“Nan Shireo”
Dia memang dingin dan mungkin lebih dingin dari puncak winter di negaranya, tapi aku selalu merasakan musim semi setiap melihat matanya. Namanya Joon. Choi Joon Hong. Aku bertemu dengannya di depan pintu rumahku. Aku seperti melihat malaikat surga yang tiba-tiba berkunjung ke rumah walau seingatku ekspresi wajahnya menyampaikan pesan berbeda. Dia seperti baru saja melihat Gumiho ketika mendapatiku membukakan pintu dengan sembilan kunciran rambut yang berantakan karya Na Na adik perempuanku. Tapi ini adalah awal saat-saat paling sempurna dan aku impikan selama hidupku.
“Joon… tunggu. Aku tidak bisa berjalan secepat itu. Joon bisakah kau pelan sedikit. Joon… tunggu. Joon…” langkahku terhenti dan aku selalu dan selalu menabrak punggungnya. Selain musim semi terkadang aku juga melihat sorotan laser saat dia menatapku atau lebih tepatnya sering. Seperti sekarang.
“Pikyeo!”
“Arraseo…” aku langsung terdiam dan hanya bisa mengikuti dengan jarak sekitar 40 cm di belakangnya. Setiap aku mulai mendekatinya, mencoba memulai berbicara dengannya, dia selalu berteriak. Tapi kenapa aku tidak pernah mau menurutinya?
“Joon…” aku pun memulai lagi untuk berbicara dengannya. “Aku senang sekali bisa sering berangkat bersama denganmu seperti ini. Aku tidak perlu takut lagi naik bus sendiri.” lanjutku dan lagi-lagi sorotan mata itu.
“Nan shireo.”
“Wae?”
“Wae? Ch’am…” tandasnya sinis menatapku kemudian pergi.
“Joon, wae?” aku pun mengejarnya dan akhirnya Joon berhenti dan kembali berbalik menatapku. Wajahnya mengisyaratkan kemarahan sudah penuh terkumpul dikepalanya.
“Geurae, aku akan memberi tahumu dengan jelas. Pertama kau sangat berisik. Kedua kau ada dimana-mana. Dan ketiga kau sangat menyebalkan.”
“Wae…?” tanyaku lemah. Dia hanya menghela nafas dan diam tidak menjawabku kemudian berlalu begitu saja.
Aku merasa aku tidak terlalu berisik dan menyebalkan seperti yang dia katakan. Tapi ada hal paling membahagiakan dari semua itu. Untuk pertama kalinya empat kalimat keluar dari mulutnya setelah empat bulan aku mengenalnya, berada dalam satu kelas dengannya dan menjadi tetangga sebelah tempat tinggalnya.
*
“Joon, apa kau lapar?” teriakku terlalu bersemangat dan tidak menyadari kalau sekarang aku ada di kelas, wilayah yang paling Joon benci untuk berdekat-dekatan denganku karena mulutku yang tidak bisa diam ini. Ini adalah akhir dari segalanya. Aku langsung terduduk lemas di bangkuku apalagi melihat semua mata yang bergantian melihat ke arahku dan ke arah Joon.
Joon berdiri dan mendorong kencang kursinya, menatapku tanpa henti. “Bisakah kau tidak bersikap seolah-olah kita saling mengenal?” ucapnya lirih tapi sangat tajam kemudian langsung melihat ke arah anak-anak yang sedari tadi tanpa berkedip menatapku dan juga Joon. Mereka langsung tertunduk dan matanya berlarian mencari objek lain untuk dilihat. Terlihat sekali bukan hanya aku yang takut dengan sorotan mata itu.
Kali ini aku menyadari satu hal, Joon memang sudah mulai mau berbicara denganku tapi dari semua kalimat yang dia ucapkan benar-benar mengisyaratkan dia tidak menyukaiku berada di dekatnya bahkan untuk terlihat olehnya. Tapi, apa memang aku harus berhenti dan menyerah. Bahkan terkadang saat aku hanya bisa memikirkannya, membuatku sesak nafas dan seperti ada bunga kaktus yang menusuk-nusukku dari dalam. Lalu apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar menjauh darinya dan tanpa pernah bisa melihatnya?
Akhirnya aku putuskan untuk menambah jarakku menjadi 60 cm darinya. Kurasa itu sudah cukup untuk membuatnya merasa nyaman. “Joon…” Aku memberanikan diri memanggilnya tapi Joon tidak juga menoleh. “Joon, mianhae,” ucapku lebih kencang dan dia hanya diam dan terus berjalan ke depan. Selalu seperti itu. Dia tidak pernah sekalipun menghiraukanku. Walaupun dia selalu mengatakan iya di depan ibunya sekalipun aku tahu itu terpaksa. Ibu Joon adalah orang yang selalu menyuruhnya menjagaku. Itulah kenapa sekarang aku tidak takut lagi naik bus sendiri ke sekolah. Dia merelakan tidak memakai sepeda kesayangan yang biasa dia pakai berangkat sekolah.
Ibu Joon dan ibuku sudah lama bersahabat sebelum aku pindah ke Korea bahkan jauh sebelum kami ada. Aku pindah sementara ke Korea karena urusan bisnis yang ibuku dan ibu Joon jalankan bersama di Seoul. Walau hanya bisnis kecil-kecilan tapi itu adalah sesuatu yang sudah lama mereka impikan bersama. Rumah atau lebih tepatnya apartemen kami juga bersebelahan. Hari pertama aku pindah ke apartemen itu, hari itu juga aku bertemu dengannya. Dia yang datang memberi salam kepada ibuku dan juga aku, membuat impianku selama ini serasa menjadi kenyataan walaupun dia datang bukan karena keinginannya. Dia sangat dingin bahkan sejak pertama kali aku bertemu dengannya dan sampai sekarang. Kami sama-sama tidak mempunyai ayah, bedanya ayahku meninggal saat umurku 13 tahun sedangkan ayah Joon pergi meninggalkannya sejak bercerai dengan ibunya. Apakah itu yang membuatnya begitu dingin dan tidak manusiawi?
“Ha Na!” teriak Joon menyadarkanku. Senyumku langsung mengembang secara otomatis mendengar Joon memanggil namaku. Bunga sakura seperti berjatuhan dari atas kepalaku. “Ha Na... ppalli!!!” teriaknya lagi menyadarkanku kalau dia sudah ada di atas bus. Aku cepat-cepat mengejar bus yang sudah mulai melaju itu. Secepat mungkin aku berusaha berlari tapi bus itu tidak juga berhenti dan malah Joon yang berhenti melihatku bahkan untuk mengulurkan tangannya membantuku pun tidak .
“Aaaaackk….” aku pun terjatuh. Bus itu masih melaju dan semakin jauh. Aku masih bisa melihat punggung Joon dari kaca belakang bus. Tiba-tiba aku menangis. Bukankah perasaan adalah sesuatu yang bisa kita kendalikan karena perasaan adalah sesuatu yang menjadi milik kita bukan milik orang lain. Tapi yang terjadi berbeda. Bahkan rasa sakitnya melebihi kaktus itu. Kepalaku serasa dihantam batu besar dan rasanya berat sekali untuk berdiri.
Aku mendapati Joon sudah berdiri di depanku dengan gayanya yang selama ini membuatku lemah. “Gwenchana?” tanyanya datar dengan ekspresi wajah yang sama sekali tidak menunjukkan rasa khawatir seperti kata yang baru saja dia ucapkan. Aku sama sekali tidak merasa kesal yang ada perasaan seperti bunga matahari sedang bersinar di dalam hatiku. Aku bahkan melihat lagi musim semi di matanya. Semua perasaan bercampur menjadi satu dan aku bingung bagaimana mengungkapkannya.
“Ureo?”
“Ya… Ha Na…ureo?” dia terus bertanya sambil menyenggol-nyenggolkan lutut kakinya ke arah badanku yang terduduk lemas sambil menangis. Benar-benar tidak manusiawi. Membuatku menangis semakin kencang. “Ya… sikkeureo,” ujarnya sembari menengok kanan kiri, karena takut ada yang memperhatikan. Aku terus saja menangis namun tiba-tiba tangisanku terhenti. Joon tertegun kaget karena aku tiba-tiba berhenti menangis sama kagetnya denganku yang mendapati darah ada di keningku.
“Pi” ucapku lemah. “Pi?” tanya Joon sambil melihat ke arah tangan yang tidak lepas dari pandanganku setelah aku memegang keningku yang berdarah. “Joon, ottoke?” akupun merengek bingung dan ketakutan.
“Wae ureo?” tanyanya sinis sambil merapikan rambutku. Sekarang bahkan jari orang yang tadi hanya bisa aku dekati 60 cm di belakangnya menyentuh keningku. Bahkan jarak itu kini hanya 5 cm. “Ini hanya luka kecil. Kau menangis seperti anak kecil. Berisik sekali!” lanjut Joon.
“Mana tasmu?” dengan tiba-tiba dia meminta tasku. Aku masih diam belum sepenuhnya mengumpulkan kesadaran. Dia membuka saku tas mencari-cari sesuatu dan aku lihat dia memegang jepitan warna kuning yang biasa aku pakai untuk menjepit poni. Dia langsung merapikan rambutku dan menjepitkannya.
“Ayo cepat pulang. Biar nanti ibu saja yang membersihkan dan mengobati lukamu!” perintahnya singkat. Aku tertegun mendapati tangan Joon menarik tanganku untuk cepat berdiri walau hanya untuk beberapa detik, tapi rasanya waktu itu terasa lama berhenti untuk hanya disebut beberapa detik. Beberapa detik yang melengkapi empat bulan aku mengenalnya. Sesuatu yang sempurna dan terlalu sempurna untuk aku lupakan dan makin meyakinkanku untuk sama sekali tidak perlu melupakannya.