Myung Soo
Aku meletakan sebuket bunga di dekat kakiku, di atas rumput-rumput yang mengering. Kadang rasa sakit di bagian dadaku terasa, mengenang kepergian Ibuku yang begitu cepat. Bahkan dia belum sempat melihatku memegang gelar dokter seperti yang di kehendakinya. Semilir angin di tempat ini rasanya tidak menyejukan sama sekali, malah membuat mataku perih dan wajahku memanas.
Lima tahun sudah Ibu meninggalkanku dan Ayah. Membuat kami terbelenggu dalam kebingungan sesaat. Kebingungan karena tidak ada sosok seperti Ibu lagi di rumah. Kadang aku mengajak Soo Jung berkunjung ke rumah untuk menghapus kerinduanku pada Ibu. Memang mereka tidak mirip, masakan Soo Jung juga tidak seperti masakan Ibuku, tapi ketika dia berada disampingku aku merasa tidak kesepian lagi. Bahkan kadang aku merasa Ayah pun begitu. Ayah sempat bilang ingin punya anak perempuan tapi Tuhan hanya memberi satu anak laki-laki padanya "Biarlah aku dapat cucu perempuan saja" ujarnya padaku belum lama ini, dan Soo Jung yang berada disana saat itu mendengarnya, dia hanya tertawa sedangkan aku menahan wajah maluku.
Aku berharap dapat segera lulus kuliah, bekerja sebagai dokter dan membangun keluarga, cita-cita Ibuku sebenarnya untuk melihatku sukses seperti itu dan sekarang menjadi cita-citaku juga. Aku selalu optimis, sampai suatu hari aku sadar sakit di tubuhku dapat mengacaukan semua itu.
Berkunjung ke makam ibuku membuatku teringat akan kematian. Membuat aku sadar bahwa manusia hanya memiliki waktu yang sangat sedikit, terlebih lagi kita tidak pernah tahu kapan waktu kita akan habis. Harusnya semua itu membuat manusia berpikir dua kali untuk membuat keburukan pada hidupnya. Mimpi menjadi dokter-lah yang membuatku belajar untuk menghargai hidup. Karena setiap nyawa sama dengan kesempatan, begitu berharga.
Setiap enam bulan sekali aku akan berkunjung kemakam Ibu, kadang bersama Ayah kadang hanya sendiri. Tapi akhir-akhir ini lebih banyak berkunjung sendiri, kesibukanku dan Ayah-lah yang membuat kami jarang bertemu. Ayahku salah satu pemimpin rumah sakit di Incheon, ketika umurnya masih muda Ayah sudah memiliki prestasi dibidang kedokteran, Ayah adalah salah satu idolaku, dan aku berharap akan menjadi sepertinya.
Aku berdiri sudah sekitar Lima belas menit. Hanya berdiri. Memandang kosong tanah dengan rumput kering di hadapanku. Kelopak bunga yang tadinya tertidur rapi, sekarang mejadi berantakan akibat angin kencang, dan aku masih saja melamun.
Ibu. Aku memanggilnya dalam hati. Besok aku akan pergi menemui banyak orang yang perlu bantuan lagi, aku sangat senang dan ingin terus menolong orang sampai waktuku benar-benar habis, sampai nanti aku bertemu dengan Ibu. Rasa sakit itu muncul tepat diulu hatiku ketika aku mencoba berdialog dengan Ibuku.
Jika aku tidak memiliki jadwal kuliah atau kegiatan lain. Aku akan berada disini seharian. Duduk memandangi makam Ibuku lalu memikirkan apa yang sudah aku lakukan selama hidupku, apa aku sudah cukup berguna untuk orang lain?
Dibanding dengan Ayah aku lebih akrab dengan Ibu, karena dialah satu-satunya orang yang sangat mengerti diriku, mengerti apa yang aku inginkan bahkan saat aku belum mengatakannya.
Namun hari ini aku tidak memiliki lagi sosok itu. Aku mulai menyimpan semuanya sendiri, bahkan dengan Ayahku sendiri. Walau orang-orang bilang aku lebih mirip Ayahku namun pemikiran kami sering kali berbeda, itu yang membuat kami tidak begitu akrab. Tapi tetap saja ia merupakan Ayah yang sangat baik dan bijak, aku mengaguminya dan Ayahku adalah orang yang sering menjadi inspirasiku, khususnya dalam menolong orang lain. Dia adalah dokter yang pantas dikagumi.
Setelah lewat satu jam aku sadar kalau harus kembali bekerja part time di sekolah. Sekolah itu bukan sekolah biasa. Sekolah ini terdapat murid-murid istimewa yang tidak bisa ditemui di sekolah-sekolah lain. Mereka memiliki penyakit komplikasi yang mereka derita sejak kecil atau baru saja mereka ketahui.
Aku pergi ke ruang guru, sebagian guru disini merupakan dokter yang merangkap sebagai guru demi mengantisipasi sesuatu di kelas. Aku hanya sebagai asisten disini, kadang ikut mengoreksi pekerjaan murid atau melakukan piket keliling dan memastikan keadaan murid disini baik-baik saja.
Aku berjalan santai melewati koridor, beberapa anak terlihat duduk dan berbincang dengan temannya. Jarang sekali aku melihat anak-anak berlari disini, mereka harus mejaga tubuh mereka agar tetap stabil dan tenang. Jangakan untuk berlari, tertawa saja mereka harus berpikir dua kali atau kami akan akan menyiapkan tabung oksigen untuk mereka. Ya, ini memang mengerikan. Mereka bahkan belum mengerti apa yang bersarang ditubuh mereka, mengapa paru-paru mereka tidak bersikap ramah, kenapa kepala mereka selalu menimbulkan rasa sakit.
Sebelum aku memasuki klinik sekolah seorang siswi kelas tiga keluar dari klinik. Itu sarah, ia keluar dari klinik degan wajah senang sambil merapikan poni barunya.
"Anyeonghaseyo" sapaku kepada anak itu lalu pada guru yang mendapinginya "wah Sarah, kau memotong rambutmu?" Tanyaku antusias. Gigi-gigi kecilnya muncul sepanjang senyum merekah diwajahnya.
"Iya aku memotongnya kemarin, kata dokter aku jadi terlihat makin cantik jadi dokter memberiku ini" ia memamerkan lolipop di tangannya dengan bangga.
Aku tersenyum "dokter benar, kau memang lebih cantik Sarah" kataku sambil mencubit pipinya.
"Myung Soo-ssi apa kau sudah ke ruang guru? Kebetulan aku membawa kue buatanku sendiri"
Hye Mi adalah guru yang menemani Sarah ke Klinik dia masih menjadi guru honorer disini dan sedang menjalani kuliah S2, akhir-akhir ini dia sering mengajakku mengobrol, aku menyukainya dia wanita yang baik. Tapi sayang aku tidak berniat menjalani hubungan serius dengan wanita yang lebih tua.
"Belum songsaenim, nanti akan aku sempatkan kesana setelah membantu Dokter Hwang di Klinik" jawabku. Dia terlihat tersipu dan akhirnya permisi pergi. Aku menggeleng sejenak, dan tiba-tiba suara Soo Jung terdengar di telingaku 'Kau ini tidak bisa tidak bersikap manis ya ke semua wanita? Mereka pasti akan salah paham dengan sikapmu, berhentilah menggoda mereka!' Aku hampir menutup telingaku kalau aku tidak sadar itu semua hanya bayanganku saja. Lalu aku tertawa.
"Selamat pagi" sapaku pada dokter Hwang.
"Pagi" jawabnya singkat dengan suara beratnya. Dokter Hwang salah satu dokter paling serius di klinik. Ia jarang tersenyum dan sesekali tertawa itu pun jika ia benar-benar ingin melakukannya.
"Myung Soo, jangan lupa kau belikan lagi sebungkus lollipop, persediaanku mulai habis"
"Baik dokter" jawabku sambil menahan senyum. Meski sifatnya yang sedikit dingin dan tidak begitu terlihat ramah, tapi ia memiliki hati yang penyayang dan perhatian. Aku tidak heran Sarah akan tersenyum sepanjang hari karena lollipop pemberiannya.
Hari ini aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku karena sore ini aku akan bertemu dengan Soo Jung untuk makan bersama. Dalam beberapa hari kedepan kami tidak akan bertemu, aku tidak bisa menghindarkan dia dari teman-temanku yang iri padanya di kampus, selama beberapa hari ia akan mendapat pandangan sinis dari teman-teman angkatanku, khususnya Hyena dan teman-temannya.
Harusnya dulu aku menunggunya untuk masuk perguruan tinggi bersama. Aku terlalu termakan egoku. Sekarang kami jarang bertemu tidak seperti di sekolah dulu. Soo Jung adalah satu-satunya sahabat baikku. Kami melewati masa sulit bersama. Aku berasamanya saat ia kehilangan kakak laki-lakinya dan dia bersamaku ketika aku kehilangan Ibuku. Kami saling menguatkan meski kami sering kali tidak menyadari hal itu. Soo Jung adalah sahabat yang jujur dia akan mengatakan apapun mengenaiku dan dia juga tidak keberatan jika aku mengatakan hal yang sama. Aku hanya meraa dia adalah gadis yang baik, yang sangat menyayangi Ayah dan Adik laki-lakinya. Gadis yang pintar dan pekerja keras, wajahnya juga terbilang manis, tentu saja banyak yang iri dengannya di kampus.
Adiknya, So Jin pertama kali masuk sekolah ini aku pun ikut mengantarkan, waktu itu kami masih SMA. Soo Jung harus ikut tinggal bersama Ayahnya dan menjadi pelayan di keluarga Kim. Keluarga itu sangat terkenal di Korea dan memiliki bisnis properti terbesar ketiga. Saat itu So Jin menangis terisak karena tidak mau berpisah dengan Ayah dan Noona-nya. Dia menangis sambil berkata bahwa ia akan jadi anak baik dan akan menurut. So Jin adalah adik yang baik dan penurut, ia tidak perlu memohon untuk itu karena bukan itu alasan Ayahnya mengirimnya kesini. Itu semua karena mereka tidak bisa membiarkan So Jin juga menjadi pelayan, apalagi sekolahnya yang lama berjarak cukup jauh, tidak ada yang mengawasinya. Disini ia akan dapat perhatian khusus apalagi aku sudah bekerja part time disini aku bisa membatu mengawasinya dan jika penyakitnya kambuh ia akan segera tertolong.
Namun, sejak dipindahkan ke sekolah ini, So Jin jadi sangat pendiam. Aku sering melihatnya menyendiri didapingi seorang perawat. Ia akan mengantre makanan di kantin tanpa terlihat antusias, ia melakukan semuanya sendiri tanpa berniat mencari teman untuk bersamanya. Kadang saat dia sibuk melamun di kelas aku akan menghampirinya dan mengajaknya bicara. Kadang juga aku berhasil membuatnya tersenyum karena leluconku. Andai So Jin sehat ia akan menjadi anak yang ceria dan aktif, ia akan berlari dan makan apa saja yang ia mau, bermain bola, dan menggambar apapun yang ia bayangkan. Tapi tidak, beberapa kali di kelas menggambar ia akan menggambar suntikan, obat-obatan atau infus disamping anak-anak lain yang mecoba menggambar hal yang ingin mereka lakukan jika mereka sembuh nanti.
Hari sudah menunjukan pukul 5 sore. Saatnya aku pergi ke kedai Jjang seperti yang aku janjikan pada Soo Jung. Mungkin sekarang ia masih menikmati pesta bersama temannya yang berulang tahun dan setelah itu ia akan menemuiku. Banyak hal yang ingin aku katakan sebenarnya hari ini. Bukan karena aku ingin pergi untuk sementara tapi ada hal yang ingin aku katakan padanya, yang aku sembunyikan selama ini dan aku rasa aku perlu mengatakannya pada Soo Jung.
Aku sudah duduk didalam kedai dan memesan minuman lebih dulu. Dulu aku dan Soo Jung senang makan teokpokki dan sosis bakar disini, rasanya sangat lezat dan terjangkau untuk uang saku anak SMA dan mahasiswa. Aku rencananya akan mentraktirnya kali ini, karena setiap kami makan bersama aku selalu pergi lebih dulu dan lupa membayar, hasilnya Soo Jung yang membayar semua makanan kami. Aku mencoba membayar keesokan harinya tapi dia berseru "kau pikir aku semiskin itu sampai tidak bisa membayar makananmu?" Jika ia sudah mengatakannya aku hanya bisa diam dan perasaanku mulai tidak enak padanya.
Sudah dua jam aku menunggu dan mencoba menghubungi Soo Jung, ia tidak mengangkat telponnya tapi ia sempat mengirim pesan satu jam yang lalu kalau ia berjanji datang. Aku tidak menyalahkannya kalau ia bersenang-senang dengan teman barunya, aku hanya berharap dia segera datang dan kami bisa mengobrol lebih lama.
Aku memainkan sendok ditanganku, dan menyandarkan bahuku setelah makan. Aku memilih makan lebih dulu karena Soo Jung belum kunjung datang, dia tidak akan marah karena harusnya aku yang marah. Ini sudah hampir pukul sembilan malam dan aku sama sekali tidak mendapat kabar darinya. Akhirnya aku menyibukkan diriku dengan melihat televisi yang berada tidak jauh dari mejaku. Orang-orang yang sedang berada di ruangan ini juga sibuk memperhatikan televisi yang sedang menampilkan berita terbaru tentang aktor yang belum lama ini di beritakan kalau ia seorang homoseksual dan sekarang pria itu tengah di hujani flash kamera wartawan dengan menggandeng seorang wanita yang menutup wajahnya dengan jas pria itu. Orang-orang saling berbisik "jadi dia punya kekasih?" Ucap seorang wanita paruh baya yang tidak jauh dariku.
Aku mulai merasa bosan dan mencoba menghubungi Soo Jung kembali, dan sekali lagi tidak ada balasan. Ayolah Soo Jung bahkan saat seperti ini? Ia tidak pernah sebelumnya membuatku menunggu seperti ini. Aku mencoba sabar dan masih menunggu sampai aku benar-benar merasa bahwa Soo Jung tidak akan datang.
Aku menggeleng tidak habis pikir Soo Jung bisa melupakan janjinya. Akhirnya aku bangkit pergi, tapi tiba-tiba kepalaku terasa pusing, sangat sakit sampai aku merasa semua darah naik ke kepalaku. Aku meraih ponselku di meja namun terjatuh ke lantai dan aku tidak bisa mengambilnya, sampai seseorang menyadari aku yang sudah terjatuh di lantai, seperti biasa, semua berubah menjadi gelap.
-
Jika kamu menyukai FF ini klik love jika kamu menginginkan FF ini untuk lanjut tinggalkan komentar^^