All I hear is raindrops
Falling on the rooftop
Oh baby tell me why’d you have to go
Cause this pain I feel
It wont go away
And today
I’m officially missing you
I thought that from this heartache
I could escape
But I fronted long enough to know
There ain’t no way
And today
I’m officially missing you
.........................................
It's official
You know that I’m missing you
Yeah yes
All I hear is raindrops
And I’m officially missing you
Angin malam terus menerpa kami, dia yang tengah seru bermain sendiri dengan bayangannya, dan aku terus memandangnya dengan bola yang terus memantul di lapangan, sesekali kami saling tertawa, menertawai diri kami masing-masing yang terlihat bodoh. Pandanganku kembali beralih pada cahaya lampu yang seakan mengantar memoar masa lalu, ditambah alunan lagu Tamia, Officially Missing You, aku menyerah, tidak bisa membiarkan memory itu hilang begitu saja dari kepalaku, ditambah pertemuan kami yang baru saja terjadi, aku membiarkannya terus berputar di kepalaku layaknya film indah dengan sad ending.
“Nugu?,”Lay mengendikkan dagunya setelah tak kusadari sudah duduk tepat disebelahku, menatap layar ponselku yang sudah hampir satu jam terus memutar lagu yang sama. Aku membuka headset yang sedari tadi bertengger di telingaku sembari menonton permainan basket dari Lay dan bayangannya.
“Nugu mwoya nugu?,”aku menatap layar ponsel, tidak ada teks atau telepon yang masuk.
“Maksudku, lagu itu untuk siapa?,”ia menengguk minumannya, sambil menunggu jawaban dariku dan mengatur nafas karena sudah satu jam pula ia berlari kesana-kemari memantulkan bola basket berwarna orange tua itu.
“O,”aku menatap lurus ke arah lapangan basket yang sudah tidak ada aktivitas. “Aniya,”aku kembali bersandar, menyamakan posisi seperti Lay yang tengah merebahkan tubuhnya di kursi.
Tetesan air membentuk lingkaran-lingkaran kecil di dasar lapangan, lama-kelamaan menerpa kami berdua yang tengah menepi. Tangan Lay yang dibasahi keringat terasa menarik tangan serta tubuhku menuju tempat berteduh tak jauh dari lapangan. “Pas sekali,”pekik Lay setelah, aku menengok ke arahnya seakan bertanya, ‘apa yang pas sekali?’. “Lagu yang tadi kau dengar, liriknya pas dengan suasana malam ini,”Lay menoleh, memoles senyum di wajahnya yang dibasahi keringat. “Kau merindukan seseorang? Laki-laki tadi,”Lay menyenggol lenganku dengan tatapan menggoda. “Matta?,”lengan jaketnya yang mulai dibasahi keringat itu menyenggolku lagi. Melihatku tak bergeming, Lay memakai satu headset di telinga kirinya, kemudian kembali menyenggolku. “Manager kim, putar lagi lagunya,”matanya menunjuk ponsel yang kini layarnya gelap, memang sudah tidak ada lagu lagi yang mengalun. “O. Kau sangat cinta dengan kami, sampai wallpapermu foto kami,”ia menatap layar ponselku yang baru saja aku nyalakan. Kemudian pandangannya beralih pada dua temannya yang sudah lama tak terlihat. “Masih ada Kris dan Luhan,”kini pandangannya pergi ke lain arah. Alunan gitar pun memulai lagu, mengisi malam kami berdua yang nampak sepi, aku pun juga ikut menggantungkan salah satu headset yang masih menganggur.
“Kau merindukan mereka?,”aku mencoba angkat suara, setelah aku mencoba meledeknya dengan tidak menanggapi pertanyaan tentang laki-laki yang juga ia temui. Lay tak bergeming, ia masih betah menatap lurus, menikmati alunan lagu diiringi suara tetesan air hujan yang semakin lebat.
“All I hear is raindrops
Falling on the rooftop
Oh baby tell me why’d you have to go
Cause this pain I feel
It wont go away”
Suara Lay seakan ikut berduet dengan penyanyi perempuan ini, membuatku tersenyum mendengar suara merdunya yang kurang terdengar jika berada di atas panggung.
“And today
I’m officially missing you”
Kami saling bertemu pandang, senyumnya merekah setelah menyelesaikan satu kalimat, ‘I’m officially missing you’, menyambut pertemuan mata kami yang tak disengaja. Laki-laki ini meneruskan lagunya, kembali menatap lurus rintikan air yang turun ke bumi, bahkan kini aku sengaja melepas headset yang melekat di telinga kananku, menikmati suara indahnya dengan backsound suara rintikan hujan. Aku memejamkan mata, wajah seseorang kini menyapaku dalam pejaman, lelaki yang dulu sangat sering menyanyikan lagu ini untukku, kini wajahnya terganti dengan sepuluh laki-laki yang sudah menemaniku selama satu bulan. Ah, sepuluh laki-laki ini justru berhasil membuatku meneteskan air mata, atau karena aku terlalu perih untuk memikirkan laki-laki itu lagi(?)
“All I do is lay around
Two ears full of tears
From looking at your face on the wall
Just a week ago you were my baby
Now I don’t even know you at all
I don’t know you at all
Well, I wish that you would call me right now
So that I could get through to you somehow
But I guess it’s safe to say baby safe to say
That I’m officially missing you”
Lay menoleh ke arahku yang turut bernyanyi dengannya, menyibakkan senyum meski tengah sibuk melantunkan lagu yang coba kami nyanyikan berdua. Kami bak duo artis yang tengah bernyanyi di atas panggung, menikmati koneksi yang seakan menyatu, menikmati moment berdua tanpa menyadari bahwa ada penonton di bawah panggung, seakan hanya ada kami berdua.
“Haha,” setelah lagu terhenti suara tawa pecah di antara kami, menghilangkan keheningan malam yang nyaris larut, hanya tertinggal suara tetesan air yang semakin lama semakin menipis. “Iya, laki-laki tadi benar mantan pacarku,”jelasku, menjawab pertanyaan yang sedari tadi ia tanyakan. Aku memilih menatap lurus, tidak mau tertangkap ada bayangan laki-laki bernama Woo Jiho itu di balik obsidianku.
“Aku juga merindukan mereka,”ucap Lay singkat seakan merespon tanpa membahas masa laluku, mengetahui bahwa kalimatku adalah sebuah ungkapan bahwa aku merindukan laki-laki dipertemuan senja tadi. “Kris hyung, Luhan hyung, Hallaboji, Halmoni...,”tutupnya dengan nada bergetar, membuatku segera menatap wajahnya.
“Mian, aku tak bermaksud mengingatkanmu tentang mereka dan membuat malam romantis kita berakhir sedih,”ledekku yang melihat tatapan nanar dari matanya. Lay menatapku, menggelenggkan kepala.
“Ani, gwenchana,”senyum simpul tercetak diwajahnya meski dengan tatapan sendu yang menggambarkan akan kerinduan yang dalam.
-Hello, Manager Kim-
Kami berdua sudah kembali dari udara dingin di luar sana, menghangatkan diri di dalam flat kecilku. Tubuhnya yang berbalut kaos penuh keringat itu kini merebah di atas lantai, memandang lurus langit-langit kamarku dengan pamandangan sticker bintang yang akan menyala saat gelap. “Kau bisa mematikan lampunya? Aku ingin melihat bintang ini bersinar,”ucapnya, membuatku agak ragu untuk meladeni keinginannya. “Aniya,”ia tertawa, “Aku bukan laki-laki seperti bayanganmu,”lanjutnya dengan sebuah tawa di akhir kalimat.
Wajah laki-laki itu sudah tidak tergapai dengan sempurna, hanya samar-samar karena dibantu pencahayaan dari luar kamar. Aku terus menatapnya dari ujung kasurku, menghasilkan jarak 2 meter di antara kami. “Bagaimana bintang bisa begini terangnya di saat gelap? Bahkan ia secara otomatis menyala dalam kegelapan,”satu tangannya terangkat seakan tengah membentuk satu-per-satu bintang yang menyinari langit-langit kamarku dengan telunjuknya. “Aku ingin seperti mereka. Terang di saat lainnya redup,”lanjutnya dengan tangan yang sudah turun, menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Kau sudah menjadi bintang Lay,”ucapku sambil terus menatapnya yang kini terpejam. “Kau lah bintang bagi orang-orang. Bagi penggemarmu. Apa kau belum merasakannya?,”matanya perlahan terbuka, kembali menatap lurus pemandangan bintang di atasnya. “Kau tau kan bahwa bintang sebenarnya adalah metero? Meteor panas yang akhirnya menciptakan cahaya jika dilihat dari bumi? Kau hanya belum sadar bahwa kau bintang terindah jika dilihat dari bumi,”kataku yang entah datang dari mana, aku semacam meracau tak jelas.
“Apakah selanjutnya aku?,”air matanya terlihat menetes, seperti mengingat kedua sahabatnya dari China yang kini sudah pulang ke negara asal, yang hanya menyisakan dirinya dan Tao si magnae EXO-M. “Apakah aku harus menyerah Shin-ah...,”kalimat bak seorang lelaki tengah mabuk, melantur, aku sungguh tidak ingin mendengarkan kalimat itu dari mulutnya.
“Ssstt,”pekikku, menahan kalimatnya. “Kau harus tetap bersinar Lay, untuk bintang lain yang masih ada di sisimu, kes embilan bintang lain yang ada di kamar sebelah,”aku sedikit bergurau, untungnya masih terdengar suara tawa dari mulutnya. “Hallaboji, Halmoni yang sudah merawatmu sejak kecil, kau lah bintang paling bersinar bagi mereka. Ini bukan masalah kau harus menyerah atau tidak, hanya saja terbangmu semakin tinggi, semakin jauh dari bumi yang sudah membuatmu sangat nyaman di dekatnya, sedangkan kau harus terus terbang jauh di atas bumi, kau merasa kesepian karena kehilangan kedekatan dengan bumi, tapi lihat sekelilingmu, kau bisa melihat banyak meteor lain mengelilingimu, planet baru yang kau temui, mereka penggemarmu, artis lain yang sama bercahayanya denganmu. Apakah sesulit itu jauh dari bumi?,”menutup kalimatku dengan sebuah pertanyaan menghantarkan sosok Lay yang diterangi cahaya dari luar kamar mendekatiku, ‘Tek’, kemudian lampu kembali menyala. Tubuhnya yang kini sudah duduk di sampingku menampakkan mata yang berkaca-kaca, ‘Apakah serindu itu?’. Hembusan nafas panjangnya pun berhasil membuat kepulan di udara, ‘Apakah sesesak itu mengingat mereka?’ aku menatapnya lekat-lekat, mencoba merasakan apa yang ia rasakan kini.
“Uljima,”kugenggam tangannya yanga tengah erat menggenggam ujung ranjang milikku. Lay mencoba menahan air mata yang sudah tergenang, namun akhirnya jatuh di punggung tanganku, hatiku pun ikut hancur, melihat lelaki kuat ini menitihkan air mata tepat dihadapanku, satu tetes air mata yang menyimpan milyaran rindu untuk orang-orang terdekatnya. ‘Apakah sesulit itu jauh dari mereka?’. Sebuah elusan hangat dipunggungnya mendarat dari tanganku, berharap mampu mengurangi kesedihan yang semakin menjadi. ‘Mianhae Lay, jeongmal mianhe telah membuka kenanganmu’, sebuah pelukan pun mendarat, berharap mampu meredam tangisnya.
-Hello, Manager Kim-
“Selamat pagi,”sapaan pagi kuutarakan untuk diriku sendiri, menatap cahaya matahari yang sudah menembus jendela di balik tirai tipis. Aku menatap jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh, ‘Tumben’, pekikku seraya merentangkan tangan ke atas, mengendurkan otot-otot yang kaku dan mengumpulkan nyawa yang sebentar lagi terkumpul setelah melanglang buana menjadi satuan mimpi tadi malam. ‘Tadi malam’, aku kembali mengingat moment bersama Lay semalam, ia benar-benar rapuh, ‘Apakah hari ini ia sudah merasa lebih baik?’. Aku menatap langit-langit kamar yang semalam menjadi pemandangan indah bagi kami berdua, sekaligus saksi bisu kedekatan kami berdua antara manager dan artisnya. Dengan tubuh yang masih tak beranjak dari kasur, aku memiringkan tubuhku ke sisi kanan, menghadirkan pemandangan sebuah bungkusan besar yang Chanyeol belikan kemarin lusa. Langkah kaki pun mulai terdengar, menghampiri bungkusan berwarna hitam itu. “Daebak!,”decakku tak percaya. “Seolma! Jinjja michin,”aku tak henti-hentinya mengagumi isi bungkusan itu, ada enam topi dan 3 kaca mata. Kepalaku terus menggeleng, tidak percaya dengan apa yang menjadi pemandanganku pagi ini. Mengingat harus berterima kasih dengan Chanyeol, aku bergegas membersihkan diri, sekaligus membangunkan bujangan-bujangan yang mungkin masih tertidur lelap.
Sapaan selamat pagi pun menyambutku di pintu masuk, meski laki-laki itu hanya melewatiku dan kembali berjalan masuk ke arah dapur. “Kau baru bangun?,”aku mengikuti langkahnya yang kini sedang menengguk segelas air putih. Ia mengangguk karena cangkir berwarna hitam itu masih melekat dibibirnya. “Ya, kau satu-satunya member yang sehabis latihan tidak langsung istirahat, lalu bermain basket. Apa kau benar tidak apa-apa?,”aku mempertegas penglihatanku yang menampakkan sosoknya yang kini tengah berdiri tegap tanpa merasa lelah.
“Aniyo,”ia menggeleng, kemudian memberikanku segelas air mineral. “Tidurmu nyenyak?,”kini kami saling berhadapa di meja pantry yang masih kosong. Aku mengangguk, menatap matanya dalam. “Mianhae Shin-ah, semalam aku sepertinya terlalu emosional,”ia mengusap tengkuk lehernya dengan senyum canggung.
“Gwenchana, memang tugasku seperti itu. Harus membuat kalian nyaman,”aku tersenyum kemudian menengguk habis air mineral yang ia tuangkan tadi. “Kajja,”aku menggandeng lengannya, mengarahkan tubuhnya menuju kamar mandi. “Kau harus membersihkan diri, setelah itu bantu aku membangunkan sembilan member yang lain. Arraci~”pintaku dengan penekanan di akhir kata sebagai pemanis. Laki-laki bernama Lay itu mengangguk, pergi menghilang dibalik pintu kamar mandi.
Aku memulai aktivitas yang seharusnya sudah kulakukan sejak resmi pindah menjadi tetangga EXO, tapi sepertinya hari ini menjadi hari perdanaku membangunkan mereka. “Yeol-ah,”aku memulai tugasku dengan membangunkan salah satu member yang menurutku paling dekat denganku, mengguncang tubuh laki-laki yang masih berada di bawah alam sadarnya. Tak melihat respon yang berarti, aku beralih pada lelaki yang tengah tidur di seberangnya. “Hyun-ah,”aku juga mengguncang tubuhnya, yang langsung direspon dengan wajah kaget dengan mata segaris.
“Aigo! Kamchagya!,”Baekhyun menarik selimutnya. “Ya! Manager Kim. Kau dilarang masuk ke kamar laki-laki,”Baekhyun menjerit layaknya gadis remaja di balik selimutnya, jeritan Bakehyun pun berhasil membangunkan Chanyeol yang sama kagetnya, membuatku tak berhasil menahan tawa.
“Ayo bangun! Kalian harus segera kembali latihan untuk MAMA,”ucapku meninggalkan ruangan yang belum ada pergerakannya lagi, kecuali Chanyeol yang sudah duduk di pinggir ranjang, menatap lurus ke bawah lantai. “Yeol-ah,”panggilku yang membuatnya tersadar dan menoleh ke arahku. “Gomawo untuk opi dan kacamatanya”
“O. Jangan kau hilangkan lagi. Ne,”balasnya sambil membasuh mukanya dengan kedua tangan.
Melihat Lay tengah sibuk membangunkan member yang masih tertidur, aku beralih pada pekerjaan rumah lain yang sudah menunggu, sambil menunggu semua member siap dan memberitahukannya pada manager Youngjun untuk segera datang dan membawa separuhnya ke SM Building.
“Huwah. Kalian rajin-rajin ya,”aku menghambur di antara member EXO yang sudah berkumpul di ruang utama, meski dengan tatapan kosong karena baru bangun tidur. “Lay-ah,”aku melayangkan dua jempol ke arahnya yang berhasil membangunkan para lelaki yang tengah sibuk mempersiapkan pertunjukan untuk MAMA di Hongkong.
“Manager Kim, kami tidak ada sarapan?,” magnae ini mulai merengek, ‘sejak kapan dia berani meminta padaku? Ah. Sejak ia memintaku membelikan bubble tea kemarin’. Aku mengendikkan daguku ke arah dapur, membuatnya ikut menoleh dan mendapati beberapa member lain tengah asik menikmati sarapan pagi mereka.
“Kau tidak makan?,”aku memandang Kai yang tidak mengikuti langkah Sehun yang berlari kecil ke arah dapur. Ia hanya menggeleng dengan senyum canggung. “Baiklah,”kini hanya tertinggal Kai di ruang utama, menonton acara televisi yang tidak menarik, atau hanya sebagai kamuflase saja.
“Kai-ya! Kau yakin tidak mau makan?,”teriak Kyungsoo dari dapur.
“O!,”jawabnya singkat.
-Hello, Manager Kim-
Lantunan lagu Black Pearl mulai menggema di ruang latihan, aku dengan seksama menonton sepuluh lelaki ini berlatih di ruangan penuh kaca, bahkan sepertinya hampir semua manager EXO hadir hari ini, mengingat hari ini terakhir sebelum keberangkatan ke Hongkong esok hari.
“Bagaimana kabarmu? Kerepotan?,”Seunghwan sunbaenim menyapaku yang tengah terkesima dengan tontonan live versi latihan, menemaniku yang masih terasingi karena ‘anak baru’.
“O,”aku mengingat serangkaian peristiwa yang sudah terjadi belakangan terakhir yang mulai mudah. “Tidak terlalu,”lanjutku dengan tawa kecil. “Mereka semua baik, geunyang...,”aku menatap lurus pada salah sosok Kai yang kini tengah fokus dengan latihan solonya.
“Padahal kejadian sudah lama,”Seunghwan sunbaenim juga ikut memandang sosok Kai. “Dia pernah berurusan dengan fans yang....,”ia memberhentikan kalimatnya. “Kau pahamlah, fans terlalu mencintainya,”jelasnya dengan sangat halus, padahala ia mengumpatpun aku akan maklumi. “Mungkin, dia masih berpikiran kau fans yang terlalu mencintai mereka. Mungkin,”Seunghwan sunbaenim beralih menatapku yang sudah tak terkejut dengan ucapannya. “Nikmati saja pekerjaan ini, memang akan ada satu titik kau akan sangat terpuruk,”lanjutnya diiringi lagu overdose dan memaksa seluruhnya kembali menari bersama.
“Arraseo sunbaenim,”aku mengangguk dengan selingan bibir yang melengkung, melukiskan sebuah senyum yang juga disambut senyum laki-laki disebelahku. Kami pun kembali larut dalam sesi latihan yang tidak ada habisnya sejak tadi pagi.
Menerjang dinginnya kawasan Cheongdam-dong, aku berlari kecil kembali menuju SM Building setelah membeli minuman dan beberapa snack untuk EXO dan staff lain yang sudah mengakhiri latihannya. Memasuki ruang latihan, hampir seluruh member EXO sudah terkapar membaringkan tubuh yang lelah, namun ada satu sosok yang tak dapat aku temui di ruangan tanpa sekat itu.