*
-Airin POV-
Aku terbangun dari tidurku setelah mimpi yang sangat panjang. Sudah sangat lama aku tidak lagi mengalami mimpi ini. Sesaat aku tidak dapat bergerak dari tempat tidurku dan hanya bisa diam terduduk sambil sesekali mencoba mengingat kembali mimpi yang baru saja aku alami. Aku memejamkan mataku, mencoba menenangkan diri dan menghembuskan nafas panjang.
“...menutup matamu dan menunduk, seolah kamu sedang menanggung sebuah beban berat di pundakmu”
Kata-kata itu terngiang kembali di telingaku. Percakapanku dengan pria itu tadi malam. Bagaimana bisa aku membiarkan orang lain melihat kelemahanku. Seharusnya aku menutupi kelemahan ini. Aku tidak boleh terus menerus tenggelam dalam kesedihan dan membuat orang lain melihat apa yang aku rasakan. Tidak seharusnya aku membuat orang lain khawatir. Tidak seharusnya aku mengingat-ingat kejadian yang sudah lama berlalu itu. Yang harus aku lakukan kini adalah menatap kedepan dan menapaki jalan yang ada di hadapanku.
“Baiklah! Mulai hari ini kau harus semangat Ai! Ganbatte! ”, Seruku pada pantulan diriku di cermin.
Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju ke arah balkon kamarku. Matahari belum tinggi, masih malu-malu menampakkan wajahnya di ufuk timur. Kulirik jam dinding yang ada di kamarku. Pantas saja, jarum jam masih menempel di angka 5. Tidak biasanya aku terbangun sepagi ini. Akupun menarik nafas panjang dan membiarkan udara segar di pagi hari memenuhi rongga paru-paruku. Yosh! Mari menjalani hari ini dengan penuh semangat!
Ritualku seperti biasa di pagi hari saat bangun tidur adalah menyalakan laptopku dan mendengarkan musik. Karena masih terlalu pagi untukku mandi, aku memutuskan untuk merapikan dahulu kamarku. Terlalu banyak buku yang bertebaran di lantai. Satu persatu aku kumpulkan dan aku letakkan di rak buku yang terletak di dinding kamarku. Boneka-boneka pemberian dan koleksi yang sejak kecil sudah menemaniku setiap malam juga aku rapikan dan aku letakkan kembali di atas tempat tidurku. Baju-baju yang sejak kemarin masih ada di dalam koper juga satu persatu aku pindahkan ke dalam lemari. Setelah aku rasa cukup, aku meraih handuk dan memutuskan untuk mandi agar dapat segera turun dan membantu nenek menyiapkan sarapan.
-*-
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku memutuskan untuk turun dan membantu nenek menyiapkan sarapan. Nenek memang lebih suka memasak sendiri walaupun sebenarnya sudah ada orang yang bertugas untuk membantu nenek mengurus rumah. Menurut nenek, dia merasa lebih hidup apabila hari-hari dilaluinya dengan memasak. Aku keluar dari kamarku setelah sebelumnya mematut diri lagi di hadapan cermin dan memastikan penampilanku sudah baik. Keluar dari kamar aku mencoba melirik ke arah kamar pria itu. Sepertinya dia belum bangun. Tidak ada suara yang terdengar dari dalam kamarnya. Sudahlah, mungkin dia kelelahan. Aku melangkahkan kakiku dan menuju dapur. Kudengar suara denting alat masak. Pasti nenek sudah mulai memasak.
“Kau sudah bangun, Ai? Kemari, bantu nenek dan Seung Jin memasak”, ujar nenek.
“Selamat pagi, Ai! Sudah bangun rupanya. Bagaimana tidurmu semalam?”, pria itu menyapaku sambil sibuk mengaduk-aduk sesuatu.
Aku yang masih bingung hanya dapat diam dan terpaku. Sampai kemudian nenek menarik tanganku dan mulai menyuruhku untuk melakukan banyak hal. Aku tidak punya kesempatan untuk bertanya apa yang sedang dia lakukan. Aku akhirnya memutuskan untuk fokus memasak sarapan dahulu. Nenek bilang Seung Jin akan membuatkan nasi goreng dan memintaku untuk membuat telur gulung. Aku memenuhi perintah nenek dalam diam. Kami bertiga memasak dalam diam. Satu jam kemudian kami berempat dengan Kakek sudah duduk di meja makan dengan hidangan yang sudah tersaji.
Aku mencicipi nasi goreng yang dibuat oleh pria itu. Ternyata sangat enak. Aku pikir dia hanya membual ketika dia bilang bahwa dia sangat hebat dalam hal memasak nasi goreng. Ternyata dia memang benar-benar sangat pintar memasak. Kakek dan nenek juga terlihat sangat menikmati makanan yang disajikan pagi ini. Pria ini, sejauh mana lagi dia akan mengejutkanku dengan kemampuannya yang tidak terduga ini?
“Seung Jin-ah, masakanmu sangat enak sekali. Darimana kau belajar memasak?”, tanya Nenek.
“Ah, kebetulan aku tinggal sendiri di Jepang. Jadi sedikit demi sedikit aku harus belajar untuk memasak sendiri. Kalau tidak, bagaimana aku bisa makan setiap harinya”, jawabnya dengan sopan.
“Begitu. Pantas saja kau terlihat begitu mandiri. Rupanya karena kau terbiasa tinggal sendiri. Seperti Lillian..”, ujar Nenek.
“Lillian? Siapa Lillian?”, tanya pria itu.
Nenek terdiam. Kakek hanya meneguk minumnya. Sementara aku hanya bisa terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa. Nama yang sangat sederhana itu memang memiliki efek yang sangat besar pada atmosfir ruangan ini. Pria itu menatap kami menunggu jawaban. Namun tidak satupun dari kami ada yang berusaha untuk memberikannya jawaban. Dia menatapku menuntut penjelasan. Aku hanya bisa terdiam, menunduk mengamati nasiku yang baru separuh aku habiskan. Kakek berdeham dan akhirnya menjawab pertanyaan tersebut.
“Dia cucu kami juga, kakak dari Ai. Lillian memang lebih memilih untuk tinggal sendiri di Korea, sementara Ai memutuskan untuk ikut orang tuanya di Jepang dan sesekali berkunjung ke Indonesia untuk menemani kami. Kamu dan Lillian sama, sangat mandiri dan bisa memasak nasi goreng yang enak.”, jelas kakek sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya mencoba untuk terlihat tidak peduli dengan pertanyaan itu, walau dalam hati sebenarnya ada yang mengganjal dan terasa tidak enak. Pria itu rupanya memahami suasana dan berusaha untuk mengganti pembicaraan ke arah yang lain dan tidak lagi memperpanjang masalah Lillian. Sekarang dia dan kakek sudah terlibat pembicaraan lain tentang Neko. Ternyata mereka berdua memiliki kesamaan yang lain, yaitu lebih mencintai kucing daripada anjing.
-*-
-Park Seung Jin POV-
“Begitu. Pantas saja kau terlihat begitu mandiri. Rupanya karena kau terbiasa tinggal sendiri. Seperti Lillian..”, ujar Nenek.
“Lillian? Siapa Lillian?”, tanyaku mendengar ucapan Nenek.
Nenek terdiam. Kakek hanya meneguk minumnya. Sementara gadis itu menghentikan makannya dan hanya menatap piring berisikan makanan yang ada di hadapannya. Entah kenapa aku merasa tiba-tiba aura di ruangan ini terasa sangat canggung. Aku hanya mampu terdiam dan menunggu jawaban dari mereka. Aku menatap gadis itu namun dia seolah menghindari tatapanku. Kakek berdeham dan akhirnya menjawab pertanyaan tersebut.
“Dia cucu kami juga, kakak dari Ai. Lillian memang lebih memilih untuk tinggal sendiri di Korea, sementara Ai memutuskan untuk ikut orang tuanya di Jepang dan sesekali berkunjung ke Indonesia untuk menemani kami. Kamu dan Lillian sama, sangat mandiri dan bisa memasak nasi goreng yang enak.”, jelas kakek sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku hanya dapat mengangguk dan meneruskan makanku sambil mencoba mencari bahan pembicaraan yang lain. Karena aku tidak tahu harus berbicara tentang apa, aku akhirnya membahas tentang Neko yang kebetulan sedang tertidur di pangkuan Kakek. Ternyata kakek memang terbiasa makan sambil memangku Neko. Sambil berbicara dengan kakek sesekali aku mencuri pandang ke arah gadis itu. Dia masih menyantap sarapannya, namun matanya terlihat menerawang.
Selesai makan pagi, kakek mengajakku untuk menemaninya berolahraga di halaman. Tepatnya kakek yang berolahraga sementara aku sibuk dengan kameraku mencoba untuk mendapatkan foto yang bagus. Kakek yang sedang berolahraga terlihat beberapa tahun lebih muda. Senyum juga tidak pernah hilang dari wajahnya. Tidak berapa lama kemudian nenek bergabung dengan kami. Sementara gadis itu kembali ke kamarnya. Sebenarnya aku ingin sekali berbicara dengan gadis itu, namun sepertinya ini bukan saat yang tepat.
-*-
-Airin POV-
Setelah menghabiskan sarapanku, seperti biasa aku membantu nenek membereskan dapur dan kedua laki-laki itu menghabiskan waktu dengan berdiskusi ditemani segelas teh manis hangat di halaman. Setelah membereskan semua pekerjaanku, aku pamit kepada nenek untuk pergi ke kamarku. Laptop masih menyala walaupun musiknya sudah aku matikan sejak tadi. Di layar laptop tersebut terlihat aku dan kakakku sedang tersenyum manis ke arah kamera. Itu adalah foto yang di ambil 7 tahun yang lalu oleh Ayah saat kami sedang melakukan Hanami di Ueno Park. Berlatarkan keramaian dan keindahan bunga sakura, kami berdua terlihat sangat bahagia di foto tersebut. Mengingatnya sebenarnya sangat membahagiakan. Namun apa yang terjadi setelah itulah yang sedikit mengganggu pikiranku.
Untuk mengurangi kesedihanku, aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi daerah ini siang ini. Lagi pula, tidak ada yang bisa aku lakukan di rumah. Jadi aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan. Nenek juga menyetujui dengan mudah. Mungkin dia tahu bagaimana efek dari percakapan “ringan” tadi pagi itu kepadaku. Setelah berpamitan kepada Nenek dan Kakek aku keluar dari rumah dan berjalan menuju ke pantai. Sepanjang perjalanan, sesekali aku menyapa anak-anak yang sedang bermain-main di halaman rumahnya sambil menunggu orang tua mereka melakukan pekerjaan rumahnya. Tidak sedikit dari mereka yang mencoba menyapaku namun hanya aku jawab dengan senyuman dan anggukan. Memang sebagian besar orang yang tinggal di daerah ini pasti mengenal keluargaku. Selain karena Kakek yang merupakan pemilik sebagian besar lahan pemukiman disini, mereka juga mengenal Ibuku yang merupakan seorang model terkenal di masa mudanya. Mereka juga mengenalku dan Lillian yang sejak kecil selalu menghabiskan waktu liburan kami di sini.
Sejak kecil, aku sangat suka berjalan-jalan di tepi pantai di waktu pagi. Aku memang tidak terlalu suka dengan keramaian, sementara Lillian sangat senang sekali berkenalan dengan orang-orang baru. Aku dikenal sebagai anak yang sangat pendiam sementara semua orang sangat menyukai Lillian yang selalu terlihat bersahabat dan ceria. Dulu, setiap pagi di tepi pantai ini kami selalu melakukan hal yang sama. Aku hanya akan diam di tepi dan menatap cakrawala, sementara Lillian akan berlarian kesana kemari bersama dengan anak-anak lainnya. Bermain air dan membasahi sekujur tubuhnya. Biasanya setelah lelah dia akan duduk di sampingku dan kami berdua akan bersama menatap hamparan laut yang luas. Saat itulah kami akan saling bertukar cerita, tentang kesibukan kami masing-masing selama ini.
Aku dan Lillian memang hidup terpisah sejak kami berusia 15 tahun. Aku memilih untuk tinggal di Jepang bersama dengan Ibu yang sibuk mengurus butiknya. Sementara Lillian memilih untuk tinggal di Korea bersama Ayah yang saat itu memang harus ditugaskan di Korea selama 3 tahun. Saat Ayah sudah menyelesaikan tugasnya, Lillian memilih untuk tetap tinggal di Korea. Semenjak saat itu aku dan Lillian hanya bertemu beberapa kali dalam setahun saat kami sedang liburan bersama di Indonesia, di rumah kakek dan Nenek. Walaupun Kakek dan Nenek menyayangiku, sebenarnya aku tahu bahwa mereka lebih menyukai Lillian yang sangat ceria dibandingkan dengan aku yang cenderung pendiam.
Waktu-waktu yang kami habiskan bersama selalu berisikan cerita-cerita mengenai bagaimana kehidupan kami selama kami terpisah. Kebanyakan, Lillian akan bercerita tentang aktivitas dan kesibukannya selama di Korea. Sementara aku cenderung mendengarkan sambil sesekali memberikan komentar atau hanya sekadar tersenyum. Lillian akan mengakhiri cerita itu dengan mencoba untuk mengajakku tinggal bersamanya di Korea. Aku tahu sebenarnya dia sangat menyayangiku. Begitupun denganku. Hanya saja entah mengapa aku tidak pernah bisa menyampaikan perasaanku selantang dia mengucapkannya kepadaku. Dia tidak pernah malu untuk memelukku atau mengusap kepalaku ketika dia sedang memujiku. Atau hanya untuk sekadar bilang kalau dia kangen padaku.
“Ai, kau tahukan kalau aku akan selalu menyayangimu? Kamu adalah adik terbaik yang pernah aku miliki. Aku selalu bersyukur pada Tuhan karena telah memberikan kamu untuk hidupku. Apakah kau juga menyayangiku?”
“Ai, aku sangat kangen padamu. Kenapa kamu tidak pernah mengunjungiku di Korea! Seharusnya kamu datang, aku ingin mengenalkanmu pada seseorang!”
Sekarang aku menyesal kenapa dulu aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku kepada Liilian dengan jelas. Kenapa aku tidak pernah mau memenuhi ajakannya untuk datang ke Korea. Seharusnya dulu aku tidak membiarkannya sendirian di sana. Seharusnya aku ada di sana bersamanya, menemaninya.
“Lillian, aku rindu padamu. Tahukah kamu bahwa aku juga selalu menyayangimu. Kamu adalah kakak terbaik ku. Eonni, jeongmal bogoshippo.. ”
Tanpa sadar air mata sudah menggenang di kedua bola mataku dan mengalir begitu saja tanpa bisa aku bendung lagi. Untuk pertama kalinya aku menangis setelah semua kejadian itu.
-*-
-Park Seung Jin POV-
Tidak lama kemudian gadis itu turun dan menghampiri kami. Dia hanya berkata kalau dia ingin jalan-jalan dan menikmati udara pagi. Kakek dan nenek mengizinkan dan gadis itupun pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun kepadaku. Aku melihat dia berjalan ke arah pintu keluar dan kelihatan tidak begitu bersemangat. Mataku tidak dapat berpaling darinya bahkan hingga pintu sudah ditutup.
“Kau khawatir padanya?”, Nenek membuyarkan pikiranku.
“Ah, tidak. Aku hanya..”, aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Kau tahu, pantai sangat indah di pagi hari. Mungkin kau bisa mendapatkan beberapa foto yang bagus.”, ujar kakek.
Aku mengerti bahwa sebenarnya kedua orang tua ini mengkhawatirkan gadis itu. Akhirnya aku memutuskan untuk mengikutinya. Aku berpamitan kepada Kakek dan nenek dan membungkukkan badanku lantas bergegas keluar menyusul gadis itu. Perlahan aku mengikutinya dari kejauhan. Aku melihat gadis itu sedang bercengkrama dengan seorang anak kecil. Dia menunduk dan mencium pipi anak kecil tersebut. Setelah itu dia melanjutkan perjalanannya. Sesekali dia tersenyum dan mengangguk kepada penduduk sekitar yang menyapanya. Sepertinya dia cukup dikenal di sini. Tapi aku rasa itu adalah hal yang wajar, mengingat betapa baiknya keluarga mereka pada penduduk yang tinggal di sekitar sini.
Gadis itu terus berjalan menyusuri garis pantai lantas duduk di tepian. Dia hanya terdiam dan memandangi hamparan laut. Tidak ada hal lain yang dilakukannya selain mengamati anak-anak kecil yang sedang bermain air laut. Tidak ada senyum di wajah cantiknya. Ekspresi itu adalah ekspresi yang sama saat aku pertama kali bertemu dengannya kemarin. Terlihat sangat menyedihkan. Aku hanya berdirii mengamatinya dari kejauhan, tidak berani mendekat. Dan lagi-lagi aku mengambil beberapa fotonya dengan kamera yang selalu aku bawa ini. Aku melihat bibirnya bergerak seperti mengucap sesuatu, kemudian dia menunduk.
Gadis itu menangis. Aku tahu gadis itu menangis. Dia hanya diam terduduk di sana sambil memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya. Apakah gerangan yang begitu menyakiti hatinya hingga dia terlihat sangat rapuh seperti itu? Entah mengapa aku merasa tertarik pada dirinya. Gerak geriknya yang tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Dia kadang menolak untuk didekati, namun kadang juga dia akan menjadi sangat ramah. Entah apapun itu yang terjadi, aku rasa itu ada hubungannya dengan kakaknya. Tadi setelah dia meninggalkan rumah, aku sempat mencoba untuk mencari tahu mengenai Lillian. Namun entah kenapa kakek dan nenek juga seolah menghindari pertanyaan tersebut. Entah apa yang terjadi, rasanya mereka semua sangat enggan untuk membahas Lillian.
Ingin sekali rasanya aku mendekatinya dan membelai kepalanya untuk menunjukkan bahwa aku ada di sini dan siap untuk menemaninya, membantunya untuk mengurangi beban apapun itu yang ada di pundaknya. Namun aku hanya bisa berdiri terdiam dan terpaku. Tidak mampu melangkah sama sekali. Hatiku teriris melihatnya menangis. Entah mengapa.
Tidak berapa lama kemudian aku melihat sekumpulan anak kecil dan seorang penjual balon. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku mendekati kumpulan tersebut dan aku sangat bersyukur penjual balon tersebut bisa berbahasa Inggris. Aku meminta tolong kepadanya untuk menyampaikan sesuatu kepada anak-anak yang ada di sana. Aku membisikkan sesuatu dan penjual itu memberitahukan rencanaku kepada anak-anak dalam bahasa Indonesia. Lalu penjual itu memberikan masing-masing satu balon kepada anak-anak tersebut. Setelah membayar dan mengucapkan terimakasih, aku kembali ke tempat semula aku mengamati gadis itu. Aku memberikan sinyal kepada penjual balon tersebut dan dia mengerti,
Satu per satu anak-anak itu mulai mendekati gadis itu. Seseorang kemudian menepuk pundaknya. Gadis tersebut mengangkat kepalanya dan terkejut melihat anak-anak tersebut mengelilinginya. Satu persatu dari mereka memberikan balon tersebut, mencium pipinya, dan kemudian pergi meninggalkannya dalam kebingungan. Moment ini tidak aku lewatkan, aku terus menerus mengambil gambar gadis yang sedang kebingungan itu. Gadis itu menatap penjual balon dengan tatapan meminta penjelasan. Penjual balon kemudian mengarahkan pandangannya ke arahku berdiri. Gadis itu menemukanku. Aku melambaikan tanganku kepadanya dan diapun membalas lambaian itu dengan wajah yang masih menyimpan banyak pertanyaan.
Aku berjalan mendekatinya. Gadis itu mengalihkan wajahnya. Aku tahu dia sedang berusaha menghapuskan jejak-jejak air matanya. Setelah tiba di sebelahnya aku kemudian duduk di sisinya dan kembali sibuk dengan kameraku. Aku tidak akan mengajukan pertanyaan apapun, karena aku disini memang hanya untuk menemaninya. Agar dia tahu bahwa setidaknya dia punya seseorang disisinya. Aku tahu gadis itu sedang menatapku meminta penjelasan, namun aku hanya diam sambil mengarahkan kameraku ke arah, mencoba mendapatkan foto yang bagus.
“Apa yang kau lakukan di sini?”, gadis itu bersuara.
-*-
-Airin POV-
“Kenapa kau selalu menanyakan hal itu setiap kali kita bertemu?”, pria itu menjawab sambil menyunggingkan senyumannya.
Astaga, apa yang dilakukan pria ini di sini? Apakah dia sengaja mengikutiku? Apakah tadi dia melihat aku menangis? Apa maksudnya memberikan semua balon-balon ini? Apa yang sebenarnya diinginkannya?
“Hei, tanyalah kalau ada yang ingin kau tanyakan. Jangan hanya diam dan memandangku seperti ini”, ujarnya seolah dia bisa membaca pikiranku.
Kemudian dia berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku. Aku hanya bisa terdiam dan menatapnya tidak mengerti. Kemudian dia meraih tangaku dan memintaku berdiri. Dia menggandengku dan menuntunku berjalan entah kemana. Aku terlalu kaget untuk bisa berfikir. Dia hanya berjalan di depanku tanpa berkata apa-apa. Aku pun hanya bisa mengikutinya dan tidak mengajukan pertanyaan apapu. Entah kenapa aku merasa aku bisa mempercayai pria ini.
Kami tiba di sebuah tempat yang bahkan aku juga tidak pernah melihatnya. Kami berdiri di antara banyak bebatuan. Kemudian dia menaiki salah satu batu yang cukup lebar untuk bisa duduk di atasnya. Dia membantuku untuk naik ke atasnya juga. Kami berdua duduk di sana. Pria itu masih tidak mengatakan apapun.
“Kau lihat hamparan laut itu? Seperti cermin besar yang merefleksikan langit yang ada di atasnya. Indah sekali bukan?”, ucapnya.
Aku mengalihkan pandanganku ke wajahnya. Dia tidak terlihat seperti biasanya. Dia kali ini ini tidak terlihat bersemangat seperti biasanya. Dia terlihat seperti tengah memendam sesuatu. Sama sepertiku.
“Aku kehilangan Ayahku di tengah lautan indah ini”, ucapnya.
Aku terkejut dengan perkataannya tersebut. Dia menatap balik kepadaku dan tersenyum pilu. Dia kemudian menceritakan tentang Ayahnya.
“Ayahku adalah seseorang yang sangat mencintai laut. Dia bahkan membeli kapal kecil yang digunakannya untuk berlayar mengarungi laut beberapa waktu dalam setahun. Walau hanya perjalanan pendek, dia terlihat sangat menikmatinya. Setiap dia memiliki masalah di pekerjaannya dia akan melampiaskannya dengan pergi berlayar ke tengah laut dan kemudian memancing atau hanya sekedar menikmati ombak”
Dia menghentikan ceritanya sebentar. Aku memutuskan untuk tidak mengatakan apapun. Aku akan mendengarkan dahulu ceritanya hingga selesai.
“Suatu hari, Ayah pergi berlayar dengan seorang temannya. Walaupun Ibu sudah melarang karena mendengar bahwa cuaca sedang tidak baik, Ayah tetap pergi dan tidak menghiraukan larangan Ibu. Ternyata firasat Ibu benar. Hari itu hujan mengguyur dengan sangat derasnya. Ombak menggulung kapal Ayah. Jasadnya tidak pernah ditemukan, menghilang bersama dengan kapal kesayangannya. Sementara teman Ayah cukup beruntung, dia ditemukan nelayan, terombang-ambing di lautan luas ini.”, ceritanya.
Aku hanya dapat terdiam mendengar cerita itu. Aku tidak tahu harus berkomentar apa. Pria itupun sepertinya tidak ingin berbicara lagi. Dia hanya terdiam menatap ke arah lautan. Kehampaan dan kesedihan terpancar jelas di wajahnya.
“Boleh aku tahu berapa usiamu saat itu?”, tanyaku akhirnya setelah beberapa saat kami hanya saling berdiam diri.
“Saat itu aku baru berusia 3 tahun, Hyeong berusia 5 tahun, dan Noona berusia 8 tahun”, jawabnya.
Aku hanya bisa terpaku mendengar jawaban itu. Sejak kecil dia sudah tidak mengenal ayahnya. Aku seharusnya bersyukur hingga saat ini aku masih memiliki orang tua yang sangat menyayangiku. Tidak seharusnya aku sedikitpun memiliki rasa iri dan cemburu kepada kakakku.
“Perekonomian keluarga kami sejak saat itu menjadi sangat sulit. Ayah adalah satu-satunya yang memiliki penghasilan. Ibu hanya seorang ibu rumah tangga dan memiliki kesehatan yang tidak baik. Saat Noona berusia 10 tahun, dia ditemukan oleh seorang pencari bakat yang menawarinya untuk menjadi artis cilik. Noona memutuskan untuk menerima tawaran itu. Dia menjadi trainee di sebuah agensi hiburan yang cukup terkenal di Korea. Dia kemudian pindah tinggal di dorm yang disediakan agensi tersebut. Tiga tahun kemudian, Hyeong mengikuti jejak Noona. Sejak saat itu aku dan Ibu hanya tinggal berdua. Mereka hanya pulang kerumah beberapa hari dalam sebulan. Meskipun berat, Hyeong dan Noona menjalaninya dengan sangat bahagia. Karena itulah keinginan mereka, meringankan beban ibu”, tuturnya sambil tersenyum. Akupun ikut tersenyum.
“Lantas, apa yang terjadi kepada kedua kakakmu?”, tanyaku. Bukan hanya demi kesopanan, namun aku benar-benar ingin mengetahui mengenai pria ini lebih dalam lagi.
“Noona menjadi seorang pemeran pembantu dalam sebuah drama yang memiliki rating tinggi setelah tiga tahun dia menjadi seorang trainee. Sejak saat itu banyak tawaran untuk membintangi iklan. Di usia 13 tahun dia berhasil menjadi seorang model cilik. Hingga saat inipun Noona masih menekuni dunia modelling. Terkadang dia memintaku untuk menjadi fotografer pribadinya untuk menerbitkan kumpulan fotonya”, ujarnya kemudian dia terkekeh.
“Jalan yang dilalui Hyeong tidak semudah Noona. Noona berhasil debut setelah 3 tahun dia menjadi seorang trainee, sementara Hyeong debut setelah 5 tahun menjadi trainee. Saat itu Hyeong berusia 15 tahun. Dia debut sebagai idol group. Sayangnya manajemen dimana Hyeong bernaung terkena masalah finansial sehingga mengalami kebangkrutan. Idol group itupun akhirnya dibubarkan. Hyeong sempat memutuskan untuk berhenti mengejar mimpinya. Namun, mimpi itu diselamatkan oleh Noona. Dia membawa Hyeong ke manajemennya untuk mengikuti audisi. Hyeong lolos audisi tersebut dan menjadi trainee di bawah manajemen yang sama dengan Noona. Dua tahun kemudian Hyeong didebutkan kembali sebagai solois. Dan mereka berdualah yang kemudian menjadi tulang punggung keluarga kami. Iyagi e kkeut! ”, dia mengakhiri ceritanya dengan sebuah senyum.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa memandangnya dengan penuh kekaguman. Aku tidak tahu kalau orang yang selalu terlihat bersemangat dan bahagia ini ternyata bisa menyimpan sebuah cerita yang begitu menyedihkan.
“Karena pengalaman yang seperti itulah aku tahu bahwa tidak seharusnya kita terus tenggelam dalam kesedihan. Karena itu tidak akan pernah mengembalikan apapun, Ayahku akan tetap hilang di telan lautan. Kami harus terus melangkah. Dan beginilah, kau jadi bisa bertemu dengan Park Seung Jin yang tampan ini berkat kejadian itu bukan?”, ucapnya membanggakan diri.
Aku tertawa lepas sambil memukul bahunya. Sudah lama aku tidak tertawa selepas ini. Pria ini memang benar-benar lucu. Setelah puas tertawa aku berdiri dan memandangi hamparan laut dengan perasaan yang berbeda. Aku turun dari bebatuan tempat kami tadi bercerita dan berjalan menuju tepian laut. Air laut yang menggenangi pergelangan kaki terasa menggelitik. Ternyata ini yang selalu Lillian rasakan saat dia berdiri di sini. Perasaan yang aneh. Aku tersenyum dan mendongak menatap langit.
*CLICK*
“Hei, kamu mengambil fotoku lagi tanpa izin!”, ujarku sambil memandang ke arah pria itu.
“Karena kau terlihat cantik berdiri di sana. Keberatan?”, jawabnya sambil tersenyum.
Aku hanya menggeleng dan membalas senyumannya dengan tulus. Aku kembali memandang ke arah langit yang biru dan entah kenapa hari ini terlihat lebih indah. Berkali-kali aku mendengar suara shutter dari kamera pria itu, namun aku sama sekali tidak berniat untuk menghentikannya. Sudah sangat lama aku tidak merasakan perasaan yang selega ini. Ini semua berkat pria itu, jadi aku rasa tidak masalah kalau aku membayar kebaikannya dengan membiarkannya mengambil fotoku sepuasnya.
Angin yang berhembus terasa menggelitik wajahku dan menerbangkan rambutku yang panjang terurai. Terasa sangat menyejukkan. Mungkin suasana seperti ini yang memang aku butuhkan untuk mengahapuskan semua beban yang selama ini ada di pundakku. Lillian, seandainya kamu ada di sini bersamaku.
-*-