leah lagi. Dari dulu aku sudah pernah memberitahumu untuk tidak memanggilku Leah lagi." ia menarik tangannya dari mulut Dowoon dengan wajah tertekuk.
Dowoon melebarkan senyumannya. "Maaf, karena kurasa itu lebih singkat, dan sangat akrab ketika kau belum memutuskan untuk mengganti panggilanmu."
"Tapi Byul lebih singkat, Woon" sahut Wonbyul.
"Kurasa Leah juga cantik," sambung Aoko. Ia meletakan tangan di paha Wonbyul.
"Aniyo!” Wonbyul mendelik ke arah Aoko. “Jangan pernah memanggilku Leah. Aku sangat membenci nama itu. Aku juga tidak tahu kenapa aku bahkan ibuku begitu bodoh mau menerima nama itu dan memakainya selama lebih dari empat belas tahun."
Aoko merasa mendengar nada yang penuh kebencian di ujung suaranya. "Baiklah, kami tidak akan memanggilmu Leah, karena aku mengenalmu Wonbyul, Byul. Dan nama itu lebih sangat cantik. Seperti bintang yang berkilau dipadukan dengan cahaya bulan."
Tapi aku akan bertanya ‘kenapa’ nanti
"Joahaeyo, eonni." Wonbyul langsung menggenggam tangan Aoko..
"Nado joahaeyo."
"Heol! Apa kalian sedang mengabaikan eksistensiku?" tanya Dowoon sambil menyipitkan mata.
"Ckckck, aigoo" Wonbyul mengacak-acak rambut Dowoon. "Maafkan aku kejadian minggu lalu, disaat aku berbelanja di tempatmu bekerja. Aku menyesal jika membuatmu kecewa ketika aku menghindarimu dan sedikit melupakanmu. Disatu sisi, aku juga buru-buru. Karena Won..." Wonbyul tiba-tiba meringis sambil mengusap lehernya sambil melirik Aoko. Ia bersyukur jika Aoko tidak begitu mengamatinya.
Hampir saja
“Karena oppa sangat melarangku untuk berlama-lama di luar.”
“Tidak apa-apa. Tapi tunggu, apa kau bilang tadi sempat melupakanku?”
“Oh, Mian, Hhe.”
"Astaga, apa aku harus berbagi teman denganmu, Woon?" ringis Aoko kepada Dowoon.
"Omo, apa kalian juga berteman dekat."
“Dia yang mendekatiku,” sela Aoko malas. “Kau tahu, dia mengikutiku dari saat kami masuk sekolah menengah akhir. Dan hingga detik ini.”
“Ye?” Dowoon setengah mendengus dan setengah tertawa.
"Aku benar, bukan? Kutanya satu hal, kenapa kau berkeliaran di kelas perawat jika bukan ingin menemuiku. Kelas musik di bawah dan perawat di atas. Lalu tempat alat-alat musik juga ada di bawah, bahkan kantin masih sangat di bawah."
"Aku bukan ingin menemuimu, tapi aku ingin menemui Suzy,"
"Omo..omo.. Lagi-lagi menjual nama Suzy, akui saja jika memang ingin menemuiku. Karena Suzy tidak akan melirikmu."
Dowoon hanya berdecak lidah lalu merampas camilan Aoko.
"Dia memang seperti penguntit," sambung Wonbyul membuat Dowoon tersedak ketika sedang menelan camilan yang baru saja ia rebut dari Aoko.
"Mworago? Cih," Dowoon menggerutu tidak jelas. Tapi tiba-tiba. "Jaehyung sunbae," ucap Dowoon dengan lantang.
Aoko langsung berputar cepat menghadap ke bawah tangga. Tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara gelak tawa yang lepas. Ia menoleh ke arah Dowoon, di sana ia sudah mendapatkan Dowoon tertawa terbahak-bahak. Aoko pun menyadari jika laki-laki itu hanya mengelabuinya.
"Yoon Dowoon, neon jinjja," Aoko mengumpat kecil sambil menyipitkan matanya.
"Waeyo, eonni?" tanya Wonbyul bingung ketika melihat Aoko tiba-tiba kesal.
"Aniya,"
"Jaehyung, nuguyo?" tanya Wonbyul penasaran. Gadis ini memang suka penasaran.
Aoko menoleh ke arah Wonbyul dan sedikit mendongak. Tidak susah bagi Aoko untuk mendongakkan kepala lebih tinggi atau bangun dari duduknya. Dari balik bahu Wonbyul, yang ditanyakan berjalan yang hendak menuruni tangga yang sedang mereka duduki. Matanya tiba-tiba berbinar membuat Wonbyul semakin bingung. Dan tanpa sepengetahuannya, Dowoon tiba-tiba langsung memutar tubuh Wonbyul.
"Dia yang bernama Jaehyung." kata Dowoon sambil menunjuk ke arah Jaehyung. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti ketika ditunjuk oleh Dowoon.
Dengan sentakan cepat, Aoko menurunkan tangan Dowoon dan memukul kepala bagian belakang Dowoon dengan kuat hingga membuat laki-laki itu meringis kesakitan.
“Mwo haneun geoya?” ucap Aoko pelan. Geraham Aoko tiba-tiba mengeras.
Ia mengajak Wonbyul berdiri. Ia membungkukkan tubuhnya ke arah Jaehyung yang berdiri membatu kebingungan. Laki-laki itu membetulkan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Wonbyul ikut membungkukkan tubuhnya rendah-rendah. Lalu, Aoko menarik tangan Wonbyul untuk pergi dari sana. Sedangkan Dowoon sibuk mengusap kepala bagian belakangnya ditinggal begitu saja.
"Apa dia laki-laki yang lebih menarik dan berkharisma itu?" tanya Wonbyul ketika mereka sudah berada di tangga paling akhir.
Wonbyul berhasil mengunci mulut Aoko. Ia membuat Aoko tidak mampu berkata apapun. Ia berani bersumpah jika sekarang wajah Aoko memerah, tapi bukan seperti kepiting rebus, melainkan merah merona seperti di poles make up yang berlebihan.
Wonbyul tidak sengaja mendapatkan dirinya tertawa lepas. "Hya, eonni! Apa kau merasa perutmu seperti ada kupu-kupu?" goda Wonbyul.
"Ne?”
Wonbyul menyipitkan matanya.
“Hya, Neo!" Aoko mengangkat gepalan tangannya ke udara. Tapi Wonbyul segera berlari menjauh dari Aoko.
~TBC~