home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Between You And Me

Between You And Me

Share:
Author : aikishi
Published : 18 May 2015, Updated : 28 May 2015
Cast : Airin, Park Seung Jin, Lillian, and others. all Original cast.
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |10290 Views |1 Loves
Between You and Me
CHAPTER 4 : Another Part Of My Past
Jangan pernah mempercayakan hatimu sepenuhnya pada orang lain. Jangan pernah kehilangan pandanganmu sendiri tentang bagaimana hidup seharusnya berjalan. Hidupmu adalah milikmu, tidak ada satu orangpun yang berhak merampas kebebasan hidupmu dari tanganmu. Tidak juga aku. Meskipun aku tahu kamu sangat mencintaiku, dan sebaliknya akupun teramat sangat mencintaimu. Namun aku tidak akan pernah mempercayakan hidupku padamu. Atau siapapun. Karena yang menjalani hidupku adalah aku, bukan kamu, dia atau mereka. Berjalanlah dengan menatap ke depan, jangan hiraukan suara yang terdengar dari sisimu. Berjanjilah Seung Jin, apapun yang orang lain coba katakan tentang dirimu dan hidupmu, jangan hiraukan mereka. Tidak perlu berada di jalan yang sama untuk menjadi istimewa. Kamu akan selalu istimewa, tidak peduli mereka berkata apa.
*
“Seung Jin-ssi, kau sudah bangun?”, terdengar suara ketukan di pintu kamarku.
“Ya sebentar”, aku menjawab dengan mata yang masih setengah terpejam.
 
Setelah beberapa saat aku duduk di tepi kasur dan mencoba mengumpulkan kesadaranku, aku berjalan menghampiri pintu kamar yang sedari tadi masih diketuk dari luar. Aku mendapati gadis itu berdiri di depan pintu dengan membawa nampan berisikan makanan. Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya sama sekali tidak gatal dan mempersilahkan gadis itu untuk masuk. Sejenak dia terlihat ragu, namun kemudian dia melangkah masuk dan meletakkan nampan tersebut di atas meja, di samping laptopku. Aku membiarkan pintu kamarku terbuka dan berjalan menuju toilet untuk sedikit merapikan penampilanku. Aku menyikat gigi, mencuci wajahku dan menyemprotkan parfum ke tubuhku. Aku keluar dari toilet setelah meyakinkan diriku sendiri bahwa penampilanku sudah pantas untuk menemui seorang gadis. Aku menemukan gadis itu sedang berdiri di beranda saat aku keluar dari toilet. Dia yang menyadari bahwa aku sudah selesai membenahi diri masuk kembali ke kamar dan menunjuk ke arah nampan yang tadi dia bawa.
 
“Aku membawakanmu sarapan, makanlah”, ucapnya sambil menghampiriku.
“Kau sudah makan?”, tanyaku padanya.
“Aku sudah makan bersama nenek dan Kakek tadi. Sebenarnya aku ingin membangunkanmu, tapi Nenek bilang kau tidur sangat larut semalam, jadi kami makan duluan”, jelasnya.
 
Aku memandang ke arah nampan berisikan segelas kopi dan sepiring nasi goreng serta telur gulung. Akupun kemudian segera duduk dan menikmati sarapan yang dibawakan oleh gadis itu. Sementara aku menikmati sarapan pagiku, gadis itu terlihat mengamati isi kamarku. Untungnya kemarin aku sempat membereskan beberapa pakaian yang sebelumnya tergeletak di sembarang tempat. Gadis itu kemudian berdiri dan menghampiri laptopku yang masih dalam keadaan menyala. Dia memandangku seolah meminta izin untuk menyentuhnya. Aku hanya menganggukkan kepala sambil sibuk mengunyah. Gadis itu kemudian duduk di sebelahku dan mulai memainkan laptopku, melihat-lihat file yang ada di dalamnya.
 
“Hasil fotomu sangat bagus sekali. Ternyata kamu memang seorang fotografer sungguhan ya?”, tanyanya sambil terus mengamati foto-foto yang ada di laptopku.
“Tentu saja aku fotografer sungguhan, memangnya selama ini kau fikir aku berbohong?”, aku menjitak pelan kepalanya.
 
Dia hanya tertawa dan kembali melihat-lihat hasil foto-fotoku. Gadis itu terlihat sangat serius sekali mengamati foto-foto tersebut. Terkadang dia bisa terpaku hanya pada sebuah foto dan mengamatinya seolah itu adalah sebuah karya seni dari seniman besar. Sebagian besar dari foto yang sering aku ambil memang merupakan foto pemandangan alam, mungkin hal itulah yang membuatnya sangat tertarik. Berkali-kali dia mengajukan pertanyaan jika dia menemukan foto yang disukainya dan bertanya dimana aku mendapatkannya. Aku memutuskan untuk membiarkan gadis itu tenggelam dalam keasikannya melihat-lihat foto tersebut semenatara aku menghabiskan sarapanku. Setelah menghabiskan makanan dan minumanku, aku meninggalkannya sendiri di kamar sementara aku turun untuk membawa nampan beserta piring dan gelas yang isinya sudah menghilang tersebut. Setelah sedikit beramah tamah dengan nenek dan kakek aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Gadis itu menyambutku dengan senyuman yang aneh ketika aku muncul di pintu.
 
“Hei, siapa gadis ini? Cantik sekali! Aku tidak pernah melihat gadis secantik dirinya!”, serunya sambil menunjuk layar laptopku.
 
Aku terkejut. Tidak mungkin aku masih menyimpan foto orang itu. Aku melihat foto yang dia maksud dan tertawa. Rupanya yang dia maksud adalah foto dirinya sendiri!
 
“Entahlah, aku menemukannya di tepi pantai beberapa hari yang lalu. Aku memotretnya karena dia aneh sekali, tidak ada sisi cantiknya!”, gurauku.
“Benarkah? Menurutku dia sangat cantik sekali. Tapi kurasa dia memang bukan tipemu ya, Oppa?”
 
Aku hanya tertawa dan mengacak-acak rambutnya. Sudah seminggu aku tinggal di sini dan sedikit banyak aku dan gadis ini memang menjadi dekat. Semenjak kejadian di tepi pantai dimana kami saling menceritakan masa lalu itu, sedikit banyak pribadi gadis ini memang berubah. Dia jadi lebih ceria, banyak tertawa, dan sangat usil. Meskipun demikian, terkadang aku masih merasa bahwa ada sesuatu yang masih disembunyikan gadis ini dariku. Dia tidak pernah menceritakan tentang dirinya sendiri. Dia hanya pernah bilang bahwa dia tinggal di Jepang bersama orangtuanya, sekolah di Jepang, dan lulus dari sebuah perguruan tinggi di United States. Selebihnya dia tidak pernah bercerita tentang dirinya lagi. Dia lebih senang mendengarkanku bercerita atau sekedar berjalan-jalan di tepi pantai.
 
“Oppa, bolehkah aku bertanya sesuatu?”, suaranya membuyarkan lamunanku.
“tanyakan saja. Ada apa?”
“Tidak, aku hanya penasaran. Kau bilang kedua kakakmu bekerja di bidang entertainment, kenapa kau memilih menjadi fotografer dan tidak mengikuti jejak mereka?”, tanyanya.
“Entahlah. Mungkin kamu adalah orang ke seribu yang menanyakan hal itu. Aku hanya tidak ingin saja, lagipula sejak pertama kali aku memegang kamera, aku merasa seolah kamera memanggilku untuk terus bersamanya. Meskipun banyak orang yang menyayangkan keputusanku untuk tidak mengikuti jejak kakakku, aku merasa bahagia dengan duniaku ini. Walaupun wajahku tidak dikenal seperti kedua kakakku, setidaknya karyaku akan dikenal. Mungkin pemikiran seperti ini yang membuatku bertahan di dunia fotografer”, jelasku.
“Menurutku, kau lebih keren dari kedua kakakmu. Fotografer diakui dari karyanya, dan karyamu sangat mengagumkan. Seseorang pernah mengatakan ini kepadaku : jangan pernah dengarkan apapun yang orang lain katakan tentang dirimu dan hidupmu. Menurutku, kamu dan duniamu ini sangat istimewa. Tidak perlu menyamakan dirimu dengan orang lain untuk menjadi istimewa, kamu akan selalu istimewa, tidak peduliapa yang orang lain katakan tentang dirimu”, ujarnya.
 
Kalimat itu! Kalimat yang sama dengan yang dulu diucapkan orang itu!  Sejenak aku merasa tidak berpijak di bumi. Bagaimana bisa gadis ini mengucapkan kata-kata yang nyaris sama dengan yang diucapkan oleh orang itu?
 
“Siapa yang mengajarimu kalimat itu?”, tanyaku akhirnya, setelah berhasil mengontrol diriku yang sejenak merasa kaku.
“Seniorku di sekolah dulu, namanya Aizawa Hina. Sebelum menikah beberapa tahun yang lalu, dia adalah seorang model yang cukup terkenal di Jepang. Rumor yang beredar, dia berhenti dari dunia modelling karena keluarga suaminya memintanya untuk menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja. Sayang sekali, padahal dia sedang berada di puncak kepopulerannya saat itu.”
 
Aku hanya bisa terdiam dan membisu. Tentu saja aku mengenalnya, sangat mengenalnya. Hina adalah orang yang selalu meyakinkanku betapa hidup dengan menjalani apa yang kita sukai adalah kehidupan yang sesungguhnya. Namun kemudian, dia meninggalkan hidupnya di dunia modelling karena menikah dengan seorang pria. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk tidak pernah berjalan di dunia yang tidak aku kehendaki, namun dia sendiri pula yang mengkhianati dunia yang dia cintai. Hanya karena menuruti perkataan keluarga pria tersbut yang tidak menyukai pekerjaannya. Dia meninggalkan kehidupannya untuk membangun hidup baru dengan orang yang bahkan memandang sebelah mata kepada hal yang sangat dia cintai.
 
“Oppa, ada apa? Apakah kamu mengenalnya?”, tanya gadis itu karena hanya melihatku terdiam.
“Tidak, kurasa aku tidak mengenalnya”, jawabku. Berbohong tentu saja.
 
Gadis itu tidak berkomentar. Tapi kurasa dia tahu bahwa aku berbohong. Biarlah, aku hanya belum siap apabila harus menjelaskan apapun. Gadis itu kembali melihat-lihat foto yang ada di laptopku. Sesekali dia berceloteh riang, mengomentari hasil fotoku. Namun, aku tidak benar-benar mendengarkannya. Hanya menjawab singkat sesekali dan lebih sering terdiam. Anganku masih terbang melayang mengingat Hina, mantan kekasihku. Alasan sebenarnya kenapa aku masuk ke dalam dunia fotografi.
 
Aku dan Hina memang saling mengenal. Sangat mengenal malah. Saat aku masih seorang fotografer amatir 10 tahun yang lalu, aku berkenalan dengan Hina yang saat itu adalah murid di sekolah modelling milik agensi kakakku cabang Jepang. Hina yang masih duduk di bangku sekolah mengingatkan noona pada dirinya sendiri di awal karirnya. Meskipun muda, Hina memiliki semangat yang sangat besar untuk menjadi seorang model. Melihatnya yang sangat berambisi membuatku tertarik dan kemudian mendekatinya. Awalnya dia memang sangat sulit untuk didekati. Dia hanya fokus untuk menjadi model dan tidak pernah mau melakukan hal yang menurutnya sia-sia atau tidak ada hubungannya dengan impiannya. Meskipun banyak orang yang saat itu mengatakan bahwa dia tidak akan berhasil menjadi model karena tinggi badannya yang dirasa kurang, namun dia tidak peduli. Dia tetap yakin bahwa suatu saat dia akan mampu membungkam semua orang dengan prestasinya. Memang, untuk menjadi seorang model bukan hanya wajah saja yang dibutuhkan, namun juga tinggi dan proporsi tubuh yang harus sempurna. Hina yang memang memiliki postur tubuh kecil dan mungil tetap bersikeras bahwa dia akan bisa menjadi seorang model terkenal seperti Noona ku.
 
“Kenapa aku harus mempedulikan omongan orang lain? Yang menjalani hidupku adalah aku, bukan kamu, dia atau mereka. Aku akan selalu berjalan dengan menatap ke depan, tidak akan aku hiraukan suara yang terdengar dari sisiku. Apapun yang orang lain coba katakan tentang dirimu dan hidupmu, jangan hiraukan mereka. Tidak perlu berada di jalan yang sama dengan mereka untuk menjadi istimewa. Kamu akan selalu istimewa, tidak peduli orang lain berkata apa”, ujar Hina saat aku menyampaikan pendapat orang-orang tentangnya.
 
Saat itulah aku semakin terpesona dengannya dan memantapkan hatiku untuk menapakkan kakiku di jalan sebagai fotografer, bukan idol seperti kedua kakakku. Kami berdua saling berjanji untuk menjadi orang yang sukses di bidang kami masing-masing. Dua tahun sejak itu, dia benar-benar menunjukkan taringnya di dunia modelling. Tepat di usia 17 tahun dia telah menjadi seorang model yang dikenal nyaris di seantero Jepang dan merambat ke negara Asia lainnya. Berbagai fashion show meminta dia untuk menjadi model mereka. Akupun tidak mau kalah. Di saat yang sama, aku berhasil menjadi sebuah fotografer yang juga menyita perhatian Jepang dan mengadakan pameran fotografi di berbagai negara. Saat itu usiaku 19 tahun dan aku telah menetapkan masa depanku. Fotografer profesional dan kekasih dari Aizawa Hina. Meskipun hubungan kami harus kami rahasiakan dari publik. Kami tidak ingin memperoleh ketenaran dari gosip ataupun rumor.
 
“hei, kenapa kamu malah melamun?”, suara gadis itu membuyarkan lamunanku.
“Ah tidak, aku hanya teringat pada seseorang. Hei, apa rencanamu hari ini?”, tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah. Aku sepertinya belum memiliki ide untuk pergi kemana. Kenapa?”
“Mau menemaniku? Sepertinya aku ingin sekali mencoba snorkling atau diving. Sudah seminggu aku disini dan aku belum sempat mencobanya. Bagaimana?”, ajakku.
“Mmm, sepertinya aku harus menolak tawaranmu itu. Aku, err, tidak bisa berenang. Apakah tidak masalah kalau aku hanya akan mengantarkan dan menemani?”, tolaknya halus.
“Tentu saja tidak apa. Sana bergegas bersiap-siap. Kita bertemu satu jam lagi di ruang keluarga ya. Aku harus membereskan beberapa barang-barangku dulu.”
 
Gadis itu mengangguk dan berjalan keluar dari kamarku. Aku menutup pintu dan menguncinya kemudian kembali terduduk di depan laptop. Aku terkejut mendapati wajah gadis itu memenuhi layar laptopku. Aku mengamati wajahnya lekat-lekat. Gadis ini memang sangat cantik. Aku rasa, kalau dia mau diapun bisa menjadi model seperti Aizawa Hina. Malah mungkin jauh lebih terkenal. Ah entahlah, aku tidak mau lagi mengingat Hina. Sudah cukup. Masa lalu selamanya akan menjadi masa lalu. Aku mematikan laptopku dan bergegas masuk ke kamar mandi. Aku tidak mau gadis itu menunggu terlalu lama.
 
POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK