“Hanya akhir pekan?”
“Kau ingin lebih? Cih….”
Mendengar ada nada mengejek dari ucapan Hoon, Hana menatap nanar ke arah Hoon tapi Hoon tidak peduli. Tiga menit kedua orang itu dalam keheningan dan Hoon mulai kehilangan kesabarannya menunggu jawaban dari Hana. Hoon berdiri dan mulai membuka ikatan pada kimono putihnya. Hana terkejut dengan apa yang sedang ia lihat, pikirannya kembali dipenuhi dengan hal-hal negatif yang mungkin terjadi malam ini.
Hoon membuka Kimononya dan punggung putihnya terpampang di depan mata Hana yang membulat. Hana segera memalingkan wajahnya dan semu merah muda muncul dari pipi Hana, ia merasa efek alkohol masih menguasainya.
Hoon berbalik dan melihat Hana yang berpaling darinya berjalan mendekati Hana sambil memasang kemejanya namun belum ingin mengancingnya. Hana yang tahu bahwa Hoon mendekat semakin meremas jemarinya dan memejamkan matanya dengan kuat.
“Oi!!! Kau berpikiran mesum, huh? Apa kau benar-benar mau malam ini terjadi sesuatu? Atau jangan-jangan kau sudah membayangkan yang aneh-aneh?”
Hana langsung melotot mendengar tuduhan yang dilemparkan Hoon, wajahnya berpaling namun detik berikutnya ia terkejut mendapati wajah Hoon yang hanya beberapa senti dari wajahnya. Jantungnya tak berdetak dengan benar, ini pertama kali Hana merasakannya.
“Ternyata kau memang memikirkannya.”
Hoon menarik tubuhnya kembali berdiri sempurna dan tersenyum mengejek melihat sikap salah tingkah dari Hana. Melihat dirinya dipermainkan oleh Hoon, Hana berdiri dan melayangkan tamparan di pipi Hoon meninggalkan bekas kemerahan. Hana menarik kasar tasnya dari atas kasur dan berjalan menuju pintu lalu menghilang di balik pintu kamar meninggalkan Hoon yang masih berdiri di tempatnya.
“Ya-ya-ya! Kau mau kemana? Urusan kita belum selesai!”
Hana menghentikan langkahnya, ia berbalik dan menghunuskan tajam tatapannya langsung ke Hoon. “Akhir pekan dan semua selesai.”
Senyum kepuasan muncul dari sudut bibir Hoon yang tertarik ke atas. Tak peduli dengan Hana, Hoon menutup pintu kamarnya dan merebahkan dirinya di atas kasur sambil mengusap pipinya yang panas bekas tertampar Hana.
…
…
…
Di dalam taksi, Hana memikirkan kembali semua kejadian yang ia alami malam ini. Apakah hidupnya sesial ini hingga menyanggupi syarat dari direktur muda yang sangat arogan untuk menjadi pacar satu harinya? Hana memandangi layar ponselnya, foto dirinya bersama seorang pria yang terlihat tampan sekaligus cantik. Sesaat ia mengusap lembut gambar wajah sang pria dengan ujung telunjuknya lalu ia mengacak rambutnya karena kesal dengan keputusannya.
“Kau benar-benar bodoh, Min Hana!! Sangat bodoh!! Aaarrgghh….”
Supir taksi yang mengantarnya sampai harus beberapa kali melihatnya melalui kaca spion di dalam mobil hanya untuk memastikan ia tak membawa gadis mabuk atau gadis gila dini hari seperti ini. Sesekali Hana menarik semua kulit wajahnya ke bawah dengan telapak tangannya sambil melotot seperti baru saja menonton film horror.
“Permisi, nona. Apa kau baik-baik saja?”
Sadar akan kelakuannya, Hana kembali diam dan bersikap tenang. “Aku baik-baik saja, paman. Maaf mengganggumu.”
Turun dari taksi, Hana berjalan mengendap-endap masuk ke halaman rumah. Harusnya ia tak pulang ke rumah, sudah pukul empat pagi jika ia ketahuan oleh sang ibu maka ibunya tak akan membiarkannya tidur dengan tenang dan membuatnya kehilangan selera untuk tidur.
“Kau tidak boleh ketahuan jika ingin tidur, Hana-ssi.”
Hana berjalan menjinjit dengan menenteng sepatunya di tangan kiri, perlahan Hana membuka pintu rumahnya keadaan rumah yang gelap karena lampu sudah dipadamkan membuatnya sedikit meraba furniture yang ada di dalam rumahnya.
“Aack… Aackkk… Aiisshh, kenapa meja ini bisa ada di sini?”
Lutut kanannya menabrak kaki nakas yang ia sendiri tidak tahun nakas mana yang ia tabrak. Kemudian tubuhnya menegang mendengar bunyi pintu terbuka, ia merapatkan tubuhnya ke dinding agar tak ketahuan. Sekali ia mengintip, Hana sudah tahu itu adalah kakaknya yang berjalan sambil tidur menuju dapur. Melihat adanya peluang, Hana dengan tumit yang tak menyentuh lantai berjalan dengan cepat menghindari kakaknya.
Hana bernafas lega karena ia sampai di kamar dengan selamat. Tanpa berganti pakaian dan menaruh sepatu serta tasnya dengan sembarang, ia langsung merebahkan dirinya di atas kasur empuk dan nyaman miliknya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan melelapkan diri hingga ia tertidur.
“Apa tidurmu nyenyak, nona Min?”
Hana hanya mengulet sesaat lalu menarik selimut lebih tinggi untuk menyembunyikan dirinya dari udara dingin karena jendela kamar yang terbuka, tapi beberapa detik kemudian matanya membulat mendengar suara pria yang menyapanya.
‘Apa ibu sudah operasi pita suara untuk menakutiku?’ batinnya.
-sreett- selimut yang menyembunyikan Hana ditarik paksa hingga menyisakan wajahnya yang kini hanya beberapa senti dari wajah seorang pria yang ia kenali sebagai wajah Lee Seunghoon. Seketika Hana langsung mendorong tubuh Hoon menjauh lalu menarik kembali selimut untuk melindungi dirinya. bibirnya menggerutu kecil dengan kalimat makian yang ditujukan untuk Seunghoon.
“Gadis tengik! Bangunlah! Ibu memanggilmu untuk sarapan.”
“Eh…?”
Hana terkejut mendengar suara yang lebih familiar lagi di telinganya, ia mengintip dari balik selimutnya namun terlambat. Selimutnya sudah dilucuti lebih dulu oleh pria bertubuh jangkung dengan rambut perm miliknya yang menurut Hana gagal.
“Oppaa!! Kau tidak sopan!”
“Kau mabuk, aku akan bilang ke ibu. Hahaha.”
Pria jangkung itu berlari keluar kamar Hana dengan perasaan seperti memenangkan sebuah lotre, Hana menghela nafas panjang. Ia jadi enggan keluar dari kamar karena omelan ibunya akan lebih panjang dari mie panjang umur kesukaan mendiang ayahnya.
“Apa aku tadi bermimpi?” Lirihnya.
.
= W E D D I N G A F F A I R =
.
Hana berdiri di depan pintu yang akan menghubungkannya dengan ruangan tempat Hoon berada, ia sangat enggan menemui pria yang berhasil membuat dirinya menyetujui ide gila yang tidak pernah terpikir oleh dirinya sendiri sebelumnya jika saja ia tidak mendapat ancaman tambahan waktu lembur di akhir minggu.
-tok tok tok-
Hana membuka pintu ruangan perlahan dan mulai masuk ke dalam namun ia tak melihat Hoon ada di kursi kerjanya, matanya menjelajah ruangan yang tiga kali lebih besar dari kamarnya sesekali mengangguk setuju tentang interior ruang kerja Hoon yang tampak mewakili kearoganan Hoon.
“Kau sedang apa?”
Hana yang tengah menyeret dua jarinya di atas meja kaca panjang yang menempel dinding segera menarik tangannya, matanya membulat dan tubuhnya menegang mendengar suara yang menegurnya. Perlahan Hana membalikkan tubuhnya mendapati tubuh jangkung Hoon berdiri tepat di hadapannya.
Helaan nafas Hana terdengar panjang, ia merasa lega bukan pegawai lain yang memergokinya tapi juga helaan nafasnya karena melihat Hoon di hadapannya. Hoon yang melihat sikap Hana seperti itu, membuka map yang dipegangnya dan berjalan menuju meja kerjanya, ia duduk di pinggir meja sengaja tak berbicara apapun dan tak peduli dengan Hana yang hanya menatapnya.
“Kalau kau datang hanya untuk menatapku—“
“Pfft… Aku disuruh minta maaf padamu tapi kupikir aku tidak perlu minta maaf padamu lagi—“
“Kenapa?”
“Ya! Kita sudah sepakat lalu untuk apa lagi aku minta maaf?”
“Mana aku tahu.”
Hana mengepalkan tangannya karena sikap Hoon yang sangat arogan seperti ini, ia tak tahan berada satu ruangan dengan Hoon lebih lama karena menahan emosi. Hana mulai berjalan menuju pintu ruangan Hoon dan tak berminat untuk mengucapkan kata yang biasa pegawai sampaikan kepada atasannya.
“Kau mau kemana?”
“Err… Tentu saja kembali ke mejaku di lantai 3.”
“Tidak bisa. Aku akan mengenalkanmu dengan keluargaku dan hal apa yang harus kau lakukan agar ayahku tidak berpikir untuk memaksa kita menikah.”
ME-NI-KAH?
Keterkejutan Hana tergambar jelas di wajahnya, Hoon yang melihat itu mulai menutup map yang berada di tangannya. Ia menaruh map di atas meja dan mulai berdiri, berjalan menuju sofa panjang lalu duduk, Hoon mulai mengeluarkan beberapa lembar foto dari saku jas dan menjejerkannya di atas meja lalu memberi kode kepada Hana untuk duduk.
Tangan Hoon menunjuk ke foto pertama yang merupakan foto ayahnya, presdir Lee. Ia mulai mengenalkan Hana tentang kepribadian ayahnya termasuk menyebutkan hal-hal yang tidak disukai ayahnya, Hana memang memandang jejeran foto di atas meja tapi pikirannya terhenti di kata ‘menikah’ lalu dengan sisi kewanitaannya ia sudah menjabarkan semua pengertian menikah dari ia bangun di pagi hari sampai ia memejamkan mata dan itu membuatnya bergidik ngeri.
“Kau tidak memperhatikanku? Apa yang kau pikirkan? Tentang pernikahan?”
‘Bagaimana dia tahu apa yang aku pikirkan?’ batin Hana.
“Kita tidak akan menikah, fokus saja ke tugasmu untuk mengacaukan keinginan ayahku mendapatkan menantu.”
“Kenapa kau tidak mau menikah?”
Hana langsung menggigit bibirnya karena pertanyaan yang baru saja dilontarkannya, ia merasa salah menanyakan hal itu pada Hoon karena pasti Hoon tak akan mau menjawabnya. Hoon tak melanjutkan penjelasannya, ia justru berdiri setelah menyusun kembali semua foto keluarganya.
“Kau hanya perlu menjadi dirimu sendiri yang teledor dan spontan. Keluarlah.”
“Iissh… Aku hanya bertanya kenapa dia sampai marah?” lirih Hana sambil berjalan menuju pintu ruangan Hoon.
…
…
…
Hana melirik jam tangannya sesaat lalu mulai melihat ke arah pintu café, tidak ada tanda-tanda kedatangan Hoon padahal mereka sudah sepakat untuk bertemu jam 9 pagi hari ini. Ia menyesap kembali ice chocolate sambil menatap layar ponselnya, saat ini ia sedang membaca chat group teman-temannya yang membahas hal tidak penting seperti biasanya.
“Ayo pergi!”
Hana menatap pria yang mengajaknya pergi, Hoon tampak berbeda dari biasa yang ia lihat. Hoon mengenakan kaos lengan pendek bergaris merah dan putih dan denim biru dengan style robekan kecil di kedua lututnya, penampilan yang tidak biasa bagi Hana yang beberapa kali melihatnya dalam balutan jas khas orang kantoran.
Hana beranjak dan mengikuti Hoon yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Ia naik ke mobil dimana Hoon sudah menunggunya, selama perjalanan mereka tidak saling mengucapkan kata apapun karena larut dalam pikiran masing-masing.
Hari ini, Hoon akan mengenalkan Hana kepada keluarganya dan menjalankan sandiwara yang sudah disepakati bersama. Hana mulai melihat ujung perjalanan mereka, sebuah rumah bergaya tradisional namun masih tersentuh oleh modernisasi. Rumah keluarga Lee.
“Ingatlah, kau hanya perlu berbuat onar sedikit lalu semua akan selesai.”
Hana mencibir tentang peringatan dari Hoon, ia merasa dirinya bukan pembuat onar tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk membantu pria yang entah karena apa tak ingin menikah saat ini. Hana turun mengikuti Hoon, mereka berdua berjalan berdampingan sampai di pintu depan kediaman keluarga Lee.
Hoon meraih tangan Hana yang membuat gadis itu sedikit terkejut.
“It’s show time!” lirihnya.
= To be continued =