Title : Mistake or Truly of Love
Author : Minami Maretha
Genre : AU, Married Life, School Life, Romance, Sad, Angst
Rated : T-17
Length : Chapter
Main Casts :
*CLC’s Jang Seung Yeon
*Seventeen’s Woozi or Lee Ji Hoon
*CLC’s Members
*Seventeen’s Members and other casts
Disclaimer : Minami Maretha © 2015. All casts of this fan fiction belong to themselves. But, this story is mine.
HAPPY READING!!!
Tungkai kaki gadis itu melangkah pelan menuju dapur, dua tangannya sibuk mengikat rambut coklatnya asal. Mulutnya menguap panjang begitu ia tiba di dapur tepat di depan kompor, satu tangannya mengambil wajan, sementara tangannya yang lain mengambil minyak dan dua buah telur. Setelah minyak yang ia tuangkan dalam wajan panas, gadis manis tersebut mulai menggoreng telur di sana.
Hari ini menjadi hari pertama seorang Jang Seung Yeon berganti status, dari yang seorang gadis biasa menjadi istri seorang lelaki. Bukan sebuah kebetulan atau karena perjodohan tapi…. sebuah kejadian tak terduga membuatnya menjadi seorang istri di usia 18 tahun.
Tangan kanan Seung Yeon mengusap perutnya sendiri, masih rata tapi di sana sudah ada satu nyawa lain selain dirinya yang harus ia jaga. Ya, dia hamil. Hamil di usia belum genap 20 tahun sebenarnya sangat beresiko tapi… ini sudah takdir. Melakukan hubungan dengan seorang lelaki sampai sejauh itu membuatnya berbadan dua padahal ia masih duduk di bangku sekolah menengah atas, tapi lelaki yang kini menjadi suaminya mau bertanggung jawab dan di sinilah Seung Yeon sekarang. Di sebuah apartemen sederhana membina rumah tangga di usia yang terbilang cukup belia.
“Morning.” Suara Ji Hoon membuat lamunannya buyar, ditambah lagi dua lengan milik lelaki itu melingkar erat di pinggang Seung Yeon.
“Morning,” Seung Yeon membalas ucapan selamat pagi Ji Hoon seraya mengusap tangan pemuda tersebut. “Sudah bangun, Hoon-a?”
“Kalau aku belum bangun, maka aku tidak akan berada di sini,” jawab Ji Hoon seraya menghirup aroma khas yang keluar dari tubuh sang istri. Aroma yang disukainya.
“Baiklah. Baiklah, akan kuubah pertanyaannya.” Seung Yeon berpikir sejenak. “Kenapa sudah bangun? Ini masih pagi, Hoon-a.”
“Aku ingin melihat istriku memasak sarapan pagi untukku.” Ji Hoon menaruh dagunya di atas pundak Seung Yeon. Mata Ji Hoon melihat telur mata sapi di atas wajan telah matang, ia lantas mematikan kompor tanpa sepengetahuan Seung Yeon.
Ji Hoon membalikkan tubuh gadisnya dan mendapat tatapan bingung Seung Yeon. “Apa? Kenapa kau tersenyum seperti itu, Hoon-a?”
“Tidak ada, hanya saja….” Ji Hoon menggantungkan ucapannya terlebih dahulu. “Aku ingin merasakan morning kiss sebelum menyantap sarapan pagi buatanmu.” Setelah mengucapkan itu, Ji Hoon langsung mencium Seung Yeon tepat di bibir gadis tersebut. Gadis bermarga Jang ini lantas membalas ciuman sang suami sembari mengalungkan kedua tangannya ke leher Ji Hoon. Melihat reaksi Seung Yeon yang membalas ciumannya, tangan Ji Hoon perlahan melingkar di sekeliling pinggang ramping milik sang istri.
Suara decakan bibir mereka bergema ke seluruh dapur, dan tangan Ji Hoon pelan-pelan mulai naik ke punggung Seung Yeon. Mengusap perlahan kemudian dua tangan itu berpindah pelan menuju perut rata gadisnya, lagi, tangan Ji Hoon mengelus perut Seung Yeon seraya naik menuju….
“Eum… Hoon-a.” Seung Yeon melepaskan tautan bibir mereka sambil menahan tangan Ji Hoon agar tidak naik lagi.
“Hmm? Aku masih ingin mencium istriku.” Ji Hoon mencium lagi bibir tipis Seung Yeon seakan-akan masih belum puas mencium bibir sang istri. Kali ini lebih ganas dari yang sebelumnya, namun Seung Yeon sigap melepaskan ciuman tersebut dan meletakkan jarinya di bibir Ji Hoon—mengisyaratkan agar lelaki itu tidak menciumnya lagi.
“Kita bisa lanjutkan ini nanti, sudah hampir jam 6. Sekarang kau mandi lepas itu ganti piyamamu ini dengan seragam. Setelah itu sarapan dan kita berangkat sekolah bersama ne?”
Ji Hoon menghela napas kecewa tapi kemudian ia mengangguk juga. “Baiklah, aku akan mandi. Tapi… kenapa kita tidak mandi bersama?”
“Sendiri-sendiri saja. Sudah sana, sebelum aku memukulmu.”
“Memangnya kau berani memukulku huh?”
“Hoon-a, mandi sekarang!!!”
“Iya, iya aku mandi.”
*
Langkah keduanya terhenti begitu suara bel berbunyi dan seluruh anak di sekitar mereka berlarian menuju kelas masing-masing. Keduanya baru sampai beberapa menit yang lalu dan bel sudah berbunyi saja? Apa bel tidak menginginkan kebersamaan mereka lebih lama?
“Baiklah, kutemui kau saat istirahat,” ujar Ji Hoon sambil mencium kening Seung Yeon pelan.
“Arraseo.” Seung Yeon mengangguk dan keduanya berpisah di tikungan. Seung Yeon berjalan lurus ke depan menuju kelasnya, sedangkan Ji Hoon naik ke lantai dua. Kelas mereka memang berbeda tapi mereka menjalin hubungan istimewa. Bahkan mungkin bisa dibilang ini hari pertama mereka ke sekolah sebagai status suami istri.
“Seung Yeon-ah!!!” Seunghee langsung menyambut Seung Yeon begitu sosok gadis itu masuk ke area kelas. Beruntung jam pertama hari ini sedikit terlambat karena sang guru yang seharusnya mengajar di jam pertama terjebak macet.
“Waeyo? Apa kalian merindukan aku?” Seung Yeon justru melempar pertanyaan demikian seraya mendudukkan diri di meja kedua paling kanan. “Apa liburan musim panas sudah membuat kalian merindukan Jang Seung Yeon?”
Sorn mendesis. “Mulai dia, bisa tidak rasa percaya dirimu itu berkurang sedikit saja?” Ya, gadis itu memang bukan berasal dari Korea, dia orang Thailand yang pindah ke Korea setahun belakangan karena mendapat beasiswa sekolah di sini. School Of Performing Arts Seoul. Sekolah seni yang sudah mencetak banyak artis hits.
Bukannya menyadari kesalahannya, Seung Yeon malah menampilkan cengiran khasnya. “Kurasa tidak akan bisa, Chonnasorn Sajakul. Jadi, lupakan permintaanmu tadi dan kembali ke tujuan awal. Kalian menungguku?”
“Tentu saja kami menunggumu. Kupikir kau akan terlambat di hari pertama setelah liburan musim panas karena terlalu sibuk berlibur dengan kekasih kesayanganmu itu.” Yujin merengut seperti tidak diberi wortel saja, ya, wajah imut gadis ini terlihat seperti kelinci atau marmut atau sejenis itulah. Semua sahabatnya memanggilnya cute rabbit.
Seung Yeon tersenyum kaku. Tidak ada yang tahu memang dirinya tengah hamil dan statusnya kini berganti menjadi seorang istri dari Lee Ji Hoon. Tentu saja karena mereka berdua hanya mengundang keluarga terdekat saja, pernikahannya pun berlangsung diam-diam jadi tidak banyak yang tahu keadaannya sekarang.
“Ya!” Seung Yeon sedikit terlonjak saat YeeEun menepuk pundaknya, tak sadar jika sudah melamun. “Kenapa diam saja? Apa sesuatu terjadi denganmu Ji Hoon?”
“Oh! Itu… ti-tidak ada yang terjadi di antara kami. Semua baik-baik saja.” Seung Yeon memasang senyum palsu berharap sahabat-sahabatnya tidak akan curiga dengan apa yang terjadi sebenarnya antara ia dan Ji Hoon.
Delapan pasang mata itu menatap Seung Yeon intens, mereka berempat seakan-akan mencari kebohongan yang terlihat di raut wajah gadis bermarga Jang ini. “Ya, walau aku tidak yakin tapi aku percaya hubungan kalian baik-baik saja,” ucap Seunghee akhirnya dan setelah itu seorang guru wanita memasuki kelas, membuat seluruh murid di kelas XI-C itu bergerak reflek menuju meja masing-masing. Bersiap menerima pelajaran di jam pertama, di hari pertama setelah liburan musim panas.
*
“Bagaimana liburan musim panasmu tahun ini?” Ji Hoon mendongak sedikit dari pekerjaan menulisnya saat Joshua bertanya demikian, pagi ini guru yang mengajar di jam pertama tidak datang dan digantikan dengan tugas. Dan semua sepertinya tidak ada yang mengerjakan kecuali Ji Hoon, entah apa yang membuat lelaki bermarga Lee itu mengerjakan tugas yang songsaenim berikan.
“Begitu saja, tidak ada hal yang menarik,” sahut Ji Hoon kembali menulis di atas bukunya.
“Lalu? Bukankah kau merencanakan liburan bersama Seung Yeon? Tidak jadikah?” Kini giliran Hoshi yang bertanya.
“Jadi, kami liburan di pantai Jeju.”
“Lalu? Apa kalian….”
“Tidak terjadi hal menarik. Oke? Jangan tanya apapun soal liburan musim panas,” Ji Hoon langsung memotong ucapan Sung Cheol sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. “Sudah sana kalian pergi saja, kalian membuat konsentrasiku pecah.”
“Iya, iya kami pergi.” Junghan mendengus dan menyuruh teman-temannya menjauh dari Ji Hoon. Tidak biasanya lelaki itu marah di pagi hari.
Ya, ini memang hari pertamanya masuk sekolah, dan hari pertamanya pula statusnya berganti menjadi suami seseorang. Dan semua karena liburan di pantai terkutuk itu. Sial! Jika saja ia dan Seung Yeon tidak berlibur di Jeju, maka semua ini tidak akan terjadi.
Tapi… ia sudah berjanji pada orangtua Seung Yeon untuk bertanggung jawab dan bersedia menikah di usia muda, karena inilah resiko yang harus ia ambil karena sudah bertindak sejauh itu hingga membuat kekasihnya sendiri kini berbadan dua.
“Ah! Kenapa aku memikirkan ini?” Ji Hoon mengumpat sendiri dan kembali menyelesaikan tugas yang sebenarnya tidak mau ia kerjakan. Tapi, bukankah setiap orang bisa berubah?
*
[Flash Back]
Sinar matahari pagi menelusup cepat memasuki ruangan kamar bernuansa putih itu, dua orang di atas tempat tidur itu masih bergelung di dalam selimut tebal. Satu di antara mereka perlahan-lahan membuka matanya, bibirnya tertarik membuat satu garis senyum saat ia melihat wajah cantik nan polos di hadapannya yang tengah tertidur. Satu tangannya terulur, mengusap pelan rambut coklat milik gadis itu.
“Ngghh~” gadis itu melenguh sedikit, sepertinya terbangun karena Ji Hoon mengusap kepalanya.
“Morning, Hoon-a,” sapa Seung Yeon dengan suara sengaunya yang entah kenapa membuat Ji Hoon semakin melebarkan senyumnya.
“Good Morning, Baby Yeon.” Tangan Ji Hoon masih mengusap rambut Seung Yeon. “Tidurmu nyenyak? Apa aku membangunkanmu?”
“Sedikit tapi tak apa.” Tanpa aba-aba dari Ji Hoon, Seung Yeon bergerak pelan dan menyandarkan kepalanya di dada Ji Hoon. “Kita pulang nanti siang atau sore saja ya? Aku lelah dan masih ingin tidur.”
“Iya, tidak perlu terburu-buru. Lagipula aku masih ingin menghabiskan waktu liburan ini bersamamu.” Ji Hoon memeluk Seung Yeon seraya mencium kening gadis itu.
“Baiklah, kalau begitu liburan akhir tahun nanti kita liburan bersama lagi?”
“Akan kupikirkan.”
Setelah itu hening, dan keduanya masih berpelukan.
“Hoon-a.”
“Hmm?”
“Apa yang kita lakukan ini benar?”
“Maksudmu?” Ji Hoon sedikit melonggarkan pelukannya seraya menatap Seung Yeon intens.
“Kau pasti tahu maksudku, Hoon-a. Tindakan kita semalam pasti beresiko dan…” Seung Yeon diam sebentar, tenggorokan gadis itu sepertinya tercekat menahan tangis. “Aku takut kau akan meninggalkanku saat aku—”
“Ssst!” Ji Hoon menaruh telunjuknya di bibir Seung Yeon seakan tahu lanjutan kalimat yang gadisnya ucapkan. “Aku tidak akan meninggalkanmu, jika sampai itu terjadi kita akan hadapi bersama-sama. Bukankah setiap tindakan yang kita lakukan beresiko? Jadi, jangan khawatir. Aku akan selalu bersamamu. Di sisimu. Menghadapi semuanya bersama-sama. Oke?”
Seung Yeon menatap Ji Hoon sendu, sedetik kemudian ia mengangguk. “Aku mengerti. Gomawo, Hoon-a.”
Ji Hoon hanya tersenyum lantas mendekatkan wajahnya, berniat mencium Seung Yeon. “Kalau kita lanjutkan yang semalam bagaimana?”
*
[Time Present]
“Bagaimana hari pertamamu di kelas?” tanya Seung Yeon sambil mengaduk jajangmyeon pesanannya.
“Begitu saja, tidak ada yang menarik. Hari pertama sama sekali belum ada guru yang mengajar, sepertinya hampir semua guru masih asyik dengan liburannya,” jawab Ji Hoon seraya memasukkan mie kacang hitam itu ke mulutnya. “Kau sendiri?”
“Langsung belajar dan sedikit membuatku pusing.”
“Hati-hati, kau ‘kan sedang….” Ji Hoon menghentikan ucapannya dan kini menggerakan tangannya seperti memberitahu sesuatu.
“Aku tahu. Aku akan berhati-hati.” Seung Yeon mengaduk jus jeruk yang sudah ia pesan dan meminumnya perlahan. Tiba-tiba saja ia terdiam.
“Wae? Kau tidak apa-apa?”
Bukannya menjawab pertanyaan Ji Hoon, Seung Yeon justru buru-buru menutup mulutnya dan langsung berdiri dari kursi.
“Ada apa, Yeon-a?”
Lagi. Seung Yeon tak menjawab, dan langsung pergi meninggalkan Ji Hoon begitu saja. Sepertinya terjadi sesuatu.
Ji Hoon meminum jus jeruk miliknya cepat lantas menyusul kekasihnya yang berlari menuju toilet. Pasti Morning Sick.
Begitu sampai di depan toilet, Ji Hoon menunggu di depan toilet. Tentu saja karena ia dilarang masuk ke dalam toilet perempuan.
Tak lama, sosok Seung Yeon keluar dari toilet dengan wajah pucat dan tubuh bergetar. “Merasa lebih baik?” Ji Hoon langsung memegangi Seung Yeon seraya bertanya demikian, lelaki tersebut bisa merasakan tangannya sedikit basah saat bersentuhan dengan tangan Seung Yeon. Keringat dingin membasahi kulit gadis itu.
“Sedikit tapi perutku masih tidak enak,” Seung Yeon menjawab pelan. “Seperti ingin mengeluarkan isinya lagi tapi tidak bisa.”
“Kalau begitu istirahat saja di UKS. Bilang pada teman-temanmu kau sakit dan tidak bisa mengikuti pelajaran setelah ini,” Ji Hoon menasihati sambil menuntun Seung Yeon menjauhi toilet, namun Seung Yeon justru menggeleng—tidak mengiyakan nasihat ‘suaminya’.
“Tidak perlu, yang ada nanti mereka curiga. Aku masih kuat, Hoon-a.”
“Kau yakin? Jika tidak kuat jangan memaksakan diri. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu.”
Seung Yeon menghentikan langkahnya dan menoleh. Ia tersenyum. “Aku tidak apa-apa, Hoon-a. Geokjeongma. Mungkin jus jeruk membuatku mual dan aku tidak akan lagi meminum itu.”
“Padahal jus jeruk bagus dan kaya vitamin C. Oke nanti kita cari alternatif lain.” Ji Hoon kembali menuntun Seung Yeon, kali ini tangannya merangkul bahu mungil gadis bermarga Jang ini.
“Alternatif apa?”
“Kau ini seperti tidak tahu saja.” Ji Hoon mencubit gemas hidung Seung Yeon. “Alternatif agar kau tetap dapat asupan vitamin C selain dari jeruk. Bukankah banyak buah yang mengandung vitamin C? Kurasa jeruk bukan satu-satunya buah yang mengandung vitamin C.”
“Memang bukan satu-satunya, Hoon-a Sayang. Justru jambu biji yang vitamin C nya.”
“Baiklah kalau begitu, pulang sekolah kita beli jambu biji. Tapi… sejak kapan kau berubah menjadi jenius seperti ini, Jang Seung Yeon?”
Seung Yeon mendelik. “Kau meledekku huh? Kalau begitu rasakan ini!!!”
“Yak!!!” Ji Hoon mengaduh sambil mengusap pinggangnya. “Dasar! Kalau begitu, kau juga harus merasakan ini.”
“Shireo!!!” Seung Yeon langsung lari menghindar dan terlihat tidak terjadi apa-apa setelah ia muntah tadi. Seperti ada keajaiban yang membuatnya bisa berlari menghindari kejaran Ji Hoon yang berniat membalaskan cubitannya tadi.
*
“Kenapa dengan bajumu? Basah begitu? Di luar hujan?” Min Gyu bertanya saat sosok Ji Hoon masuk ke kelas dan duduk di meja ketiga sebelah kiri.
“Sama sekali tidak hujan. Hanya bermain di lapangan bersama Seung Yeon,” jawab Ji Hoon seraya mengibaskan tangannya—berusaha menghilangkan keringat yang hampir membasahi seluruh tubuhnya.
“Bermain di lapangan? Tidak salah?” Wonwoo memicingkan matanya, seperti tak percaya dengan jawaban Ji Hoon.
Ji Hoon menatap horor Wonwoo. “Memangnya kenapa? Ada yang salah dengan itu?”
“Eum… mungkin Wonwoo hanya tidak percaya dengan apa yang kau dan Seung Yeon lakukan saat istirahat tadi.” Junhui mencoba meluruskan dan berusaha menenangkan suasana yang mendadak memanas. Panas di luar sepertinya membuat suasana jadi begini.
“Bahasa halus dari kekanak-kanakkan. Tapi sudahlah, kau dan Seung Yeon memang masih anak-anak,” Vernon berujar santai seakan merasa tak berdosa sedikitpun.
Ji Hoon langsung berdiri dari kursinya. “Kau mau malaikat maut menjemputmu detik ini juga ha?”
“Sabar, Ji Hoon-a. Sabar.” Seokmin langsung menepuk pundak Ji Hoon berusaha menenangkannya. “Jangan terlalu serius menanggapi ucapan Vernon. Dia memang begitu.”
Ji Hoon menyingkirkan tangan Seokmin kasar dan kembali duduk di kursinya. Ia mendengus. “Aku tahu. Tapi setidaknya sekali-kali kuberi dia pelajaran biar dia bisa jaga ucapannya.”
Namun niat Ji Hoon ingin menghajar Vernon tertunda saat seorang guru laki-laki masuk ke kelas dan membuat semua murid terburu-buru menuju kursinya.
“Tahan dulu niatmu tadi sampai pulang sekolah, setelah itu kau bebas menghajarku. Itupun kalau kau bisa,” Vernon berbisik dan menepuk pundak Ji Hoon setelah itu berjalan menuju kursinya yang berada di urutan kedua dari kanan. Sial! Jika ketahuan Seung Yeon ia berkelahi dengan Vernon, Seung Yeon pasti akan memarahinya.
Jadi, sepertinya ia harus berpikir tidak hanya dua kali tapi berkali-kali untuk menghajar salah satu sahabatnya itu. Apa tidak usah saja ya?
*
“Kau ini, kenapa mengiyakan ajakan Vernon untuk berkelahi sih? Jadi begini ‘kan?” Dengan telaten, Seung Yeon membersihkan luka lebam di wajah Ji Hoon sambil menggerutu. Ia tidak habis pikir, kenapa suaminya ini sukarela berkelahi dengan sahabatnya sendiri?
“Aww,” Ji Hoon meringis kecil. “Aku juga tidak tahu, kupikir dia hanya bercanda tapi ternyata dia serius ingin melawanku.”
“Dan kau menyetujuinya?” tanya Seung Yeon mengangkat sebelah alisnya. “Pintar sekali.”
“Kenapa jadi menyalahkan aku? Yang patut disalahkan itu Vernon.”
“Tapi kau juga salah, Hoon-a. Kalau kau tidak serius menanggapi ucapannya pasti wajahmu tidak akan dipenuhi lebam dan luka seperti ini.” Tangan Seung Yeon masih terampil membersihkan sisa darah di sudut bibir Ji Hoon seraya menasihati lelaki tersebut.
Ji Hoon mendengus dan memilih diam saja daripada harus memulai pertengkaran di hari pertamanya menjadi seorang suami.
“Finish. Nanti sampai di rumah kuobati lagi, besok minta maaf pada Vernon dan berjanji padaku agar kejadian ini tidak terulang kembali. Arrachi?”
“Mwo? Kenapa aku yang minta maaf? Dia dulu yang mengajakku berkelahi.”
“Haruskah aku ikut turun tangan dalam masalah kalian? Ayolah apa susahnya minta maaf, Hoon-a. Kalian itu sudah bersahabat cukup lama, hanya karena masalah sepele persahabatan kalian retak?”
“Tapi kenapa harus aku? Aku tidak suka mengalah dan aku tidak akan minta maaf padanya.” Setelah mengatakan itu, Ji Hoon langsung berbalik dan berjalan duluan meninggalkan Seung Yeon.
“Hei! Hoon-a, jangan begitu.” Buru-buru Seung Yeon membereskan tasnya dan berusaha menyusul Ji Hoon. “Lee Ji Hoon!! Tunggu sebentar, aku belum selesai. YA!!!”
*
Begitu sampai di apartemen, Seung Yeon berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Ji Hoon yang masih berjalan cepat di depan. “Hoon-a, chakkaman. Hei, tunggu aku.”
“Hoon-a, tunggu!” Ji Hoon masih tidak menoleh dan bergegas menuju kamar. Tak mempedulikan Seung Yeon yang memintanya untuk berhenti dan mendengarkannya.
“Ji Hoon-a.” Seung Yeon menggenggam tangan Ji Hoon dan seketika membuat langkah lelaki tersebut terhenti. “Berhenti sebentar.”
“Apalagi? Jika kau terus bersikeras, maka jawabanku tetap tidak. Aku tidak akan mau memaafkan Vernon.”
“Kau tidak boleh begitu, dia itu sahabatmu. Kau lupa berapa tahun kalian bersahabat dan hanya karena masalah kecil persahabatan kalian rusak?”
“Tapi kenapa harus aku? Dia yang seharusnya meminta maaf padaku.”
“Jangan egois, Hoon-a. Kau juga salah.”
“Aku? Egois?” Ji Hoon bertanya dengan tatapan tajam. “Sejak kapan kau jadi membelanya?”
“Aku tidak membelanya, aku hanya bersikap netral. Apa itu salah?”
“Jika kukatakan itu salah, apa yang akan kau lakukan? Aku ini suamimu, Jang Seung Yeon.”
“Aku tahu. Aku tahu.”
“Lalu? Kenapa kau tetap menyuruhku untuk meminta maaf padanya?”
“Karena aku tahu kalian bersahabat dekat sebelum kita bertemu!!” Seung Yeon meninggikan suaranya, tak mampu menahan emosi sejak ia tiba di apartemen tadi.
Diam sebentar. Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing.
“Kau berani membentakku ya? Ck!” Ji Hoon berdecak kecil, tidak percaya saat Seung Yeon—yang sebenarnya tidak berniat—membentaknya. “Pokoknya aku akan tetap pada pendirianku. Besok saat di sekolah, aku tidak akan memaafkan Vernon. Titik. Meski kau memaksa, membentak bahkan memukulku sekalipun. Aku tidak peduli. Bahkan aku tidak peduli persahabatanku dengan Vernon pecah hanya gara-gara ini.”
Seung Yeon diam. Tak percaya Ji Hoon seegois ini.
“Hoon-a, a-aku tidak sengaja tadi….”
“Aku lelah ingin istirahat. Jangan ganggu aku,” potong Ji Hoon lalu membuka pintu kamar dan masuk ke dalam tanpa mempedulikan Seung Yeon yang kini tengah menangis. Menangisi kebodohan yang tidak ia sengaja. Kenapa jadi seperti ini?
“Akkh.” Seung Yeon memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa sakit. Terasa lebih perih dari sakit maag.
“Eumm… Appo,” ringis Seung Yeon menutup matanya tak kuat menahan sakit di perutnya. Kenapa? Kenapa dengan sakit perut ini? Bukankah tadi baik-baik saja?”
Sa-sakit. Hoon-a, ini sakit sekali. Aku membutuhkanmu.
To Be Continued