home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > GRAY PAPER

GRAY PAPER

Share:
Published : 06 May 2015, Updated : 02 Nov 2015
Cast : Juliette Lee (OC), Super Junior's Yesung, Jane Lee (OC), Super Junior Member, CEO, Managers and
Tags :
Status : Complete
1 Subscribes |6905 Views |2 Loves
GRAY PAPER
CHAPTER 17 : CHAPTER 13

CAMEO :

  • Doctor Kim 

 

__________________________________________________________________________________________________________________________

 

Bahkan, hanya dengan melihatmu dari jauh seperti ini saja sudah membuatku cukup merasa bahagia. Hanya sesederhana itu.

Kim Jong Woon–

 

13th of July 2013, 18:15 K.S.T.

Mouse & Rabbit Cafe, Seoul, South Korea

Hyo Yeon menahan airmatanya yang akan turun lagi saat mobil van-nya sudah berhenti dengan perlahan di dekat kafe milik Jong Woon, ini adalah salah satu aktivitas yang harus ia lakukan, untuk tetap bisa melihatnya itu tanpa harus ketahuan. Ia menghela napasnya lagi dan menatap kafe itu dari luar jendela mobil, memperhatikan apa saja yang dilakukan oleh laki-laki yang masih dicintainya sampai sekarang itu.

Besok, Hyo Yeon sudah harus pergi dari Korea Selatan. Karena tadi pagi, ia sudah diberitahu oleh CEO agensinya, ia juga sudah mengakhiri kontraknya sebagai artis meskipun belum semuanya ditandatangani olehnya karena ia tidak bisa menandatangani semuanya. Hyo Yeon tidak sanggup, tapi ia harus menandatanganinya. ia tahu kalau dirinya memang lemah, tapi ia tetap berusaha kuat didepan Jong Woon dan yang lainnya.

Mengakhiri karirnya itu memang sangat sulit untuknya. Hyo Yeon bahkan sempat merasakan napasnya seketika berhenti saat menandatanganinya. Sedangkan, CEO agensinya itu pasti sekarang sedang merasa sangat senang karena salah satu pembuat skandal terbesar di SFS Entertainment akan segera pergi.

Airmata Hyo Yeon mengalir tanpa ia perintah lagi saat ia melihat keadaan Jong Woon saat ini. Jong Woon sedang berusaha baik-baik saja didepan para penggemarnya itu dan senyumannya, Hyo Yeon benar-benar sangat tahu jika senyuman itu bukan senyuman tulus.

Hanya sebuah senyuman untuk formalitas saja dan ia membenci senyuman Jong Woon yang itu. Laki-laki itu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja, membuatnya merasa bersalah kembali, bagaimana jika Jong Woon tahu ia akan pergi besok?

“Masuk saja jika kau ingin bertemu dengannya.” Suara Chang Hyun yang duduk dibelakang kemudi itu terdengar olehnya. Hyo Yeon pun menghela napas dan menggeleng.

“Apa mau kupesankan minumannya?” kali ini suara Ah Ra yang terdengar oleh Hyo Yeon. Ia pun memaksakan sebuah senyuman saat menoleh ke arah penata riasnya.

Gomawo, eonni. Tapi, aku tidak haus. Aku hanya ingin melihatnya dari sini saja.” Jelas Hyo Yeon, tersenyum tapi airmatanya masih saja mengalir. Ia pun buru-buru menghapus airmatanya itu dari sepasang matanya yang sudah memerah dan sembab, bahkan sedikit bengkak karena setiap hari ia selalu menangis.

Hyo Yeon tidak peduli kalau keadaannya sangat berantakan hari ini, karena ia sudah bukan siapa-siapa lagi kan? Juliette Lee itu sudah... tidak ada lagi dalam dirinya.

Hyo Yeon kembali menatap kafe itu dari luar jendela mobil, sesekali gadis itu menghela napasnya yang terasa semakin sulit untuknya. Kenapa harus seperti ini? Ia pikir hanya melihat Jong Woon dalam keadaan seperti ini saja sudah cukup, tapi kenapa hatinya menyuruhnya untuk segera menemui laki-laki itu?

Tapi, kalau Hyo Yeon benar-benar menemui Jong Woon, keputusannya untuk pergi pasti akan goyah, pertahanan yang sudah ia bangun untuk tidak menghampiri laki-laki itu pasti akan hancur detik itu juga.

Matanya melotot seketika ketika ia melihat Jong Woon yang tiba-tiba menundukkan kepalanya dan laki-laki itu seperti sedang berbicara sebentar dengan Jong Jin, lalu pergi keluar kafe.

Alisnya mengeryit heran, Jong Woon ingin pergi kemana? Setahu dirinya, jadwal wajib militer laki-laki itu sudah berakhir sejam yang lalu. tapi, matanya kembali melotot saat Jong Woon memperhatikan van-nya, astaga, kau ketahuan lagi kali ini, Hyo Yeon-ah, pikirnya.

 

***

 

[Kim Bo Kyung - Confession]

Aniya, gaseumi apha.” Ucapnya pada seorang penggemar yang mengajukan pertanyaan padanya. (Tidak, hatiku sakit.)

Ya, hati Jong Woon sampai sekarang masih saja terasa sakit karena ia tidak bisa menemukan Hyo Yeon dimanapun. Ia menghela napas dan kembali membalas ucapan-ucapan dari para penggemarnya sambil tetap melayani pesanan.

Jong Woon sedikit merenggangkan ototnya, rasanya semua bagian tubuhnya itu benar-benar pegal hari ini. Ditambah hatinya yang sakit dan perasaan khawatirnya itu yang tidak hilang sejak kemarin, sejak ia tahu kalau Hyo Yeon akan benar-benar pergi darinya. Ah, Hyo Yeon. Otaknya itu sepertinya mulai kusut lagi sekarang, dari pulang wajib militernya ia sudah datang ke kafe ini untuk membantu ibunya, tapi rasanya ia membutuhkan udara segar sekarang. Jong Woon pun memberikan pesanan minuman kepada seorang pembeli dan menghampiri Jong Jin yang untung saja ada didekatnya, sedang menyiapkan minuman.

“Jong Jin-ah, gantikan aku.” Ucap Jon Woon, membuat Jong Jin langsung menoleh ke arahnya dan menghentikan aktifitasnya menuang kopi.

Mwoya? Waeyo?” tanya Jong Jin cepat. Jong Woon menghela napas.

“Aku butuh udara segar, sebentar saja.” Jawabnya. Begitu Jong Jin menurutinya, ia langsung keluar dari meja kasir dan langsung berjalan ke pintu keluar kafenya, tentunya Jong Woon menolak dengan halus untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh para penggemarnya itu.

Jong Woon pun menghirup udara dalam-dalam saat ia sudah ada diluar kafe, hari memang sudah gelap dan sebenarnya apa yang tengah dilakukannya itu sangat tidak bagus untuk kesehatannya. Tapi, memangnya ia peduli? Jong Woon hanya ingin merasakan udara malam, berharap ia bisa tenang karena merasakan udara itu, tapi tetap saja ia tidak bisa.

“Hyo Yeon-ah, neon eodineun geoni...” gumamnya pelan, ia menatap langit yang entah kenapa menjadi tidak banyak bintangnya itu, seolah langit mengerti hatinya yang sedang sendu. Ia menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya menyipit sedikit saat menatap mobil van yang berwarna putih milik Hyo Yeon, yang terparkir tidak jauh dari kafenya.

“Mobil itu sepertinya tidak asing untukku.” Gumamnya lagi, ia pun menajamkan penglihatannya dan Jong Woon menyadari kaca mobil itu yang terbuka sedikit di bagian kursi penumpangnya, matanya langsung melotot begitu ia tahu siapa gadis yang ada didalam mobil itu, jantungnya terasa merosot dari tempatnya. Meskipun sekarang hari sudah gelap, ia tetap bisa melihat gadis itu.

Lee Hyo Yeon.

Lee Hyo Yeon ada di dekatnya.

Lee Hyo Yeon terlihat olehnya.

Jong Woon tiba-tiba merasakan hatinya sesak, ia memejamkan matanya sekilas, ia harus menghampiri gadis itu sebelum ia kehilangan kesempatannya kali ini, ia harus bertemu dengan gadis itu untuk keselamatan jantung, hati dan pikirannya. Astaga, Jong Woon mulai merasa semakin tidak tenang, ia pun melihat ke arah kanan dan kiri jalan raya didepannya itu. Benar-benar sangat ramai, tapi ia harus menyeberang untuk bertemu dengan Hyo Yeon.

Hyo Yeon yang sejak tadi memperhatikan Jong Woon yang sedang berdiri didepan kafenya langsung terkesiap saat melihatnya tengah berusaha untuk menyeberangi jalan raya yang sekarang sangat ramai, mana mungkin bisa Jong Woon menyeberang dengan cepat saat keadaan jalan raya yang seperti itu?

Jantungnya mulai berdetak cepat, Hyo Yeon memejamkan matanya sekilas, “Eonni, aku keluar sebentar.” Ucapnya cepat, tanpa menunggu respon dari Ah Ra, ia langsung membuka pintu mobilnya dan langsung berlari terburu-buru ke arah Jong Woon yang sudah ada ditengah-tengah jalan raya, laki-laki itu sedang berusaha untuk menyeberang.

Hyo Yeon merasa sangat khawatir dengan Jong Woon saat ini, jadi dengan ia nekad menghampiri laki-laki itu tanpa memakai penyamaran apapun, ia bahkan tidak peduli dengan penampilannya yang sangat berantakan, wajahnya yang pucat dan terlihat sangat lelah juga sembab itu. Yang sekarang ia pentingkan hanyalah keadaan Jong Woon.

Hyo Yeon langsung menarik tangan Jong Woon yang sudah dipinggir jalan itu. Agar laki-laki itu langsung berlari sedikit dan sedetik, ia sudah ada diseberang jalan, ada didekat Hyo Yeon, bahkan tepat didepan tubuh gadis itu. Hyo Yeon menghela napas saat melihat Jong Woon yang seakan terpaku melihatnya.

Hyo Yeon menahan hatinya, menahan dirinya untuk tidak segera memeluk laki-laki itu. Jadi, ia lebih memilih untuk memundurkan langkahnya, menjaga jarak dari laki-laki itu adalah hal yang harus Hyo Yeon lakukan saat ini, untuk tidak langsung menangis. Malahan matanya langsung kembali berkaca-kaca saat ia melihat Jong Woon.

“Hyo Yeon-ah,” panggilan Jong Woon tertahan, ia terpaku sejenak saat melihat keadaan Hyo Yeon yang sekarang. Gadis itu terlihat rapuh dan menyedihkan, membuat hatinya terasa seperti dicengkram kuat, ia tidak sanggup melihat Hyo Yeon yang seperti ini. Ia pun melangkahkan kakinya untuk mendekati Hyo Yeon, tapi gadis itu menggeleng.

Oppa, H-Hajima. A-aku.. baik-baik saja.” Ucapnya dengan terbata, berusaha menahan airmatanya yang sudah akan jatuh itu, ia menahannya sekuat tenaga yang ia bisa. Tapi, airmata itu langsung turun begitu saja saat ia melihat tatapan yang diberikan oleh Jong Woon untuknya.

Tatapan sedih, keputus-asaan dan frustasi dari laki-laki itu. Hatinya semakin terasa sesak, begitu isakan tangisnya keluar, Hyo Yeon langsung menutup mulutnya.

“Hyo Yeon-ah, jebal.. Ireotjima, kau tahu aku selalu ada untukmu kan? Kenapa kau malah memutuskan hal seperti itu?” tanya Jong Woon, mati-matian menahan emosinya untuk memarahi gadis itu. (Kumohon, jangan seperti ini.)

Tapi, tidak. Jong Woon tidak akan bisa memarahi gadis itu. Karena, melihat keadaan Hyo Yeon yang sekarang seperti itu saja malah membuat mata laki-laki itu berkaca-kaca sekarang, gadis itu malah membuatnya menahan airmatanya yang akan mengalir keluar.

Jong Woon tidak peduli dengan reaksi yang akan diberikan oleh Hyo Yeon nanti, ia langsung menghampirinya dengan cepat dan langsung memeluknya. Tapi, sayangnya, Hyo Yeon yang tahu laki-laki itu akan melakukan hal itu pun mendorong tubuh Jong Woon agar menjauh darinya sekuat tenaga. Saat itu juga, isakan tangisnya juga terdengar, terdengar sangat menyedihkan untuk Jong Woon.

Jebal, oppa. Jangan berusaha untuk mendekatiku lagi.” Ucapnya, membohongi perasaannya sendiri dan ia tahu itu sangat amat menyakitkan. Tapi, Hyo Yeon bisa apa selain mengatakan hal itu?

“Aku. Bahkan. Sudah. Hampir. Mati. Kau tahu?!” ucapan Jong Woon yang penuh dengan nada penekanan disetiap katanya itu langsung membuatnya terperangah, Hyo Yeon menatap Jong Woon dengan tatapan yang entah seperti apa artinya, yang jelas ia bisa melihat tatapan terluka dari laki-laki itu.

Hyo Yeon memejamkan matanya dan airmatanya kembali mengalir, sesak sekali hatinya. Napasnya mulai terasa tercekat lagi, ia harus mengakhiri ucapan ini, mengakhiri pertemuannya dengan Jong Woon saat ini, jika tidak. Ia benar-benar tidak akan pernah bisa pergi.

Oppa, kau harus bahagia, selamanya harus bahagia.” Ujar Hyo Yeon, ia masih berusaha seperti dirinya itu baik-baik saja di depan Jong Woon. Laki-laki yang ada di depannya itu langsung tersenyum, senyuman sedih yang tidak pernah Hyo Yeon sukai. Meskipun jaraknya dengan laki-laki itu cukup jauh, sekitar kurang dari dua meter, tapi ia tetap bisa melihat Jong Woon dengan jelas.

“Bahkan, hanya dengan melihatmu dari jauh seperti ini saja sudah membuatku cukup merasa bahagia. Hanya sesederhana itu.” Ucap Jong Woon dengan nada yang benar-benar membuat airmatanya mengalir lagi. Ucapan darinya terasa seperti langsung menusuk hati Hyo Yeon tepat di bagian terdalam. Membuatnya terperangah seketika.

Tapi, Hyo Yeon pun tersadar dan menatap Jong Woon dengan tatapan sayu, laki-laki ini... Benar-benar laki-laki yang sangat ia cintai, laki-laki ini yang selalu membuatnya bahagia. Dan, ia juga akan meninggalkan laki-laki ini besok. Meninggalkan semua kenangan yang Hyo Yeon miliki bersama Jong Woon. Airmatanya turun lagi dan ia langsung menghapusnya dengan cepat. Ia memaksakan sebuah senyuman riang, tentu saja ia harus menahan tangisannya mati-matian sampai ke titik paling rendah. Jong Woon semakin sedih melihatnya tersenyum seperti itu.

Oppa, besok... ayo kita jalan-jalan lagi.” Ajakan dari Hyo Yeon langsung membuat Jong Woon terpaku, tanpa memberikan respon apa-apa. Gadis itu tersenyum lagi.

“Besok, temui aku di dorm. Aku ingin jalan-jalan lagi denganmu. Aku tidak akan pergi, yaksokhae.” Ucap Hyo Yeon dengan lebih jelas lagi. Dan sekarang, Jong Woon malah menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

“Kau tidak boleh pergi dariku, Hyo Yeon-ah.” Balas Jong Woon. Laki-laki itu masih menatapnya tidak percaya. Ia masih memikirkan kalimat yang diucapkan oleh Hyo Yeon. Lebih tepatnya, ajakan.

Hyo Yeon tersenyum lagi saat melihat tatapan yang diberikan oleh laki-laki itu. “Maafkan aku, oppa.” Ucapnya, ia memperhatikan wajah Jong Woon sekilas, ia tersenyum bersamaan dengan airmatanya yang mengalir lagi.

“Hyo Yeon-ah..” panggilan Jong Woon terputus dan matanya menatap gadis itu, ia terperangah saat melihat Hyo Yeon memundurkan langkahnya, membuat jaraknya dan gadis itu menjadi lebih jauh, tapi ia masih bisa melihat wajahnya, kedua mata sembabnya, pipi tirusnya, kulit wajahnya yang memucat menjadikannya seperti mayat hidup.

Tapi, senyuman itu... membuat hati Jong Woon benar-benar terasa sudah tidak berbentuk lagi.

Tto mannayo, oppa.” Hyo Yeon pun melambaikan tangannya dengan dan berjalan mundur ke arah vannya, meninggalkan Jong Woon yang terperangah menatapnya sejak tadi. Meninggalkan hati Jong Woon yang terasa benar-benar sesak, dan ketika Hyo Yeon masuk ke dalam mobil van itu, lalu Chang Hyun segera menyalakan mesin mobil dan pergi dari sana. Jong Woon merasa hatinya langsung hancur seketika. Airmatanya pun meluncur turun begitu saja, dengan diikuti oleh buliran airmata yang lainnya. (Sampai jumpa, oppa)

 

***

 

Hyung!” Panggilan Dong Hae tidak bisa membuatnya sadar dari keterpakuannya, sejak mobil van Hyo Yeon itu pergi, rasanya roh yang tadinya berada di tubuh Jong Woon itu ikut pergi juga, rasanya ia sudah tidak bisa merasakan kakinya yang terpijak di atas tanah, rasanya ia mati sekarang.

Tapi, begitu Jong Woon menyadari ucapan serta ajakan dari Hyo Yeon, ia seakan mendapatkan sebuah harapan baru, harapan kecil yang semoga saja bisa memberikan suatu kebahagiaan lagi untuknya. Ia menghela napas dan merasakan airmatanya yang masih mengalir, kenapa ia harus menangis saat ini? Kenapa hatinya terasa seperti hancur? Kenapa detakan jantungnya itu terasa tidak ter-dengar olehnya?

“Ye Sung hyung!” Panggil Dong Hae lagi, kali ini sambil menepuk keras sebelah pundak Jong Woon. Ia langsung terseret kembali ke dalam kenyataan, ke dalam sebuah kenyataan yang tidak ingin ia alami.

Hyung, kau baik-baik saja kan? Apa ada yang sakit? Kau tidak terluka kan saat menyeberang secepat kilat seperti tadi?” pertanyaan Dong Hae yang bertubi-tubi itu langsung terdengar oleh Jong Woon. Ia pun mengalihkan tatapannya dan tersenyum ke arah Dong Hae. Laki-laki itu langsung terkesiap dan menatapnya heran.

Jong Woon memegang dadanya, tepatnya di mana letak hati dan jantungnya itu berada, untung saja sekarang ia bisa merasakan detakan jantungnya lagi, tidak seperti ketika Hyo Yeon pergi tadi, Ia sudah merasakan napasnya tercekat dan jantungnya juga seperti berhenti. Ia menghela napasnya lagi.

“Hatiku sangat sakit, Dong Hae-ya.” Ucapnya pelan, tapi Dong Hae masih bisa mendengarnya karena laki-laki itu berdiri tepat disampingnya. Ia menoleh ke arah Dong Hae dan tersenyum, kali ini dengan senyuman mirisnya.

“Hatiku terasa sangat sakit, perasaanku terasa sesak, tapi aku bahagia.” Jelasnya, membuat Dong Hae langsung tertegun mendengarnya. Ia pun mengguncangkan kedua pundak Jong Woon dengan sedikit keras, berharap agar Jong Woon tersadar.

Hyung, kau kenapa? Jangan seperti ini, kau membuatku ketakutan. Apa perlu aku mengejar Hyo Yeon-ah sekarang juga? Kau tadi bertemu dengannya kan?” tanya Dong Hae lagi. Jong Woon menghembuskan napasnya dengan berat. Berusaha mengikhlaskan apa yang baru saja terjadi antara ia dan Hyo Yeon. Ia tahu gadis itu benar-benar kuat dan ia tahu gadis itu tidak akan pernah bisa pergi darinya walau selangkah pun dan besok. Pagi-pagi besok, Jong Woon akan menjemput gadis itu untuk jalan-jalan, sesuai dengan permintaan Hyo Yeon.

Jong Woon menghela napasnya lagi, “Kajja, masuk ke dalam kafe.” Ajak Dong Hae, ia mengangguk. Tapi, matanya kembali memperhatikan jalan raya yang ada didepannya lurus-lurus. Arah perginya mobil van Hyo Yeon tadi. Baginya, tidak apa-apa kalau gadis itu menghindarinya, yang penting ia masih bisa melihat gadis itu dan bisa merasa lega karena gadis itu tidak akan meninggalkannya. Hanya seperti itu saja sudah cukup untuk Jong Woon, sudah cukup membuatnya merasa lega dan bahagia. Meskipun ia benar-benar merasa ada yang kurang.

Setidaknya untuk saat ini, ia bisa merasa sedikit lega, karena bagaimanapun juga ia sudah bisa melihat Hyo Yeon hari ini, hanya seperti itu saja sudah membuatnya bahagia, meskipun rasa khawatirnya jadi bertambah besar, disusul dengan rasa ketakutannya. Tapi, Jong Woon harus menyingkirkannya kan?

Karena besok harus menjadi hari yang sangat bahagia untuknya dan Hyo Yeon, ia harus membuat kenangan pada gadis itu sehingga ia bisa kembali merasakan hidupnya benar-benar lengkap, sehingga ia bisa merasa bahwa Jong Woon hidup lagi, tidak seperti raga tanpa nyawa, seperti dirinya yang kemarin-kemarin saat ia tidak bisa menemui Hyo Yeon.

 

***

 

BRAKK

Hyo Yeon langsung menutup pintu mobil dengan keras setelah ia duduk di kursi penumpang. Tepatnya disebelah Ah Ra yang sedang memperhatikannya dengan tatapan khawatir. Pasalnya, setelah ia berjalan mundur dari hadapan Jong Woon itu, ia langsung membalikkan tubuhnya dan berlari cepat menuju mobil van sambil menutupi mulutnya yang mengeluarkan isakan tangisnya. Dan, sampai sekarang tangisannya itu belum berhenti.

“Chang Hyun oppa, cepat kita pulang sekarang, Palli.” Suruhnya, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, meredam isakan tangisnya. Chang Hyun yang juga memperhatikannya sejak tadi, langsung mengangguk, ia menghela napasnya sebelum menyalakan mesin mobil. Sedangkan Ah Ra mendekati Hyo Yeon dan mengusap-usap punggungnya pelan, berusaha menenangkan Hyo Yeon.

Eonni, aku benar-benar merasa tidak bernapas tadi.” Ucap Hyo Yeon dengan suara yang bergetar, tangisan sesenggukannya masih terdengar didalam mobilnya. Ia memejamkan matanya lagi berusaha menghela napasnya lagi, tapi itu benar-benar amat sangat sulit untuknya.

“Aku tidak sanggup. Tapi,... besok aku masih harus pergi dengannya. Aku harus membahagiakannya dulu sebelum aku benar-benar pergi.” Jelas Hyo Yeon. Ah Ra yang mendengarnya hanya mengangguk, tapi ia ikut menitikkan airmata. Ah Ra tahu bagaimana perasaan Hyo Yeon saat ini.

Eonni, maafkan aku.” Ucap Hyo Yeon lagi, Ah Ra memeluknya dengan erat dan menggeleng, ia mengusap-usap punggung gadis itu lagi.

“Kau tidak mempunyai kesalahan, Hyo Yeon-ah. Ini sudah cukup berani, kau harus bisa menghadapinya, arra?” bisik Ah Ra dengan lembut, Hyo Yeon mencoba menghirup udara bebas lagi dan mengangguk kecil. Tangisannya tiba-tiba menjadi keras, Chang Hyun yang mendengarnya semakin khawatir. Tapi, ia juga harus fokus pada jalan raya agar mereka bertiga selamat sampai dorm.

“Tidak bisakah jika tidak pergi?” tanyanya cepat, Ah Ra langsung menggelengkan kepalanya pelan.

“Hyo Yeon-ah sudah menandatangani perjanjiannya di atas materai kan? Ia tidak bisa memilih hal yang lain lagi.” Jelas Ah Ra, Chang Hyun menghela napas berat. Ia tahu itu dengan sangat baik, Hyo Yeon yang mendengar penjelasan dari Ah Ra itu semakin keras menangis, ia tahu ia sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi kali ini.

Begitu mendengar napas Hyo Yeon yang mulai terengah-engah, Ah Ra langsung panik, ia mengambil inhaler yang ada diujung kursi itu dan langsung memberikannya pada gadis itu.

“Ini, pakai cepat. Aigoo, Hyo Yeon-ah.” Suruh Ah Ra, Hyo Yeon hanya menggelengkan kepalanya, tidak mau menerima inhaler itu, ia seperti mengharapkan dirinya mati saat itu juga.

Eonni, sesak. Eonni, andwae! biarkan aku mati saja.” Ucapnya dengan suara yang terputus-putus karena ia semakin sulit bernapas.

Mendengar keributan itu, Chang Hyun langsung memerintahnya, “Pakai alat itu atau aku akan menelepon Ye Sung-ssi sekarang juga.” Hyo Yeon langsung terperangah.

Oppa, aku tidak ingin.” Ucap Hyo Yeon lagi, ia pun memegangi dadanya. tepatnya jantungnya yang sekarang seakan berhenti berdetak itu, napasnya masih tercekat, ia benar-benar kesulitan saat menghirup udara bebas.

“Lee Hyo Yeon! Pakai cepat!” Teriak Chang Hyun dengan frustasi, ia merasa sangat khawatir melihat keadaan Hyo Yeon dari kaca spion mobilnya. Ah Ra langsung memaksakan alat itu agar dipakai oleh Hyo Yeon, ia pun hanya menurut saat ia merasakan tubuhnya semakin lemas karena kekurangan oksigen itu.

Bagaimana Hyo Yeon bisa bernapas dengan baik kalau ia akan meninggalkan oksigen yang sangat ia butuhkan itu? Oksigennya, Jong Woon. Sama seperti laki-laki itu yang menganggapnya sebagai oksigennya.

Hyo Yeon memejamkan mata saat napasnya tidak juga kembali normal, ia seakan pasrah saat ini. Entah Tuhan akan mengambil nyawanya sekarang juga atau tidak, ia tidak tahu. Yang gadis itu tahu saat ini, kepalanya benar-benar seperti akan meledak, hatinya terasa sangat amat sakit, perasaannya kacau, napasnya... Ia tidak bisa bernapas dengan normal dan pikirannya kusut. Tapi, tidak ada yang dipikirkannya saat ini. Dan, tiba-tiba ia merasa tubuhnya terasa ringan, seperti rohnya yang sedang diambil paksa, sedetik. Ia langsung merasa semuanya terlihat gelap, yang terakhir ia bisa dengar hanyalah teriakan dari Ah Ra saja.

“Hyo Yeon-ah!”

 

***

 

19:56 K.S.T.

Galleria Foret Apartment, Seoul, South Korea

Ah Ra berjalan dengan sangat tergesa saat keluar dari lift, diikuti oleh Chang Hyun dengan Hyo Yeon yang sekarang ada di gendongannya. Gadis itu pingsan dan belum sadarkan diri sampai sekarang.

Terlihat jelas dari wajah keduanya ada rasa khawatir yang amat sangat. Sebelumnya, gadis itu tidak pernah menangis keras sampai pingsan karena kekurangan oksigen seperti ini.

Begitu sampai di depan pintu dorm Hyo Yeon, ia langsung memasukan pin dan membuka pintunya, lalu membiarkan Chang Hyun untuk masuk ke dalam dorm lebih dulu. Setelah Ah Ra masuk, gadis itu pun menutup pintu dan otomatis pintu itu langsung terkunci.

Chang Hyun yang lebih dulu masuk itu melewati ruang tengah untuk menuju koridor dan ia tidak memperhatikan Jin Yeon yang tengah menatapnya bingung, tapi ia terkejut melihat Hyo Yeon yang tidak sadarkan diri.

Chang Hyun langsung berjalan tergesa ke kamar Hyo Yeon, ia membuka pintunya dengan susah payah dan masuk ke dalamnya. Lalu, merebahkan tubuh kurus dan tinggi gadis itu di atas kasur dengan hati-hati. Ia menghela napas dalam-dalam saat melihat Hyo Yeon yang juga belum sadar. Sedangkan Ah Ra malah terkejut dan sempat terpaku beberapa detik melihat Jin Yeon yang sedang menatapnya bingung, bercampur khawatir.

“Jin Yeon-ah, kapan kau pulang?” tanya Ah Ra ketika ia sudah tersadar dari keterpakuannya. Jin Yeon hanya mengerjapkan matanya beberapa kali.

Eo? Setengah jam yang lalu, eonni. Apa yang terjadi dengan Hyo Yeon eonni?” tanya Jin Yeon balik, Ah Ra hanya menghela napas dan berjalan ke arah kotak P3K, ia tetap harus menolong Hyo Yeon agar bisa sadar kembali.

“Dia pingsan, kehabisan napas.” Ucap Ah Ra sambil berjalan melewatinya, ia pun mempercepat langkahnya ke kamar Hyo Yeon, ia membawa beberapa obat yang ia yakin bisa menolong gadis itu.

Jin Yeon yang mendengarnya pun terperangah dan sedetik kemudian, ia langsung berlari cepat ke arah kamar kakaknya. Bagaimana bisa kakaknya kehabisan napas seperti itu? Apa kakaknya sedang mencoba untuk bunuh diri? Pikirnya.

“Kenapa inhaler itu tidak bisa bekerja dengan baik sih.” Kesal Chang Hyun. Ia melipat kedua tangannya didada dan kembali menggerutu.

Ah Ra yang sudah ada di sebelah Hyo Yeon itu hanya bisa menghela napasnya, ia sedang mengobati gadis itu. Memakaikan minyak yang bisa membuatnya merasa hangat, ia juga memakaikannya sedikit dihidung Hyo Yeon.

“Apa kita perlu bantuan Jong Woon oppa?” tanya Jin Yeon tiba-tiba. Ia memang baru saja kembali dari Amerika dan tidak tahu sama sekali dengan apa saja yang terjadi pada kakaknya. Yang ia tahu, keadaan kakaknya memang tidak dalam keadaan normal saat ia akan pergi ke Amerika beberapa bulan lalu. Ia juga sempat terkejut melihat Hyo Yeon tidak sadarkan diri seperti ini.

Hajima!” cegah Ah Ra dengan cepat, ia pun menatap tajam pada Jin Yeon yang sedang memegang ponselnya, sepertinya ia bersiap untuk menelepon Jong Woon. Matanya mengerjap kembali, heran dengan ucapan Ah Ra dan tatapan menyeramkan dari Chang Hyun. Sepertinya hanya Jin Yeon yang tidak tahu apa yang terjadi pada kakaknya. (Jangan!)

Jin Yeon pun menghela napasnya, “Waeyo? Kalian tidak mengizinkan ahjussi untuk menemui kakakku itu?” sambar Jin Yeon. Chang Hyun menggelengkan kepalanya.

“Bukan, bukan seperti itu, Jin Yeon-ah. Ini permintaan dari Hyo Yeon-ah, dia tidak akan mau jika Ye Sung-ssi tahu keadaannya yang seperti ini.” Penjelasan Chang Hyun semakin membuat Jin Yeon heran, ia menatap manajer kakaknya itu dengan tatapan curiga. Sedangkan Ah Ra, ia kembali fokus untuk mengobati Hyo Yeon.

Oppa, Aku tidak tahu apa-apa ya?” tanya Jin Yeon lagi, sebenarnya Chang Hyun ataupun Ah Ra tidak ingin menjelaskannya dan berharap Jin Yeon mengerti. Tapi, gadis itu terus memaksanya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada kakaknya itu.

“Aku akan menjelaskannya, nanti. Arra?” jawab Chang Hyun. Jin Yeon langsung menganggukkan kepalanya.

Ah Ra yang masih fokus pada Hyo Yeon itu pun tiba-tiba melihatnya seperti orang yang tengah kedinginan, lebih tepatnya terkena demam. Matanya langsung membulat ketika ia meletakkan telapak tangannya dikening gadis itu. Panas sekali suhu tubuh Hyo Yeon-ah, ucapnya dalam hati.

Oppa, Hyo Yeon-ah demam.” Ucap Ah Ra pada Chang Hyun. Laki-laki itu pun mendekatinya, memeriksa suhu tubuh Hyo Yeon. Ia langsung menghela napasnya dan mengambil ponsel yang ia letakkan disaku celananya. Ah Ra pun memakaikan Hyo Yeon selimut sampai sebatas dada.

“Aku akan menelepon dokter, kau kompres saja dulu, agar demamnya turun.” Jelas Chang Hyun, sebelum laki-laki itu menutup pintu kamar Hyo Yeon, Ah Ra hanya mengangguk mengerti.

Eonni, aku saja yang menyiapkan airnya.” Ucap Jin Yeon tiba-tiba, membuatnya langsung menoleh, ia merasa tidak enak karena bagaimanapun juga gadis itu adalah seorang artis. Ah Ra menghela napas saat ia melihat tatapan memohon dari gadis itu dan akhirnya ia menganggukkan kepalanya. Jin Yeon pun tanpa basa-basi lagi langsung keluar dari kamar Hyo Yeon dan menuju dapur.

Setelah tidak lama menunggu, Jin Yeon datang bersama Chang Hyun dan juga seorang dokter ke dalam kamar gadis itu. Ia meletakkan sebuah bak yang berukuran sedang di dekat meja nakas di samping tempat Hyo Yeon berbaring itu dan Jin Yeon keluar dari kamar mengikuti Ah Ra dan Chang Hyun, karena gadis itu akan diperiksa oleh dokter itu.

 

***

 

“Hyo Yeon-ssi hanya terkena demam dan sebaiknya makannya harus benar-benar teratur, karena dia mempunyai gastritis, jadi dia tidak boleh terlambat makan sedikit pun. Syukurnya, napas Hyo Yeon-ssi sudah menjadi normal kembali. Dia juga kelelahan, karena itu kesehatan tubuhnya menjadi menurun.” Jelas sang dokter dan Chang Hyun hanya mengangguk.

“Dia memang terlambat makan akhir-akhir ini.” Ucap Chang Hyun lirih.

Geuraeyo? Apa dia sedang tidak ada napsu makan atau kenapa?” tanya dokter itu. Chang Hyun, Ah Ra dan juga Jin Yeon pun terdiam. Sebenarnya, Hyo Yeon jadi seperti itu karena semua masalah yang harus dihadapinya. Ia tidak mementingkan kesehatannya karena ia lebih mementingkan perasaannya dan nasib hidupnya.

Chang Hyun menghela napasnya saat ia ingat seharian ini Hyo Yeon tidak makan nasi. Ah Ra juga ikut menghela napasnya, ia merutuki kebodohannya yang tidak sadar kalau seharian ini Hyo Yeon hanya makan buah-buahan dan makanan ringan saja hari ini, bahkan akhir-akhir ini.

“Napsu makannya agak menurun beberapa hari ini, tapi aku bisa usahakan dia akan makan dengan teratur mulai besok.” Jawab Chang Hyun dan dokter Kim hanya mengangguk. Lalu, ia memberikan selembar kertas yang berisi obat-obatan yang harus ditebus oleh Chang Hyun di apotek.

“Kalau begitu, aku akan menambahkan vitamin di resep obatnya, semoga Hyo Yeon-ssi  menjadi lebih baik setelah meminum obatnya. Dia akan segera sadar.” Jelasnya.

“Terimakasih banyak, dokter Kim.” Chang Hyun mengangguk tanda ia mengerti dengan penjelasan dokter itu, ia pun mengantar dokter Kim ke arah pintu dorm.

Ah Ra dan Jin Yeon yang memperhatikannya sejak tadi itu hanya bisa menghela napas dan kembali ke kamar Hyo Yeon. Ah Ra menghela napas cukup lega saat melihat Hyo Yeon yang sudah sadar dan menatapnya dengan sayu.

Jika dalam keadaan sehat, Hyo Yeon pasti akan terkejut karena tiba-tiba ia melihat Jin Yeon berada dikamarnya. Tapi untuk sekarang, menatapnya tajam saja ia tidak bisa. Tubuhnya terasa sangat lemah, padahal besok ia akan pergi ke London yang memakan waktu belasan jam di dalam pesawat.

Hyo Yeon menghela napasnya dengan lemah. “Eonni...” panggilannya terdengar sangat pelan di telinga Ah Ra. Gadis itu pun mendekatinya bersama Jin Yeon yang masih khawatir padanya.

“Kau membutuhkan sesuatu?” tanya Ah Ra. Hyo Yeon langsung menggeleng pelan dan memejamkan matanya, ia bukan membutuhkan sesuatu, tapi dirinya membutuhkan seseorang, Hyo Yeon membutuhkan Jong Woon. Terlebih, ia sedang sakit sekarang. Ia menghela napasnya kembali. Memikirkan namanya saja sudah membuat hatinya sesak.

“Chang Hyun oppa kemana?” tanyanya balik. Ah Ra hanya menghela napas dan mengusap rambutnya pelan.

“Dia sedang menebus obatmu,” jawab Ah Ra, Hyo Yeon hanya mengangguk. Ia masih memejamkan matanya, Ah Ra tahu gadis itu pasti sedang menahan airmatanya lagi sekarang.

Ah Ra pun mengusap-usap rambut Hyo Yeon dengan pelan, berusaha membuatnya tenang. Hyo Yeon sedang sakit sekarang dan ia tidak boleh memikirkan hal-hal yang semakin membuat kesehatannya itu menurun.

“Hyo Yeon-ah, kau yakin akan berangkat ke London, besok?” ucapan Ah Ra langsung membuat mata Jin Yeon melotot ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Apa-apaan ini? Kenapa kakaknya harus pergi ke London?

Eonni, kenapa kau harus pergi ke London? Apa yang terjadi disana? Apa harabeoji  sakit? Atau eomma? Atau bahkan appa?” tanya Jin Yeon bertubi-tubi. Hyo Yeon pun hanya menghela napasnya berat. Ia baru sadar kalau adiknya tidak tahu dengan masalah yang sedang ia alami sekarang. Hyo Yeon membuka matanya dan menatap lembut ke arah Jin Yeon. Membuatnya semakin heran.

“Tolong rahasiakan kepergianku dari Jong Woon oppa.” Permintaan darinya itu langsung membuat hati Jin Yeon sakit. Ia langsung sadar dengan masalah kakaknya yang ia ketahui sebelum ia berangkat ke Amerika waktu itu. Ia juga cukup tahu dengan semua peraturan dan hukuman dari agensinya. Jin Yeon menghela napasnya, kenapa kakaknya benar-benar menyerah kali ini? Kenapa kakaknya harus menyerahkan semua impiannya? Kenapa Hyo Yeon harus melepasnya?

Eonni,” panggilannya terpotong.

Jebal, Ah Ra eonni, Neodo. Rahasiakan apa saja tentang kepergianku dari Jong Woon oppa dan jangan membiarkannya datang kesini untuk mencariku. Besok adalah hari terakhirnya datang ke dorm ini, juga hari terakhirnya aku bersama dengan Jong Woon oppa. Jadi, kumohon.” Jelas Hyo Yeon panjang–lebar, airmatanya mengalir turun melewati pipinya. Ia tersenyum sedih dan menghapus airmatanya dengan pelan. (Kau juga)

Mata Jin Yeon berkaca-kaca, “Eonni, jika nanti kau akan pergi, aku dengan siapa? Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi di Seoul kecuali kau. Dong Hae oppa? Dia bahkan terlalu sibuk dan aku juga tidak dekat dengannya.” Jelasnya, ia duduk di pinggir kasur Hyo Yeon. Menatap sedih kearah kakaknya.

“Belajarlah untuk mandiri, Jin Yeon-ah. Kau sudah harus menjadi dewasa, kau masih memiliki semuanya, masih memiliki para penggemar yang setia padamu, lalu Min Sun eonni dan Ji Won eonni, dan juga... yang terpenting kau masih memiliki Kyu Hyun oppa kan? Aku tidak ingin memisahkanmu dengannya, karena itu aku tidak mungkin mengajakmu. Jadi, tetaplah bertahan di Seoul. Jangan melakukan hal yang sama seperti yang sudah kulakukan, jangan sampai semua yang kau lakukan dengan Kyu Hyun oppa diketahui oleh media.” Jelas Hyo Yeon. Airmatanya semakin deras mengalir.

Tiba-tiba Ah Ra menoleh saat mendengar pintu kamar Hyo Yeon terbuka, dan ia langsung melihat Chang Hyun yang membawa satu kantung plastik yang ia yakini itu adalah obat Hyo Yeon yang sudah ditebusnya. Laki-laki itu berjalan ke arah Hyo Yeon dengan tatapan khawatir.

“Bagaimana kau bisa pergi besok dengan keadaanmu yang seperti ini, eo?” omel Chang Hyun, meskipun masih dalam nada yang lembut.

Dari nada kata-kata yang ia ucapkan itu tersirat akan rasa khawatir yang membuatnya langsung tersenyum saat mendengarnya. Setidaknya, semua orang yang ia sayangi ini mengkhawatirkannya. Meskipun Jong Woon tidak mengetahuinya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi laki-laki itu saat ia tahu kalau Hyo Yeon pingsan dan sakit seperti ini.

Hyo Yeon pun bangkit dari posisi berbaringnya dengan sangat pelan, ia benar-benar merasa tubuhnya sangat lemah, melihatnya seperti itu Ah Ra langsung membantunya untuk duduk di kasur.

Oppa, aku pasti bisa pergi ke London besok. Lagi pula, aku hanya sakit seperti ini saja dan aku juga tidak ingin membuat eomma semakin khawatir kalau aku tidak jadi pergi kesana.” Jelas Hyo Yeon. Ia berusaha untuk menjadi kuat, karena ia tidak boleh lemah, meskipun kenyataannya tidak seperti itu. Ia benar-benar harus pergi besok, selain ia sudah memberitahu ibunya yang ada di London itu, ia juga tidak bisa menolak perintah dari CEO agensinya.

Dan juga, Hyo Yeon masih mengingat dengan jelas jika ibunya itu langsung merasa khawatir saat ia menelepon dan memberitahukannya kalau ia akan kembali ke London waktu itu. “Tapi, Hyo Yeon-ah, kau bisa memundurkan waktunya,” ucap Chang Hyun.

Hyo Yeon menggeleng, “Aku sudah harus pergi besok malam, oppa.” Balasnya, ia langsung bangun dari duduknya. Kepalanya seketika terasa pusing, seakan ingin meledak detik itu juga. Refleks, tubuhnya terhuyung dan hampir terjatuh kalau tangannya tidak segera memegang pundak Ah Ra yang menatapnya khawatir.

“Aku tidak apa-apa, eonni.” Ucapnya. Berbohong.

“Kau mau kemana, eo? Beristirahatlah, tubuhmu itu masih lemah.” Ucap Ah Ra, tapi ia hanya menggelengkan kepalanya.

Eonni, maaf.” Ucap Jin Yeon tiba-tiba, ponselnya itu sekarang tengah berdering dan tentu saja itu panggilan telepon dari Kyu Hyun, ia seakan meminta izin untuk mengangkat panggilan itu dan Hyo Yeon menganggukkan kepalanya, ia pun keluar dari kamar kakaknya.

“Aku harus menyiapkan bajuku dan juga barang-barang yang harus aku bawa untuk besok.” Jelas Hyo Yeon. Ia kembali bangkit dari duduknya setelah tadi ia didudukkan paksa oleh Ah Ra, Chang Hyun yang mendengarnya hanya mendengus. Ia kesal gadis itu bersikap seakan dirinya baik-baik saja, ia benar-benar kesal, Hyo Yeon seolah bertindak kalau ia kuat padahal ia sudah jelas terlihat sangat lemah.

“Tidak, setelah kau minum obat, kau baru boleh menyiapkan semuanya.” Tolaknya dengan nada memerintah, Hyo Yeon menghela napasnya dan mengabaikan ucapan dari manajernya. Ia melangkahkan kakinya ke ruang pakaiannya, Chang Hyun yang melihatnya itu pun menyeret tangannya dan mendudukkannya kembali di atas kasur. Ah Ra sedang mengambil minum untuknya.

“Tidak ada penolakan ataupun protes, Lee Hyo Yeon. Jika kau tidak menuruti perintah dariku, aku bisa pastikan Ye Sung-ssi langsung datang kesini detik ini juga.” Ancamnya membuat Hyo Yeon hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan pelan dan menundukkan kepalanya.

“Bagus.” Chang Hyun menyeret sebuah kursi di dekat meja belajar gadis itu ke arah Hyo Yeon dan mendudukinya. Laki-laki itu pun memperhatikan Hyo Yeon, lalu ia menghembuskan napasnya.

“Aku tahu, mungkin ini berat untukmu, Hyo Yeon-ah. Tapi, jangan pernah berusaha seakan kau bisa melakukan segala sesuatunya itu sendirian. Banyak tangan yang akan membantumu disini. Dan juga, walaupun kau akan pergi besok, walaupun aku sudah tidak menjadi manajermu lagi. Kapanpun kau akan datang kesini, datanglah. Pintu dorm ini selalu terbuka lebar untukmu.” Jelasnya panjang–lebar. Saat itu juga, airmata Hyo Yeon mengalir lagi, ia mengangguk pelan.

“Chang Hyun oppa, jeongmal mianhae..” ucapnya pelan. Ah Ra datang dengan segelas air putih dan ia mengambil obat yang tadi ditebus oleh Chang Hyun itu. Ia menghela napas saat melihat Hyo Yeon kembali menangis. Sebenarnya, ia juga merasa sangat berat dan kehilangan saat gadis itu memutuskan untuk pergi dan mengakhiri karirnya yang menjadi penyanyi solo itu. Tapi, Ah Ra juga tahu jika dirinya dan Chang Hyun tidak bisa berbuat lebih banyak.

Kajja, minum obatmu sekarang, agar dirimu menjadi lebih baikan. Aku akan menurunkan kopermu dari atas lemari.” Ucap Chang Hyun, ia pun mengusap-usap pelan kepala Hyo Yeon. Gadis itu langsung mendongakkan kepalanya, menatap Chang Hyun yang sedang berdiri didepannya, ia pun tersenyum tipis.

Gomawo, oppa.” Ucap Hyo Yeon, Chang Hyun mengangguk. Ia berjalan dan masuk ke dalam ruang pakaiannya itu untuk mengambil koper besar yang diletakkan diatas lemarinya. Setelah Ah Ra membantu gadis itu untuk meminum obat, Chang Hyun datang padanya kembali dengan sebuah koper besar yang sedang ia seret itu. Hyo Yeon memejamkan matanya sekilas dan menghembuskan napas, ia harus membereskan semuanya sekarang juga.

 “Chang Hyun oppa, Ah Ra eonni, aku akan membereskan pakaianku. Kalian bisa kan tinggalkan aku sendiri?” ucap Hyo Yeon sambil menatap Chang Hyun dan Ah Ra bergantian. Sedetik, keduanya saling pandang, menghela napas dan akhirnya mengangguk. Menuruti ucapannya itu dan Chang Hyun keluar dari kamarnya.

“Maaf, aku tidak bisa membantumu, aku sudah mengantuk.” Ucap Ah Ra dengan rasa bersalahnya. Hyo Yeon hanya tersenyum kecil, lalu menggeleng pelan.

“Tidak apa-apa, eonni. Aku bisa sendiri, jangan mengkhawatirkan aku.” Jelasnya, begitu Ah Ra mengangguk dan keluar dari kamarnya, Hyo Yeon pun menghela napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan keras.

 

***

 

Hyo Yeon memasukan beberapa pasang bajunya, beberapa helai dressnya dan celana panjang serta pakaiannya yang lain ke dalam kopel besar yang ia letakkan tepat di atas kasurnya itu. Lalu, ia kembali masuk ke ruangan pakaiannya lagi. Ini sudah yang ketiga kalinya yang bolak-balik ke dalam ruangan itu dan ia juga hampir memilih pakaian-pakaian yang berhubungan dengan Jong Woon.

Saat ia akan mengambil beberapa sweeter itu, tangannya memegang sweeter berlengan panjang yang berwarna hitam. Sweeter milik Jong Woon yang entah kenapa ia selalu lupa untuk mengembalikannya, tapi laki-laki itu juga tidak protes padanya. Ia pun menghela napas dan mempertimbangkan apakah Hyo Yeon akan membawa sweeter itu atau tidak.

Tapi, pikirannya malah melayang pada beberapa tahun yang lalu, saat ia datang ke dorm Super Junior, ia dan Jong Woon akan pergi untuk makan siang, saat itu musim panas seperti sekarang. Ia yang hanya memakai kaos dan rok selutut itu dimarahi oleh Jong Woon karena ia tidak memakai sweeter, tentunya ia menolak mentah-mentah saat laki-laki itu menyuruhnya untuk memakai sweeter itu, karena saat itu cuacanya benar-benar panas.

Tapi, mau tidak mau ia harus menurutinya, terlebih ketika Jong Woon langsung memakaikan sweeter yang berwarna hitam itu di tubuhnya. Ingatan-ingatan yang lain itu pun terputar didalam pikirannya tanpa ia perintah. Saat ia memakai sweeter itu untuk terakhir kalinya.

Hyo Yeon pergi ke gedung SM Entertainment bersama Jong Woon, saat Hyo Yeon menangis di depan laki-laki itu saat ia mengetahui kalau ia yang akan segera pergi dari Korea Selatan jika ia mendapat skandal lagi. Saat laki-laki itu menggendongnya ke ruang kesehatan terdekat, saat ia dan Jong Woon menceritakan kenangan mereka berdua di dormnya, kenangan saat mereka satu universitas dulu.

Airmatanya mengalir lagi begitu ia mengusap pelan bagian lengan sweeter itu, ia bisa membayangkan dengan jelas Jong Woon yang memakai sweeter itu dan Hyo Yeon memutuskan untuk membawanya ke London. Biarlah ia selalu berada dibawah bayang-bayang laki-laki itu nantinya, karena kalau ia harus melupakan laki-laki itu, Hyo Yeon benar-benar tidak bisa.

Mata Hyo Yeon langsung teralih ke arah laci yang berada di bagian paling bawah lemarinya itu, ia berjongkok, bahkan duduk di lantai yang berkarpet merah tua itu. Lalu, ia membuka lacinya. Airmatanya kembali turun saat ia menemukan beberapa barang yang diberikan Jong Woon padanya selama ini. Sejak tahun 2006, sejak pertama kali ia mengenal laki-laki itu.

Berbagai jenis barang langsung terlihat olehnya, mulai dari perhiasan, berbagai aksesoris, bahkan beberapa miniatur kecil tokoh fiksi kesukaannya itu ada disana. seperti berbagai tokoh kartun dan juga terdapat boneka-boneka berukuran kecil yang dihadiahkan oleh Jong Woon untuknya. Ia menghela napas.

“Apa aku harus membawa semua ini juga?” gumam Hyo Yeon, ia pun bangkit dari duduknya dan mengambil sebuah kotak kosong berwarna biru tua, lalu kembali duduk.

Hyo Yeon meletakkan beberapa barang itu ke dalam kotak, barang-barang yang menurutnya penting itu dan menutup lacinya saat ia sudah selesai memasukkan barang-barang itu. Sekarang, tangannya teralih pada pintu kaca kecil di atas laci itu, Hyo Yeon tersenyum kecil karena saat membukanya. Ia melihat berbagai jenis Ring Doll berukuran lima puluh senti itu didepannya dan tangannya mengambil sebuah boneka yang memang terlihat baru. Tentu saja, ia sudah memesan boneka itu dari Kanada sejak sebulan yang lalu dan ia memang berniat untuk memberikannya pada Jong Woon, sebagai hadiah terakhirnya. Sebagai hadiah perpisahannya.

Hyo Yeon bangkit kembali dari duduknya dan membawa sweeter Jong Woon, kotak kecil itu, serta boneka itu keluar dari ruang pakaiannya setelah ia menutup pintu itu kembali. Ia memejamkan matanya lagi, lalu membukanya kembali dan menatap ke sekitar kamarnya, seolah ia sedang melihat-lihat apa saja yang pernah terjadi di dalam kamarnya itu belakangan ini, tepatnya, ketika Hyo Yeon bersama dengan Jong Woon.

Saat ia menangis, bertengkar dan melihat laki-laki itu marah padanya, melihat laki-laki itu memohon padanya dan mengatakan padanya kalau ia tidak usah takut, nyatanya hal yang ia takutkan itu benar-benar terjadi sekarang.

Hyo Yeon sangat takut kalau ia akan meninggalkan Jong Woon, tapi sekarang ia benar-benar akan meninggalkan laki-laki itu, meninggalkan setengah hidupnya itu. Semua kejadian itu terputar begitu saja di dalam pikirannya. Membuat hatinya semakin terasa sesak.

Hyo Yeon meletakkan kotak kecil dan sweeter itu di dalam kopernya dan setelah semuanya sudah ia bereskan, ia menarik resleting untuk menutup koper besarnya itu. ia pun duduk di atas kasurnya, lalu ia pun tidak melakukan apa-apa lagi, seolah otaknya sedang tidak bisa memikirkan apa-apa, padahal ia yakin kalau dirinya sedang banyak pikiran. Ia menatap kosong ke arah karpet putih yang ia injak dan pikirannya kembali mengulang semua kejadian yang pernah terjadi dikamarnya lagi.

Saat pikirannya terlempar pada Jong Woon yang memberikannya cincin waktu itu, ia langsung menghembuskan napas beratnya dan airmata yang tadi ia tahan lagi langsung mengalir dengan deras. Hyo Yeon pun menangis sesenggukan sambil memperhatikan cincin yang ada dijari manis ditangan kirinya itu.

Rasanya benar-benar sakit saat ia akan segera pergi meninggalkan laki-laki itu. Apalagi, besok ia harus bertemu dengan Jong Woon lagi, untuk yang terakhir kalinya.

Hyo Yeon memejamkan matanya lagi, benar-benar merasa hatinya sangat sesak dan sakit dalam waktu yang bersamaan. Ia memukuli pelan dadanya, rasa sesak pada napasnya muncul lagi. Membuatnya harus memaksakan diri untuk bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah meja belajarnya untuk mengambil inhaler.

Tapi, saat Hyo Yeon mencoba untuk bernapas dengan normal kembali, ia malah merasakan napasnya benar-benar habis saat itu juga, ia memejamkan matanya lagi, ia tidak boleh seperti itu, walaupun sia-sia Hyo Yeon bernapas dengan inhaler, karena airmatanya tidak juga berhenti mengalir. Karena, tangisannya semakin menggema di dalam kamarnya yang luas ini, ia tetap berusaha bernapas dengan normal.

Chang Hyun yang akan ke kamarnya pun melihatnya menangis saat ia melewati kamar Hyo Yeon, karena pintu kamar gadis itu terbuka. Ia langsung masuk, menghampiri Hyo Yeon yang sedang menangis sesenggukan itu. Ia juga langsung memeluknya.

Oppa..” ucap Hyo Yeon pelan dengan nada terkejutnya, tentu saja ia terkejut karena dipeluk oleh manajernya dengan tiba-tiba seperti itu, ia pun kembali menangis sesenggukkan lagi, bahkan lebih keras. Tapi, Chang Hyun hanya terdiam sambil mengusap-usap punggungnya, berusaha menenangkannya. Ia tidak bisa melakukan hal lain selain hal seperti itu.

“Kali ini, menangislah sepuasmu dan setelahnya kau tidak boleh menangis lagi.” Bisik Chang Hyun dengan nada lembut tepat di telinga Hyo Yeon. Ia hanya mengangguk dan memejamkan matanya yang terasa berat karena hampir seharian ini ia menangis.

Oppa, aku benar-benar sudah mengambil langkah yang terbaik kan? Lagi pula, aku tidak mempunyai pilihan lain,” jelasnya dengan nada putus-putus yang bercampur dengan isakan tangisnya. Chang Hyun hanya mengangguk.

Oppa, jeongmal mianhae.. Karena diriku, kau jadi tidak mempunyai pekerjaan lagi. Habisnya, kau tidak mau bekerja di perusahaan ayahku sih.” Lanjutnya, Chang Hyun hanya tersenyum sedih. Bukannya tidak mau, tapi ia lebih baik tidak bekerja lebih dulu. Ia hanya ingin menjadi manajer Hyo Yeon saja dan setelah ia tidak menjadi manajer gadis itu lagi, ia tidak akan bekerja apa-apa lagi.

Hyo Yeon juga merasa sangat bersalah, karena dirinya, Chang Hyun sekarang tidak mempunyai pekerjaan lagi, ia juga cukup tahu jika manajernya hanya ahli dalam bidang keartisan serta manajemen saja. Sedangkan Ah Ra, ia bisa melakukan apa saja, bahkan tidak jarang ia juga membantu Hyo Yeon mengerjakan tugas-tugas kuliahnya yang di bidang arsitektur itu.

“Sudahlah, tenangkan dirimu. Kau masih sakit malah menangis keras seperti ini.” Ucap Chang Hyun, ia kembali mengusap-usap punggung Hyo Yeon.

Hyo Yeon menghela napas dalam-dalam saat tangisannya mulai mereda, malah Hyo Yeon merasa sangat mengantuk sekarang dan juga merasa sangat lelah. “Eonni, jangan memaksakan diri.” Ucap Jin Yeon yang datang tiba-tiba, sekarang gadis itu sudah berdiri tepat didepan pintu kamar Hyo Yeon dengan mata sembab dan airmatanya yang masih mengalir. Ia pun menyuruhnya mendekat.

Meskipun kadang Jin Yeon sulit diatur, sulit menurut padanya dan tidak jarang adiknya meledekinya, tapi ia sangat menyayangi adik kandungnya itu. Ia merasa sangat bersalah karenanya Jin Yeon menangis seperti itu, padahal ia sangat tahu kalau adiknya sangat jarang menangis.

“Aku tidak memaksakan diri. Aku benar-benar ingin tinggal di London dan aku akan baik-baik saja, Jin Yeon-ah,” jelasnya, ia masih berada di dalam pelukan Chang Hyun. Sedangkan laki-laki itu hanya memperhatikannya mengobrol dengan Jin Yeon. Hyo Yeon mengusap rambut Jin Yeon yang tergerai dengan pelan.

“Jadi, kau juga harus baik-baik saja disini.” Lanjutnya, ia memaksakan sebuah senyuman.

“Kyu Hyun-ah tadi menanyakan keadaanmu, eonni. Dan dia juga sedang bersama dengan Dong Hae oppa. Lalu, aku hanya mengatakan kalau kau tidak apa-apa saat ini. Aku pintar berbohong kan?” ucap Jin Yeon panjang, airmatanya kembali turun. Chang Hyun melepaskan pelukannya pada Hyo Yeon, beralih mengusap kepala Jin Yeon.

Hyo Yeon pun memeluknya, “Aniya, kau tidak sepenuhnya berbohong, Jin Yeon-ah. Kau yang terbaik dan kau juga harus tetap merahasiakan kepergianku dari mereka semua, arra?” ucapnya pada Jin Yeon. Gadis itu hanya mengangguk dan menghapus airmatanya, lalu membalas pelukan Hyo Yeon dengan sangat erat, seolah tidak ingin jika kakaknya pergi meninggalkannya. Tentu saja, adik mana yang rela ditinggalkan oleh kakaknya?

Eonni harus makan dengan teratur.” Ucap Jin Yeon, Hyo Yeon hanya tersenyum dan beralih menatap ke arah Chang Hyun.

Oppa, jangan pernah sekalipun memberitahukan keadaanku ataupun di mana aku berada nanti kepada Jong Woon oppa, arra?” perintah Hyo Yeon. Chang Hyun hanya mengangguk, meskipun ia tidak menjanjikannya. Karena, ia sangat tahu Jong Woon itu seperti apa kalau laki-laki itu sudah kalut dan sangat khawatir pada Hyo Yeon.

 

***

 

14th of July 2013, 00:38 K.S.T.

Jong Woon's House, Seoul, South Korea

“Benar dia baik-baik saja?” tanyanya untuk yang kedua kalinya kepada seseorang diseberang telepon sana. Tanpa ia sadari, ia sudah menggigiti ujung kukunya, terlihat dari tatapan matanya yang tajam itu mengatakan jika ia sangat khawatir dan cemas dengan keadaan Hyo Yeon.

Ne, tadi Jin Yeon-ah mengatakan padaku kalau kakaknya itu baik-baik saja.” Jawab Kyu Hyun, seseorang yang tengah ditelepon oleh Jong Woon itu. Jong Woon pun hanya menghela napasnya dan memijit keningnya, kepalanya pusing karena tidak tahu kabar Hyo Yeon sampai sekarang. Ia terakhir bertemu dengan gadis itu tadi sore menjelang malam dan dari apa yang telah ia lihat itu, Hyo Yeon sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, mana mungkin Jin Yeon berkata seperti itu, pikirnya.

“Syukurlah kalau begitu.” Ucapnya, berpura-pura merasa lega, malahan hatinya bertambah sesak sekarang. Ia benar-benar mengkhawatirkan gadis itu, tapi tidak mungkin juga ia datang ke dormnya, ia tidak sanggup melihat keadaan gadis itu yang sudah seperti mayat hidup lagi, karena rasanya sangat menyakitkan. Jong Woon memejamkan matanya sejenak.

“Tapi, Ye Sung-ah,” ucapan Kyu Hyun langsung membuatnya kembali membuka matanya.

“Ada apa Kyu Hyun-ah?” tanyanya cepat dan seketika detakan jantungnya kembali berdetak sangat cepat, otak dan pikiran Jong Woon seolah bersatu untuk memikirkan hal-hal negatif yang kemungkinan besar akan menjadi jawaban dari Kyu Hyun.

“Suara Jin Yeon-ah saat mengatakan kalau Hyo Yeon-ah baik-baik saja terdengar aneh olehku. Suaranya terdengar serak seperti orang yang habis menangis, aku sudah menanyakannya, tapi dia malah langsung menutup panggilan telepon dariku bukannya menjawab pertanyaan dariku.” Jelas Kyu Hyun.

Jong Woon yang mendengar penjelasan dari Kyu Hyun itu merasa semakin khawatir dengan Hyo Yeon. Benarkan? Gadis itu tidak mungkin dalam keadaan baik-baik saja, terlebih jika Kyu Hyun mengatakan kalau Jin Yeon itu serak dan seperti ia habis menangis. Padahal, ia juga sangat tahu kalau Jin Yeon itu jarang menangis.

Pikiran Jong Woon kembali memikirkan hal-hal negatif, pikirannya membuatnya mengingat apa yang terjadi beberapa hari kebelakang ini, tentunya pada saat dirinya memergoki laptop Hyo Yeon yang menampilkan halaman awal salah satu maskapai terbesar di Korea Selatan itu dan jika ia hubungkan dengan keadaan Hyo Yeon tadi sore itu sudah jelas gadis itu pasti tidak baik-baik saja.

Tunggu, Jong Woon seakan mengingat kembali kata-kata dari Hyo Yeon saat itu dan ia langsung menghembuskan napasnya dengan berat, ia berusaha menghilangkan rasa sesak dihatinya tapi malah bertambah dan semakin sesak. Apa Hyo Yeon benar-benar akan pergi? Tapi, mereka berdua pagi nanti akan jalan-jalan.

“Aku lebih baik terus berusaha meneleponnya, terimakasih Kyu Hyun-ah.” Ucap Jong Woon dan sedetik, ia langsung memutuskan sambungan telepon. Ia refleks melempar ponsel mahalnya ke atas kasur begitu saja, ia merebahkan dirinya. Memejamkan matanya kembali. Seolah dirinya sedang berdoa dalam hati dan Jong Woon sangat mengharapkan semua pikiran negatif yang saat ini sedang melayang-layang dikepalanya itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Karena ia tidak akan pernah sanggup kehilangan Hyo Yeon lagi, benar-benar kehilangan gadis itu lagi.

Jong Woon pun menghembuskan napasnya dan membuka matanya, tangannya terulur mengambil ponselnya dan ia pun menekan tombol angka satu di layar touchscreen itu. Sebelum menelepon Kyu Hyun, ia sempat menelepon Hyo Yeon lebih dulu, berpuluh-puluh panggilan telepon darinya itu sama sekali tidak dijawab oleh gadis itu, membuatnya semakin khawatir.

“Hyo Yeon-ah, neon jeongmal!” Ucap Jong Woon frustasi, ia bahkan hampir teriak setelah panggilan teleponnya yang kelima kali itu tidak di angkat juga oleh Hyo Yeon.

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kenapa menghindariku lagi?” tanyanya entah pada siapa. Tatapan matanya sayu, menampilkan ekspresi sedih, frustasi, putus asa dan entah apa lagi yang bisa menjelaskan kalau keadaannya saat ini benar-benar seperti raga tanpa nyawa, selalu seperti ini. Jong Woon selalu merasa kehilangan gadis itu.

Padahal, Jong Woon sudah mengikatnya agar tidak pergi darinya. Ya, memang tidak pergi darinya, karena laki-laki itu yakin Hyo Yeon tidak akan bisa melakukan hal itu. Tapi, gadis itu akan pergi dari Korea Selatan. Mengingat hal itu, refleks mata Jong Woon melotot dengan napasnya yang langsung tercekat.

Aigoo, jangan sampai dia memutuskan untuk keluar dan pergi dari negara ini.” Gumamnya, ia kembali menghela napas beratnya.

“Pagi nanti, awas saja kalau dia menghindariku, ataupun tidak menjawab segala macam dan jenis pertanyaan dariku.” Gumamnya lagi, ia pun memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur.

Jong Woon harus bangun pagi-pagi karena ia akan menjemput Hyo Yeon dan mereka berdua akan jalan-jalan. Ia mencoba untuk menenangkan hatinya yang masih terasa sangat sesak, berusaha menenangkan perasaannya yang sampai sekarang masih kacau, rasa takut dan khawatirnya itu kini ditambah oleh rasa gelisah.

 

_T.B.C._

 

-2015.11.02

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK