Title : Mistake or Truly of Love
Author : Minami Maretha
Genre : AU, Married Life, School Life, Romance, Sad, Angst
Rated : T-17
Length : Chapter
Main Casts :
*CLC’s Jang Seung Yeon
*Seventeen’s Woozi or Lee Ji Hoon
*CLC’s Members
*Seventeen’s Members and other casts
Disclaimer : Minami Maretha © 2015. All casts of this fan fiction belong to themselves. But, this story is mine.
HAPPY READING!!!
Masih menutup matanya, Ji Hoon mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati Seung Yeon tidur sambil membelakanginya, sejak kapan istrinya ini sudah keluar dari kamar mandi? Bukankah tadi setelah bertengkar lagi, Seung Yeon pergi ke kamar mandi?
Tanpa sungkan Ji Hoon mendekat dan melingkarkan tangannya ke bahu Seung Yeon, mendekapnya erat seraya menaruh dagunya di pundak Seung Yeon. Sang gadis yang tidak benar-benar tertidur sedikit terkejut saat tangan kekar ini memeluknya dari belakang. “Hoon-a?”
“Hmm?” Ji Hoon menciumi pundak Seung Yeon. “Kau menangis tadi di kamar mandi?” tebaknya karena mendengar suara serak gadisnya.
Seung Yeon tak menjawab, karena suaminya ini pasti sudah tahu jawabannya. Ia hanya mengusap tangan Ji Hoon yang semakin mengeratkan pelukkannya.
“Aku suami yang buruk ya? Dengan tidak bersalahnya sudah membuat istrinya menangis.”
“Jangan bilang begitu, Hoon-a.” Seung Yeon melepaskan tangan Ji Hoon yang melingkar di bahunya dan berbalik, menatap Ji Hoon sendu.
“Kenapa? Ucapanku benar, Baby.”
“Ssst!” Seung Yeon menunjukkan telunjuknya di bibir Ji Hoon. “Jangan bicara yang aneh-aneh lagi.” sang gadis segera memeluk Ji Hoon dan menyandarkan kepalanya di dada lelaki itu.
“Kita tidur saja ya? Aku mengantuk, dan jangan bahas ini lagi.”
“Baiklah.” Ji Hoon balas memeluk, kakinya menarik selimut kemudian menyelimuti mereka berdua. Tangan lelaki ini mengusap punggung Seung Yeon seperti gerakkan meninabobokan.
Sampai sebuah ide terselip di otak Ji Hoon. Perlahan, tangannya menyusup masuk ke kaus tipis Seung Yeon. Agar gerakannya tidak membuat Seung Yeon yang mulai tertidur terusik, tangan Ji Hoon mengusap punggung mulus gadisnya.
Seung Yeon membuka mata saat ia merasakan tali pengait branya terlepas, ia menatap tajam Ji Hoon yang justru malah menampilkan smirk andalannya.
“Hoon-a!!”
*
[Next Day]
“Sayang, kau sudah siap?” tanya Ji Hoon sedikit keras dari ruang tamu, tangannya sibuk membetulkan letak dasinya.
“Sudah!!” Seung Yeon menyahut tak kalah kencang sambil menutup pintu, ia menenteng tas dan tas Ji Hoon dan sedikit berlari menuju tempat sang suami berada.
“Bagaimana dasiku? Sudah rapi?” tanya Ji Hoon meminta pendapat begitu Seung Yeon sudah berada di ruang tamu, gadis itu meletakkan dua tas di tangannya terlebih dahulu di atas sofa. Lantas ia mendekati Ji Hoon dan sedikit membetulkan letak dasi yang melingkar di leher lelaki itu.
“Sudah rapi,” gumam Seung Yeon tersenyum puas melihat hasil simpulan dasi di leher Ji Hoon. “Kalau aku? Sudah rapi?” lanjutnya bertanya.
Ji Hoon tersenyum dan menggeleng. “Kau belum rapi?”
“Dimana?” Seung Yeon melihat dirinya sendiri dan sedikit berputar, melihat bagian mana dari seragam yang ia pakai yang tidak rapi.
Ji Hoon menarik tangan pelan Seung Yeon dan seketika menghentikan pergerakan gadis itu, sebelah tangan Ji Hoon yang lain memeluk pinggang ramping Seung Yeon, membawa sang gadis semakin dekat ke dalam pelukkannya.
“Waeyo? Kenapa memelukku?” tanya Seung Yeon tidak mengerti, tangannya diletakkan di dada Ji Hoon.
“Kau mau tahu di bagian mana yang tidak rapi?” Pertanyaan Ji Hoon reflek membuat gadisnya itu mengangguk. Senyum yang terulas di bibir lelaki bermarga Lee ini semakin terkembang.
Seung Yeon mengangguk cepat tanpa tahu apa yang sedang direncanakan sang suami untuknya.
“Di sini.” Setelah Ji Hoon berucap demikian, lelaki itu langsung mencium Seung Yeon tepat di bibir mungilnya. Sang gadis terkejut tentu saja, mata sipitnya sedikit melebar namun tak ayal melingkarkan tangannya ke sekeliling leher Ji Hoon sambil membalas ciuman pemuda tersebut.
Ciuman keduanya semakin intens, bahkan tangan Ji Hoon mulai berkeliaran di tubuh ramping istrinya ini. Seung Yeon mendesah tertahan dan berusaha mendorong Ji Hoon untuk menghentikan kegiatannya.
“Jangan membantah, tiba-tiba saja aku ingin melakukan ini,” Ji Hoon berujar pelan sambil menggendong Seung Yeon menuju kamar, sedikit melupakan niatnya tadi berangkat ke sekolah.
“Ta-tapi…. Hoon-a!!!”
*
Suara apa itu?
Seung Yeon bergerak sedikit dari posisi tidur saat ada bunyi bising yang menganggu, gadis itu bergerak menyamping dan merasakan tangan kekar seseorang memeluk erat pinggangnya. Ia menoleh dan tanpa sadar tersenyum.
Wajah polos yang selalu ia lihat ketika bangun tidur, tapi kali ini ia bangun bukan karena tertidur seperti biasa. Melainkan karena lelah sehabis melakukan sesuatu yang membuat bolos sekolah hari ini.
Bolos sekolah?
Seung Yeon segera teringat dan langsung mencari jam dinding, terkejut karena jarum panjang yang terpajang sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Ini sudah sangat terlambat jika ia memaksa pergi ke sekolah.
Dasar Ji Hoon Pervert! Kalau bukan karena ciuman tadi, kita pasti tidak akan bolos sekolah, batin Seung Yeon menghela napasnya panjang. Perlahan ia bangun dan memposisikan dirinya duduk bersandar pada kepala ranjang. Sepertinya Ji Hoon sama sekali tidak terusik sedikitpun dengan gerakkannya.
Baru saja Seung Yeon ingin memejamkan matanya, suara bising itu kembali terdengar. Ia tersadar dan menyadari suara bising itu datang dari ruang tamu.
Gadis itu menoleh sebentar pada Ji Hoon yang masih tertidur, ia mendekat dan memberikan ciuman singkat di kening Ji Hoon yang tertutup poni. Kemudian bangun dan mengambil kemeja seragamnya yang tergeletak di lantai.
Tangannya mengancingkan kemeja tersebut seraya berjalan menuju pintu, ia menutup pintu kembali dan segera mencari sumber suara bising tadi yang sudah menganggu acara tidurnya.
Telinga Seung Yeon menangkap suara tersebut dari dalam tasnya, segera ia merogoh tas jingganya dan mendapati ponselnya terus bordering. Nama Yujin berkedip-kedip di layar ponselnya.
“Yoboseoyo,” sapa Seung Yeon seraya mendaratkan pantatnya di atas sofa ruang tamu.
“Seung Yeon-ah, kau dimana? Kenapa tidak masuk sekolah?” Suara Yujin di seberang sana terdengar khawatir.
“Aku di rumah, Yujin-ah. Eum… aku sakit jadi aku tidak masuk hari ini,” jawab Seung Yeon sedikit mengarang alasan. Tidak mungkin ‘kan ia berterus terang pada Yujin apa yang membuatnya absen di sekolah hari ini?
“Sakit? Apa sakit karena hidungmu cedera kemarin masih belum sembuh?”
“Hmm,” jawab Seung Yeon dengan gumaman. “Begitulah. Jadi, tolong bisa pada semua dan guru kalau aku sakit ne?”
“Ne, aku akan memberitahukan pada teman-teman dan guru kalau kau masih sakit.” Terdengar suara murid-murid yang seperti berlarian masuk kembali ke kelas. “Sudah dulu, Seung Yeon-ah. Pelajaran kedua sudah dimulai. Cepat sembuh ya.”
“Ne, Yujin-ah. Annyeong.”
“Annyeong.” Dan sambungan telepon pun terputus.
*
Ting! Tong!
Kening Seung Yeon berkerut saat suara bel apartemennya berbunyi, ia membuka matanya perlahan dan bangun. Tangannya diregangkan ke atas seraya menguap lebar dan suara bel apartemennya berbunyi lagi. Siapa yang datang di jam yang sangat cocok untuk bermalasan-malasan?
Seung Yeon bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu. Ia menguap lagi begitu tiba di pintu, tangannya menarik knop pintu dan membukanya.
“Seung Yeon-ah, kau baik-baik saja?” Suara panik Seunghee sampai di telinga Seung Yeon, namun sang gadis masih belum tersadar sepenuhnya. “Eungg… ada apa dengan pakaianmu? Apa di rumah kau selalu memakai itu?”
“Hmm?” Seung Yeon memandangi dirinya sendiri dan tersadar ia hanya memakai kemeja seragamnya yang kusut. Matanya melebar seketika, ia menatap kembali ke depan dan baru tersadar keempat temannya sudah ada di bibir pintu apartemen.
“Ka-kalian? Sejak… ka-kapan kalian… di si-sini?” tanya Seung Yeon terbata, apartemen ini dibeli orangtuanya secara rahasia dan tidak ada yang tahu apartemen ini selain orangtua Seung Yeon maupun Ji Hoon. Tapi… teman-temannya bisa tahu letak apartemen sederhana ini.
“Baru saja,” sahut Yee Eun cepat. “Kami ke sini untuk memastikan kondisimu baik-baik saja. Tapi… err… sepertinya kau jauh dari kata-kata baik-baik saja.”
“Aku… aku baik, Yee Eun-ah,” sahut Seung Yeon kikuk. “Tapi kenapa kalian bisa tahu apartemen ini?”
“Tadi kami ke rumahmu, tapi kata Eommamu sekarang kau pindah ke apartemen. Jadi, kami ke sini.” Kini Sorn yang menyahut. “Boleh kami masuk? Tidak baik berdiri terlalu lama di bibir pintu.”
“O! N-Ne, silakan.” Seung Yeon melebarkan pintu apartemennya dan membiarkan keempat sahabatnya ini masuk.
“Aku ke kamar dulu untuk ganti pakaian, kalian tunggu di sini.” Setelah mendapat persetujuan dan keempat gadis ini, Seung Yeon berjalan cepat menuju kamarnya. Dalam hati ia mengutuk, kenapa ibunya memberitahukan letak apartemennya?
Seung Yeon menutup pintu kamar perlahan dan segera menghampiri Ji Hoon yang masih terlelap di kasur lantas duduk di samping sang suami. “Hoon-a! Ireona.”
Tidak ada reaksi. Ji Hoon sepertinya tengah menikmati alam mimpi.
“Ji Hoon-a, ireona. Aku punya kabar buruk, kau harus bangun sekarang.” Seung Yeon mengguncang-guncangkan tubuh Ji Hoon yang masih tidak bergerak. Gadis bermarga Jang ini mendengus kesal karena Ji Hoon tak kunjung bangun.
“Hoon-a, teman-temanku ada di sini, bagaimana ini?” Seung Yeon bertanya panik, namun suaranya pelan karena tak ingin ketahuan teman-temannya yang menunggu di ruang tamu.
“Hmm?” Suara Ji Hoon akhirnya terdengar setelah Seung Yeon hampir putus asa membangunkan suaminya ini.
“Teman-temanku datang menjengukku, aku mengarang alasan sakit karena hari ini kita tidak masuk sekolah.” Jari-jari Seung Yeon memainkan selimut di atas tempat tidur. “Bagaimana ini? Kau punya ide?”
“Temani saja mereka. Aku akan tetap di sini dan tidak akan menganggu, selesai ‘kan?” Ji Hoon membenamkan wajahnya di atas bantal.
Seung Yeon berpikir sejenak. “Apa itu akan berhasil? Benar ya kau akan tetap di kamar dan tidak keluar?”
“Hmm, aku akan tetap di sini. Sudah sana temui mereka, sebelum mereka curiga.”
“Iya. Iya. Gomawo, Hoon-a, Sayang.” Seung Yeon mencium pipi Ji Hoon kemudian berdiri dan berjalan menuju lemari, mengganti kemeja yang sedang ia pakai dengan pakaian santai.
*
“Lama sekali ganti bajunya,” komentar Yujin begitu melihat sosok Seung Yeon keluar kamar, gadis bermarga Jang itu hanya menampilkan cengiran khasnya dan berjalan menuju dapur.
“Aku kesulitan memilih baju, jadi begitulah.” Tangan Seung Yeon mengambil empat gelas. “Kalian mau minum apa?”
“Tidak perlu repot-repot, Seung Yeon-ah,” tolak Seunghee halus. “Kami datang karena benar-benar ingin menjenguk.”
“Anggap saja ini sebagai permintaan maafku karena sudah membuat kalian menunggu.” Seung Yeon menuangkan air panas ke dalam gelas, lantas mengaduknya perlahan menggunakan sendok. Ia meletakkan keempat gelas tersebut di atas nampan, kemudian berjalan pelan-pelan kembali ke ruang tamu.
“Biar kubantu,” ucap Sorn sigap mendekati Seung Yeon saat melihat sahabatnya ini kesusahan berjalan. Gadis berdarah asli Thailand itu mengambil dua gelas lalu berjalan di depan Seung Yeon dan memberikan satu gelas untuk Yee Eun.
“Gomawo, Sorn. Gomawo, Seung Yeon-ah,” gumam Yee Eun seraya menyeruput gelas berisi teh hangat itu. Seung Yeon mengangguk dan mendaratkan dirinya di sofa, tepat di depan keempat temannya ini.
“Jadi…” Seung Yeon mulai membuka topik pembicaraan. “Kalian bolos sekolah untuk datang ke sini atau bagaimana?”
Seunghee menggeleng. “Kami tidak bolos, tapi sekolah dipulangkan cepat karena semua guru akan rapat.”
Mulut Seung Yeon membentuk huruf O dan tak sadar melirik bingkisan yang keempat temannya ini bawa. “Itu untukku?”
Yujin mengangguk. “Ne, walau tidak seberapa tapi kuharap bisa membuatmu dan kita berlima bisa berkumpul lagi bersama.”
Seung Yeon mengambil bingkisan tersebut, membukanya sedikit dan tersenyum senang karena keempat sahabatnya ini begitu perhatian. “Gomawo semuanya. Pasti aku akan sembuh dan kita bisa berkumpul lagi.”
“UHUK!!!” Sorn tiba-tiba saja tersedak begitu melihat sesuatu, matanya melebar. “Lee Ji Hoon-ssi?”
Sontak semuanya menoleh dan terkejut, terlebih lagi. Ia menelan ludahnya bulat-bulat.
Mati aku!
*
“Kau puas hmm?” tanya Seung Yeon begitu ia dan Ji Hoon sampai di kamar. Seunghee, Yujin, Sorn dan Yee Eun baru saja pulang.
“Puas? Soal apa?” Ji Hoon malah balik bertanya, sama sekali tidak mengerti dengan topik pembicaraan ini.
“Kau tidak mengerti atau pura-pura bodoh, Hoon-a?” Seung Yeon berbalik dan melipat tangannya di depan dada.
Ji Hoon mulai tersulut emosi. “Kau mengataiku bodoh?”
“Aku tidak mengataimu bodoh, tapi kau bersikap pura-pura tidak tahu.”
“Aku memang benar-benar tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan.”
Seung Yeon mendengus sambil mengusap wajahnya kasar. “Kenapa tadi kau keluar? Bukankah tadi kau sudah berjanji untuk tetap di dalam kamar?”
“Aku haus, jadi aku keluar. Apa itu salah?”
“Tidak. Itu tidak salah. Tapi saat Yujin bertanya dan kau menjawab kau tinggal di sini juga, itu yang salah, Hoon-a.”
“Lho?” Ji Hoon mengerutkan keningnya. “Bukankah aku memang tinggal di sini bersamamu? Salah?”
“Mereka akan curiga kita tinggal bersama, Hoon-a. Itu yang salah.”
Mulut Ji Hoon membentuk huruf O sambil mengangguk. “Kalau sudah terlanjur, bagaimana? Jadi, biarkan saja. Kalau mereka sahabatmu, mereka bisa jaga mulut mereka dan tidak akan membocorkan kenapa kita tinggal bersama.”
Seung Yeon tak percaya dengan apa yang didengarnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Begitu menurutmu? Baiklah kalau satu sekolah tahu apa yang terjadi pada kita, aku tidak mau tahu. Kau selesaikan sendiri.”
“Bagaimana bisa begitu? Kalau itu masalahnya melibatkan kita, berarti kau juga harus ikut menyelesaikan. Jangan limpahkan semuanya padaku.”
“Bukankah tadi kau bilang biarkan saja?”
“Aku bilang biarkan saja karena aku sudah terlanjur memberitahu mereka. Mereka sahabatmu bukan? Sekarang aku tanya, apa seorang sahabat membocorkan rahasia terdalam sahabatnya sendiri pada orang banyak?”
Pertanyaan Ji Hoon mampu membuat Seung Yeon membisu. Gadis itu diam.
“Tidak ‘kan?” Ji Hoon menambahkan lagi. “Kecuali kalau mereka memang dengan sengaja membocorkannya untuk menjatuhkan kita karena dari awal bersahabat, mereka memiliki niat yang tidak baik.”
Ji Hoon memegang pundak Seung Yeon, meremasnya lembut. “Dengarkan aku. Percaya pada sahabat-sahabatmu. Karena cepat atau lambat, orang terdekat kita pasti akan mengetahui kondisi kita sebenarnya. Dan kau harus mempersiapkan semua itu.”
Seung Yeon masih diam dan menunggu Ji Hoon berucap lagi. Tanpa sadar, sebulir cairan menetes dari mata kirinya.
“Aku bicara seperti ini karena aku sedang tidak ingin bertengkar. Aku bosan sejujurnya, setiap kita bicara pasti berujung pertengkaran kecil. Aku tidak mau hanya karena itu kita… berpisah.” Ji Hoon menunduk, memelankan satu kata terakhirnya.
Seung Yeon terharu dan langsung memeluk erat Ji Hoon yang tentu membalas pelukannya. “Maafkan aku, Hoon-a. Maafkan aku.”
“Aku juga.”
*
Ji Hoon menoleh saat suara pintu kamar terdengar menutup. Ia melihat Seung Yeon sudah rapi dengan mantel jingganya. “Kau mau kemana, Sayang?”
“Aku mau ke minimarket depan,” jawab Seung Yeon sambil sedikit merapikan mantelnya. “Ada beberapa yang harus dibeli. Kau mau ikut?”
Ji Hoon mengangguk semangat. “Tunggu di sini. Aku ambil mantelku dulu.”
Seung Yeon tersenyum lantas berjalan menuju meja ruang tamu dan mematikan televisi yang dibiarkan menyala.
“Aku sudah siap, ayo!” Seung Yeon sedikit terlonjak saat Ji Hoon menepuk bahunya, ia memperhatikan sang suami yang sudah terbalut mantel coklat. Terlihat tampan dan keren.
“Kajja!”
*
Begitu tiba di minimarket yang tepat berada di seberang apartemen mereka, Seung Yeon langsung menyuruh Ji Hoon untuk mengambil keranjang dan mengikutinya ke arah rak yang berisi sabun mandi.
“Semua yang kau butuhkan sudah semua?” tanya Ji Hoon setelah beberapa menit mengelilingi minimarket ini. Ia melihat keranjang plastik yang ia bawa sudah hampir penuh.
Yang ditanya malah diam berpikir. “Sepertinya sudah, tapi… aku merasa masih ada yang kurang.” Langkah Seung Yeon terhenti di bagian makanan ringan, Ji Hoon ikut berhenti. Mata lelaki tak sengaja menangkap sesuatu di rak di seberang bagian makanan ringan, ia kembali mengalihkan pandangannya lagi pada keranjang berwarna merah yang sedang ia pegang.
“Ayo.” Ji Hoon langsung menarik Seung Yeon tanpa persetujuan sang gadis. “Sepertinya kau lupa beli sesuatu.”
Ji Hoon akhirnya menghentikan langkahnya saat ia sampai di rak bagian susu, ia melihat ke sekelilingnya terlebih dahulu. “Kau tidak ingin beli susu? Maksudku susu… itu.”
Seung Yeon mengernyit saat Ji Hoon mengedikkan kepalanya seolah memberi kode, ia melihat ke arah rak susu. Berderet susu kemasan dengan berbagai macam merk, salah satunya susu khusus untuk ibu hamil. Apa Ji Hoon menyuruhnya untuk beli susu ibu hamil?
“Eumm… haruskah aku membelinya, Hoon-a?” tanya Seung Yeon sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Bukankah setiap ibu hamil harus meminum ini?” Ji Hoon menjawab dengan nada terkesan bertanya, lantas tangannya memasukkan satu kardus besar susu khusus ibu hamil ke dalam keranjang. “Kita beli oke?”
“Ji Hoon-ah!!” Baru saja Seung Yeon ingin membuka mulut, sebuah suara memanggil Ji Hoon membuat keduanya menoleh. Baik Ji Hoon maupun Seung Yeon sama-sama melebarkan matanya saat Wonwoo tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
“Wonwoo-ya? Sejak kapan kau di sini?” tanya Ji Hoon masih tak percaya satu temannya berada di minimarket yang sama dengannya.
“Baru saja,” jawab Wonwoo santai. “Aku dan teman-teman mampir sebentar ke sini dan ingin membeli sesuatu. Tak tahunya aku bertemu denganmu di sini.”
Dia dan teman-teman? Itu tandanya—
“Kenapa tadi kau tidak masuk?” lanjut Wonwoo bertanya, anehnya Ji Hoon sepertinya menemukan objek baru yang lebih menarik perhatiannya. Satu per satu temannya di kelas mulai memasuki area minimarket, tanpa sadar lelaki bermarga Lee itu menelan ludahnya dengan susah payah.
Wonwoo berbalik dan mengikuti arah pandang Ji Hoon, ia kembali mengalihkan pandangannya dengan kening berkerut. “Ji Hoon-ah, kau mendengarku?”
Ji Hoon segera tersadar. “N-Ne? Kau tanya apa tadi?”
Wonwoo semakin mengerutkan keningnya. Mulutnya terbuka namun suaranya tidak keluar karena ada suara lain yang menyela. “Ji Hoon menemaniku, Wonwoo-ssi. Aku sakit jadi, dia rela tidak masuk sekolah hanya karena ingin menemaniku dan memastikan aku baik-baik saja.”
Itu suara Seung Yeon. Wonwoo menatap Seung Yeon yang berdiri tepat di samping Ji Hoon, lantas mengangguk mengerti. “Kau sakit, Seung Yeon-ssi? Sakit apa?”
“Kemarin hidungku terluka dan masih sakit sampai sekarang. Tapi sudah lebih baik,” jawab Seung Yeon sambil mengumbar senyum palsunya untuk meyakinkan salah satu teman Ji Hoon ini.
“Begitu?” Wonwoo mengangguk-ngangukkan kepalanya. “Kalau begitu cepat sembuh ya?”
Kini giliran Seung Yeon yang mengangguk.
“Wonwoo-ya, kau bicara dengan siapa?” Ada suara lain lagi membuat ketiganya menoleh, itu Min Gyu. “Ah! Ji Hoon-ah, Seung Yeon-ssi, kalian di sini?” Mata Min Gyu tak sengaja menangkap keranjang merah yang dibawa Ji Hoon. “Kalian sedang berbelanja?”
“Begitulah.” Ji Hoon menggaruk kepalanya yang tak gatal dan menyadari kebodohannya membawa keranjang ini. Harusnya ia sigap menyembunyikan keranjang yang ia bawa. Bodoh!
“Tapi… tunggu dulu, kenapa kalian berbelanja?” Min Gyu bertanya lagi dan matanya menelisik isi belanjaan yang dibawa Ji Hoon dengan teliti. “Kenapa kalian membeli susu ibu hamil? Siapa yang hamil?”
Sial!
“Err… itu… soal itu….” Ji Hoon kehabisan kata-kata atau lebih tepatnya tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Min Gyu yang terkesan seperti menginterogasi.
“Bibiku sedang hamil.” Lagi-lagi Seung Yeon yang menjawab dan tentu saja membuat Ji Hoon menoleh kaget. “Dan beliau menyuruhku untuk membelikan susu ibu hamil.”
“Wahh.. chukkahamnida untuk bibimu, Seung Yeon-ssi.” Tanpa menaruh curiga apapun, Min Gyu berujar demikian.
“Kamsahamnida, Min Gyu-ssi.” Seung Yeon sedikit membungkuk, senyum palsunya masih terulas di bibir tipisnya. “Ah! Kalian datang ke sini ramai-ramai seperti biasa?”
“Seperti yang kau lihat, Seung Yeon-ssi.” Min Gyu berbalik dan melihat ke delapan temannya tengah memilih barang yang akan mereka beli. Sepertinya minimarket ini hampir sesak karena kehadiran mereka.
Seung Yeon mengangguk dan memperhatikan satu per satu teman Ji Hoon yang cukup ia kenal. Dan tentu saja ada Vernon di sana. Sudut bibir gadis itu terangkat naik. “Min Gyu-ssi, bisa tolong panggilkan Vernon? Ada yang ingin kubicarakan dengannya.”
Min Gyu mengangguk dan segera memanggil orang yang dimaksud Seung Yeon, sedangkan Ji Hoon tak mengerti dengan tingkah gadisnya ini. Ia mulai menebak-nebak apa yang akan dilakukan Seung Yeon.
“Wae geurrae, Min Gyu-ya? Kenapa memanggilku?” tanya Vernon begitu ia menghampiri Min Gyu yang memanggilnya. Ia menoleh dan juga mendapati ada dua orang lain di depannya. “Ah! Ji Hoon-ah, Seung Yeon-ssi. Senang bertemu kalian lagi.”
Ji Hoon berdecak saat Vernon menyapanya hangat, Seung Yeon yang mendengar itu meremas lengan sang suami. “Senang bertemu kau juga, Vernon-ssi. Begini, Ji Hoon ingin memintaa maaf padamu soal perkelahian tempo lalu. Dia tidak ingin merusak persahabatan kalian karena masalah sepele, iya ‘kan, Hoon-a?”
Ji Hoon seketika menoleh dan seolah-olah tatapannya berkata, ‘aku-tidak-berkata-seperti-itu.’ . Seung Yeon ikut menoleh dan mengedipkan sebelahnya seperti memberi kode yang justru membuat Ji Hoon tidak mengerti.
“Tidak perlu dipermasalahkan, Seung Yeon-ssi,” Vernon berucap santai sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. “Aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkan Ji Hoon. Tapi kalau Ji Hoon belum juga melupakannya bahkan tidak memaafkanku, itu masalahnya. Bukan masalahku.”
Ji Hoon mengalihkan pandangannya pada Vernon yang tersenyum penuh arti. Matanya yang seolah mengeluarkan sinar laser, menatap tajam lelaki berdarah campuran itu.
“Jangan begitu, Vernon-ssi. Ji Hoon ingin meminta maaf padamu.” Seung Yeon segera mengeluarkan sebelah tangan Ji Hoon dan mengulurkannya secara paksa. “Hoon-a, minta maaf ya?”
Vernon melihat tangan yang diulurkan Ji Hoon terlebih dahulu, lantas menatap sang pemilik tangan. Ia tersenyum lagi dan balas menggenggam tangan Ji Hoon yang terulur. “Aku minta maaf, Ji Hoon-ah.”
Ji Hoon bersumpah ingin menjejalkan susu ibu hamil ke mulut Vernon saat nada meminta maaf tadi terkesan dibuat-buat. Bahkan Min Gyu dan Wonwoo pun tahu, kedua lelaki ini terkikik melihat Vernon yang meminta maaf.
Ji Hoon merasa Seung Yeon menyikut pinggangnya, tanpa perlu menoleh dan bertanya lelaki ini sudah tahu gadis di sampingnya menunggu ucapan permintaan maafnya untuk Vernon.
“Aku juga minta maaf,” ucapnya terdengar pelan dan sedikit enggan. Tentu saja enggan, siapa yang suka dipaksa meminta maaf begini? Dasar Seung Yeon!
To Be Continued