CHAPTER 3 : Her Painful Memory
-Park Seung Jin POV-
Dia membalas senyumanku. Dan dia terlihat sangat cantik tersenyum seperti itu. Seharusnya sejak kemarin aku mebuatnya terus tersenyum seperti ini. Tidak ada lagi kesedihan tergantung di wajah cantiknya. Setelah puas tertawa gadis itu berdiri dan memandangi hamparan laut dengan senyum yang masih tergambar jelas di wajahnya. Dia perlahan turun dari bebatuan tempat kami tadi bercerita dan berjalan menuju tepian laut. Berdiri disana, membiarkan air laut menggenang di pergelangan kakinya. Kemudian dia perlahan mengangkat kepalanya dan mendongak, memandang hamparan langit biru. Aku meraih kameraku dan mengarahkan kepadanya.
*CLICK*
“Hei, kamu mengambil fotoku lagi tanpa izin!”, ujar gadis itu sambil memandangku..
“Karena kau terlihat cantik berdiri di sana. Keberatan?”, jawabku sambil tersenyum.
Dia hanya menggeleng dan membalas senyumanku. Namun bukan lagi senyum basa-basi yang aku lihat. Dia tersenyum dengan sangat manis sekali. Dia kembali memandang ke arah langit yang biru dan entah kenapa hari ini terlihat lebih indah. Karena dia sudah mengizinkan, akupun mengambil foto sebanyak mungkin. Gadis ini memang sangat menarik. Entah apa dan bagaimana, aku merasa tidak mampu untuk mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Angin yang berhembus menerbangkan rambutnya yang panjang terurai. Aku pun memberanikan diri untuk berdiri di sisinya.
“Lillian sangat suka melakukan hal ini. Setiap hari dia akan mengajakku ke pantai ini, kemudian dia akan berdiri diam. Membiarkan air membasahi kakinya. Membiarkan angin menghembuskan tiap helai rambut panjangnya. Membiarkan matahari menyinari wajahnya. Dia seolah bersatu bersama dengan alam. Sementara aku hanya akan duduk dan memperhatikannya”
Aku terkejut ketika dia mulai membuka pembicaran. Gadis itu mulai menceritakan tentang Lillian. Aku menoleh mencoba mencari ekspresi apa yang terukir di wajahnya. Dia balik memandang wajahku dan tersenyum. Seolah memintaku untuk tidak bertanya. Aku tahu dia hanya mengharapkanku untuk mendengarkan. Maka aku membalas senyuman itu dan mengangguk, tanda aku mengerti.
“Lillian sangat berbeda denganku, dia sangat periang dan ramah. Semua orang mencintainya. Kadang aku merasa ayah dan ibu lebih menyayangi Lillian dibandingkan denganku. Aku dan Lillian mulai terpisah di usia 15 tahun. Lillian menemani ayah yang saat itu harus tinggal di Korea karena pekerjaannya sementara aku menemani Ibu di Jepang. Saat ayah sudah bisa kembali ke Jepang, Lillian memutuskan untuk terus tinggal di Korea seorang diri. Meskipun ayah dan ibu sangat menentangnya, namun dia berkata bahwa dia ingin mengejar mimpinya di sana. Meskipun sebenarnya dia memintaku untuk menemaninya, aku memilih untuk tetap tinggal bersama orangtuaku. Sejak usia 18 tahun, Lillian tinggal terpisah dengan kami. Kami hanya bertemu di musim liburan untuk berkumpul bersama keluarga besar”
Dia berhenti bercerita sejenak. Seolah merangkai berbagai kenangan yang ada di kepalanya. Aku tahu berbagai kenangan itu saat ini pastilah sedang menari-nari di kepalanya, menyeruak dan memaksa untuk keluar. Namun, gadis itu pastilah sedang mencari kata-kata yang sesuai. Selain itu, tentunya tidak mudah menceritakan sesuatu yang selama ini sudah kau pendam sendiri. Dia butuh waktu untuk menata emosinya. Aku mengulurkan tanganku dan mengelus kepalanya. Dia tidak menolak, hanya terdiam.
“Kalau kau memang tidak bisa melanjutkan ceritamu tidak apa. Aku tidak akan memaksamu..”, ujarku.
“Aku tidak apa, hanya sedang sedikit berfikir saja. Aku tidak tahu harus menceritakan dari mana. Bagaimana kalau kau mengajukan pertanyaan dan aku akan menjawabnya. Namun mengertilah jika ada beberapa hal yang tidak bisa aku katakan, setuju?”, ujarnya mencoba bernegosiasi.
Aku tertawa dan mengacak-acak rambutnya. Diapun tertawa.
“Baiklah, dimana Lillian tinggal selama di Korea dan apa pekerjaannya?”, tanyaku akhirnya.
“Dia tinggal di sebuah apartemen di daerah Youngsan. Dia mahasiswi di sebuah universitas seni dan juga seorang model”, jawab gadis itu.
“Benarkah? Tentunya dia sangat cantik. Bagaimana dengan karirnya?”
“Ya, dia sangat cantik dan ramah. Sungguh berkebalikan denganku yang cenderung pendiam dan pemalu, Lillian dikenal sangat mudah bergaul. Selama menjalani pendidikannya, Lillian menjadi seorang Trainee di sebuah agency ternama di Korea. Tidak lama kemudian, dia berhasil debut menjadi seorang model. Karirnya berjalan dengan sangat mulus. Dia menjadi model yang cukup dikenal dan membintangi beberapa MV dari berbagai penyanyi terkenal. Dia bahkan diminta untuk bermain di beberapa judul drama. Namun dia menolaknya, itu bukan impiannya. Dia tidak ingin bermain dalam drama yang menurutnya akan menghabiskan sebagian besar waktunya. Dia hanya ingin menjadi seorang model, atau bintang iklan. Aneh sekali, bukan? Disaat semua orang ingin menjadi aktris, dia malah menolaknya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia semakin fokus dalam dunia modeling. Namanya sempat memuncak, wajahnya muncul di berbagai sudut kota di Korea. Kepopulerannya bahkan merambah ke Jepang. Hal itu membuat ayah dan ibuku sangat bangga. Dia adalah kakak yang sangat bisa aku banggakan”
“Lalu, dimana dia sekarang? Apakah dia sudah sangat lama tidak kembali dari Korea hingga sepertinya kalian sangat kehilangannya?”
Gadis itu terdiam sesaat. Dia seperti enggan menjawab pertanyaanku ini.
“kau tidak harus menjawabnya kalau..”
“Dia sudah tidak akan pernah kembali lagi. Dia meninggal 3 tahun yang lalu”, jawabnya bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Aku terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Wajah gadis itu kembali di rundung kesedihan. Matanya kembali diselimuti kabut. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dari suara isakan yang tertahan dan bahunya yang bergetar, aku tahu dia sedang berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Aku merangkul bahunya dan menariknya ke dalam pelukanku. Aku membiarkan dirinya membenamkan wajahnya di dadaku dan menangis. Aku hanya mampu mengelus rambutnya, berharap dengan begini akan mampu sedikit meringankan kesedihannya. Beberapa saat aku memeluknya dan isakan gadis itu perlahan-lahan mulai berhenti. Dia memintaku untuk melepaskan pelukanku.
“Terima kasih. Maaf aku membasahi pakaianmu”, ucapnya setelah menghapus jejak-jejak airmata dari wajahnya.
“Tidak. Aku yang meminta maaf sudah membuatmu teringat”, jawabku.
Lagi-lagi kami berdua berada dalam keheningan. Tidak ada yang berusaha membuka percakapan. Akupun mencoba memberi gadis itu waktu untuk menata kembali emosinya.
“DI akhir hayatnya, Lillian memintaku berjanji bahwa aku tidak akan pernah menangisinya. Dia memintaku untuk terus hidup dan tidak terpenjara dalam ingatan masa lalu. Aku rasa aku akan bisa menepati janji itu mulai sekarang. Terima kasih, Seung Jin-ssi”, ujarnya seraya tersenyum tipis.
“Kalau aku tidak salah, usiamu 24 tahun bukan?”, tanyaku tiba-tiba.
“Benar, ada apa?”, jawabnya sambil menatapku tidak mengerti.
“Panggil aku, Oppa ”
“Mwo? Wae geurae? Neo neun na eui oppa anhijanha! ”
“Agar terdengar lebih akrab, mengerti? Sekarang sudah siang, aku rasa Nenek dan Kakek sudah menanti kita di rumah. Ayo pulang”, putusku pada akhirnya.
Aku menggenggam tangannya dan mengajaknya untuk pulang. Dia yang terkejut hanya bisa berjalan mengikutiku menyisiri tepi laut, merasakan air dan pasir di sela-sela jari kaki kami.
“Tunggu sebentar, Oppa. Bolehkah aku memegang kameramu sebentar?”, tanyanya tiba-tiba.
Aku memberikan kameraku kepadanya. Dia mengalungkannya di leher kemudian dia menatapku dengan pandangan yang aneh. Setelah beberapa kali menengok sekeliling seolah memastikan sesuatu, tiba-tiba dia mendorongku hingga aku terjatuh! Sekujur tubuhku basah oleh air laut. Gadis itu berhasil mengambil fotoku yang hanya bisa terdiam dalam keterkejutan. Gadis itu kemudian berlari menjauh sambil tertawa-tawa. Tiba-tiba dia menengok dan menjulurkan lidahnya. Mengejekku!
“YAH! Airiiiin awas kau ya! Tunggu pembalasanku!”, jeritku sambil berusaha bangkit dan mengejarnya.
Aku kemudian mengejarnya yang masih tertawa-tawa mengejekku. Mengabaikan tatapan aneh dari orang-orang yang ada di sekitar kami, aku yang berhasil menangkap Airin kemudian menggendongnya dan bersiap melemparkannya ke air. Namun kuurungkan niatku melihat bajunya yang terlalu tipis. Akhirnya aku hanya membalasnya dengan menggelitiknya. Berdua kami seperti orang bodoh. Namun tidak masalah semua orang menatapku dengan heran atau menganggapku bodoh, karena hari ini aku telah berhasil membuat gadis itu tertawa. Dan walau sedikit, aku telah berhasil mendapatkan kepercayaannya.
-*-
-Airin POV-
Pria itu menggenggam tanganku. Aku yang terkejut hanya bisa berjalan mengikutinya. Pria ini memang istimewa. Aku sangat bersyukur dapat bertemu dengannya.
“Tunggu sebentar, Oppa. Bolehkah aku memegang kameramu sebentar?”, sebuh ide tiba-tiba muncul di kepalaku.
Dia memberikan kameranya. Aku mengalungkan di leher kemudian menengok sekelilingku. Saat dia sedang lengah, aku mendorongnya hingga terjatuh. Kemudian aku mengambil fotonya yang berwajah bodoh karena terkejut. Aku berlari menjauhinya dan tidak bisa menahan tawaku. Aku menengok dan menjulurkan lidahku. Biar dia tahu rasa! Hahaha.
“YAH! Airiiiin awas kau ya! Tunggu pembalasanku!”, jeritnya sambil berusaha bangkit dan mengejar.
Walaupun aku sudah berlari sekuat tenaga, namun dia berhasil menangkapku dan menggendongku. Namun entah kenapa dia sepertinya mengurungkan niatnya untuk melemparkanku ke air, dia malah menggelitikku. Dibawah tatapan orang-orang kami berdua seperti orang bodoh. Aku yang mati-matian berusaha melarikan diri darinya namun tidak berhasil dan dia yang masih mati-matian mengejarku. Sekarang dia malah sudah asik bermain air dengan anak-anak, membasahi dirinya sendiri. Benar-benar seperti anak kecil! Namun, aku memang harus berterimakasih kepada pria ini. Meski sedikit, akhirnya aku mampu untuk menerima kenyataan. Akhirnya aku bisa tertawa. Berkat pria ini.
“Oppa, kamsahabnida ”, ujarku yang mungkin hanya bisa didengar oleh diriku sendiri.
Pria itu menoleh seolah mendengarnya kemudian tersenyum sangat lebar. Sangat mempesona. Akupun mencoba mengabadikan senyuman itu dengan kameranya yang masih tergantung di leherku. Dia yang memang sangat terlihat jelas kecintaannya terhadap anak-anak memberikan poin lebih di mataku. Pria itu menggendong seorang anak kecil di punggungnya dan mengajaknya berlarian kesana kemari. Benar-benar pria yang aneh! Aku hanya bisa tertawa melihat kelakuannya yang seperti itu. Sepertinya memang benar, liburan kali ini akan terasa sangat berbeda dengan yang sebelumnya. Mungkin aku bisa mengharapkan sesuatu dari keberadaan pria yang kini melambaikan tangannya kepadaku. Akupun membalas lambaian tangan itu. Tiba-tiba ponsel di saku celanaku terasa bergetar. Sebuah pesan singkat dari Ibu.
‘Ai, bagaimana? Kau mau membantu Ibu kan? Sekali ini saja, hanya kamu yang bisa ibu percaya untuk melakukannya. Hanya kamu yang mampu. Berapa lama lagi kau akan berada disana? Cepatlah kembali, Ayah dan Ibu merindukanmu. Angel juga sangat cerewet mencarimu!'
Aku mempertimbangkan sejenak mengenai permintaan Ibu yang sudah berkali-kali diutarakannya kepadaku. Menimbang apakah sebaiknya aku menyetujui atau tidak. Saat itu, perkataan pria itu terngiang kembali di kepalaku.
‘...tidak seharusnya kita terus tenggelam dalam kesedihan. Karena itu tidak akan pernah mengembalikan apapun..’
Mengingat kata-katanya itu, aku sudah memutuskan akan membalas apa kepada pesan singkat ibuku tersebut.
‘baiklah ibu, aku akan melakukannya. Demi Ibuku tersayang. Namun, sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melakukannya, Ibu mau membantuku lagi kan? Aku juga sangat merindukan kalian. Sampaikan salamku pada Ayah dan Angel. Aku mencintai kalian! :*’
-message sent-
Pria itu benar, aku harus berhenti menatap masa lalu dan terus melangkah maju. Karena masa depanku masih panjang untuk aku sia-siakan dengan bersedih dan meratap. Terimakasih, Seung Jin-ssi. Kamu sudah berhasil membuka hati dan pikiranku.
“Onnie, seandainya saja dulu pria inilah yang kamu temui, mungkin saat ini kita masih akan bersama...”, ujarku sambil mamandang langit.