Pria itu terlihat tengah sibuk berbicara sesuatu dengan instruktur yang tadi membawanya menyelam. Ya, siang ini aku menemaninya menyelam. Dia bilang dia sangat ingin menyelam. Sebenarnya aku sangat ingin ikut. Sudah lama aku tidak mengunjungi dunia bawah laut yang biasanya tidak pernah absen aku datangi. Namun, aku rasa aku harus melewatkan kesempatan ini. Mungkin nanti, setelah aku menyelesaikan semua urusanku. Pria itu terlihat melambaikan tangannya dari kejauhan sambil berjalan mendekatiku. Aku membalas lambaian tangannya seraya merapikan topi lebar yang sedari tadi aku gunakan untuk melindungi dari teriknya matahari siang ini. Aku meraih sebotol minuman isotonik dan kemudian mengangsurkan kepadanya ketika dia telah tiba di hadapanku. Dia mengambil minuman tersebut kemudian meneguknya dengan lahap.
“Ahh segar sekali! Terima kasih Airin”, ujarnya sambil menepuk pundakku.
Aku hanya membalasnya dengan mengangguk dan kembali menatap lautan. Pria itu duduk di sebelahku dan ikut menatap lautan. Dia terlihat kelelahan, namun wajahnya terlihat sangat puas. Sepertinya dia mengalami hari yang menyenangkan, meskipun tadi pagi dia sempat terlihat aneh. Entah apa yang dipikirkannya, namun aku yakin ada hubungannya dengan Aizawa Hina. Dia terasa kikuk saat kami membicarakan Hina senpai. Biarlah, nanti juga dia bercerita sendiri kalau dia ingin.
“Sayang sekali kamu tadi tidak ikut menyelam! Aku melihat dunia yang sangat indah di bawah sana. Banyak sekali ikan-ikan dan terumbu karang yang sangat keren. Sayang sekali aku tidak memiliki underwater camera, kalau tidak mungkin aku tidak akan keluar dari dalam sana sebelum aku mendapatkan foto dari setiap inci tempat tersebut!”, ceritanya menggebu-gebu
“Bagaimana lagi, aku tidak begitu pandai berenang. Mungkin lain kali”, aku berusaha mengelak. Berbohong.
“Hei, aku juga tidak bisa berenang! Namun itu tidak penting, toh ada instruktur yang menemani! Ayo, kutemani. Aku tidak masalah harus berulang kali menyelam kalau bisa melihat pemandangan seperti tadi.”, ajaknya bersemangat.
“Ah tidak usah, lagipula ini sudah terlalu siang. Sana cepat berganti pakaian, aku lapar”, ujarku lagi mengalihkan pembicaraan.
Pria itu hanya mengangkat bahu dan membawa peralatannya kemudian beranjak menuju pemandian. Aku kembali memandang lautan sambil membaca buku yang memang aku bawa dari rumah untuk mengisi waktu agar tidak bosan. Aku sedikit terkejut saat kurasakan seseorang menepuk bahuku. Cepat sekali?
“Hei Airin, apa kabar? Sudah lama aku tidak melihatmu!”, terdengar seseorang menyapaku. Aku menoleh dan terkejut.
“Tian! Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Terakhir kali kita bertemu kalau tidak salah...”, aku mencoba mengingat.
“Lima tahun yang lalu Ai, saat kamu dan kakakmu berlibur disini. Ah, aku mendengar tentang kakakmu dari Ibuku. Aku turut berduka..”
“Terima kasih, Tian. Sungguh. Apa yang kamu lakukan disini? Bukankah seharusnya kamu berada di Singapura?”, tanyaku mengalhkan pembicaraan.
“Ah, aku kembali ke sini dua tahun lalu. Mengelola resort keluargaku dan sesekali menjadi instruktur menyelam. Berkat bantuanmu 5 tahun yang lalu, aku sekarang berhasil menjadi penyelam yang baik. Kalau saja dulu kamu dan kakakmu tidak mengajariku bagaimana cara menyelam, mungkin aku tidak akan pernah mendapatkan ijin menyelam itu. Kalian berdua memang penyelam terbaik yang dimiliki pulau ini”, pujinya.
“Bukan apa-apa. Sudah lama aku tidak menyelam, tentu sekarang kamu sudah lebih mahir dariku. Hei, jangan-jangan tadi kamu yang mengantar temanku ya? Tolong rahasiakan darinya kalau aku sebenarnya bisa menyelam, ya?”, pintaku.
“Hahaha.. Baiklah baiklah. Aku tidak tahu apa alasanmu, tapi akupun tidak akan bertanya. Hei, mampirlah ke rumah kapan-kapan. Ibu tentu senang melihatmu”, ajaknya.
“Entahlah, sebenarnya aku sangat ingin sekali bertemu bibi, tapi mungkin lain kali. Sampaikan saja salamku pada Bibi”
“Baiklah. Pasti kamu mendapat pekerjaan dari Ibumu lagi, benarkan? Seperti biasa, akhir tahun kamu memang selalu mendapatkan pekerjaan dari beliau. Sampaikan salamku juga kepada Paman dan Bibi. Hei, mungkin suatu saat aku akan mengunjungi kalian di Jepang!”
“Tentu saja kami menantikan kedatanganmu! Lagipula kamu sudah dianggap Ibuku seperti anak laki-laki sendiri! Pastikan kamu menghubungi dahulu sebelum datang ke Jepang, kecuali kalau kamu mau menelan kekecewaan karena tidak bisa bertemu dengan kami. Kamu mengertikan betapa sibuknya keluargaku! Lagipula, sepertinya mulai tahun ini aku akan tinggal dan mengelola butik milik ibu di Korea, jadi mungkin aku akan semakin sibuk dan melupakanmu!”, aku bergurau.
Dia hanya tertawa dan mengacak-acak rambutku. Aku ikut tertawa dan memukul lengannya. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. Kami sibuk berbincang ketika terdengar suara seseorang memanggilnya. Seorang wanita cantik berambut hitam panjang terlihat melambaikan tangannya. Tian balas melambaikan tangan. Gadis itu berjalan mendekat. Aku menatap Tian, meminta penjelasan sambil sedikit menggodanya.
“Dia Irina, temanku”, jelasnya dengan wajah memerah.
“Benarkah? Teman spesial maksudmu?”, ucapku jelas-jelas menggodanya.
“Hahaha,, baiklah aku mengaku. Dia memang kekasihku. Sini kuperkenalkan”, dia menarik pergelangan tanganku dan membawaku mendekati gadis cantik itu.
“Irina perkenalkan, ini Airin teman baikku yang sering aku ceritakan kepadamu. Ai perkenalkan, Irina kekasihku yang tercinta”, Tian memperkenalkan kami sambil memeluk pinggang gadis itu.
“Hai Irina! Namaku Airin, senang berkenalan denganmu”, aku mengulurkan tanganku.
“Ah, jadi kamu yang namanya Airin, Tian banyak bercerita tentangmu. Perkenalkan, aku Irina. Senang akhirnya dapat bertemu denganmu”, ujarnya dengan senyum yang sangat manis. Sepertinya dia wanita yang ramah.
“Hei! Apa yang kamu ceritakan kepadanya? Irina, jangan dengarkan dia kalau menceritakan keburukanku ya! Atau kalau kamu mau mengetahui kejelekannya, tanya saja kepadaku.”, ujarku bergurau. Irina tertawa dan Tian berusaha menjitak kepalaku.
“Ah tidak. Tian selalu membanggakan temannya yang sangat pintar menyelam, baik, dan ramah. Tapi dia tidak pernah bilang kalau kamu secantik ini. Mungkin dia takut aku merasa tersaingi!”, ujarnya menanggapi gurauanku.
“Kamu bisa saja. Aku tidak secantik itu kok!”
Aku hanya dapat tersipu mendengar pujiannya. Setelah berbasa-basi sedikit, kami berpisah. Irina memelukku dan mengundangku untuk kapan-kapan datang kerumahnya dan mengobrol. Aku hanya menyanggupi sambil tertawa. Dia memang gadis yang ramah dan baik. Pantas sekali bersanding dengan Tian. Mereka terlihat sangat serasa berjalan bersisian seperti itu. Aku sedikit teringat pada masa lalu.
“Jadi, kamu mengenal instruktur selamku tadi? Temanmu atau siapa?”, suara Seung Jin oppa terdengar. Rupanya dia sudah berdiri di sisiku.
“Sudah selesai? Ayo kita mencari makan, aku lapar!”, aku berusaha menghindari pertanyaannya.
“Jangan-jangan dia mantan kekasihmu?”, ujarnya menggodaku.
“Bukan. Aku tidak pernah menjalin hubungan dengannya. Tapi dia memang cinta pertamaku, kurasa”, ucapku akhirnya, berusaha terdengar tidak peduli.
Pria itu hanya menatapku. Aku berjalan meninggalkannya, malas menjelaskan. Diapun tidak bertanya lagi. Hari itu kami habiskan dengan melakukan banyak hal. Tepatnya, pria itu melakukan banyak hal dan aku hanya menemaninya saja. Dia mengajakku pergi ke pasar tradisional untuk mencari objek foto. Dia berkata sesuatu tentang potret kehidupan atau apalah, aku tidak begitu mengerti. Jadi seharian itu aku benar-benar hanya menemaninya saja. Dia terlihat asik dengan kameranya. Beberapa kali terlihat dia sibuk berbincang dengan penjual yang memang sudah bertahun-tahun menafkahi hidupnya dari hasil berjualan di pasar ini. Setelah mengambil beberapa foto, pria itu akan selalu membeli beberapa barang dagangan yang dijual oleh penjual-penjual yang menjadi objek fotonya. Membayar lebih dan tidak meminta kembalian. Melihat wajah bahagia dari penjual-penjual tersebut aku jadi ikut tersenyum. Pria ini memang baik.
Pria ini baru selesai berburu foto saat matahari mulai terlihat akan tenggelam di ufuk barat. Sambil melihat-lihat kembali hasil fotonya, kami berjalan beriringan menuju rumah. Di tanganku kini sudah penuh dengan barang-barang yang tadi dia beli dari penjual-penjual itu. Dia hanya tertawa melihatku kesusahan membawanya. Dia mengalungkan kameranya di leherku kemudian mengambil semua belanjaan itu. Dia membawanya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menarik pergelangan tanganku.
“Sini, aku takut kamu akan hilang ditelan kegelapan!”, ujarnya sambil menggenggam tanganku.
Aku yang terkejut hanya bisa membiarkan dan berjalan di belakangnya, membiarkannya menggenggam tanganku. Aku tahu bahwa wajahku sekarang pasti memerah sekali. Aku berusaha menyembunyikan wajahku dengan menggunakan topi lebarku. Kami berdua berjalan dalam diam. Dia baru melepaskan tanganku ketika kami tiba di depan gerbang rumah Nenek. Dia membukakan gerbang dan membiarkan aku masuk lebih dahulu. Akupun mendahuluinya dan mengetuk pintu. Menunggu nenek atau siapapun membukakan pintu.
“Aku rasa aku jatuh cinta padamu, Airin”
Apa? Apa yang dia katakan? Aku berbalik dan mendapati dia sudah berdiri di belakangku. Aku mendongak untuk menatap wajahnya. Aku melihat keseriusan di matanya yang berwarna cokelat. Dia menatapku. Aku hanya bisa terdiam.
“Bolehkah aku mencintaimu, Airin?”
Aku hanya mampu menahan nafas saat wajah pria itu perlahan menunduk dan mendekati wajahku. Aku mengepalkan tanganku kuat-kuat. Saat itulah terdengar suara kunci yang dibuka. Aku segera memalingkan wajahku dan berbalik memunggunginya. Begitu pintu terbuka, tanpa berkata apa-apa aku langsung masuk dan berjalan masuk menuju kamarku. Mengabaikan tatapan heran dari Nenek. Mengunci pintu dan terduduk lemas bersandar. Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku mendengar langkah kaki mendekat dan berhenti di balik pintu kamarku. Lama dia berhenti di sana lantas kemudian terdengar menjauh. Tanpa sadar aku menghembuskan nafas yang sedari tadi aku tahan. Aku merasakan degup jantungku yang tidak beraturan. Bagaimana mungkin? Bagaimana bisa pria itu jatuh cinta kepada aku?!