home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Mistake Or Truly Of Love

Mistake Or Truly Of Love

Share:
Author : MinamiMaretha
Published : 04 Sep 2015, Updated : 27 Nov 2015
Cast : Seventeen's Woozi, CLC's Seung Yeon, Seventeen's Members, CLC's Members
Tags :
Status : Complete
2 Subscribes |7003 Views |4 Loves
Mistake or Truly of Love
CHAPTER 4 : After The Clash

Title : Mistake or Truly of Love

Author : Minami Maretha

Genre : AU, Married Life, School Life, Romance, Sad, Angst

Rated : T-17

Length : Chapter

Main Casts :

*CLC’s Jang Seung Yeon

*Seventeen’s Woozi or Lee Ji Hoon

*CLC’s Members

*Seventeen’s Members and other casts

Disclaimer : Minami Maretha © 2015. All casts of this fan fiction belong to themselves. But, this story is mine.

 

HAPPY READING!!!

 

“Akhirnya semua sudah selesai,” ucap Seung Yeon lega begitu tiba di apartemen, tangannya menaruh kantung berisi belanjaan di atas meja lantas mendaratkan dirinya di sofa empuk ruang tamu. Anehnya Ji Hoon langsung melenggang pergi ke kamar tanpa berucap sepatah katapun.

“Hoon-a?” panggil Seung Yeon pelan tapi yang dipanggil malah membuka pintu kemudian menutupnya kembali, seperti tengah menulikan panggilan Seung Yeon untuknya. Tentu saja hal ini membuat sang gadis kebingungan, bukankah tadi Ji Hoon baik-baik saja? Ada apa dengannya? Apa karena dipaksa meminta maaf pada Vernon? Apa itu salah?

Seung Yeon menghela napasnya seakan tahu penyebab sang suami menjadi lebih pendiam, lantas berdiri dan berjalan menuju kamar—meninggalkan kantung berisi belanjaan di atas meja ruang tamu. Ia membuka pintu dan mendapati tubuh yang amat dikenalnya meringkuk di bawah selimut.

“Hoon-a, kau tidak apa-apa?” tanya Seung Yeon seraya duduk di tepi tempat tidur—tepat di samping Ji Hoon. Tangan gadis itu mengusap rambut putih blonde milik suaminya.

Tidak jawaban. Bahkan tubuh ini sama sekali tidak bergerak.

“Hoon-a, jangan seperti ini. Katakan sesuatu.”

“Kau mau aku berkata apa hmm?” Akhirnya suara berat itu terdengar juga.

“Ya, katakan apa saja. Seperti...” Seung Yeon diam sejenak. “Kenapa kau diam saja sejak kita keluar dari minimarket tadi?”

“Tanpa perlu kujawab pun kau sudah tahu jawabannya,” sahut Ji Hoon sembari menyembunyikan wajahnya lagi di bantal.

“Karena aku memaksamu meminta maaf pada Vernon?” tebak Seung Yeon was-was. “Ayolah, Hoon-a, aku hanya ingin kalian bersahabat lagi.”

“Tapi aku tidak suka dipaksa oke?” Ji Hoon akhirnya bangkit dari posisinya dan duduk sejajar dengan Seung Yeon.

“Aku tahu kau tidak suka dipaksa, tapi ‘kan—”

“Kalau kau tahu kenapa tetap melakukannya?” potong Ji Hoon cepat.

“Aku hanya ingin persahabatan kalian tidak rusak hanya karena perkelahian bodoh.”

“Itu bukan perkelahian bodoh, tapi Vernon memang pantas mendapatkannya.”

“Dan membuatmu juga terlihat babak belur? Setelah itu kau akan dianggap keren saat wajahmu penuh luka dan membiru di sana sini, begitu?”

“Aku tidak bilang seperti itu,” Ji Hoon membela diri seraya berdiri membelakangi Seung Yeon, sang gadis ikut berdiri tepat di belakang.

“Lalu?” Seung Yeon mengangkat sebelah alisnya, seakan tak puas dengan pembelaan Ji Hoon. “Apa yang Vernon lakukan sampai-sampai kau harus menghajarnya?”

“Kau tidak perlu tahu inti permasalahannya. Ini masalah laki-laki.”

“Masalah laki-laki?” Seung Yeon tertawa pelan, nyaris tak percaya dengan jawaban suaminya, “Apa setiap dua orang laki-laki yang memiliki masalah harus diselesaikan dengan cara berkelahi? Aku baru tahu hal itu.”

“Kau baru tahu?” Ji Hoon berbalik. “Tentu saja kau baru tahu, karena kau perempuan. Tidak mengerti apa yang diinginkan laki-laki.”

“Aku? Tidak mengerti apa yang diinginkan laki-laki? Kalau begitu, jawab pertanyaanku.” Seung Yeon berdehem sejenak. “Apa masalah akan selesai dengan cara berkelahi? Kalau iya, apa kau tidak berpikir resiko yang kau hadapi begitu perkelahian selesai? Seperti… yang paling fatal adalah salah satu di antara kau dan Vernon harus masuk rumah sakit? Atau persahabatan yang sudah kalian jalin sejak lama hancur hanya gara-gara perkelahian konyol?”

Sunyi. Tak ada jawaban lagi yang meluncur bebas dari bibir Ji Hoon, tapi matanya masih menyiratkan sorot tajam pada Seung Yeon yang kali ini tak gentar sama sekali.

“Kau tidak bisa menjawabnya ‘kan?” Seung Yeon menyimpulkan sendiri karena sudah hampir satu menit lelaki di depannya hanya diam. “Kalau begitu kau tidak lebih pintar daripada seekor keledai.”

Mwo? Apa kau bilang?” tanya Ji Hoon berharap Seung Yeon mengucapkan kata-kata yang salah.

“Kau bodoh, Lee Ji Hoon! Puas?” jawab Seung Yeon lantang, tak takut sama sekali.

Namun ekspresi Seung Yeon berubah saat tamparan keras itu mengenai pipi putih mulusnya, ia merasa benda hidup di dadanya telah jatuh ke kaki. Gadis itu butuh beberapa detik untuk mencerna apa yang baru saja terjadi, reflek tangannya memegang pipi kiri yang tadi terkena tamparan. Tamparan keras dari tangan Ji Hoon.

“Hoon-a....” Mata Seung Yeon berkaca-kaca, wajahnya berubah sendu.

“Sayang... a-aku—”

“KAU JAHAT!!!” Setelah teriakkan keras itu, Seung Yeon segera berlari menuju pintu kamar dan membantingnya keras. Meninggalkan Ji Hoon yang terpaku sambil menatap tangannya sendiri yang bergetar. Ia tak sengaja. Sungguh. Tangan ini bergerak di luar kehendaknya.

Itu karena... Seung Yeon sudah membuatnya marah. Sangat marah.

Sial! Apa yang harus kukatakan pada Eomma dan ibu Seung Yeon?

 

*

 

 Acara televisi sore itu tidak ada yang menarik, tangan kanannya yang mulai menekan-nekan lagi tombol remote televisi—mencari saluran yang menurutnya menarik, tapi sayangnya nihil. Ia menolehkan kepalanya, melihat jam yang tergantung di dinding. Sudah menjelang malam tapi… Seung Yeon belum pulang juga.

Sejak kejadian tamparan tidak terduga tadi, Seung Yeon langsung berlari menuju pintu dan sampai sekarang belum kembali. Ji Hoon berpikir kalau gadis itu butuh waktu sendiri dan memutuskan untuk tidak menyusul istrinya. Tapi hingga waktu hampir menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh menit, sosok mungil itu belum muncul juga di pintu.

Ji Hoon menghembuskan napasnya panjang seraya menyandarkan punggungnya pada sofa ruang tamu, pertengkaran hebat pertamanya. Tamparan pertamanya untuk Seung Yeon. Kenapa ia tidak bisa mengendalikan emosinya sampai-sampai tangannya terangkat dan menampar pipi mulus milik gadis itu?

Bodoh! rutuknya dalam hati dan mematikan televisi sambil menjatuhkan remote itu ke atas sofa. Dirinya masih benar-benar tidak percaya sudah menampar istrinya sendiri. Lelaki itu masih ingat ekspresi terakhir Seung Yeon sebelum meninggalkannya yang termenung sendiri, bahkan mungkin gadis itu yang meneriakan dirinya jahat tidak sebanding dengan yang telah dilakukannya.

Ji Hoon mengusap wajahnya kasar lantas berdiri dan berjalan menuju kamar untuk mengambil mantel. Ia harus mencari Seung Yeon sekarang sebelum terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.

 

*

 

Pintu bercat putih itu terbuka dan menampilkan Ji Hoon yang tengah mengatur napas, matanya ia edarkan pada apartemen yang terlihat sepi. “Seung Yeon-ah, kau sudah pulang?”

Tidak ada jawaban. Pertanda Seung Yeon memang belum pulang, kemana gadis itu? Ji Hoon sudah mencari ke sekitar apartemen tapi sama sekali tidak menunjukkan hasil yang berarti. Lelaki itu pikir dengan kembali pulang ke rumah, Seung Yeon juga sudah pulang.

Tangan Ji Hoon kembali menutup pintu di belakangnya lantas berjalan menuju kamar, berharap gadis bermarga Jang ini sudah meringkuk di bawah selimut. Ji Hoon membuka pintu kamar dan mendapati kamar masih dalam keadaan yang sama saat ditinggalkan tadi, ia menoleh ke pintu kamar mandi dan berjalan ke sana tanpa menutup pintu kamar.

Hatinya mencelos saat pintu kamar mandi terbuka dan tidak ada siapapun di sana. Ji Hoon kembali menutup pintu kamar mandi tersebut dan mencari jam yang tergantung di dinding. Hampir jam delapan malam, dan Seung Yeon belum pulang juga.

Ji Hoon berdecak seraya menjatuhkan tubuhnya ke kasur empuk, matanya menatap langit-langit kamar. Kalau saja pertengkaran tadi tidak terjadi, kalau saja ia tidak menampar Seung Yeon, mungkin gadis itu tetap berada di rumah dan tengah bermanja padanya seusai makan malam.

Makan malam?

Ji Hoon teringat ia belum makan, begitu pula Seung Yeon yang sekarang entah berada di mana. Lelaki itu bangkit dan sibuk mencari ponselnya. Ia menekan beberapa digit angka dan menempelkan ponsel tersebut ke telinganya, menunggu sambungan telepon terangkat.

Ia menoleh saat ada suara dering telepon, Ji Hoon segera berdiri dan mencari sumber suara, ibu jarinya menekan tombol reject saat ponsel yang sedang dihubunginya ternyata ada di tas. Seung Yeon tak membawa ponselnya, bagus sekali. Lalu adakah cara lain untuk mengetahui keberadaan gadisnya?

Ji Hoon baru teringat sesuatu, tangannya kembali lincah menekan beberapa digit angka dan menunggu sambungan telepon terangkat. Kali ini ia menghubungi sang ibu.

“Yoboseoyo, Sayang.” Suara Hyun Woo terdengar di ujung telepon, sedikit memberikan kelegaan di hati Ji Hoon.

Ne, Eomma. Umm.. aku ingin tanya sesuatu,” sahut Ji Hoon seraya berjalan kembali menuju tempat tidur.

Tanya sesuatu? Apa perut Seung Yeon sakit lagi? Kalian bertengkar lagi hmm?” tebak Hyun Woo karena pertanyaan yang sama pernah diutarakan putranya tempo lalu.

“Bu-Bukan. Bukan itu, Eomma. Tapi....” Ji Hoon menimbang-nimbang sesaat dan duduk di tepi tempat tidur. “Apa Seung Yeon ke rumah Eomma?”

Tidak, Sayang. Seung Yeon tidak ke rumah Eomma.” Jawaban Hyun Woo membuat Ji Hoon kembali cemas. “Ada apa? Seung Yeon belum pulang?”

“Begitulah, Eomma. Unggh... sebenarnya Seung Yeon pergi dari rumah karena… kami bertengkar lagi,” jawab Ji Hoon mencoba jujur. “Dan saat kami bertengkar, aku tidak sengaja… menamparnya,” lanjut Ji Hoon memelankan kata terakhir dan bersiap dimarahi sang ibu.

APA?!! Astaga! Sayang....” Ji Hoon menggaruk kepalanya yang tak gatal saat Hyun Woo terdengar tak percaya dengan ucapannya tadi. “Kenapa bisa? Sudah Eomma bilang kau harus mengatur emosimu, lihat sendiri ‘kan?”

“Aku tahu, Eomma. Aku tahu. Aku menyesal sekarang,” ucap Ji Hoon sendu, sedikit terdengar lirih. Tangannya mengusap wajahnya dan tak sadar dua matanya berkaca-kaca.

Terdengar helaan napas di ujung telepon. “Lalu? Sekarang bagaimana? Kau sudah mencarinya?”

“Sudah, Eomma. Aku sudah mencarinya tapi aku tidak menemukannya, jadi aku memutuskan pulang karena kupikir siapa tahu Seung Yeon sudah berada di rumah. Tapi nyatanya sampai malam begini Seung Yeon juga belum pulang,” jawab Ji Hoon dan sekali lagi menoleh ke arah jam yang jarumnya hampir menunjukkan angka sembilan.

Seung Yeon masih belum pulang? Kau sudah menghubunginya?”

“Ia tidak membawa ponsel, Eomma. Ponselnya tertinggal di dalam tas,” Ji Hoon menyahut lagi. “Eomma punya nomor telepon ibu Seung Yeon? Siapa tahu Seung Yeon belum pulang karena berada di rumahnya.”

Sepertinya Eomma punya, nanti Eomma akan mencoba menghubungi ibu Seung Yeon.” Ji Hoon mengangguk saat jawaban Hyun Woo sedikit melegakan hatinya. “Ya sudah, beritahu Eomma lagi kalau Seung Yeon sudah pulang atau belum. Jika Seung Yeon tak kunjung pulang, kita akan menghubungi polisi.”

Ne, Eomma. Sudah dulu, aku akan menunggu kabar dari Eomma juga.” Setelah mendapat jawaban ‘Iya’ , Ji Hoon memutuskan sambungan telepon. Matanya menatap satu ponsel putih di tangan kirinya dan tak sengaja menekan satu tombol di sana, ia tersenyum melihat wallpaper yang dipasang Seung Yeon. Foto dirinya yang tengah tertidur yang entah kapan diambil.

Tuhan, biarkan Seung Yeon baik-baik saja.

 

*

 

Kosong. Dua mata sipit itu menatap kosong trotoar jalan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang di depannya tak membuat sosok itu bergeming dari tempatnya duduk. Ia menggoyang-goyangkan kakinya sementara dua tangannya ia remas kuat-kuat saat air mata mengalir lagi dari sudut matanya.

Satu tangannya perlahan menyentuh pipi kirinya, tamparan keras tadi masih terekam dengan baik. Cukup sakit memang, tapi tidak lebih sakit dari hatinya. Sebelah tangannya yang lain memegang dada sebelah kiri, menepuk-nepuknya pelan saat rasa nyeri itu kembali muncul.

Sejak pertengkaran hebat tadi dan berujung pada tamparan tidak terduga, Seung Yeon memilih meninggalkan apartemen. Hingga detik ini ia belum mau beranjak dari tempat duduknya di halte bus tak jauh dari apartemen sampai tak sadar sudah malam saja.

Kepalanya tidak berhenti memikirkan kejadian tadi, dengan sangat mudah Ji Hoon menamparnya. Sebenarnya apa yang dipikirkan lelaki itu? Sampai-sampai tangannya bergerak menampar pipi mulusnya?

Seung Yeon menghela napas, menciptakan uap-uap putih di sekitar wajah cantiknya. Udara dingin yang membelai kulitnya pun ia tepis meski tak urung bulu-bulu halus di tubuhnya berdiri. Ia bahkan mengacuhkan tatapan beberapa penumpang bus yang turun di halte tempatnya duduk dan tetap duduk manis sambil mengerakkan kaki-kakinya.

Air matanya meleleh lagi dalam satu kedipan, ada rasa takut jika ia kembali ke apartemen dan Ji Hoon akan memarahinya lagi. Mungkin akan lebih buruk dari yang tadi. Lalu ia harus apa? Tetap duduk di sini? Atau pergi ke rumah orangtuanya?

Tapi... kalau dia pergi ke rumah ayah dan ibunya, mereka akan curiga lalu mungkin yang lebih buruk menyuruhnya bercerai dari Ji Hoon dan menggugurkan satu nyawa yang ada di rahimnya. Tanpa sadar, Seung Yeon mengusap perutnya yang masih rata. Pernikahannya baru dijalani beberapa hari dengan pertengkaran dan pertengkaran.

Hingga berujung Ji Hoon menamparnya. Masuk akalkah? Apa pernikahan ini sebuah kesalahan? Atau… ini cinta sesungguhnya?

Cinta?

Apa sebuah tamparan bukti Ji Hoon mencintainya?

 

*

 

Ji Hoon menghentikan langkahnya sambil mengatur napas, uap-uap putih timbul di sekitar wajahnya yang panik. Hyun Woo memberitahunya tadi kalau Seung Yeon tidak ada di rumah ibunya. Lalu kemana gadis itu pergi?

Ia mengedarkan pandangan tepat di depan apartemen, berharap sosok mungil itu ia temukan. Tapi sejauh mata memandang, hanya kendaraan lalu lalang di depannya. Sama sekali tidak ada sosok Jang Seung Yeon.

Ji Hoon berdecak kesal dan berjalan pelan menyusuri jalanan sambil terus mengedarkan pandangan. Ia kalut, takut terjadi sesuatu pada gadisnya. Tapi segera ditepisnya pikiran buruk itu dan tetap fokus mencari.

Langkah Ji Hoon terhenti begitu sampai di halte bus tak jauh dari apartemennya. Ia memicingkan matanya, berusaha mengenali sosok gadis yang tengah duduk di sana tanpa mantel. Kakinya melangkah lagi untuk memastikan gadis tersebut adalah yang sedang dicarinya.

Diam-diam Ji Hoon menghela napasnya saat sosok itu benar-benar Seung Yeon, kakinya melangkah cepat dan langsung memeluk tubuh Seung Yeon yang terasa dingin.

“Akhirnya aku menemukanmu,” ucap Ji Hoon semakin mengeratkan pelukkannya. “Maaf. Maafkan aku, Sayang.”

Anehnya Seung Yeon tak bergeming sama sekali, bahkan tidak membalas pelukkan Ji Hoon. Ia seperti membiarkan Ji Hoon memeluknya erat.

“Sayang?” tanya Ji Hoon begitu menyadari Seung Yeon tak membalas pelukkannya. Ia menatap bingung sosok Seung Yeon yang sepertinya tengah asyik dengan dunianya sendiri.

“Sayang?” Ji Hoon memanggil lagi sambil menyentuh pipi Seung Yeon dan seketika tertegun. Rasa dingin langsung menyentuh kulitnya, Seung Yeon kedinginan.

Buru-buru Ji Hoon melepas mantel coklatnya dan menyampirkan ke bahu Seung Yeon yang tetap tidak bergeming sama sekali. Tatapan tetap tertuju pada jalanan depan halte bus dengan sisa air mata yang menempel di pipinya. Kosong. Tatapan gadis itu benar-benar kosong.

Ji Hoon meringis melihat kondisi gadisnya, ada sorot sakit yang dipancarkan mata Seung Yeon—meski ia hanya melihatnya dari samping. Ini salahnya. Semua ini adalah kesalahannya.

“Kita pulang ya?” tawar Ji Hoon merangkul gadis itu dan membantunya berdiri. Dan tanpa perlawanan sedikitpun, Seung Yeon mengikuti langkah Ji Hoon yang membawanya menjauhi halte. Tubuhnya terasa melayang, jika Ji Hoon tak menopangnya mungkin ia sudah jatuh atau terlihat seperti berjalan tanpa nyawa.

Semua ini karena hati. Hati yang terlanjur sakit.

 

*

 

Ji Hoon membaringkan Seung Yeon pelan ke tempat tidur dan menyelimutinya sampai batas leher. Tangannya menyentuh kening gadis itu dan rasa dingin langsung terasa di kulitnya. Segera ia menyalakan pemanas ruangan dan berlari menuju dapur untuk mengambil air panas juga kain bersih.

Lelaki itu kembali baskom berisi air panas dan kain bersih di tangannya, ia duduk di tepi tempat tidur dan mulai mengompres gadisnya yang masih tertidur. Ponselnya berdering lagi dan nama sang ibu berkedip-kedip di layar.

Sayang, bagaimana? Kau sudah menemukan Seung Yeon?” tanya Hyun Woo di ujung telepon, nada bicara wanita ini juga terdengar sangat khawatir.

“Sudah, Eomma. Aku menemukannya duduk di halte bus sendiri tanpa mantel,” jawab Ji Hoon menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu sambil terus memperhatikan suhu tubuh Seung Yeon yang perlahan mulai membaik.

Terdengar helaan napas lega di seberang sana. “Syukurlah. Lalu? Sekarang kondisi Seung Yeon bagaimana? Dia baik-baik saja ‘kan?”

“Dia baik, Eomma. Hanya saja sedikit kedinginan, Eomma bisa ke sini dan buatkan sup?” pinta Ji Hoon sambil mencelupkan kain tadi ke dalam baskom dan mengompres kembali gadisnya.

Baiklah, lima menit lagi Eomma akan sampai di sana. Tetap jaga Seung Yeon ne?”

Ne, Eomma.” Ji Hoon memutuskan sambungan telepon dan menyimpan ponselnya di meja kecil samping tempat tidur. Matanya menatap sendu wajah polos Seung Yeon yang tengah tertidur, dalam hati merutuki tamparan kerasnya tadi untuk gadis manis ini.

Ia bukan suami yang baik ‘kan untuk Seung Yeon?

Ji Hoon mendekat dan mencium pelan kening Seung Yeon sambil berbisik, “Mianhae, Yeon-ah. Mianhae.”

 

*

 

Mata sipit itu terbuka perlahan dan langit-langit kamar adalah pemandangan pertama yang dilihatnya. Gadis ini mencoba mempelajari dimana ia sekarang dan baru tersadar dirinya tengah berbaring di tempat tidur. Sejak kapan ia ada di kamarnya? Apa ia berjalan sampai tertidur untuk sampai ke sini? Seingatnya ia duduk di halte bus sendiri sambil menangis.

Seung Yeon menoleh dan mendapati seseorang tengah menggenggam tangannya sambil tertidur dengan posisi kepala di ranjang. Itu Ji Hoon.

Meski gerakkan yang ia buat sudah sangat pelan, tapi tetap saja mampu membangunkan lelaki itu. Ji Hoon bangkit dan duduk tepat di samping Seung Yeon. “Sudah bangun, Sayang? Merasa lebih baik?” tanyanya sambil menyentuh kening Seung Yeon, sedikit bernapas lega karena suhu tubuh gadis ini sudah membaik.

Namun Seung Yeon tak menjawab, hanya menatap sendu Ji Hoon. “Kau kedinginan,” ucap Ji Hoon seakan tahu apa yang dipikirkan gadisnya. “Aku menemukanmu menangis di halte bus tanpa mantel, untung saja tak sampai hipotermia. Jadi… kuputuskan membawamu pulang ke apartemen.”

Lagi. Seung Yeon tidak membalas ucapan Ji Hoon, gadis ini malah mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

Eomma juga datang karena ingin melihat keadaanmu, beliau membuatkan sup. Tapi karena tak kunjung bangun, jadi Eomma memasukkan supnya ke dalam lemari pendingin,” ucap Ji Hoon lagi seakan tak peduli sudah diabaikan dua kali oleh Seung Yeon. “Kuhangat sebentar, tunggu di sini.”

Gadis itu membiarkan Ji Hoon keluar kamar dan mengalihkan pandangan—menatap dirinya sendiri yang berbalut selimut tebal. Ia menoleh dan mendapati baskom berisi air dan kain yang mungkin saja dipakai lelaki itu untuk mengompresnya.

Suara pintu terbuka lagi dan kini Ji Hoon datang dengan nampan di tangannya, ia meletakkan nampan itu terlebih dahulu di atas tempat tidur sebelum akhirnya duduk kembali di samping Seung Yeon.

“Kenapa hmm? Ada sesuatu, Sayang?”

Seung Yeon menggeleng, matanya menatap enggan Ji Hoon. Ada sorot sakit yang terpancar di matanya, itu yang ditangkap Ji Hoon.

Gadis itu terkejut begitu Ji Hoon mencium pipi kanan dan pipi kirinya, keningnya berkerut seakan-akan mempertanyakan tindakan Ji Hoon tadi untuknya.

“Maaf.” Anehnya justru Ji Hoon menggumamkan kata maaf dengan sangat pelan sambil menunduk, beruntung Seung Yeon masih bisa menangkap gumaman tadi.

“Aku juga minta maaf.” Ji Hoon mendongak dan menatap bingung Seung Yeon yang sepertinya akan melanjutkan ucapannya. “Karena aku sudah menyebutmu bodoh. Kalau tidak, mungkin kau tidak akan menamparku bukan?”

Ji Hoon diam, meski ia mengiyakan ucapan Seung Yeon barusan tapi ia malah menggeleng. “Seharusnya aku bisa mengendalikan emosiku dan tak perlu sampai menamparmu.”

“Tidak apa-apa.” Seung Yeon tersenyum dan meletakkan tangannya di atas tangan Ji Hoon. “Anggap saja kita impas karena aku sudah memaksamu meminta maaf pada Vernon dan menyebutmu bodoh.”

“Itu bukan impas, Sayang. Aku... hanya tidak bisa mengendalikan tanganku untuk tidak bergerak dan menamparmu.” Ji Hoon balas tersenyum sambil mengusap pipi kiri gadisnya. “Sakitkah?”

Seung Yeon menggeleng. “Tidak terlalu.”

“Tidak terlalu tapi kau sampai keluar rumah dan menangis sendiri di halte bus?” sindir Ji Hoon mengangkat sebelah alisnya dan membuat Seung Yeon tersenyum malu.

“Jangan ingatkan soal itu, Hoon-a

Waeyo?” Seung Yeon memberikan tatapan penuh artinya agar Ji Hoon tak lagi membahas soal kejadian tadi malam. “Arraseo. Arraseo. Aku tidak akan membahas itu lagi.” Mendapat tatapan seperti tadi, Ji Hoon memilih untuk mengalah.

“Kita mulai dari awal hmm?”

Kening Seung Yeon berkerut, tak mengerti dengan ucapan yang terdengar ajakan dari Ji Hoon. “Apa maksudmu, Hoon-a?”

“Kita mulai dari awal. Memperbaiki semuanya dari awal. Tidak ada pertengkaran lagi, tidak ada bentakan atau teriakan lagi. Kita mulai semuanya dari awal dan saling mengingatkan jika kita terlibat adu mulut lagi,” jelas Ji Hoon. “Bagaimana?”

Lagi. Seung Yeon mengernyit bingung. “Kau yakin ingin melakukan hal ini? Kalau kau tidak bisa mengendalikan emosimu lagi bagaimana? Bisa saja akan lebih buruk dari tamparan kemarin malam.”

“Jangan bicara seperti itu, Sayang,” ucap Ji Hoon mencubit gemas pipi Seung Yeon. “Aku yakin aku bisa. Ingatkan saja kalau aku mulai menaikkan volume suara atau mulai mengajakmu adu mulut.”

“Baiklah. Baiklah.” Seung Yeon mengusap pipinya yang merah. “Aku setuju. Gomawo, Hoon-a.”

“Seharusnya aku yang berterima kasih.” Ji Hoon mendekat dan mengecup bibir Seung Yeon sekilas. “Sekarang makan ya? Supnya mulai mendingin.”

Seung Yeon mengangguk dan bersiap menerima suapan dari sang suami. Jika salah satu ada yang mau berubah, bukankah itu suatu kemajuan? Pernikahan ini sepertinya memang keputusan yang tepat. Cinta yang sesungguhnya? Mungkin. Karena pernikahan ini bukan kesalahan, tapi… memang cinta yang sesungguhnya. True love.

 

THE END

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK