home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Mistake Or Truly Of Love

Mistake Or Truly Of Love

Share:
Author : MinamiMaretha
Published : 04 Sep 2015, Updated : 27 Nov 2015
Cast : Seventeen's Woozi, CLC's Seung Yeon, Seventeen's Members, CLC's Members
Tags :
Status : Complete
2 Subscribes |7003 Views |4 Loves
Mistake or Truly of Love
CHAPTER 2 : An Accident (Again)

Title : Mistake or Truly of Love

Author : Minami Maretha

Genre : AU, Married Life, School Life, Romance, Sad, Angst

Rated : T-17

Length : Chapter

Main Casts :

*CLC’s Jang Seung Yeon

*Seventeen’s Woozi or Lee Ji Hoon

*CLC’s Members

*Seventeen’s Members and other casts

Disclaimer : Minami Maretha © 2015. All casts of this fan fiction belong to themselves. But, this story is mine.

 

HAPPY READING!!!

 

Seung Yeon membuka matanya perlahan, ia mengerjapkan mata sipitnya beberapa kali—berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk melalui jendela kamar. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, ia sudah di kamar? Sejak kapan?

Astaga! Ia pingsan ya?

Seung Yeon mencoba bangun namun pandangannya seketika kabur ditambah perutnya yang ternyata masih terasa nyeri. “Ugghh~” ringisnya yang membuat Ji Hoon yang tertidur di sampingnya terbangun.

Gwaenchana?” tanya Ji Hoon seraya duduk di sebelah Seung Yeon, tangannya mengusap kening sang istri. “Kau kenapa? Aku menemukanmu pingsan di depan kamar.”

Seung Yeon justru menggeleng. “Aku juga tak tahu, aku hanya merasa perutku sangat sakit. Bahkan lebih sakit dari maag yang pernah kurasakan.”

“Perutmu sakit? Di sebelah mana?”

“Di sini.” Tangan Seung Yeon mengusap perut bagian bawah. “Di sini sakit sekali.”

Ji Hoon meletakkan tangannya di atas tangan Seung Yeon dan bantu mengusap perut gadisnya, wajah lelaki itu terlihat khawatir. “Kau tidak makan yang aneh-aneh ‘kan?”

Aniyo, hanya makan telur mata sapi dan tadi saat makan siang bersamamu, kita makan mie kacang hitam. Kurasa itu bukan penyebabnya.”

“Jika bukan itu lalu apa?” Raut Ji Hoon berubah saat ia terpikir sesuatu. “Apa karena aku membentakmu? Maafkan aku, Sayang. Aku tidak—”

“Bukan salahmu, Hoon-a,” potong Seung Yeon cepat mengusap pipi Ji Hoon. “Aku tahu kau marah dan tidak suka dipaksa. Justru aku yang minta maaf karena sudah memaksamu.”

“Tidak apa-apa, aku sudah memaafkanmu. Tadi aku hanya tidak bisa mengendalikan ucapanku. Karena aku, sekarang perutmu sakit seperti ini.” Ji Hoon mengusap lagi perut Seung Yeon. “Masih terasa sakit?”

Seung Yeon mengangguk pelan. “Hmm, tapi tidak sesakit sebelumnya. Tapi aku tak apa. Percayalah.”

Ji Hoon mencubit gemas hidung lancip sang istri kemudian memeluknya erat. “Jangan membuatku khawatir lagi. Jika suatu saat perutmu sakit seperti sekarang, segera beritahu aku hmm?”

“Iya. Aku akan segera memberitahumu.” Tangan-tangan Seung Yeon balas memeluk punggung tegap Ji Hoon. “Maaf sudah membuatmu cemas, Hoon-a.”

“Tidak apa-apa.” Ji Hoon melepaskan pelukannya dengan senyum manis terukir di bibir. “Kubuatkan teh manis hangat bagaimana?”

“Boleh, aku akan tunggu di sini sambil ganti baju. Gomawo, Hoon-a.”

 

*

 

Yoboseoyo,” ujar Ji Hoon saat sambungan telepon akhirnya terangkat. “Eomma?”

Iya, Sayang. Ini Eomma, ada apa? Terjadi sesuatu pada kalian?” Suara lembut Hyun Woo di seberang sana membuat tangan Ji Hoon yang tengah menuangkan air panas ke dalam gelas terhenti. Sebenarnya ia bingung, apa tindakannya kali ini tepat? Menghubungi sang ibu dan memberitahukan apa yang terjadi pada Seung Yeon?

“Tidak, Eomma. Hanya saja….” Ji Hoon menggantungkan ucapannya—berpikir sejenak. “Aku ingin tanya sesuatu.”

Apa itu?”

Ji Hoon memindahkan ponsel yang berada di telinga kanannya ke telinga kiri. “Apa setiap wanita yang sedang hamil di minggu-minggu pertama selalu mengalami sakit di perut bagian bawah?”

Sakit di perut bagian bawah? Mungkin sebagian ada yang mengalami itu, tapi Eomma tidak pernah merasakannya. Apa Seung Yeon mengalami hal itu, Sayang?”

N-Ne, Eomma. Aku bingung, tadi aku menemukannya pingsan di depan kamar setelah kami bertengkar dan—”

Kalian bertengkar?” Hyun Woo memotong ucapan Ji Hoon tak percaya. “Ini hari pertama status kalian bukan lagi sepasang kekasih tapi sepasang suami istri, dan kalian bertengkar?”

“Hanya karena masalah sepele dan aku nyaris bahkan sedikit membentaknya. Mungkin itu penyebab perutnya sakit.”

Bisa saja, tapi Eomma meragukan itu. Eomma tahu sifat keras kepala dan sifat kasarmu menurun dari ayahmu, tapi kau bisa mengubah itu sedikit demi sedikit. Ingat! Seung Yeon sedang hamil dan kau harus menjaganya dengan baik, kau lupa apa janjimu pada orangtua Seung Yeon saat kau menghadap mereka untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu karena kau bertindak terlalu jauh?”

Eomma, jangan menceramahiku dan mengingatkanku soal itu di saat seperti ini,” keluh Ji Hoon memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut, tangannya mulai mengaduk teh hangat yang sudah ia berikan gula tadi. Ternyata menghubungi sang ibu bukan pilihan yang tepat.

“Eomma hanya ingin kau dewasa, Nak. Sebenarnya Eomma masih kurang yakin dengan keputusanmu menikahi Seung Yeon dengan alasan dia hamil dan kau ingin bertanggung jawab, Eomma tahu niatmu baik tapi kalian masih terlalu dini untuk membina rumah tangga. Menikah bukan satu-satunya jalan untuk mempertanggungjawabkan kehamilan Seung Yeon.”

“Aku tahu, Eomma. Aku tahu,” Ji Hoon berujar pelan—berusaha mati-matian menyembunyikan rasa kesal yang tiba-tiba saja muncul. Kenapa jadi ia yang disalahkan? Ia hanya bertanya kenapa Seung Yeon sakit perut di bagian bawah hingga membuat gadis tersebut pingsan, siapa tahu sang ibu yang sudah pernah hamil dan melahirkan tahu penyebabnya. Tapi… kenapa dirinya malah dinasihati? Kalau sudah begini mau tak mau Ji Hoon diam dan mendengarkan dengan seksama meski kenyataannya ia sama sekali tidak mendengarkan nasihat itu.

 “Jika sampai besok sakit di perut Seung Yeon tidak juga membaik bahkan lebih buruk, bawa dia ke dokter. Beritahu Eomma bagaimana keadaan Seung Yeon, besok Eomma akan melihat keadaannya.”

Arraseo.” Ji Hoon menutup gelas yang dikelilingi uap panas yang berasal dari air teh, lantas meletakkan sendok kecil di samping gelas. “Sudah dulu Eomma. Aku harus mengantarkan teh hangat ini. Terima kasih sarannya, Eomma.”

Iya, Sayang. Jangan bertengkar lagi.”

“Hmm~” Ji Hoon hanya menjawab dengan gumaman dan memutus sambungan telepon, ia harus segera mengantarkan teh hangat ini. Semoga Seung Yeon tidak menunggunya dan membuat pertengkaran kecil terjadi lagi.

 

*

 

[Next Day]

 

“Kau yakin ingin pergi ke sekolah?” tanya Ji Hoon seraya mengambil selembar roti dan selai lalu mengoleskannya.

Seung Yeon mengangguk dan melakukan hal yang sama dengan Ji Hoon. “Aku sudah lebih baik, Hoon-a. Lagipula kalau aku tidak masuk ke sekolah hari ini, teman-temanku akan curiga. Ini baru hari kedua setelah liburan dan aku sudah tidak masuk sekolah?”

“Kau tidak harus memikirkan itu, yang harus kau pikirkan adalah kesehatanmu.” Ji Hoon menggigit rotinya sedikit. “Teman-temanmu bisa memaklumi jika sakit, bukankah sakit selalu alasan yang paling muda diterima jika tidak masuk sekolah?”

“Aku tahu, tapi aku tetap ingin masuk sekolah.” Seung Yeon tetap bersikukuh pada pendiriannya. “Kumohon, kali ini kau jangan membantah untuk menghalangi niatku, Hoon-a,” lanjut gadis itu saat melihat Ji Hoon ingin membantah perkataannya. Dan itu sukses membuat lelaki tersebut diam.

“Baiklah, tapi jangan memaksakan diri. Jika merasakan sesuatu segera beritahu aku ya?”

“Iya, Hoon-a.” Seung Yeon mengambil segelas susu di samping piring lantas meminumnya cepat. “Aku sudah selesai, kita pergi sekarang?”

Ji Hoon mengangguk dan menaruh gelas yang sudah kosong itu kembali di meja. “Kajja.”

 

*

 

“Seung Yeon-ah, kau baik-baik saja?” tanya Seunghee saat Seung Yeon tiba di kelas. Yujin, Sorn dan Yee Eun ikut menghampiri gadis bermarga Jang ini.

“Aku baik, memangnya aku kenapa?” Seung Yeon menjawab sekaligus bertanya sambil duduk di kursinya.

“Wajahmu sedikit pucat, kau sakit?” Kini Yujin yang bertanya sambil menempel punggung tangannya di kening Seung Yeon.

Seung Yeon menurunkan tangan Yujin pelan. “Benarkah? Tapi aku merasa baik-baik saja.”

“Kalau sakit harusnya tidak perlu masuk sekolah. Lebih baik kau beristirahat di rumah saja,” Sorn mengingatkan.

“Sudah kubilang aku baik-baik saja oke?” Seung Yeon mencoba meredam emosinya dan tepat setelah itu suara bel berbunyi tanda masuk. Namun kelas saat itu kosong, hanya ada tas para murid dan keempat sahabatnya ini.

“Ayo kita ganti baju,” ajak Yee Eun yang disambut anggukkan ketiga temannya kecuali Seung Yeon yang tertegun.

“Untuk apa?” tanya Seung Yeon polos.

“Tentu saja untuk olahraga,” Sorn menjawab tanpa ragu. “Kau lupa pelajaran pertama hari ini olahraga?”

Seketika Seung Yeon terdiam. Ia benar-benar lupa kalau ini hari selasa dan pelajaran pertama adalah olahraga. Meski masih minggu pertama setelah liburan, tapi Seung Yeon tahu kalau guru olahraga itu akan langsung memulai olahraga berat.

Bodoh! Seung Yeon mengutuk dirinya dalam hati.

“Sepertinya dia benar-benar lupa, ayo kita ganti baju sekarang sebelum Yoon songsaenim datang dan memarahi kita,” Yujin langsung menyimpulkan dan menarik tangan Seung Yeon keluar kelas diikuti ketiga temannya. Gadis bermarga Jang ini menurut saja saat tangannya terus ditarik Yujin, reflek ia mengelus perut bagian bawahnya. Jika sesuatu terjadi pada saat olahraga nanti, semuanya akan terbongkar.

Kuharap nanti akan baik-baik saja.

 

*

 

“Ayo semuanya rentangkan tangan ke samping. Kita lakukan pemanasan dulu sebelum mulai berolahraga hari ini.” guru pria itu mulai memberi instruksi yang langsung diikuti anak didiknya. Yoon Sang Hyun. Itulah nama sang guru. Kini peluit sudah ditiup tanda mulai pemanasan.

Semua murid mulai berhitung sampai delapan untuk pemanasan, setiap sampai angka delapan maka gerakan pemanasan berganti. Begitu seterusnya sampai pemanasan ini selesai.

Dan di barisan tengah paling kanan, Seung Yeon mengikuti teman-teman sekelasnya melakukan pemanasan. Meski sedikit terpaksa, tapi demi menghindari kecurigaan teman sekelas juga gurunya maka ia melakukan ini. Baru pemanasan kan?

“Baiklah, sekarang lari beberapa putaran mengelilingi lapangan ini sementara Saya akan mengambil bola basket dulu.” Setelah mengatakan itu, Sang Hyun Ssaem meninggalkan murid-muridnya yang mulai berlari mengelilingi lapangan secara beriringan. Beberapa dari mereka tidak berlari, melainkan jalan biasa. Salah satunya Seung Yeon.

Suara peluit berbunyi keras membuat perhatian para siswa teralihkan, lantas mereka berlari menuju sang guru yang sudah membawa beberapa bola basket untuk dimainkan hari ini.

“Oke, hari ini kita akan main bola basket. Satu tim terdiri dari lima orang dan kalian semua bebas menentukan siapa yang akan menjadi tim kalian,” ujar Sang Hyun Ssaem. “Sekarang kalian kumpulkan lima teman kalian, setelah terkumpul maka saya akan memilih siapa yang nanti main terlebih dahulu.”

Semua murid tampak antusias dan mulai memilih beberapa teman mereka yang akan dijadikan satu tim. Seung Yeon mengangguk saja saat Seunghee langsung mengapit tangannya, diikuti Sorn, Yujin dan Yee Eun yang berdiri di samping kiri dan kanannya.

“Baiklah sudah semuanya?” Pertanyaan Sang Hyun Ssaem langsung dijawab serentak ‘Sudah’ oleh anak didiknya, membuat senyum pria berusia 32 tahun itu terkembang di bibirnya.

“Kalau begitu saya akan memilih sekarang. Dan yang akan main di sesi pertama adalah....” Sang Hyun  Ssaem melihat tim-tim yang sudah dibentuk, ia mengedarkan pandangannya sambil mengusap dagu.

“Tim Ji Hyun akan melawan tim Seunghee.” Mata Seung Yeon langsung melebar saat tahu tim Seunghee-lah yang akan main di sesi pertama. Apa ini hari sialnya? Kalau benar jauh-jauh hari ia tidak akan memutuskan untuk masuk sekolah.

“Tim yang nama salah satu anggotnya tidak dipanggil segera menyingkir dari lapangan, sedangkan tim yang telah Saya panggil segera menuju lapangan tengah.” Sebagian murid segera menyingkir dari lapangan, beberapa dari mereka bahkan langsung duduk tanpa di suruh. Sementara sisanya mengikuti guru pria itu menuju tengah lapangan.

“Kali ini sistem permainannya, siapa yang bisa memasukkan bola ke ring sebanyak lima kali maka tim itu dinyatakan menang. Tim yang kalah harus siap mengikuti permainan ini lagi minggu depan untuk diadukan bersama tim yang kalah juga,” jelas Sang Hyun Ssaem. “Ada yang tidak mengerti?”

Sepuluh kepala itu menggeleng kompak, dan semuanya bersiap di tempat masing-masing. Seunghee dan Ji Hyun menjadi kapten tim mereka hari ini dan saling berhadapan di antara Sang Hyun Ssaem yang bersiap melempar bola ke atas.

Bola sudah dilempar dan….

Permainan dimulai.

 

*

 

Ji Hoon semakin mempercepat langkahnya dengan perasaan kalut, baru saja tadi diberitahu Yee Eun—salah satu teman Seung Yeon—kalau gadisnya terluka. Ini baru hari kedua sekolah dan Seung Yeon sudah terluka? Ck! Bagus sekali.

Tangan Ji Hoon membuka pintu ruang kesehatan dan mendapati Seung Yeon berbaring di atas kasur dengan Seunghee, Sorn dan Yujin duduk di kanan kiri tempat tidur. Ketiga teman Seung Yeon serempak berdiri dan memberi ruang agar Ji Hoon duduk di samping Seung Yeon.

“Kau kenapa lagi hmm?” tanya Ji Hoon menggenggam tangan Seung Yeon, gadis tersebut hanya tersenyum. Ada sisa darah yang menempel di hidungnya.

“Terkena lemparan bola, hari ini pelajaran olahraga dan kami bermain basket. Hanya kurang hati-hati saja,” Seung Yeon menjawab sambil menganggukkan kepala saat keempat temannya memberi kode untuk keluar ruangan.

Ji Hoon mengikuti arah pandang Seung Yeon, dan kembali menatap gadisnya saat pintu ruang kesehatan sudah tertutup. “Kalau bola basket itu terkena perutmu bagaimana?”

“Jangan berpikiran yang aneh-aneh, aku hanya kurang hati-hati saja, Hoon-a.” Seung Yeon mengusap pipi Ji Hoon.

“Tapi itu yang paling kutakutkan dan semuanya akan tahu kalau kau….” Ji Hoon tak melanjutkan kata-katanya.

“Aku tahu. Aku tahu, Hoon-a,” bisik Seung Yeon lembut.

“Kalau begitu kuantar pulang saja hmm?” tawar Ji Hoon. “Pelajaran setelah jam istirahat nanti membuatku bosan.”

“Tapi, Hoon-a yang lain akan curiga.”

“Tidak akan yang curiga. Kau sedang terluka dan semua akan memaklumi jika aku membawamu pulang. Atau aku akan mengarang alasan membawamu ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.”

“Hidungku berdarah karena terkena lemparan bola, Hoon-a. Mereka pasti akan curiga jika kau tiba-tiba minta izin ingin mengantarkanku pulang atau mengantarku ke rumah sakit.”

Ji Hoon menghela napas, mendadak ia merasa kesal sendiri. “Bisakah kau tidak membantahku dan menurut saja?”

“Tapi alasanmu berlebihan. Aku tidak apa-apa. Sungguh,” Seung Yeon membela diri.

“Kau terlalu memaksakan diri. Harusnya setelah tahu kalau hari ini pelajaran olahraga, kenapa tidak minta izin untuk tidak ikut?”

“A-Aku lupa soal itu dan akhirnya menurut saja. Kau tahu sendiri Yoon Songsaenim bagaimana ‘kan?”

“Tapi dia bisa memaklumi kalau kau sakit atau bilang saja kau lupa bawa baju olahraga?”

“Bagaimana bisa aku lupa bawa baju olahraga? Baju olahraga ‘kan disimpan di loker.” Seung Yeon mengambil tisu yang menyumbat hidungnya dan melihat masih ada sisa darah kering di sana.

“Ya sudah, pokoknya aku akan tetap membawamu pulang siang ini.” Ji Hoon langsung berdiri dan berjalan keluar ruang kesehatan.

“Hoon-a, jangan! Hei!!! Tunggu dulu!”

 

*

 

“Bagaimana keadaanmu, Seung Yeon-ah? Sudah lebih baik?” tanya Hyun Woo sambil menaruh satu kantung yang entah isinya apa di atas meja. Ya, akhirnya sepasang suami istri muda itu memutuskan untuk pulang lebih cepat. Dengan meminta izin terlebih dulu tentunya, alasannya? Mengistirahatkan Seung Yeon sepenuhnya di rumah total karena kondisi fisik gadis itu yang lemah.

Dan, para guru percaya. Semudah itu. Tentu saja semua itu alasan seorang Lee Ji Hoon seorang.

“Sudah jauh lebih baik, Eommonim. Jangan khawatir,” jawab Seung Yeon tersenyum tulus.

“Ji Hoon tidak memarahimu lagi ‘kan?” Hyun Woo bertanya lagi sambil mendudukkan dirinya di sofa, tepat di hadapan Seung Yeon dan Ji Hoon yang matanya langsung melebar mendengar pertanyaan sang ibu.

Eomma, aku tidak memarahinya,” protes Ji Hoon.

“Tapi kau nyaris membentaknya, Sayang,” Hyun Woo mengoreksi protesan putra bungsunya itu. “Mengalah sedikit dengan istrimu apa salahnya?”

“Mengalah tidak ada dalam kamusku,” dengus Ji Hoon sebal. Ia menyandarkan punggungnya sambil mengalihkan pandangan.

Hyun Woo justru tersenyum melihat kelakuan Ji Hoon, lantas ia menatap Seung Yeon. “Kalau dia memarahimu lagi atau bahkan membentakmu, jangan sungkan beritahu Eomma, Seung Yeon-ah.”

Eomma!!” Ji Hoon protes lagi. Apa-apaan ini? Kenapa jadi dirinya yang disudutkan?

“Kenapa? Harusnya kamu bisa mengontrol emosimu, Sayang. Kalian berdua itu bukan sepasang kekasih lagi, kalian berdua itu suami istri sekarang. Yang sudah mengikat janji sehidup semati. Apa janji itu akan terbuang sia-sia hanya karena pertengkaran kecil?” Hyun Woo mulai mengeluarkan jurus nasihatnya, tapi tentu saja nasihat itu tidak akan mempan pada sang anak.

Lihat saja sekarang! Ji Hoon justru berdiri dari sofa dan melenggang masuk ke kamar tanpa berucap apapun. Hanya terdengar desisan kesal karena lagi-lagi ia disalahkan. Ck!

“Kau bisa lihat sendiri ‘kan, Seung Yeon-ah?” Seung Yeon mengikuti punggung Ji Hoon yang akhirnya menghilang di balik pintu bercat putih itu. Ia menolehkan kepalanya lagi, melihat Hyun Woo berdiri dan berjalan menuju sofa tempat Seung Yeon duduk. Lantas duduk di samping gadis itu. “Begitulah dia. Tidak mau di salahkan. Tidak mau mengalah. Keras kepala. Sulit diatur. Mau menang sendiri. Sama seperti ayahnya.”

“Aku tahu, Eommonim. Sebenarnya itu yang paling tidak kusukai darinya karena aku juga keras kepala.” Seung Yeon sedikit enggan mengakui sifat aslinya, walau terkesan lembut tapi ia dikenal berpendirian teguh terhadap pendapatnya.

“Harusnya salah satu di antara kalian ada yang mengalah.” Hyun Woo mengusap lembut puncak kepala Seung Yeon. “Mengalah bukan berarti kalah tapi pikirkanlah soal pernikahan kalian. Pernikahan itu tidak berlangsung sehari atau dua hari saja. Tapi selamanya. Sampai maut memisahkan kalian.”

“Hmm, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali untuk mengalah.”

“Tidak perlu dipaksa. Pelan-pelan saja. Nanti Eommonim akan bicara pada Ji Hoon supaya dia bisa mengalah saat kalian bertengkar lagi. Tapi kuharap kalian tidak bertengkar lagi.” Hyun Woo membuka isi kantung di atas meja lantas memberikan sesuatu ke tangan Seung Yeon.

Eommonim, ige mwoya?” tanya Seung Yeon sambil melihat dengan seksama sesuatu di tangannya ini. Semuanya terlihat berwarna hijau dan… di mata Seung Yeon terlihat menjijikkan.

“Jus sayur. Untukmu. Habiskan ya?”

 

*

 

Ji Hoon menutup mata, menikmati sentuhan tangan Seung Yeon mengusap pipinya. Kepalanya disandarkan pada pundak Seung Yeon dan membiarkan gadis itu mengusap pipinya—seperti gerakan meninabobokan.

Eomma sudah pulang?” tanya Ji Hoon tidak bergerak dari posisinya.

Seung Yeon mengangguk. “Hmm~ Eommonim membelikan banyak sekali makanan.”

Jinjja? Tidak biasanya.”

“Mungkin karena aku… eum… hamil.”

“Ya, itu mungkin saja.” Setelah itu hening, hanya terdengar suara jarum jam di dinding. Sudah pukul tiga sore.

Tangan Seung Yeon masih setia mengusap pipi halus Ji Hoon, sampai akhirnya lelaki itu bangun dari posisinya dan menatap Seung Yeon penuh arti.

Wae? Kenapa melihatku seperti itu?”

Ji Hoon menggeleng dan langsung mencium bibir gadisnya, meski sedikit kaget namun Seung Yeon balas mencium. Ji Hoon semakin mendekatkan dirinya dan mulai memeluk tubuh mungil Seung Yeon tanpa melepaskan tautan bibir mereka.

“Uhhmmm…” desah Seung Yeon tertahan saat tangan Ji Hoon mulai bergerilya di tubuhnya. Gadis itu memalingkan wajahnya otomatis Ji Hoon langsung mencium pipinya.

Waeyo? Tiba-tiba saja aku ingin melakukan itu.” Jari Ji Hoon bergerak membuka perlahan kaus Seung Yeon, tapi dengan sigap Seung Yeon menahannya.

“Jangan dulu, Hoon-a,” Seung Yeon berujar pelan.

“Kenapa? Tidak suka?”

“Bu-Bukan begitu.”

“Kalau bukan lalu kenapa?” Ji Hoon tak sadar nada suaranya meninggi saat bertanya tadi.

“Pelankan suaramu, Hoon-a. Kau tidak perlu sampai berteriak seperti tadi.”

“Aku tidak berteriak,” Ji Hoon membela diri.

“Kau hampir berteriak tadi.”

“Hampir. Dan itu tidak termasuk berteriak.”

Seung Yeon mengubah posisi duduknya di atas tempat tidur dan menatap lurus Ji Hoon. “Bisakah kita tidak membesar-besarkan ini?”

“Kau duluan yang mulai.” Ji Hoon tak gentar bahkan tidak ada kata takut saat sorot mata Seung Yeon berubah tajam.

“Kenapa? Kau mau adukan pada Eomma? Silakan. Aku-tidak-takut.” Ji Hoon menekan tiga kata terakhir seakan-akan bisa membaca arti sorot mata sipit Seung Yeon.

Seung Yeon menghela napas, ia malah turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Ia menutup pintu kamar mandi pelan tanpa menggubris tatapan bingung Ji Hoon.

“Ya sudahlah.” Ji Hoon memilih kembali berbaring di kasur dan menutup matanya. Tanpa ingin mencari tahu apa yang dilakukan Seung Yeon di kamar mandi.

 

To Be Continued

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK