Aku pun memencet bel apartemennya. Serasa tepat di pusat jantungku ini diadakan pementasan recycle perkusi. Dap dip dup, terus saja berdegup kencang. Semakin lama langkah kakinya makin mendekati pintu… dan…
“Joon-a, annyeong?”
“Annyeong,” balasnya dengan senyum yang begitu lebar dengan lambaian cepat tangannya.
“Hmm… aku buatkan ini untukmu. Aku belajar dari Mama untuk bisa membuatnya sebaik mungkin dan aku juga…”
“Waahhh… Gwiyeowo. Gomawo!” Dia baru saja memotong ucapanku ingin cepat-cepat mengatakan terima kasih untuk benda kecil seperti ini. Gelang tangan bermotifkan batik yang aku buat dengan setulus hatiku namun ternyata lebih bermakna besar bagi Joon. Ini akan menjadi perkembangan besar dalam hubungan kami. Gelang ini akan menjadi ikatan yang kuat antara aku dan Joon yang sulit untuk dilepaskan. Benar, ikatan yang amat kuat antara aku dan Joon…
“Sampai kapan kamu akan memandangi gelang itu?” Tegur mama membuyarkan semua lamunan indahku. “Mamaaaaa!!!”.
“Sayang, tidak bisakah sedetik saja otakmu itu beralih ke tempat lain selain Joon!” omel mama yang berdiri tepat dihadapanku. Mata mama langsung beralih ke segelas susu yang sedari tadi belum sedikitpun berkurang. Aku cepat-cepat meminumnya dan kemudian aku melihat ke arah mama lagi untuk memastikan mama sudah melanjutkan menyiapkan nasi goreng untuk sarapan pagi.
“Mama Mama Mama… bagaimana kalau hari ini kita pergi ke tempat Joon. Bukannya Mama dan Eomonim mau ke Jakarta? Jadi, banyak yang harus dipersiapkan dan lagi…” belum selesai aku melanjutkannya mama sudah memotong ucapanku. “Tunggu! Apa? Eomonim? Sejak kapan kamu memanggil Soo Hee dengan panggilan Eomonim?”
“Sejak kemarin, sewaktu aku terluka di kening dan Eomonim yang mengobatinya,” terangku lugas. “Ha Naaa!!!” teriak mama mengagetkanku. Entah apa yang membuatnya berteriak sekeras itu.
“Berapa kali Mama bilang Joon tidak sedikitpun menyukaimu. Tapi karena sikapmu itu, lama-lama Soo Hee akan jadi sama gilanya denganmu!” gerutu mama dengan intensitas suara yang semakin menurun. “Mama, sekali ini saja…oh?” rayuku semanis mungkin.
“Iya benar. Sekali ini. Sudah berapa kali kamu meminta sekali ini? Pertama, kamu memaksa ikut ke Korea. Kedua, memaksa tinggal disini bahkan sekolah disini. Ketiga, meminta satu sekolah dengan Joon dan selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya lagi semua tentang Joon yang kamu minta,” terang mama panjang lebar kemudian menghela nafas panjang. Aku cepat-cepat beranjak dari kursi kemudian mendekati mama dan memeluknya dari belakang sebelum senjata andalan mama untuk memulangkanku ke Indonesia benar-benar terjadi.
Hanya dua tahun. Hanya dua tahun saja Mama.
“Mama, ayo kita ke tempat Joon. Oh?”
“Oh ya, Mama ingat sekarang,” tiba-tiba mama melepaskan pelukanku dan menatapku dengan mata yang berbinar-binar. “Kenapa kamu tidak menyibukkan diri lagi dengan twitter dan L? Mama rasa Mama akan lebih suka L daripada Joon,” lanjutnya.
L. Benar, sudah kurang dari satu tahun aku tidak lagi berhubungan dengannya. L, orang yang bisa membuat hidupku berwarna hanya dengan mendengar cerita-ceritanya. Orang yang sepertinya sudah sangat aku kenal walau aku hanya bertemu dengannya lewat twitter tanpa tahu seperti apa dia, apa dia benar-benar seumuran denganku, dan apa benar-benar dia ingin bertemu denganku? Karena sejak aku mengatakan aku akan pergi ke Korea, sejak itulah dia tidak lagi membalas mention dariku atau bahkan muncul untuk sekedar menyapaku. Dia benar-benar menghilang…
“Ha Na!” panggil mama menyadarkanku. “Aaah… molla molla molla. Mama dulu bilang jangan terlalu percaya dengan orang yang hanya aku kenal lewat internet. Bahkan Mama selalu marah kalau melihatku sepanjang hari menatap layar Handphone hanya untuk bertemu L, L dan L. Tapi kenapa sekarang Mama yang bersemangat?” aku pun geram. Entah kenapa mengingat L bisa membuatku sekesal ini.
“Ha Na, Mama hanya khawatir saat itu. Dulu Mama tidak ingin kamu akan kecewa nantinya. Sama halnya dengan sekarang.”
Aku pun menghela nafas. “Molla… dia adalah satu-satunya teman yang bisa membuatku tertawa seperti ayah dulu melakukannya. Ayolah Mama…kita pergi ke tempat Joon, Oh?”
Dan akhirnya mama menyerah. “Ah, benar-benar kau ini. Habiskan dulu susu itu dan cepat makan nasi gorengnya,” aku pun membalas dengan senyuman yang lebar.
*
Ting tong…ting tong… mama terus menekan bel pintu apartemen Joon. Mama terlihat kesal tapi aku yakin lain lagi yang akan terjadi nanti, mereka akan kembali ke kebiasaan awal mereka.
“Sita…” belum apa-apa eomonim sudah menyambut mama dengan ceria karena tahu kalau mama sedang kesal dengannya.
“Ya! apa-apaan kau ini? Kenapa kau menyuruhnya memanggilmu Eomonim!” omel mama dan eomonim hanya membalasnya dengan senyuman tanpa dosa. “Ayo cepat masuk!”
Aku pun melihat sekeliling dan tidak ada Joon disana. “Ha Na-ya, Joon ada di kamar,” terang eomonim menyadari aku mencari-cari sosok Joon. “Ne Eomonim!” jawabku dengan senyum yang otomatis mengembang.
“Oh Gwiyeowo,” ucap eomonim dan mama langsung menimpalinya “ah jincha, kalian benar-benar!” Emonim langsung mengalihkan pembicaraan, “ah matda, apa saja yang harus kita persiapkan untuk perjalanan kita nanti di Indonesia?”
*
“Joon!!!” aku pun membuka pintu kamarnya dan…”yaakkk! tidak bisakah kau mengetuk pintu!” teriak Joon yang ternyata sedang asyik membersihkan kamera kesayangannya. “Ah matda, mian,” aku langsung menutup pintu kamarnya lagi dan mengetuknya dari luar.
Satu kali… dua… tiga… dan empat kali sudah aku mengetuknya. Aku harusnya tahu dia tidak akan menjawab untuk mengijinkanku masuk. Aku pun membuka pintu kamarnya dan menjulurkan kepalaku. “Joon, kenapa kau tidak juga menyuruhku masuk?”
“Kalau aku tahu kau yang mengetuk pintu itu, buat apa aku membukakannya?” ucap Joon lirih masih dengan kesibukannya membersikan kamera yang rasanya ingin sekali aku cuci bersih dengan deterjen.
“Waeo?” aku mulai kesal dan memberanikan diri masuk ke kamar itu. Paling tidak dia tidak menyuruhku untuk keluar lagi. Aku langsung memberanikan diri untuk memberikan gelang bermotif batik yang aku buat kepadanya.
“Joon-a, igo. Aku membuatnya untukmu. Terimalah!” Dia menampik tanganku sampai gelang itu terjatuh, “sshiro!”. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Dia benar-benar sudah melewati batas. Rasanya magma di kepalaku ini sudah mendidih dan hampir keluar dari puncak kepalaku.
“Ya! Joon-a. Kau benar-benar…” aku merasakan mataku sudah mulai panas dan jangan sampai aku harus menangis dihadapannya.
“Geurae… aku tidak akan datang lagi menemuimu, apalagi datang ke kamarmu. Dan gelang itu tidak akan pernah aku berikan padamu!” aku meluapkan semua amarahku. Entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja tanpa bisa aku organisir. Entah sejak kapan kekesalan itu terkumpul dan tersimpan begitu rapi. Aku langsung mengambil gelang yang sudah tergeletak di lantai itu dan beranjak pergi.
“Jincha?” tanyanya sinis menghentikan langkahku. Aku langsung melihat ke arahnya yang ternyata sudah dulu menatapku dengan tajam. “Aku yakin besok dan besoknya lagi kau akan datang. Benar-benar membuatku gila,” lanjutnya.
Dia tidak pernah berubah. Aku langsung pergi dengan langkah yang sangat pelan kemudian menutup pintu kamarnya dari luar. Lagi-lagi dia membuatku menangis.
Terkadang kita harus menyerah dengan sesuatu yang sudah terlalu lama kita pertahankan. Memang awalnya sangat sulit tapi lebih sulit lagi jika kita semakin lama tenggelam dengan sesuatu yang kita sebut terbiasa.
Tapi kenapa aku tidak pernah bisa!
Aku masih terduduk di depan pintu kamarnya. Suara tawa mama dan eomonim masih bisa terdengar samar-samar. Aku langsung mengambil handphone di saku bajuku. Aku terus mengusap layar di handphoneku dan kemudian membuka icon twitter yang sudah lama aku tinggalkan. Tanpa sadar aku kembali mengetik namanya.
“L, chigum odiya? @L_boishe.”