“Bolehkah aku mencintaimu, Airin?”
Gadis itu hanya menatapku dengan pandangan tidak percaya. Bodoh! Apa yang kau lakukan dasar Seung Jin bodoh! Bagaimana bisa kalimat itu meluncur begitu saja?! Namun, melihat wajah gadis itu yang teramat lugu, aku tidak dapat menahan pikiranku untuk mendekatinya. Tanpa sadar aku mendekatkan wajahku kepadanya. Dia hanya berdiri terdiam seolah membatu. Terdengar suara kunci pintu yang diputar. Nenek muncul dari balik pintu dengan wajah ramahnya seperti biasa. Gadis itu langsung masuk begitu saja dan setengah berlari menuju kamarnya di lantai dua, meninggalkan aku dan Nenek. Nenek menatapku seolah menuntut penjelasan. Aku hanya bisa tersenyum kaku, merasa tidak enak. Untunglah nenek tidak bertanya apa-apa lagi dan langsung masuk menuju dapur. Akupun masuk dan menuju kamarku. Aku berhenti sesaat di depan kamar gadis itu. Tanganku sudah terangkat ke udara, bersiap mengetuk pintu ketika aku menyadari satu hal. Gadis itu masih berada di balik pintu ini. Bayangan tubuhnya terlihat dari celah di bawah pintu. Aku mengurungkan niatku untuk mengetuk dan memutuskan untuk membiarkannya terlebih dahulu. Sepertinya hari ini aku sudah melintasi batas. Aku menghembuskan nafas panjang dan berjalan memasuki kamarku. Terlalu banyak hal yang terjadi, mungkin sebaiknya aku tidur saja. Aku menatap barang-barang yang tadi aku beli. Ada sebuah barang yang memang aku beli untuk gadis itu, karena sejak kami tiba di pasar dia sudah memperhatikannya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk hati yang bisa dibuka untuk memasukkan foto. Aku mengeluarkannya dari tumpukan barang-barang lain dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak yang juga sengaja aku beli untuknya. Aku keluar dari kamar dan berjalan menghampiri kamar gadis itu lagi. Lampu sudah dimatikan dan dari dalam terdengar suara lagu mengalun perlahan.
“Aku sangat senang duduk di beranda dan menatap langit sambil mendengarkan lagu-lagu saat hatiku sedang dirundung kesedihan atau kegalauan. Atau saat aku sedang berada dalam masalah besar. Itu membuatku bisa berpikir lebih jernih dan menjauhkanku dari berbagai fikiran yang mengganggu”
Aku teringat ucapan gadis itu beberapa hari yang lalu. Apakah pernyataanku telah mengganggunya? Aku mengurungkan niatku untuk menyerahkan hadiah ini secara langsung. Aku memutuskan untuk meletakkannya begitu saja di depan pintu kamarnya. Semoga saja dia mau menerimanya dan tidak mengembalikannya. Aku kembali ke kamarku dengan perasaan yang berat. Ingin sekali aku masuk ke kamar gadis itu dan mengajaknya berbicara. Menjelaskan. Meyakinkan. Bahkan aku tidak keberatan memintanya melupakan apabila itu bisa mengembalikan keadaan kami seperti semula.
“Apa yang sudah kamu lakukan bodoh! Bagaimana bisa kamu mengatakan itu kepadanya?! Tidakkah kamu sadar bahwa dia baru saja mulai membuka dirinya kepadamu dan sekarang dia akan kembali menutup dirinya. Bahkan mungkin menjauhimu! Bodoh!”, aku memaki pantulan wajahku di cermin.
Aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Tidak ada niatan sama sekali untuk berganti pakaian. Aku meraih ponsel yang ada di dalam saku celanaku. Mungkin sebaiknya aku mengirim pesan saja kepada gadis itu. Meminta maaf. Aku mulai mengetik sebuah pesan yang panjang dan bersiap mengirimkannya ketika aku tersadar satu hal. Aku tidak pernah menanyakan nomer ponselnya.
“Sial!”
Aku membanting ponselku dan memutuskan untuk tidur lebih cepat. Aku tidak sabar menunggu pagi hari. Semoga saja besok gadis itu akan bersikap seperti biasa, seolah ini semua tidak pernah terjadi. Semoga esok di pagi hari gadis itu akan mengetuk pintu dan mengantarkan sarapan dengan senyuman di wajahnya seperti biasa. Semoga saja..
-*-
“....Jin-ssi. Seung Jin-ssi. Apa anda belum bangun?”, samar-samar aku mendengar suara seseorang memanggil dan suara pintu kamar yang diketuk.
Aku terperanjat. Sejak kapan aku tertidur? Kepalaku terasa pusing karena mendadak berdiri. Suara ketukan masih terdengar dari balik pintu. Gadis itu! Cepat-cepat aku berjalan menuju pintu untuk membukakannya. Tidak peduli meskipun jari kakiku terantuk dan terasa sangat nyeri. Aku langsung membuka pintu dan terkejut menemukan bahwa bukan gadis itu yang berdiri disana. Namun salah seorang pekerja di rumah itu.
“Maaf, Seung Jin-ssi kalau saya mengganggu tidur Anda. Saya hanya ingin memberitahukan bahwa sarapan sudah siap dan Anda sudah ditunggu keluarga di ruang makan”, ujarnya dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.
“terima kasih. Saya akan turun 5 menit lagi”, jawabku. Wanita itu hanya mengangguk dan meninggalkan kamarku.
Kulihat kamar gadis itu masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia sudah bangun, Apa mungkin dia sudah ada di meja makan? Aku bergegas membersihkan diriku. Sedikit air mungkin bisa menghapuskan wajah lelahku. Setelah mencuci muka, menyikat gigi dan menyemprotkan perfum di sekujur tubuhku aku langsung turun menuju ruang makan. Namun, hanya Kakek dan Nenek yang menyambutku dengan senyuman. Gadis itu tidak terlihat dimanapun. Dimana dia?
“Ai sudah kembali ke Jepang. Dia naik pesawat paling pagi. Kau sedang tidur, jadi dia tidak sempat berpamitan”, ujar nenek yang melihat kebingunganku.
Aku ingin bertanya lebih lanjut, tapi isyarat dari Kakek untuk segera makan membuatku mengurungkan niatku. Aku menghabiskan sarapan yang tersedia di atas meja dengan tidak bersemangat seperti biasanya. Kenapa? Kenapa gadis itu pergi tanpa berpamitan denganku? Apakah dia benar-benar tidak menyukaiku? Sebegitu besarkah rasa bencinya pada “cinta”? Aku tidak tahu, mungkin aku tidak akan pernah tahu. Entah kapan aku akan bisa bertemu dengan gadis itu lagi. Tanpa terasa aku sudah menghabiskan semua yang dihidangkan di hadapanku. Begitupula dengan Kakek dan Nenek Yamamoto. Aku segera membantu Nenek membereskan meja dan menemani kakek bermain shogi. Meskipun fikiranku saat ini tidak sedang tertuju ke meja yang ada di hadapanku, melainkan kepada gadis itu.
“Sepertinya tadi malam kau tidur sangat larut, Seung Jin-ssi. Tidak ada salahnya kalau kau mau menghabiskan waktumu untuk beristirahat. Kau terlihat sangat lelah”, ujar Kakek.
Akupun mengangguk dan beranjak menuju ke kamarku. Kakek benar, sepertinya aku memang butuh untuk beristirahat. Aku baru saja menyentuh kenop pintu ketika sebuah suara memanggilku.
“Seung Jin-ssi. Ada pesan dari Airin. Dia bilang maaf dan terimakasih karena sudah menemaninya selama disini. Ini, dia juga menitipkan ini untukmu”, Nenek menyerahkan sesuatu kepadaku dan kemudian dia pergi meninggalkanku terpaku sendiri.
Aku membawa barang tersebut masuk ke kamarku. Aku langsung membuka bingkisan yang diberikan oleh Nenek dan menemukan kameraku di dalamnya. Beserta sebuah surat. Aku membaringkan tubuhku di ranjang dan mulai membuka amplop berwarna biru tersebut. Kata demi kata dituliskan gadis itu dalam suratnya. Membentuk barisan kalimat yang seakan tidak akan pernah berakhir. Aku membaca surat tersebut dalam kesunyian. Mencoba memahami. Ketika tiba di bagian akhir, aku hanya bisa tertegun. Membaca apa yang dituliskan gadis itu di sana.
“Maaf aku belum bisa membalas perasaanmu kepadaku. Maaf, terlalu banyak hal yang belum kau ketahui tentang diriku. Aku membutuhkan waktu untuk mengerti apa yang disebut dengan cinta. Aku bahkan membutuhkan waktu untuk mencintai diriku sendiri. Terlebih sejak apa yang terjadi kepada Lillian. Aku hanya tidak ingin melibatkanmu dalam duniaku yang rumit. Jadi aku memutuskan untuk pergi dari kehidupanmu, sebelum semuanya terlambat. Mungkin kita akan bertemu lagi, mungkin juga tidak. Biarkanlah takdir yang akan menentukan jalan kita. Selamat tinggal, Seung Jin Oppa. Semoga kau akan selalu berbahagia. Semoga kelak kau akan menemukan gadis yang terbaik untukmu. – Airin Watanabe”
Aku menyimpan kembali surat tersebut. Memasukkannya kedalam tas kameraku. Ah, benar. Aku belum sempat melihat-lihat hasil foto kemarin. Kukeluarkan kameraku dan kuhubungkan dengan laptopku. Aku mengamati satu per satu foto yang ada di dalamnya. Rupanya gadis itu mengambil banyak foto saat kutinggalkan menyelam. Aku tersenyum melihat foto-foto yang diambilnya. Lebih banyak yang blur dibandingkan yang jernih. Aku mengamati foto-foto tersebut dalam keheningan. Aku terhenti pada sebuah foto. Gadis itu terlihat tengah tersenyum manis pada seorang anak dan memberinya gula-gula. Dia terlihat seperti seorang malaikat disana. Senyumku memudar. Airin, tidak bisakah kau belajar untuk mencintaiku?