Soo Jung
Kedua tanganku terangkat menampilkan kulit siku-ku yang mengering, jari tanganku mulai membersikan beberapa helai rambut dari wajahku. Aku mulai memanjangkan rambutku ketika umurku tujuh tahun, ketika Ibuku bilang kalau seorang gadis lebih terlihat manis ketika rambutnya terurai panjang. Sejak saat itu aku sangat meyukai setiap kali Ibu menyentuh rambutku, menyisirnya, kadang mengepangnya atau menyelipkan pita kecil yang manis untuk menyangga poniku.
Sekarang, di umurku yang ke duapuluh ini rasa peduliku dengan penampilan sepertinya malah memudar. Aku hanya mengikat semua rambutku ke belakang karena aku sudah tidak memiliki poni. Aku tidak pernah perduli lagi apakah rambutku harus panjang atau tidak, karena sejak Ibuku tiada semua itu jadi tidak penting lagi.
Jam menunjukan pukul tujuh pagi, waktunya menyiapkan sarapan. Didekat meja makan sudah berdiri Bi Saeun, lengannya yang berlemak bergoyang ketika mengangkat beberapa piring dari dapur.
Dia melihatku "Tolong bawa ini ke meja" titahnya dengan wajah ceria. Aku menghampirinya dengan wajah curiga tapi dia tetap memandangku penuh senyum. Aku tidak ingat berapa puluh kali aku melihat senyuman Bi Saeun yang tidak pernah pudar disetiap pagi, terutama di hari sabtu.
"Haruskah Bibi melakukannya setiap hari?" Dia mengikutiku dari belakang sambil membawa piring berisi pisau dan garpu.
"Melakukan apa?" Bibirnya belum berhenti tersenyum. Bi Saeun meletakan piring disamping gelas kopi yang baru aku letakan. Dan sekarang terdengar suara nyanyian kecil dari mulutnya.
"Gigi Bibi akan mengering dan retak jika tersenyum terus" aku meladeni.
Dia mengendus geli "aku baru dengar teori itu" dia mencubit lenganku "aku sudah memberitahumu bukan? Awali semua dengan senyuman dan kau akan mengakhirinya dengan tawa, tapi jika kau mengawalinya dengan amarah maka akan berakhir dengan luka" wajahnya itu, karena terlalu sering menonton serial televisi ekspresinya jadi terlalu mendramatisir.
Aku mentap Bi Saeun dengan pandangan tak percaya. "Ayolah Soo Jung, ini hari sabtu meja makan ini akan terisi, tidak seperti hari biasa, kita harus merasa senang, kan? Untuk itu kita berada disini" aku hanya mengangkat bahu menaggapinya. Memang setiap hari meja ini selalu sepi, orang-orang di rumah ini tidak pernah sempat sarapan atau makan malam di rumah. Hanya sempat jika dihari libur, dihari tidak ada pekerjaan menumpuk, di hari tidak ada suara telepon berbunyi. Dan mungkin Bi Saeun berharap dinaikkan gajinya dengan wajah seperti itu sepanjang hari, lihat saja apa kata Ayahku nanti.
"Cepat panggil Ayahmu, sarapan sudah siap" aku mengangguk dan pergi menginggalkan meja makan.
Ayah pasti berada di halaman, sedang mencuci mobil atau kalau mood-nya bagus ia akan menggantikan tukang kebun menyiram tanaman.
Aku berdiri diambang pintu menyenderkan bahuku dan menatap Ayahku dari jauh. Ternyata ia sedang menyuci mobil, sesekali menyeka ujung keningnya dari peluh tapi tidak mengendurkan tenaganya. Harusnya, Ayah sudah pensiun dan tidak sibuk mengurusi orang lain, mengurus bosnya.
"Appa! Sarapan sudah siap," yang merupakan bos ku juga.
Ayah mendengarku dan segera mematikan air, wajahnya langsung berubah sedikit tegang dan telihat berpikir, aku rasa itu hanya wajah lelahnya "Apa Tuan dan Nyonya Kim sudah turun?" Ayah berjalan dengan tergesa-gesa. Tangannya yang basah ia gesekkan sembarang ke bajunya. Aku memperhatikannya dengan wajah lelah, dia itu Ayahku tapi aku jauh lebih rapi dan bersih darinya. Mungkin karena aku seorang pelayan, sedangkan dia bukan. Setidaknya Ayahku punya gelar lebih baik.
Aku mengangguk "Sedang di panggil" kemudian melipat tangan didepan dada "sebaiknya Appa ganti baju, Nyonya Kim akan merasa risih melihat baju Appa yang basah" Ia menatapku sejenak kemudian mengangguk.
Ayah tidak akan menerima saranku untuk berganti baju jika aku bilang ia akan sakit dengan baju yang basah, Ayahku lebih menjaga perasaan majikan kami dari pada menjaga dirinya sendiri.
Sejak aku kecil Ayah sudah bekerja pada Tuan Kim Jong Sil, majikan ku itu. Pengusaha kaya, baik hati tapi memiliki sifat cukup keras. Ayahku menjadi orang kepercayaannya, mungkin satu-satunya yang ia percayai. Sedangkan istrinya sendiri malah tak banyak tahu tentang Tuan Kim, mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing bahkan anak laki-laki mereka memilih bersekolah di luar Negri dari pada harus dicampakan orangtua sendiri. Menyedihkan, tapi begitulah kehidupan. Kau kaya atau kau bahagia adalah pilihan yang berbeda.
Tadinya aku dan Ayah memiliki rumah sendiri, tapi sejak Ibuku meninggal dan disusul kakak laki-laki ku lima tahun yang lalu, Ayah tidak cukup tega meninggalkan aku dan So Jin di rumah, jadi Ayah menjual rumah dan aku ikut bekerja bersama Ayah di rumah ini sedangkan So Jin tinggal di asrama sekolah. Oh ya, So Jin itu adik laki-laki ku.
"Selamat pagi" suara itu terdengar sayu dan agak serak. Tuan Kim duduk di kursi makan disusul istrinya. Ini bukan acara sarapan dengan dewan pemerintahan maupun dengan presiden tapi rasanya sarapan dengan roti tawar dan salad ini jadi terlalu formal sejak kedatangan Tuan dan Nyonya Kim di meja makan. Ayah sudah berganti baju, mantel hitam yang ia kancingkan sampai menutup leher menjadi pakaiannya pagi ini.
Kami para pelayan membungkuk hormat sebelum mereka memulai sarapan. Karena pemilik rumah ini baru bisa duduk di meja makan seminggu sekali maka kami para pelayan harus menghormati dengan berbaris di dekat meja makan, menunggu teguran atau pengumuman yang sering disampaikan Tuan kami ini.
"Keadaan rumah baik-baik saja kan, Jung So Min?" Seperti biasa ia lebih dulu memanggil Ayahku, pelayan terbaiknya. Menurut versiku, entah versi Bi Saeun.
Ayahku menggerakan jari-jari tangannya. "Tentu Tuan, semuanya masih terkendali" Ayahku membungkuk kembali dan Tuan Kim mengangguk kecil. Anggukannya seperti menenangkan hati kami, kecuali ia mengerutkan keningnya dan terdiam lama membuat kami merinding, takut hal yang menakutkan terjadi. Seperti akan ada seseorang yang dipecat karena ketahuan lalai, atau jam kerja pelayan di tambah sampai tengah malam atau lebih buruknya lagi akan ada tamu yang datang. Semua pelayan akan sibuk membereskan rumah yang sebenarnya sudah rapi, memasak porsi yang cukup besar dari biasanya, tukang kebun akan menambah tanaman hiasnya dan semua bekerja ekstra keras karen biasanya tamu Tuan Kim adalah tamu-tamu terhormat.
"Saat ini perusahaan makin tak stabil, sama seperti kesehatanku" candanya dengan sedikit tawa. Aku rasa itu tidak bisa disebut candaan tapi terkadang majikanku ini selalu membuat hal-hal tidak spele menjadi candaan yang kadang malah membuat kami semua takut.
Istrinya melirik dengan sedikit sinis kemudian kembali fokus pada ponselnya. Tangannya menyentuh dengan lembut ponsel yang sepertinya baru lagi, atau dia ingin menunjukan pada pelayan kalau ia baru saja membeli cicin rancangan terbaru bulan ini, aku sangat hafal sekali sifat nyonya besar. Sekarang Tuan Kim mengambil segelas air putih dan menghabiskan setengahnya setelah itu menghela napas. Aku bergerak maju, mengambil teko kaca berisi air putih dan menuangkan ke dalam gelas milik majikanku itu. Dia tersenyum.
"Oh, Soo Jung bagaimana dengan kuliahmu, apa semua berjalan dengan lancar?" Dia bertanya seperti biasanya Ayah bertanya soal kuliahku, tapi wajah Tuan Kim lebih antusias soal ini.
"Ia Tuan"
"Bagus, aku masih berpikir kenapa kau memilih jurusan kedokteran, kenapa tidak ekonomi saja? kau bisa menggantikan anak nakal itu dan mengurus perusahanku" Tuan Kim kembali tertawa kecil. Gurauannya itu membuat istrinya terganggu.
"Jong Sil" tegur istrinya. Aku tahu Nyonya Kim tidak suka mendengarnya, apa lagi sebutan 'anak nakal' untuk putra kesayangannya. Membandingkan anakmu dengan anak pelayan adalah bentuk hinaan. Pasti begitu pemikirannya. Aku melirik Ayahku yang masih bersikap tenang, tapi aku tahu ujung bibirnya sedikit terangkat. Merasa senang mungkin, majikanmu yang menyanyangi anakmu lebih dari anaknya adalah prestasi besar. Kalau ini mungkin pikiran Ayahku, entalah banyak orang yang tidak bisa ditebak, bahkan Ayahku sendiri.
"Oh ya, aku ingin memberitahu kalian sesuatu" ternyata masih ada yg ingin disampaikannya. "Anakku itu, sepertinya akan pulang minggu ini" ucapnya santai, kami para pelayan saling memandang, kecuali Ayahku. Sayang, sepertinya tidak ada rasa gembira di wajah Tuan Kim, hanya menekankan suaranya pada 'anakku' membuat Nyonya Kim mengangkat dagunya.
"Aku harap kalian bersiap-siap, rapihkan kamarnya, buat dia sedikit sadar dimana rumah dia yang sebenarnya"
Tidak hanya aku, sepertinya yang lain juga merasa ada perasaan sedih didalam kata-kata yang diucapkannya, tapi beliau menyembunyikannya dengan apik seperti biasa. Ketika anaknya pergi untuk bersekolah diluar Negri aku belum tinggal disini. Ayahku bilang kalau hari itu sangat menyedihkan, tidak ada yang mengantarnya ke bandara karena memang tidak ada yang setuju keputusannya untuk sekolah di luar Negri, hanya Ayahku saat itu yang -berani- mengantarnya. Aku sedikit menghembuskan napas, walaupun tidak seberat saat tamu kehormatan Tuan Kim datang tapi para pelayan harus tetap merapihkan seluruh rumah.
"Dan.." Setelah melahap kembali salad miliknya Tuan Kim menegakkan kembali tubuhnya. "Aku ingin Soo Jung ikut menjemputnya" aku kembali melirik Ayah, sepertinya ia juga terkejut.
"Ne?" Ayahku memastikan perkataan Tuan Kim.
"Dan aku ingin selama dia disini, Soo Jung yang menjadi pelayan pribadinya, aku yakin selama ia tinggal di Amerika tingkah dan perilakunya makin memburuk, anak disiplin seperti Soo Jung bisa membantu menyadarkannya"
Aku merasa mual, bukannya tidak senang dipuji tapi tugasku jadi bertambah lagi di rumah ini, padahal aku berharap bisa kerja part time di klinik nantinya. Dan harus aku tunda dulu untuk menjadi baby sitter, sementara anak yang aku jaga satu tahun lebih tua dariku. Pekerjaan bagus.
"Baik tuan" Ayahku membungkuk tanda setuju. Dan Ayahku bukan orang yang pintar menolak tugas.
Sepertinya ini tergantung padaku. Langkah yang paling baik untuk menolak pekerjaan adalah pura-pura sibuk, aku akan bilang pada Ayahku kalau aku kurang setuju dan menjelaskan padanya kalau tugas mahasiswa saja sudah sangat berat.
"Harusnya Appa tidak setuju" aku membantunya merapikan jas.
"Apa? Untuk tidak pergi hari ini dan membiarkan klien-nya menunggu? Kau tahu sendiri Tuan Kim tidak bisa pergi di hari libur jadi Appa yang harus menggantikan" ia menjelaskan seolah-olah aku baru dua hari menjadi anaknya.
"Aku tahu, tapi bukan itu maksudku" bahuku menurun bersamaan dengan tanganku yang jatuh.
"Lalu?" Wajahnya menatapku serius.
"Tentang anaknya yang akan datang, aku tidak bisa menjadi pelayannya tugas-tugas kuliahku tidak akan selesai, pekerjaan menjadi pelayan biasa juga sudah berat"
"Berhentilah mengeluh Soo Jung, kau bukan disuruh menjaga anak berumur lima tahun, lagi pula anggap saja dia sedang berlibur ke kampung halaman dan setelah liburannya selesai tugasmu juga selesai" Katanya dan menuju cermin untuk memastikan penampilannya.
"Aku tidak begitu khawatir kalau bukan karena pembicaraan pelayan di rumah ini" aku memang bergumam, tapi cukup keras dan terdengar oleh Ayahku. Sebutannya saja 'anak nakal' bagaimana kalau dia sudah besar dan kuliah di luar Negri, pergaulan yang tidak terbatas. Jadi ingat ucapan Bi Saen "dulu aku sempat menjaganya, ketika masih kecil dia memang pendiam, tidak mau dengar kata orang, tidak peduli dan tidak ramah sama sekali, aku tidak tahu kalau ia pulang nanti bagaimana sifatnya sekarang" perkataannya makin membuatku takut.
"Kau tidak perlu dengar omongan orang, yang lebih tahu keluarga ini ya aku, apa lagi Tuan muda lebih dekat denganku, jangan salah paham tapi dia sudah Appa anggap sebagai anak sendiri" aku mengerjapkan mata beberapa kali, memandang Ayahku yang juga sedang memandangku. Tidak, aku tidak salah paham malah aku memaklumi. Umur Anak Tuan Kim sama dengan umur mendiang kakakku. Ayah benar, dia selalu benar dengan kebenaran keluarga ini, dia yang selalu tahu bagaimana menghadapi keluarga ini, harusnya aku juga begitu, kan?
Aku melangkah maju dan memeluk Ayahku "aku harap aku juga bisa menganggap dia sebagai kakakku sendiri" aku melihat pantulanku sendiri di cermin, ternyata mataku sudah berkaca-kaca. Harusnya aku tidak se-sensitif ini, harusnya aku bisa lebih tegar dari pada ini. Aku hanya merindukan kakakku, dia pria kedua paling baik setelah Ayah, dia adalah orang yang paling bisa diandalkan. Diumurnya yang ke sepuluh saja dia sudah menghasilkan uang sendiri dengan berdagang susu dan koran keliling. Kakakku juga sering membantu Ayah setiap liburan sekolah dan mendapat uang tambahan dari Tuan Kim. Kami sangat kehilangannya, sangat. Ayah menepuk pundakku.
"Appa harus pergi, kau juga sepertinya harus membantu yang lain di dapur"
Aku menangguk tapi sambil menyembunyikan wajahku. Yah, pekerjaan dapur tidak pernah selesai.
Piring kesatu piring terakhir, gelas kesatu gelas terakhir. Setiap pekerjaan selalu aku rasakan, tapi kalau Bi Saeun pantang melakukannya, hal itu akan membuatnya merasakan lelah dan malas bekerja seolah pekerjaannya sangat berat untuk dihitung. Tapi tidak untukku, aku harus tahu seberapa berat pekerjaanku, kapan aku selesai mengerjakannya dan bagaimana cara untuk menyelesaikan lebih cepat. Aku berpikir kau tidak bisa menjalani hidup yang sama setiap harinya, harus ada sedikit perubahan setidaknya mempermudah hidupmu atau kadang mempersulit hidupmu, semua itu tidak penting yang penting hidupmu tidak membosankan. Memang, pemikiranku terlihat bukan seperti pemikiran calon dokter, tapi aku juga merangkap sebagai seorang pelayan yang pekerjaanya selalu sama setiap hari.
Setelah membereskan piring-piring pendengaranku sedikit terganggu dengan obrolan para pelayan lain yang berfokus pada televisi kecil di sudut dapur. Aku mendekat.
"Dia memang tampan, tapi sayang sudah jarang muncul di televisi" sebut salah satu pelayan, aku tahu suara sedikit keibuan itu. Milik Bi Yong Sun, dia adalah pelayan paling cerdas menurutku, ketika ada masalah dengan sesuatu di dapur, pertengkaran kecil antar pelayan sampai tempat berbagi kesedihan dialah orang yang paling bisa diandalkan.
"Dulu saat dia sedang sangat terkenal, aku berharap dia bisa aku nikahkan dengan anakku" seru seorang lagi, suaranya melengking dengan nada khas Busan pada bahasanya. Aku juga dekat dengannya, itu Bi Ihn San dia adalah salah satu pelayan tertua, anaknya lima dan semuanya perempuan. Bi Ihn San adalah seorang single parent, suaminya meninggal beberapa saat setelah ia melahirkan anak kelima, ia tidak pernah menceritakan dengan persis bagaimana suaminya meninggal yang jelas ia bekerja untuk membiayai kelima anaknya yang berada di Busan. Walau begitu kadang yang membuat kami kesal adalah sifat banyak bicaranya serta suaranya yang melengking dapat membuat ngilu telinga kami.
Aku mendekat untuk mencari tahu apa yang sedang mereka lihat. Ternyata hanya berita infotainmen dengan judul 'Benarkah aktor Kim Minhyuk adalah seorang gay' aku mengerutkan keningku.
"-tapi sayang, setelah mengetahui dia seorang gay aku jadi tidak mau, atau mungkin dia harus bertemu dengan anak-anakku dulu baru dia tahu masih banyak wanita cantik di dunia ini" Bi Ihn San melanjutkan lagi dan beberapa diantara kami menghembuskan napas dan meninggalkan tempat, menyisakan aku yang menatap Bi Ihn San degan pandangan malasku.
"Apa? Memang aku salah? Anak-anakku cantik tahu!!" Serunya lagi dan membuat jariku refleks menutup telinga. Dia hanya memandang televisi dengan pandangan muramnya kemudian menyandarkan sedikit tubuhnya pada meja. "Kau tahu Soo Jung, dunia ini semakin tidak adil, setidaknya walau pria tampan tidak dipasangakan dengan wanita cantik tetapi Pria itu pasangannya wanita, sebenarnya bukan Tuhan yang tidak adil tapi manusia yang suka mengambil jalannya diri sendiri" lanjutnya dengan wajah masam dan matanya berubah layu.
Aku meletakkan punggung tanganku pada keningnya. "Bibi tidak sedang sakitkan?"
Dia melirikku ganas "Hya! Apa maksudmu Jung Soo Jung!" Serunya lagi kali ini sambil mengebaskan kain lap ke tubuhku.
"Aw, sakit Bi!" Aku mengelus lenganku yang terkena sabetannya.
"Kau pikir aku gila?"
"Habis, tidak seperti biasanya Bibi bicara bijak seperti itu"
Dia melirikku lagi seperti anak kecil yang akan menangis, ya Tuhan, umurnya paling tua disini tapi tingkah Bi Ihn San itu suka kekanakkan.
"Menurutmu kalau aku sedang membahas putri-putriku itu artinya apa?" Dia meletakkan kain yang biasa untuk mengelap meja dengan kasar, tangannya ia lipat di depan dada, wajahnya sangat masam seperti jeruk yang biasa di gunakan Bi Saeun untuk menghilangkan bau ikan.
Aku tahu apa artinya, Bi Inh San sedang merindukan anak-anaknya, tingkahnya akan kekanak-kanakan dan beberapa hal ia sangkutkan dengan anaknya. Ibu mana yang mau tinggal berjauhan dengan anaknya?
Aku melingkarkan tanganku di bahunya "Jangan seperti itu, nanti wajah Bibi tidak cantik lagi" ucapku dan memeluknya, ia hanya menghembuskan napas beratnya dan kembali menatap televisi dimana seorang pria dengan kaca mata hitam sedang di hujani flash dari kamera wartawan. Aku seperti mengenalinya.
-
Beri komentar jika kamu ingin FF ini Lanjut, klik love jika kamu suka FF ini. Don't be silent!