home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Beautiful Lies

Beautiful Lies

Share:
Author : Rezkyka
Published : 28 Jul 2015, Updated : 14 Feb 2016
Cast : Jung Soo Jung, Kim Myung Soo, Kang Minhyuk, Kim Jongin
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |2324 Views |2 Loves
Beautiful Lies
CHAPTER 3 : Two

Soo Jung

Pagi hari, ketika semua orang sibuk memulai kegiatan. Semua bekerja karena tidak ada hari libur bagi pelayan. Apalagi hari senin, semua orang memulai kegiatannya di hari senin, senin yang sibuk. Aku harus bergegas karena hari ini aku ada jadwal kuliah pagi. Aku hanya membantu Bi Saeun sebentar di dapur setelah itu pergi ke kamarku untuk bersiap-siap, aku tidak sempat bertemu dengan Ayah karena pasti ia juga sedang terburu-buru untuk pergi ke kantor bersama Tuan Kim. Aku biasanya tidak pergi sepagi ini tapi hari ini ada jadwal praktik dan aku harus memastikan bahwa aku memiliki bahan-bahan yang aku perlukan.

Aku menaiki bus, dan mendapat kursi kosong untuk aku tempati, untung saja aku dapat tempat duduk, nadi aku bisa mendengarkan musik sambil memandang jalan. Kalau senin pagi seperti ini aku bisa satu jam sampai ke kampusku dan kalian tidak bisa bayangkan betapa sesaknya bus kota ini, apalagi jika harus berdiri selama itu.

Lagu Justin Timberlake mengalun memenuhi telingaku yang dipasang headset membuat kakiku mengikuti iramanya dan disusul oleh anggukan kepalaku. Beberapa penumpang juga memilih hal yang sama denganku, memutar playlist di ponsel mereka untuk menilmati perjalanan, bahkan diantara mereka memilih bermain games yang harus mereka lanjutkan setelah semalaman bermain, contohnya wanita berkaca mata di sampingku.

Aku sampai tepat waktu, beberapa mahasiswa terlihat membawa jas putih dan beberapa memilih memakainya. Saat berjalan menuju koridor aku berpapasan dengan beberapa seniorku, aku membungkuk sejenak. Salah satu dari mereka yang memiliki mata lebih sipit pasti mengenalku "Kau? Jung Soo Jung?" Dia memasukkan tangannya pada jas putihnya. Benarkan, dia memanggilku dengan nama yang lengkap.

"Kau di panggil oleh Ye Seung Songsaenim, dia minta kau menyerahkan laporan yang ia tugaskan kemarin" ucapnya dengan wajah tak ramah, kedua temannya juga memandangku tak suka membuat make up di wajah mereka menjadi tidak berguna.

"Dengar ya, jangan karena kau terkenal dengan murid pintar kau seenaknya mencari perhatian dengan dosen disini" Ia mendekat kearahku. Aku ingat ketika saat masa perkenalan mahasiswa, dia salah satu penanggung jawab untuk mengatur mahasiswa baru. Aku mendengarnya bertanya pada salah satu temannya tentang mahasiswa yang memiliki nilai kedua paling tinggi setelah pria berkaca mata yang bernama Hector Wu murid pindahan dari London, temannya menunjuk kearahku dan sejak saat itu pandangannya mulai berbeda saat melihatku.

Memang, di kampus ini memiliki senioritas yang tinggi. Meski tidak sampai membully tapi para senior bisa berkata apapun, membenci dan mencibir siapapun para junior yang mereka mau.

Aku terdiam, tidak berniat berkomentar. Lagi pula aku juga tidak boleh, meski aku ingin "Hyena," seseorang memanggil gadis yang menegurku tadi, kami semua menoleh "kau dicari Tae Sung, katanya ada yang ingin ia tanyakan, dia ada di kelas" ucap pria itu, dia seniorku juga.

"Dan kau" matanya kearahku "kau bisa membantuku di laboratorium, aku butuh bantuan untuk memindahkan beberapa barang untuk praktik kelasmu nanti" Ia mulai berjalan santai mendahuluiku. Aku masih terdiam karena seniorku yang bernama Hyena juga dua temannya belum juga pergi.

"Cepat! Kau mau Dr. Jae Hang marah?" Serunya kepadaku, kemudian berjalan kembali seolah-olah dialah bosnya, menyebalkan.

Aku berlari menyamakan langkahnya, kemudian melirik kearah pria itu sebentar. Apa dia serius dengan ucapannya tadi? Atau hanya mau menolongku? Aku mengikutinya dan dia berbelok kearah perpustakaan. Sudahku duga.

"Kau seharusnya bilang kalau kau hanya ingin menolongku, aku harus kembali untuk mengambil sesuatu di lokerku" aku mengeluh padanya, lebih tepatnya pada punggungnya. Aku memutar bola mataku dan berbalik karena dia tidak kunjung merespon.

"Hya! Jung Soo Jung" panggilannya menghentikan langkahku. "Ini masih terlalu pagi untuk terburu-buru, santailah sedikit" aku kembali membalikkan badan dan melihat wajahnya memohon "kita sudah seminggu tidak bicara, ayolah" katanya sambil mengangkat bahu.

Aku menghembuskan napas berat, kemudian melihat jam di tanganku "baiklah" aku mengalah dan berjalan kearahnya, dia tersenyum lebar dan membuka tangannya seolah aku berjalan untuk memeluknya. "Singkirkan tanganmu" aku mendorong tangannya dan melewatinya begitu saja. Seketika itu tangannya melingkar di leherku dan memelintirnya.

"Hya!" Aku memukul kepalanya dan meringis kesakitan.

Aku tahu kenapa dia memilih jalan menuju perpustakaan karena disini jalan yang paling sepi dibanding koridor lain jika pagi hari. Mana ada yang terima mahasiswa baru sepertiku memukul senior pria yang hampir disukai oleh seluruh wanita di kampus ini. Aku bisa mati.

Kami bersender pada balkon dan menyangga tangan kami disana. Sikunya menyentuh siku ku.

"Dia menyebalkan ya?" Myung Soo memulai obrolan. Dia sebenarnya sahabatku, kami satu kelas sejak SMP namun obsesi dan kadar kepintaran otaknya melebihku. Dia masuk perguruan tinggi lebih dulu dengan hanya melewati dua tahun di Sekolah. Kami memiliki tujuan universitas yang sama karena disini jurusan kedokteran terkenal bagus. Dia lebih dulu masuk dan menjadi seniorku, sayang, senioritas disini tinggi, jadi membuat aku tidak begitu leluasa berbicara dengan Myung Soo, kami pun sepakat untuk berpura-pura tidak mengenal sampai lewat setahun nanti saat aku sudah tidak jadi budak pembicaraan senior-seniorku.

"Siapa?"

"Hyena, dia suka iri dengan siswi pintar yang tenar melebihi ketenarannya" dia memandang pohon yang menutupi kami dari pandangan mahasiswa yang berlalu lalang di lantai bawah.

"Aku tidak tenar" elakku sambil memasukkan permen karet ke mulut. Dia memandangku dan hampir tertawa.

"Mahasiswa baru dengan nilai test tertinggi di kampus ini? Kau bahkan melebihi ketenaranku"

Bahuku merosot dan kembali menoleh kearahnya dengan sebal "kau memiliki dua kesalahan, pertama, aku peringkat kedua nilai tertinggi. Kedua, aku tidak suka terkenal, tidak mau terkenal dan tidak mau di sebut terkenal, aku tidak sepertimu" cibirku dan berhasil membuat mulutnya terbuka.

"Hey, kenapa aku? sudah sewajarnya aku dikenal aku tidak mau munafik dengan tidak mengakuinya" Dia mengubah arah berdirinya dan menghadapku "Harusnya kau merasa beruntung bisa dekat dengan senior terkenal sepertiku" dia mendekati dan mengunci tubuhku.

Aku tertawa kecil "ingat, kita seumuran" ucapku dengan meletakkan kedua jariku di keningnya lalu mendorongnya. Ia sedikit terhuyung dan aku menjauh. Aku tidak bisa lagi menahan tawa.

"Kau tidak sopan, aku bisa memberitahu Hyena untuk terus mengganggumu!!" Serunya.

"Lakukan saja!" Jawabku sambil menjulurkan lidah dan kembali berjalan.

Salah satu bebanku, aku harus mempertahankan nilaiku sampai lulus dan menjadi dokter. Selain agar beasiswaku tetap bertahan aku ingin lulus tanpa mengulang apapun, aku ingin segera menjadi dokter, bekerja, dan membawa Ayahku keluar dari rumah Tuan Kim agar Ayah bisa beristirahat. Lalu membeli rumah untuk tempat tinggalku, Ayah dan So Jin. Kami akan tinggal di sebuah rumah yang nyaman, bersama-sama lagi seperti dulu.

Hari senin setiap sore setelah menyelesaikan semua tugas di kampus, aku harus menemui So Jin, melihat keadaannya di sekolah. Harusnya wali murid yang berkunjung dan datang di hari sabtu atau di hari libur. Tapi aku sudah dapat izin dari sekolahnya kalau aku baru bisa menemui So Jin setiap hari senin karena saat hari libur majikanku berada di rumah. Kepala sekolah memang sudah kenal denganku dan juga keadaan keluargaku jadi dia memaklumi.

Aku berjalan masuk dan duduk di taman kecil yang cukup sepi dari anak-anak sekolah. Ada beberapa anak sebenarnya tapi rata-rata mereka hanya duduk sambil di temani seorang suster atau penjaga. Anak-anak disini tidak seperti anak-anak biasa, mereka tidak bisa melakukan banyak hal seperti berlari, bermain pasir atau membeli makanan kesukaan mereka.

"Noona" aku membalikkan badan dan mendapati So Jin berjalan kearahku. Rambutnya yang lurus sudah mulai terlihat panjang. Di Sekolah ini memang ada asrama, tempat makan dan toko kecil untuk membeli keperluan tapi disini tidak ada salon, biasanya aku yang memotong rambutnya.

Ketika So Jin berjalan kearahku aku dapat melihat seseorang yang juga berjalan di belakangnya dengan memakai Jas putih dan tersenyum kearahku. So Jin duduk di sampingku dengan diam, tidak begitu banyak ekspresi di wajahnya tapi napasnya terlihat stabil dan wajahnya tidak pucat. Aku beralih pada pria dihadapanku. Dia memberiku amplop putih, amplop itu berisi tentang laporan kesehatan milik So Jin setiap bulannya.

"Keadaanya stabil" kata pria didepanku.

Aku menatapnya sebentar kemudian tersenyum "terima kasih Pak dokter"

Dia menahan tawanya "masih calon dokter" kemudian duduk di sampingku dengan santai. Myung Soo selalu jadi sosok yang aku kagumi, pintar, baik, dewasa dan dia menjadi salah satu penolongku. Dalam hari-hari tertentu ia akan kerja part time di sekolah ini, menjadi asisten dokter dan kadang menggantikan dokter-dokter disini jika suatu masalah terjadi pada salah satu murid. Dia juga menjaga adikku dengan baik selagi aku tidak bisa menjaganya. Ingat, pekerjaan pelayan tidak pernah selesai.

"Jangan rendah hati seperti itu, nanti murid-murid disini makin tergila-gila padamu" aku mendorong pelan lengannya.

Sudah jelas kenapa Myung Soo lebih cepat mendapat pekerjaan part time dari pada aku. Kadang penampilan memang mempengaruhi hampir setengah persen kehidupan seseorang. Aku? Hanya gadis lusuh yang harus pulang tepat waktu untuk berganti seragam pelayan.

Sekarang jangan tentangku lagi, kini giliran adikku So Jin.

"Apa semuanya baik-baik saja?" Aku menoleh dan memperhatikan So Jin dengan lekat.

Dia menghembuskan napas lelah "aku baik-baik saja Noona" dia balik menatapku seolah-olah aku sudah bertanya ratusan Kali "...hanya saja sesuatu di dalam tubuhku ini yang tidak baik-baik saja" dan dia menjawab seolah-olah sudah ribuan kali memberitahuku.

Umurnya baru sebelas tahun. Kakinya belum tumbuh terlalu panjang, tingginya saja baru setengah dari tinggiku tapi perkatannya membuatku makin sadar bahwa hidupnya melelahkan. Sejak lahir So Jin menderita kelainan jantung yang membuat dokternya mengatakan kalau umurnya tidak lebih dari dua tahun, tapi sekarang dia duduk disampingku menceritakan rasa bosan disetiap harinya lewat ekspresi wajahnya.

Minum obat dengan rutin, memeriksa kesehatan setiap bulan, terlebih lagi satu tahun yang lalu paru-parunya bermasalah membuat satu beban lagi di hidupnya dengan penyakit asma. Karena itulah dia tinggal disini. So Jin tidak mungkin tinggal bersama aku dan Ayah yang statusnya adalah kepala rumah tangga dan pelayan. Kesibukan kami akan membuatnya sedikit tak terurus nanti.

Di sekolah ini ada yang memperhatikannya, menjaganya, memastikan keadaannya. Ia juga tidak perlu repot-repot ke Sekolah karena letak asrama di dalam sekolahnya. Hanya saja disini tetap saja tidak ada penyewaan jasa menjadi orang tua.

"Rambutmu sudah panjang, aku akan memotongnya" aku menyentuh ujung belakang rambutnya mengukur berapa panjang yang harus aku potong.

"Noona, bisakah kita keluar dari sini sebentar saja?" Tanyanya dengan tatapan memohon, tanganku turun dan mataku ikut menatapnya. Aku malah ingin membawa So Jin keluar dari sini selamanya, tinggal bersamaku saja, aku yang menjaganya. Tapi lagi-lagi keadaan, keadaan yang membuat kami tidak bisa menyusun rencana yang menyenangkan, membuat kami pasrah dan mengikuti apa mau keadaan.

"Kalau keadaanmu membaik kita bisa jalan-jalan sebentar, iya kan Myung Soo" aku langsung mengalihkan pandanganku kepada Myung Soo yang malah menatapku dengan ekspresi biasa ketika aku sedang bertanya tentang jawabanku soal tesis tertentu kemudian dia akan menjawab 'kau salah' aku tahu arti pandangan itu jadi aku memberinya sedikit kode untuk tidak terlalu jujur.

"Eemm.. Bisa saja" ucap Myung Soo akhirnya. Aku tersenyum lebar kearah So Jin dan dia menatapku datar, mungkin dia sudah hafal bagaimana ekspresiku dan Myung Soo kalau sedang berbohong jadi dia tidak berbicara tapi hanya mengangguk kecil, agar aku menganggap dia percaya dengan apa yang aku dan Myung Soo katakan.

-

Setelah mengobrol dengan So Jin ia harus segera pergi karena jadwalnya yang lain sudah menunggu, seperti mengerjakan tugas, masuk kelas musik atau menggambar, cek kesehtan, makan malam, kemudian tidur malam. Aku sampai hafal denga rutinitasnya karena hal yang sama dilakukannya setiap hari disini. Aku tahu betapa bosannya.

"Soo Jung-ah kau tidak apa?" Suara Myung Soo mengagetkanku. Aku menghentikan langkah dan memandangnya.

"Kau selalu tahu suasana hatiku sehabis menjenguk So Jin, jangan bertanya lagi karena aku tetap akan mejawab baik-baik saja" aku kembali melangkah dan menendang batu-batu kecil yang tidak bersalah.

"Hya" tangan Myung Soo merangkul bahuku "So Jin akan baik-baik saja, meski tubuhnya sempat demam kemarin tapi perkembangannya cukup baik.

Aku kembali menatapnya "aku akan berusaha keras agar tahun depan aku bisa bekerja part time disini, sepertimu dan aku bisa terus menjaga So Jin"

Myung Soo tersenyum, bukan senyum jahilnya tadi pagi "dan aku akan lebih merekomendasikanmu daripada mahasiwa lain" melainkan senyum yang tulus.

"Gomawo" aku tersenyum lebar seolah mereasa terharu. Myung Soo merubah raut wajahnya dan menarik kembali tangannya.

"Wajahmu buruk sekali, jangan bersikap imut di depanku" ucapnya dan mendorong lenganku dengan telunjuknya. Dan aku hanya bisa tertawa. "Apa besok kau ada acara?" Kami kembali berjalan dengan normal setelah tertawa beberapa menit.

"Besok Hyo Min, teman sekelasku ulang tahun. Ulang tahunnya di adakan di restoran Kyusang"

Myung Soo terlihat sedikit terkejut "oh, kau harus menjaga makanmu disana atau kau akan bangkrut"

"Beruntungnya aku karena Hyo Min yang membayar semuanya" aku mengangkat bahu. Keluarga temanku itu memang cukup berada jadi untuk menyewa restoran bukan suatu masalah.

"Padahal lusa aku sudah pergi ke Busan" keluhnya. Tunggu, Busan?

Lagi-lagi aku menghentikan langkahku dan menatap Myung Soo dengan wajah terkejut "untuk acara sosial itu? Aku kira kau baru berangkat minggu depan"

"aku koordinator, jadi harus berangkat lebih dulu dan memastikan semuanya sudah beres" ia tersenyum pasrah, dan aku ingin sekali memukul wajahnya.

"Oh jinjja, kau benar-benar, berhentilah sok sibuk dan jangan mencoba menarik perhatian dosen lagi, jangan sok baik!!"

"Hya, kau mau merusak telingaku ya?!!" Myung Soo menutup kedua telinganya. Aku tidak habis pikir, dia benar-benar mau menyibukan dirinya di kegiatan kampus. Selalu menjadi koordinator acara, menjadi calon dokter yang didambakan dosen dan mahasiswa lain. Myung Soo terlalu menjadi sempurna untuk ukuran idola kampus dan untuk ukuran sahabat pelayan sepertiku. Aku bukannya iri, hanya takut tidak memiliki teman saat aku merasa membutuhkannya.

"Jadi besok apa rencanamu?" Tanyaku dengan suara lebih rendah.

"Mengajakmu makan pastinya. Aku aka pergi seminggu lebih dan aku tahu saat aku kembali kau sudah jadi lumut berlumpur karena menungguku jadi sebelum itu terjadi aku aka mentraktirmu makaa... aaww sakit" aku mencubit lengannya keras. Dia selalu punya celah untuk mengejekku dan aku selalu memiliki celah untuk membalasnya. Memang, aku punya teman selain Myung Soo tapi tidak benar-benar dekat bahkan Hyo Min yang entah kenapa rela berteman dengan mahasiswa bepekerja pelayan sepertiku. Anggap saja Tuhan terlalu baik.

"Aku tidak akan makan denganmu! aku akan makan semalaman dengan Hyo Min dan teman-temanku yang lain, jadi jangan berharap banyak!!" Aku berteriak di telinganya dan bergegas pergi. Myung Soo mulai tertawa dengan kencang. Aku sebal mendengar tawanya jadi aku menghentakan kakiku dengan sengaja.

"Jangan lupa jam 9 malam di kedai Jjang!!" Serunya padaku.

Baiklah aku tersenyum. Meski mejengkelkan tapi Myung Soo orang yang paling mengerti aku, apapun keinginanku dan tahu kapan aku berbohong. Tentu saja aku akan datang, Myung Soo tahu itu. Dan tawanya tadi adalah tawa kemenangannya, kali ini aku mengaku kalah.

-

Beri komentar jika kamu ingin FF ini lanjut, klik love jika kamu menyukai FF ini. Don't be silent!

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK