‘Shin. Aku dan Sehun sedang di Jepang sekarang. Kau mau oleh-oleh apa?’
‘Nunna. Aku sedang di LA. Kau mau aku belikan apa?’
‘Shin. Sepertinya aku tertarik dengan seseorang...’
‘Shin! Kau janji padaku untuk mengantarku di syuting pertama. Geotjimal!’
‘Shin. Neo odi? Aku butuh black card-ku sekarang T.T’
‘Shin! Temani aku nonton drama musikal. Aku tidak ada teman. Kenapa kau cuti terus?’
‘Shin. Aku bosan dianter Yongmin hyung. Dorawa!’
‘Nunna. Apa kabar?’
‘Shin. Kau menonton acaraku?’
Mataku memicing ke layar ponsel yang sepertinya kurang satu orang.
‘Nunna. Aku rindu Janeul’
“Eish anak ini,”aku memekik pelan mendapat pesan terakhir dari Sehun. ‘Apa dia tidak bisa memikirkanku sedikit saja seperti member lain. huh’,ucapku dalam hati. Jemariku menggeser layar ponsel, membalas satu-per-satu pesan yang baru masuk karena ponselku baru saja kunyalan. ‘Siapa perempuan beruntung itu oppa? Hani EXID?’kekehku mengetik balasan pesan untuk Minseok.
“Wae chagya? Senang sekali hanya dengan melihat ponselmu? Kau tidak menikmati di sini bersamaku,”lengannya melingkar di belakang kepalaku. Tubuhku yang awalnya bersandar pada kursi, reflek menegak.
“Kkaja,”aku bangkit dari kursi. Memasukkan ponsel ke dalam tas tangan yang kini berada di genggaman tangan kiriku. Bersama lelaki ini, aku keluar dari hall yang bersisa kolega appa, sesekali kami menyapa, hanya menayapa. Kemudian melanjutkan jalan menuju lobby untuk meninggalkan hotel.
Langkahku terhenti, menatap perempuan yang kini juga menatapku. “Shin,”sapa perempuan yang berada dua meter di hadapanku. Ia mendekat, tangannya menunjuk pada sosok lelaki yang berada di sebelahku,“Nugu?”
“Chagya, aku akan kembali ke kamar. Kunci mobilku tertingal di kamar,”sebuah sentuhan lembut dari bibirnya mendarat di pipi kiriku sebelum lelaki itu beranjak pergi meninggalkanku dan Janeul. Sontak membuat mata Janeul membulat sempurna. Perempuan dengan ransel hitam yang setia menemaninya itu menatapku heran, tersenyum miris dengan kepala yang mengadah, mengatur emosi yang membuatnya susah untuk bernafas.
“Janeul,”aku menahan langkah Janeul yang melewatiku. “Aku perlu bicaran denganmu. Aku akan menjelaskan semua. Hmm?”Janeul menatapku seperti tak punya harga diri. Aku bisa melihat matanya menahan amarah yang sangat dalam kepadaku.
“Lalu bagaimana dengan Seungyoon?”Janeul menatapku lekat, saat kami sudah duduk di dalam restaurant yang letaknya tak jauh dari tempat kami bertemu. “Kau akan mencampakkan Seungyoon begitu saja?....”Janeul mencoba meraih mataku yang menunduk. “...Kim Shin Neul,”tambahnya dengan memanggil namaku.
Kepalaku menggeleng, menatap nanar Janeul yang mencoba mengatur nafasnya. “Wae?”lirih suara Janeul. Ia menadahakan kepala, menghembuskan nafas kasar dan kembali menatapku dengan mata yang berkaca. “Kenapa kau tega melakukan ini kepada uri leader?”tanganku menggenggam erat tangan Janeul yang berada di atas meja, membuatnya terhentak dengan perbuatanku.
“Geuman...,”ucapku dengan suara bergetar. “Jangan berkata seperti itu, Janeul-ah...,”kepalaku menggeleng agar ia tidak asal menuduhku. “Ini bukan kemauanku. Uri aboji...,”aku mengedarkan pandangan ke lain arah. Setetes air mata akhirnya jatuh mengingat apa yang sudah direncanakan appa sejak tiga bulan lalu.
Flash Back
“Shin, ada yang perlu kita bicarakan,”ujar appa dengan nada serius, setelah mengantar kepergian Yang sajangnim, Janeul dan Seungyoon dari rumah kami. Kedua kaki yang berbalut sepatu pantofel hitam itu melangkah sigap menuju ruang kerjanya, diikuti aku dan omma yang turut mengekor.
Omma yang berjalan tepat di samping kiriku, merangkul tubuhku erat. Sesekali ia mengelus halus lenganku, seakan mencoba memberi ketenangan sebelum mendengar apa yang akan appa katakan kepadaku.
Sepasang pintu berwarna cokelat pekat itu tertutup rapat. Appa duduk di ‘tahta’nya, sebuah single sofa yang berada di ujung meja. Aku dan omma pun ikut duduk di sofa lain, menunggu pemimpin rumah tangga ini mengutarakan sesuatu yang dianggapnya penting. “Aku sudah memikirkan ini matang-matang,”ucap appa pada akhirnya, memandangku dengan tatapan serius.
Jemari omma mulai meremas jemariku dengan erat. “Seharusnya kau sudah tau bahwa keluarga kita sangat menjungjung tinggi etika dalam bersikap, Shin,”appa memandangku lekat. Membiarkan anak satu-satunya ini kembali merasa bersalah, meski appa baru saja membiarkanku bertemu Seungyoon tadi. “Jawaban yang aku dapatkan dari Yang Hyunsuk membuatku harus melakukan ini kepadamu,”appa menghela nafas berat. “Dan kau tidak bisa menolaknya, atau membantah. Aku tidak akan memberikan konpensasi sedikitpun,”appa beranjak dari singgahsananya. Menuang skotch ke dalam gelas bening bak berlian. Langkahnya membawa appa mendekat ke arahku dan omma. Appa memilih duduk di sebelah kananku, menggenggam jemariku yang sudah digenggam omma terlebih dahulu. “Coba kau pikirkan. Aku tidak pernah memaksakan apapun kepadamu seumur hidupmu kan?”aku menggeleng. “Bahkan dalam urusan pekerjaan, kau telah aku bebaskan memilih menjadi manager artis sebagai pekerjaan utamamu, daripada memimpin perusahaan yang kau pimpin sekarang,”tubuh appa kembali beranjak.
“Dalam bisnis. Citra adalah hal penting Shin,”appa berbalik arah. Memunggungiku dan omma yang masih setia duduk di atas sofa bersamaku. “Apa yang telah kau dan Seungyoon lakukan...,”appa membalik tubuh. “...Itu bisa merusak citra bisnis yang sudah keluarga kita bangun turun temurun.”appa menghembuskan nafas berat. “Aku sudah mempersiapkannya,”katanya terputus, kini giliran aku memandang appa lekat-lekat, seakan memohon dari mataku untuk tidak mengatakan hal yang tidak ingin aku dengar. “Calon suamimu,”tutupnya dengan menenggak ¼ skotch yang ada di dalam gelas.
Kedua jemariku meremas ujung bajuku keras. Mataku memanas, menahan buliran air mata yang siap jatuh kapan saja. “Kau akan menikah tiga bulan lagi dengan Woo Jiho,”kepalaku yang tertunduk segera melempar pandang ke arah appa yang kembali duduk di kursinya.
Tubuhku otomatis beranjak. “Andwe,”kepalaku menggeleng keras. Air mataku mengalir deras tanpa permisi. “Andwe appa. Andwe.” Tangan omma masih menggenggam jemariku, yang kemudian langsung kutepis saat kedua kaki ini beranjak meninggalkan ruang kerja appa.
-Hello, Manager Kim-
“Shin,”panggil omma dengan suara lirih. Dengan lembut, ia mengetuk pintu kamar yang sengaja ku kunci. “Shin,”panggil omma sekali lagi, namun aku masih larut dalam kesedihanku sendiri. Bahkan untuk mengatur nafaspun susah karena isakan tangis yang begitu hebat.
“Kim Shin Neul! Kau tidak lelah satu jam menangis seperti itu? huh?”kini suara seorang lelaki menganti suara omma. “Buka pintu. Kau tidak bisa terus memendam kesedihanmu sendiri,”pintanya dengan ketukan pintu yang lebih kasar dari omma.
Dengan terpaksa, aku mulai menggerakkan tubuhku yang sudah satu jam berbaring di atas tempat tidur dan ‘membajirinya’ dengan air mata. “Hmm oppa. Nan gwencahana,”tuturku setelah membuka pintu dan mendapati Woobin oppa sudah ada di depan kamarku.
“Mwoya gwenchana?”ia langsung masuk ke dalam kamarku dan menutup kembali pintu meski masih ada omma di sana. “Kau bahkan akan menikah dengan lelaki yang berhasil membuatmu ‘kabur’ selama setahun karena tidak jadi menikah dengannya tahun lalu,”ucapnya dengan tanda petik pada kata ‘kabur’. “Eish...,”ia menaggup wajahku dan menghapus sisa air mata yang masih ada di dasar pipiku. “Apa kau menangis bahagia?,”ucapnya dengan senyum meledek, sedangkan aku hanya bisa menunduk mendengar serangkaian kalimatnya.
Tangan Woobin oppa menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Sama seperti setahun lalu, saat Jihoo memutuskan lebih memilih pendidikannya di luar negeri daripada menikah denganku, padahal saat itu kami sudah bertunangan.
“Anak ini,”pekik Woobin saat aku baru saja tenggelam dalam pelukannya. “Kau harusnya berhati-hati dalam bertindak Shin. Apa kau sangat mencintai Seungyoon sehingga mau melakukannya?”Woobin melepaskan pelukannya, menatapku yang lebih memilih untuk menunduk. “Ayahmu akan mebebaskanmu melakukan apapun. Tapi tidak jika kau mulai nekat dengan melanggar adat seperti itu. Harusnya kau tau....”
“Nan arra oppa,”ucapku memotong kalimatnya yang akan sama seperti appa. “Na jinjja arra,”ucapku sekali lagi. “Geuman. Jangan membuatku semakin bersalah dengan terus mengatakan itu,”aku beranjak dari sisi Woobin oppa. Berjalan menuju balkon kamarku yang menyajikan pemandangan pelataran rumah.
“Jika berat. Lepaskanlah ia perlahan,”Woobin oppa menepuk bahuku. Mengikuti arah mataku memandang. “Mian. untuk hal ini aku tidak bisa membantu apapun. Kau harus menjalaninya Shin.”
End of Flash Back
“Aku tidak tau harus melakukan apa saat mendengar kalimat itu dari ayahku,”jemari tangan Janeul yang awalnya terkulai, kini membalas genggaman tanganku. “Bahkan sampai detik ini aku masih berharap kami tidak melakukan hal bodoh itu. Agar aku dan Seungyoon masih bisa menjalin hubungan yang bahkan ia harapkan datang sepuluh tahun lagi,”kataku tehenti. Mengantarkanku pada sebuah memori dimana Seungyoon berharap dapat bersanding hidup denganku sepuluh tahun lagi.
“Shin...,”Janeul mengelus punggung tanganku dengan lembut, menepuknya perlahan agar aku bisa sedikit meredam tangis yang semakin menjadi. “Ah...,”Janeul menghela nafas. “Ternyata benar rumor itu,”aku memandang Janeul dengan seuntai kalimatnya. “Mereka berkata jika Yang sajangnim sengaja melakukan hal itu, karena permintaan seorang konglomerat,”Janeul tersenyum miris. “Aku pikir sangat bagus bagi Seungyoon memiliki seorang fans konglomerat yang membuatnya bisa main di sebuah drama. Kenyataannya...,”Janeul mengendikkan dagunya ke arahku. “Sepertinya hal itu justru dilakukan hanya untuk menjauhkan kalian.”
“Mian,”ucapku kepada Janeul saat kalimatnya terhenti. Aku benar-benar merasa bersalah dengan apa yang sudah appa lakukan, ini tidak adil untuk Seungyoon. “Kau bisa membantuku,”aku menatap Janeul yang kini menatapku nanar. Ia mengangguk pelan, seperti tak yakin dengan apa yang ia perbuat dengan kepalanya yang naik-turun. “Jagalah Seungyoon untukku manager Park. Hibur dia untukku. Mungkin permintaanku...”
“Ye manager Kim,”Janeul memotong kalimatku. Kedua tangannya kini menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Itu memang sudah tugasku untuk menjaga mereka. Membuat mereka bahagia. Kkeotjonghajima, kau akan melihat Seungyoon yang bahagia di layar kaca,”senyum simpul Janeul mengembang di wajahnya.
“Gomawo Janeul-ah. Jinjja gomawo.”
-Hello, Manager Kim-
“Coba lihat, siapa perempuan ‘mahal’ ini,”ledek Chanyeol setelah mendapatiku dengan pakaian yang tak pernah ia lihat sebelunya. “Jadi ini, sisi lain dari manager Kim kami? kau harusnya lebih sering berpakaian seperti ini Shin,”tambah Chanyeol masih meledekku.
Tanganku memeluk tubuh Chanyeol dan Sehun singkat, saat mendapati keduanya mau memenuhi request-ku bertemu di sela-sela liburan singkat mereka ke Jepang usai promosi album EXODUS. “Jadi kau sedang apa di sini?”tanya Chanyeol ikut bersandar pada tiang pembatas jembatan di pinggir jalan.
Aku tersenyum ringan menatap mata Chaneol yang menampakkan rasa penasaran. “Apa kau ada urusan bisnis, nunna,”kini giliran Sehun yang berbicara. Aku menggeleng, masih dengan tatapan lurus ke depan memandang aliran air sungai yang berada di hadapan kami.
“Hah...,”aku menghela nafas . “Aku akan segera menikah Yeol-ah...,”tatapku kepada Chanyeol, kemudian beralih pada Sehun. “...Hun-ah,”kepalaku menunduk sempurna, tak sanggup menatap mimik wajah mereka yang tak percaya. “Aku ke sini untuk pertunanganku, dengan seorang yang dulu pernah menjadi kekasihku,”tambahku yang kini berani menatap mereka. Tatapan keduanya nanar, seperti tak tau apa yang harus dikatakan untuk membuat perasaanku lebih baik. “Gwenchana...”aku mengibaskan tangan, menyandarkan punggungku pada tiang pembatas. Kepalaku menadah menahan tetesan air mata yang siap jatuh kapanpun jika kumenutup mata.
Kedua tangan yang menjerat lenganku menarik tubuh ini dalam satu hentakan, membuatku bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang. “Uri manager Kim, uljima,”ucapnya sambil mengelus rambutku dari puncak hingga ke belakang kepalaku. “Aku selalu ingin melakukan ini tiap kali melihat wajahmu yang penuh beban,”ia menghela nafas, mendorong tubuhku dan menatapku dengan seksama. “Ah nunna,”rengek Sehun seperti biasa, kini ia menangkup wajahku. “Jangan membuat mimik seperti itu. Semua perempuan ingin menjadi seperti dirimu, bersama dengan EXO seharian. Tapi kenapa kau selalu membuat mimik wajah seperti itu di hadapan kami. huh?”kalimat Sehun berhasil membuat guratan senyum di wajahku.
“Seungyoon ottae? Kau masih berhubungan dengannya? Apa dia tau?”Chanyeol menatapku dengan tangan melipat di depan dada. Aku menggigit bibir bawahku, menatap Chanyeol ragu. “Ya! Neo nappeun neom! Jinjja,”ucap Chanyeol tak percaya, ia menggelengkan kepalanya. “Gwenchana, gwenchana. Mian,”Chanyeol langsung memeluk tubuhku saat kepalaku menunduk setelah mendengar ucapannya.
“Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu? Huh?”Chanyeol mendorong tubuhku yang tadi berada dalam pelukannya. “Ya! Seolma! Jangan bilang kau akan mengundurkan diri menjadi manager kami. huh?”
Aku menggeleng sambil tersenyum hambar. “Kkeotjonghajima. Aku sedang mengusahakan agar bisa tetap bersama kalian.” Aku kembali membalikkan tubuh, menikmati pemandangan malam Tokyo malam itu. “Apakah tidak cukup berat setelah membiarkan Tao pulang, kemudian aku dengan tega meninggalkan kalian. Aku tidak akan sejahat itu,”Sehun dan Chanyeol menatapku bersamaan. “Nan arra. Kalian selalu menutupi kesedihan kalian, apalagi kau,”aku mematuk dada Sehun dengan telunjukku. “Jangan bersikap tak acuh. Meski kau punya Janeul, kau tampak kesepian di dorm. Nan arra,”aku mengangguk dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Sehun tertawa miris. “Ah neo jinjja. Membuat mood-ku turun drastis,”ucap Sehun sambil menggeleng. “Dengan uang yang kau punya. Apa kau tidak bisa membawa Tao kembali? Luhan hyung? Kris hyung?”Sehun menatapku innocent. Aku hanya tertawa kecil.
“Jika SM adalah milikku. Aku akan melakukan segala cara agar mereka kembali. Aku tidak punya wewenang apapun di SM. Aku hanya penanam modal,”jelasku menatap Sehun dan Chanyeol bergantian.
“Kalau begitu. Beli saja SM. Aku yakin kau pasti mampu membelinya,”ucap Chanyeol asal, sedangkan aku langsung membelasnya dengan tatapan sinis.
“Eish jinjja,”pekikku tak percaya. “Memangnya semudah itu,”aku menggeleng. “Molla. Bahkan aku bisa bekerja dengan kalian hanyalah kebetulan,”aku mulai menelisik ingatanku beberapa bulan lalu yang bergulir dengan cepat. “Bahkan aku tidak tau kalian siapa,”aku menunjuk Chanyeol dan Sehun yang tengah mengamati ceritaku dengan seksana. “YA aku tau kalian siapa, hanya saja tidak mengenal kalian lebih dalam. Yang aku mau saat itu, adalah aku bisa sibuk. Sehingga lupa dengan mantan kekasihku yang akan aku nikahi sebulan lagi,”tutupku.
“Sudahlah. Tidak usah bahas masa lalu,”Chanyeol merangkul pundakku. “Yang jelas, aku sangat senang hadir di tengah-tengah kami,”tangan kanannya mengapit leherku, dan memberantaki rambutku pelan. “Aigo! Aku pasti akan merindukanmu yang tidur di flat sebelah, manager Kim,”tatap Chanyeol dengan senyum khasnya.
Aku memandangnya bingung yang seakan tau bahwa aku akan segera pindah dari flatku di sebelah tempat tinggal mereka. “Eish, tentu saja aku tau. Manager hyung yang sudah menikah akan pindah. Jadi kau pasti akan melakukannya juga,”jelas Chanyeol membuatku menggeleng.
“Kkaja! Aku lapar,”Sehun mengendikkan dagunya ke arah mobilku. Aku mengangguk mengikuti kemauan Sehun. Kedua tanganku merangkul lengan Sehun dan Chanyeol, menariknya masuk ke dalam mobil yang akan membawa kami ke pusat makanan di Tokyo.
-Hello, Manager Kim-
Angin berhembus lembut dari celah-celah terpal yang melindungi kedai pinggir jalan di daerah Cheongdamdong ini. Aku kembali menenggak soju yang sudah tiga kali kuisi ulang ke dalam gelas kecil berwarna bening. "Janeul!"aku memanggil nama perempuan yang baru saja masuk dengan menyampirkan terpal yang berwarna biru itu. "Anja anja,"sambutku seketika, dan langsung menuangkan soju ke dalam gelas yang sudah ada di hadapannya.
"Museum suriya?"tanya Janeul heran. Aku menggeleng, sambil menengguk gelas ke empat. "Ya! Neo gwenchanni?"Janeul menelisik mataku yang sudah sayu.
"O. Gwenchana. Aku hanya ingin mengajakmu minum,"jelasku sambil melahap tteokpoki hangat yabg baru saja diantarkan. "Minumlah. One shot!"pintaku menunjuk dengan dagu gelas milik Janeul yang belum ia sentuh. Ia pun meraih gelas itu, dan seketik menenggak habis cairan bening yang berada di dalam gelas kecil tersebut sekali tenggak. "Uwah. Daebakkiya,"aku menggeleng tak percaya, sedangkan Janeul malah mengeluarkan smirk-nya sebagai rasa bangga. "Lagi,"aku menuangkan kembali gelas yang sudah kosong itu.
"Eish! Aniya aniya,"Janeul menahan leher botol yang sudah mengisi setengah gelas. "Ya! Apa yang mau kau bicarakan. Huh?"Janeul menatapku yang menaruh kembali botol berwarna hijau itu di atas meja.
"Apa besok Seungyoon ada syuting?"aku menatap serius Janeul, yang juga membalasku dengan tatapan yang sama. "Ada yang harus aku berikan langsung kepadanya,"tambahku sambil menuang kembali soju ke dalam gelas.
"Kau titipkan saja padaku,"tangan Janeul menadah di atas meja. Teringat tentang titipan, aku pun merogoh tas yang berada di bawah kakiku. Mengambil CD repackage EXO yang baru tiba di SM tadi sore. CD dengan warna dominan kuning itu kutaruh di telapak tangan Janeul yang menadah.
"Aku takut lupa. Sehun terus mengingatkanku selama perjalana ke sini," aku menjeda kalimatku dengan menenggak segelas soju yang tadi kutuang. "Bahkan sampai saat ini,"tambahku, menunjuk layar ponsel dengan kepala yang kembali menyala karena pesan masuk dari Sehun.
"O. Gomawo,"ucap Janeul yang kutanggapi dengan anggukan. "Ya! Neo jinjja gwenchana?"aku mengangguk tanpa berkata, sibuk kembali menenggap soju yang entah sudah gelas keberapa. "Eish. Geuman,"ia menahan botol kaca berwarna hijau yang akan kembali menuangkan soju ke dalam gelasku. "Wae? Eish...,"tangannya kini menarik botol itu agar aku tak nekat menuangkannya. "Malhaebwa? Apa yang kau pikirkan Shin?"kepalaku menunduk dalam-dalam. Aku merasakan mataku memanas, menahan buliran air mata yang sebenarnya sudah tergenang bahkan sebelum kedatangan Janeul.
"Kau ingat kan bahwa aku akan segera menikah?"Janeul mengangguk. "Ah cham..."aku tersenyum miris menadahkan wajahku sesaat. "Pernikahannya akan berlangsung seminggu lagi,"aku menghela nafas setelah menyelesaikan kalimat.
"Datanglah ke tempat syuting besok, akan aku kirimkan alamatnya,"jelas Janeul. "Sepertinya memang kau harus menjelaskan tentang kehidupanmu yang sangat complicated kepada Seungyoon,"Janeul menenggak gelas milikku. "Berhentilah minum. Tak akan menyelesaikan masalah. Lebih baik kau pulang dan istirahat, pikirkan bagaimana caranya menjelaskan hal ini pada Seungyoon."
Aku menggeleng. "Molla". Tanganku kembali merogoh ke dalam tas kulit berwarna biru ini. "Ini untukmu,"aku menggeser undangan berpita hitam itu ke hadapan Janeul. Ia mengangguk pelan, kemudian meraih undangan tersebut.
"Geurom. Aku akan datang,"ucapnya dengan senyum, namun terlihat seperti memaksa bagiku. "Haengbokaeseumnida Shin,"Janeul menepuk lenganku, cukup keras untuk menyadarkanku dari pikiran yang entah sudah berlabuh di mana. Ia menuangkan soju ke dalam dua gelas, dan mengangkat satu gelas miliknya. "One shot! Untuk kebahagiaan pernikahan manager Kim,"alisnya terangkat menunggu respon dariku agar menyanbut ajakannya.
'Ting',suara bentura kaca terdengar. Kami berdua langsung menenggak habis segelas kecil soju yang tadi Janeul tuang. "Gomawo ne, untuk undangannya,"ucap Janeul sekali lagi. "Mian. Aku tidak bisa menemanimu lama-lama. Aku harus membeli makanan untuk WINNER. Gwenchana jika kutinggal duluan?"pamit Janeul yang merasa tak enak harus meninggalkanku lebih dulu.
"Ne. Gwenchaseumnida manager Park. Ada lima anaknyang harus kau urus sekarang,"tanganku mengayun memerintah Janeul untuk pergi.
"Na kkalkae,"Janeul bangkit dari duduknya, menyampirkan ransel hitamnya di bahu kanan. Sebelum mengghilang dari hadapanku, tubuhnya berbalik dan melambai singkat. "Himnae,"ucapnya tanpa kata sambil melayangkan kepalan tangan di udara.
Sosok Janeul akhirnya menghilang. Aku kembali menuangkan soju, tapi nihil. Sudah habis. "Imo!"panggilku lepada wanita paruh baya yang sedang melayani pelanggan lain. "Tambah dua botol lagi,"pintaku yang dijawab dengan kata 'ne' dari mulutnya. "Gomapseubnida,"kataku saat ia meletakkan dua botol soju di atas meja. "Hah,"aku menghela nafas kasar sebelum menuangkan soju ke dalam dua gelas yang sudah kosong.
-Hello, Manager Kim-
Langit-langit kamar yang tak asing, menyambut pemandanganku dengan kepala pening bukan main. 'Bukankah semalam aku minum. Kenapa aku di sini?'kepalaku mengedar ke penjuru ruangan. 'Syukurlah. Kupikir aku telah dibawa orang yang tak ku kenal', pikirku setelah mengetahui bahwa ruangan ini adalah milik Kyungsoo dan Kai.
"Shin, kau sudah bangun?"ucap Kyungsoo yang baru saja masukke dalam kamarnya. "Gwenchana?"ia mendekat, duduk di pinggir kasur menatapku yang masih berbaring di atas kasur miliknya. Aku mengangguk menanggapi pertanyaannya. "Janeul menghubungiku. Dia memintaku untuk menjemputmu. Untung aku pergi dengan Kai. Jinjja...,"ia menggeleng tak percaya. "Kau semalam mabuk atau pingsan, huh?"tubuhku bangkit dari tempat tidur, duduk tepat di samping Kyungsoo.
"Haha,"terucap tawa hambar dari mulutku. "O. Jam berapa sekarang?"aku menatap Kyungsoo. Ia menoleh ke arah meja yang di atasnya ada jam di sana. Jarum jam terpendek sudah menunjuk angka sembilan. "Omo! Aku harus bergegas,"pekikku tak percaya. Tubuhku terhuyung saat mencoba berdiri, efek hangover sepertinya masih tersisa.
"Makanlah haejakguk dulu. Aku sudah buatkan untukmu,"sosouk Kyungsoo yang mengikuti langkah terburu-buruku ke pintu dorm.
"Aku akan makan nanti. Setelah urusanku beres. Huh? Yakseok," aku meraih jemari Kyungsoo,menautkan kelingking kami, dan saling menyenhtuhkan ibu jari. "Na kkalkae,"kupeluk Kyungsoo singkat setelah selesai memasang sepatu.
Mobil putih lamborghini yang kini aku kendarai mulai memasuki tempat syuting We Broke Up, memarkirkannya di bahu jalan tempat mobil diperbolehkan parkir. Tangan kananku menarik rem tangan, membuat mobil bermuatan dua orang itu terhenti sempurna. Dengan nekat, aku keluar mobil tanpa mengenal satu pun orang, bahkan aku tidak berencana menghubungi Janeul.
Kepalaku mengedar, mencari seseorang yang ku kenal. “Shin!”sapa Janeul tiba-tiba di hadapanku. “Kau jadi ke sini. Ku kira kau bercanda,”lanjut Janeul tak percaya. aku menggeleng di balik kaca mata hitam yang aku kenakan. “Kau mau bicara dengan Seungyoon sekarang? Kebetulan dia baru saja selesai syuting,”ajak Janeul sambil menunjuk arah Seungyoon yang terlihat bersama segerombolan orang.
“Janeul,”sapa seorang lelaki yang kini berdiri di sampingnya. Perempuan dengan rambut sebahu itu menoleh ke arah lelaki yang mengenakan topi. Kepala lelaki itu mengendik ke arahku, seraya bertanya-‘siapa dia?’.
“Eish, ini manager Kim. EXO manager,”jelas Janeul agak kesal. Aku pun melepas kaca mata hitam yang sedari tadi kukenakan agar ia mengenaliku, dan membungkuk kecil kepadanya.
“Daebakkiya. Jinjja daebakkiya,”pekik lelaki bernama Song Mino itu kepada Janeul. “Anyeonghaseyo. Jinjja, aku tidak mengenalimu dengan penampilan seperti ini,”ucap Mino dengan raut wajah takjub, menatap tubuhku yang berbalut minni dress berwarna hitam.
“Gwenchana,”aku tersenyum sambil mengangguk, sedangkan Mino masih menggeleng heran.
“Ayo,”Janeul mengajakku untuk mengikuti arah jalannya menuju sebuah van berwarna hitam. “Masuklah, nanti Seungyoon akan menyusul ke dalam,”Janeul membukakan pintu kedua dari depan, memintaku untuk masuk ke dalam mobil yang biasa dihuni angota WINNER tersebut.
Kepalaku mengangguk mengikuti perintah Janeul, dan masuk ke dalam mobil yang biasa membawa lima orang itu. Dari dalam sini aku bisa melihat Janeul dan Mino yang berjalan menuju Seungyoon di seberang sana. Janeul berbisik pelan di tengah-tengah tawa Seungyoon yang pecah bersama staff dan aktor lainnya.
Tawa Seungyoon terhenti seketika, matanya membulat setelah Janeul menjauhkan mulutnya dari kuping Seungyoon. Ia beranjak, menaruh gelas gabus yang tadi ia pegang di atas meja. Tubuhnya berbalik, membelakangiku yang kini menatapnya di dalam mobil. Aku masih bisa melihat kedua tangan Janeul menepuk bahu anak asuhnya, seakan memberi kekuatan.
Seperti slow motion, tubuh Seungyoon berbalik. Langkah kakinya membawa ia mendekat, semakin mendekat, hingga akhirnya. ‘Klek’. Pintu yang berada di sebelah kiriku terbuka. Aku menatapnya yang terpisah dengan satu kursi kosong di sebelah kiriku.
Sorotan matanya menatapku sekilas, kemudian memilih untuk masuk ke dalam mobil. “Anyeonghasaeyo...,”sapaku yang kini memutar tubuhku agar bisa menatapnya. Ia bergumam menjawab sapaanku yang terkesan dibuat ceria. “Orae..”
“Bogoshipta,”ucapnya memotong kataku. “Nan jeongmal bogoshipta,”tambahnya dengan tundukan kepala yang dalam. “Sampai kapan kau akan menyiksaku, Shin?,”kalimatnya berhasil membuat bibirku terkulum. Dadaku terasa sesak dengan apa yang ia katakan. “Bahkan aku tak habis pikir, kenapa kau semarah itu denganku hanya karena sebuah drama,”Seungyoon kini menatapku lekat-lekat, matanya memerah seakan menahan amarah yang sudah ia pendam sejak aku memutuskan tak menghubunginya perihal pernikahan ini.
“Mian,”aku mencoba meraih tangannya, namun ia segera menepis cepat.
“Bahkan aku tidak tau apakah kita masih berpacaran atau tidak,”ia menggeleng dengan senyum miris. “Hah,”ia mengusap wajahnya kasar. “Apa semua orang kaya bisa bertindak semaunya?”wajahnya menoleh ke arahku, menatapku dengan tajam. “Kau bahkan tau seberapa besar aku sangat mencintaimu. Kau bisa memegang kata-kataku, bahwa aku akan menikahimu sepuluh tahun lagi. Apa kau tidak percaya?”ia menggeleng dengan mata berkaca-kaca. “Hanya karena drama kau...,”Seungyoon menghela nafas kasar, tak mampu meneruskan kata-katanya.
“Ani...,”Aku menggeleng, membuat hembusan nafas kasarnya terhenti di tengah. Kepalanya yang tadi menadah saat menghela nafas kembali menoleh ke arahku. “Ada hal yang membuatku harus melepasmu dengan terpaksa, Kang Seungyoon,”tubuhnya terkulai. Kepala leader WINNER itu menunduk dalam-dalam. “Ak...”
“Geuman...,”ucapnya lirih. “Ucapkan sekarang apa tujuanmu menemuiku sekarang? Aku sedang tidak membutuhkan sebuah alasan,”ia menatapku tajam, sedangkan aku mengalihkan pandanganku dari matanya.
Tanganku merogoh ke dalam tas berwarna putih yang berada di pangkuanku. “Geumanhaera,”ucapnya sinis, membuatku menghentikkan kegiatanku yang akan mengeluarkan undangan pernikahanku. “Letakkan apapun yang mau kau berikan padaku di sana. Aku tidak ingin melihatnya sekarang,”jelas Seungyoon sambil menunjuk jok yang sedang kududuki.
Aku menghela nafas pelan, mengiyakan keinginannya yang kini tengah menatap jendela yang berada di sisi kirinya. Dengan memunggungi Seungyoon, aku membuka pintu satunya. Menaruh undangan di atas kursi seperti permintaannya tadi. “Na Kkalkae,”pamitku dengan senyum tipis yang tak ia lihat.
Tanganku menggeser pintu berwarna hitam itu. Aku menatap Janeul yang berada di sekitar mobil. “Janeul-ah. Gomawo,”ucapku dengan senyum simpul. “Sepertinya tidak berjalan dengan baik. Mian.”
“Neo jinjja gwenchana Shin?”ia menelisik mataku, aku mengangguk.
“Na Kkanda,”tanganku menepuk bahu Janeul, berjalan lurus ke belakangnya menuju mobilku yang terparkir beberapa meter dari tempat kami berdiri. Langkah kaki di atas sepatu high heels ini rasanya melayang, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Seungyoon di dalam sana.
Setelah bunyi kunci otomatis terbuka, aku segera masuk ke dalam mobil. Merebahkan diri sejenak di balik kemudi. Menatap lurus mobil van hitam yang kini tengah dikerubungi empat member lainnya seakan ingin tau apa yang terjadi di dalam van.
Tak lama, empat orang beserta Janeul itu memundurkan langkahnya saat pintu mobil terbuka. Seungyoon hanya menyodorkan benda yang aku berikan kepadanya ke dada Mino, kemudian ia berjalan di antara orang-oang yang berlalu-lalang.
-Hello, Manager Kim-
Suara langkah kaki yang cepar terdengar mendekat, kepalaku otomatis menengok ke sumber suara dan mendapati sosok lelaki sudah berdiri di hadapanku. Matanya masih menatap layar ponsel, namun tangannya bergerak seakan menyuruhku untuk mendekat ke arahnya.
"Nunna...,"akhirnya ia mengalihkan pandangan dari ponsel. Melayangkan layar berukuran 6 inchi itu ke hadapanku yang tengah duduk di pojok ruang latihan EXO di SM Building. 'Aku belum pulang ke apartemen. Masih menjaga Seungyoon. Dari kemarin, setelah menyelesaikan syuting, badannya panas dan sampai sekarang masih berbaring di tempat tidur. Mianhae~ belum bisa bertemu denganmu'. Aku segera merebut ponsel milih Sehun, dan membaca berulang-ulang kalimat tersebut, berhatap bahwa aku hanya salab membaca. "Eish. Geumnhaera nunna!,"Sehun merebut ponsel miliknya dengan nada membentak. Seluruh pasang mata yang da di dalam ruang latihan pun menatap kami berdua.
“Kau mau kemana Shin?”tahan Kyungsoo saat tubuhku akan beranjak. “Kau mau lari kemana?”ia menatapku tajam. “Anja,”perintahnya menunjuk tempatku duduk tadi. “Kau akan menikah Shin. Tak seharusnya kau memikirkan orang lain,”ucap Kyungsoo yang tadi juga sempat membaca teks dari Janeul. “Tenanglah,”Kyungsoo menarik tanganku kuat, membuatku kembali terduduk di sebelahnya. “Selesai latihan, aku akan membantumu menyiapkan makanan untuk mantan kekasihmu. Arra?”Kyungsoo menatap lurus pada kaca yang memantulkan gambaran tubuh kami yang sedang duduk.
“Hah,”Sehun duduk di sisi kosong sebelah kananku. “Mian nunna,”tangannya menangkup wajahku yang menunduk. “Mian huh? Aku tak bermaksud membentakmu. Jinjja mian,”aku mengangguk, menerima permintaan maafnya.
“Sana latihan lagi,”aku mendorok tubuh Kyungsoo dan Sehun agar mereka beranjak. “Na jinjja gwenchana. Jinjja!”aku memasang senyum terlebar agar mereka percaya. “Kka,”aku kembali mendorong satu-per-satu dari mereka, karena musik sudah kembali bergema di ruang latihan.
Aku memakirkan van hitam milik EXO ini di pelataran basement tempat WINNER tinggal. "Mino-ssi,"panggilku saat melihat sosok lelaki dengan masker berwarna putih dan topi itu berjalan di depan mobil yang aku kendarai.
"O. Ne nunna,"sapa Mino dengan tangan kanan yang memegang bungkusan plastik bening. "Kau tidak mau masuk ke dalaam. Uri seungyooni..."
"Nan arra,"ucapku memotong kalimat Mino. "Apa aku masih pangas bertemu dengan leader kalian? Saat aku hanya bisa melukainya?"Mata Mino membulat mendengar perkataanku. Ia menggeleng ragu dengan kepala yang tertutup topi. "Aku hanya mau menitipkan ini,"tanganku meraih tiga kotak makan yang betumpuk dari kursi sebelah, menyerahkannya kepada Mino yang langsung menerima dengan tangan terbuka.
"Gomapseubnida nunna. Apa ini tidak terlalu banyak untuk Seungyoon sendiri?"Mino melongo dengan tiga kotak berukuran besar, sedang, dan kecil yang bertumpuk rapi terlihat seperti piramida itu.
"Aniyo,"aku menggeleng sambil mengibaskan tangan. "Kotak paling atas untuk Seungyoon. Dua kotak lainnya untuk kalian. Uri Kyungsoo yang membuat kimbab dan kimchi. Aku hanya membuatkan bubur untuk Seungyoon,"jelasku, ditanggapi anggukan dari wajah yang setengahnya tertutup masker. "Ah,"aku menjentikkan jari. "Pastikan Janeul memakan kimbab dan kimchi buatan Kyungsoo ya. Dia membuatnya spesial untuk manager kalian,"tambahku. Pupil mata Mino membesar, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.
"Aa..aa.. Ye nunna,"jawabnya dengan terbata. Dentingan notifikaai ponsel menggema di antara kami. Tangan Mino yang hanya memegang bungkusan obat itu merogoh kantung jaket, tempat ponselnya bersemayam. "Nunna, mian. Aku harus kembali ke dorm. Janeul sudah menunggu,"pamitnya.
"Geurom. nado kkalkae,"aku mengangguk. Mino mrmbungkukkan sedikit tubuhnya memberi salam, sebelum akhirnya aku menutup rapat kaca jebdela mobil yang aku tumpangi
-Hello, Manager Kim-
Aku menatap pantulan diriku di cermin, disana sudah ada sesosok perempuan yang mengenakan busana pengantin berwarna putih gading. Aku menghela nafas pelan, antara meredakan jantungku yang berdegup kencang, dan menyesali moment sekali seumur hidup ini. 'Menyesal? Bukankah aku sangat menginginkan ini setahun yang lalu?'. Aku menatap pantulan wajah full make up itu, aku bisa melihat mataku berkaca-kaca. 'Jangan merusak make up-nya Shin',pekikku dalam hati sambil mengadahkan kepala menatap langit-langit bride room.
Suara knop pintu terdengar bergeser. Akupun membalikkan badan, menunggu sosok siapa yang akan masuk ke dalam ruangan yang kini hanya ada aku seorang. "Manager Kim!"teriak sembilan lelaki itu serempak, dan luput juga ada para pria dewasa yabg kukenal sebagai manager mereka. Aku tersenyun menyapa mereka yang sudah mengenakan setelan jas, dasi, dan pantofel yang warnanya mengkilap. "Jinjja yeppota Shin,"pekik Baekhyun dengan mata berbinar-binar.
"Aku juga tak menyangka. Manager Kim bisa berdandan secantik ini,"sambar Jongdae mengiyakan ucapan Baekhyun.
"O. Kau mengundang WINNER? Aku tadi melihat mereka di lobby,"ucap Lay yang langsung ditatap delapan teman-temannya gemas. "Wae?"tanya Lay heran karena menjadi bulan-bulanan member iseng seperti Chanyeol dan Baekhyun yang tadi sempat memukul lengannya.
"Jangan merusak mood pengantin wanita hyung,"bela Sehun kali ini. Aku tertawa kecil melihat tingkah mereka yang masih memikirkan perasaanku.
"Sunbae. Gomawo sudah datang,"aku memandang 6 sunbae manager yang juga sudah mengenakan pakaian rapih menurut versi mereka.
"Selamat Shin,"Youngjun sunbae menepuk lenganku. "Tidak ada lagi yang membawa mereka kabur di malam hari ya. Hahaha,"ledek Youngjun sunbae, mengingat aku dan sepuluh anak ini suka berkeliaran di malam hari untuk menemani mereka.
"Ani hyung. Kami akan menculik Shin saat malam pertana. Hahaha,"rencana Chanyeol ditanggapi tawa pecah dari member yang lain. Mereka bahkan saling menepukkan tangan satu sama lain.
"Eish jinjja. Kalian ini,"pekikku yang sudah melayangkan bunga seperti akan mermukul satu persatu mereka dengan bunga yang kupegang dengan tangan kananku.
"Permisi...,"suara perempuan mengiterupsi tawa mereka. "Manager Park,"panggil Kyungsoo saat sosok perempuan yang mengenakan mini dress hitam selutut itu muncul di balik pintu. "Maaf mengganggu..."
"Aniya aniya,"tangan Janeul yang akan menutup pintu itu tertahan saat mulutku bersuara. "Masuklah. Tak apa kan bergaul dengan managemen lain,"ledekku menatap Sehun yang sedang terperangah dengan perubahan dari sosok kekasihnya itu.
"Masuklah Janeul-ssi. Kami juga akan keluar,"pinta Youngjun sunbae. Janeul yang setengah badannya terhalang pintu itu mengangguk, dan membukakan pintu akan 15 orang lelaki ini bisa keluar.
"Mianhae, mengganggu waktu kalian,"ucap Janeul sambil mrmbungkukkan sedikit badannya kepada Youngjun sunbae yang menepuk pundaknya. Sehun yang berada jauh di belakang hyung managernya mencuri kesempatan mengajak mengecup kening Janeul singkat, membuat perempuan yang tingginya hanya sebahu Sehun itu terperangah dan reflek memukul lengan Sehun gemas.
"Anyeong Shin! Sampai bertemu di altar,"teriak Chanyeol sebelum akhirnya tinggal aku dan Shin yang berada di ruangan ini.
"Hai,"sapa Janeul kikuk. Matanya menerawang tubuhku dari atas sampai bawah. "Jinjja yeppota neo Shin,"puji Janeul setelah selesai me-scaning penampilanku dengan matanya yang terhenti di ujung gaun yang menjuntai ke lantai.
"Ya! Kau berlebihan,"jawabku dengan senyum kikuk. "Kukira kalian tak akan akan,"Janeul menggeleng. Ia merogoh tas tangan yang berada di genggaman kirinya.
"Tapi tidak dengan Seungyoon,"jawab Janeul setelah nendapatkan apa yang dia cari. Kepalaku mendunduk dalam-dalam mendengar ucapannya. Ya, bagaimana mungkin Seungyoon akan menghadiri pernikahan seorang mantan yang bahkan baru ia ketahui telah dikhianati seminggu lalu. "Gwenchana,"Janeul meraih kedua tanganku yang memegang se-bucket bunga, menggenggam halus jemariku yang kini terasa dingin. "Seungyoon sudah sehat, hanya saja dia tidak bisa menghadiri pernikahanmu." Janeul menyelipak benda yang terasa berbentuk kotak di sela-sela jemariku. "Oleh karenan itu. Dia hanya bisa memberikan ini padamu,"jelas Janeul saat ia melihat mataku terbelalak dengan benda yang ia selipkan.
"Ige...mwoya?,"mulutku terbata, menatap Janeul tak percaya dengan benda berbentuk kubus berukuran kecil itu.
"Ssshhh...,"Janeul menahan tanganku yang akan membukanya. "Nanti saja dibukanya. Oke,"pinta Janeul meyakinkan. Aku pun meletakkan kotak berwarna putih itu di laci meja rias.
Shin,"suara omma membuat kami menoleh ke arah pintu. "Omo! Ada tamu rupanya. Mian ne,"tambah omma menatap Janeul. "Acaraakan dimulai. Omma tunggu di luar,"omma mengangguk kepadaku, kemudian kembali menutup pintu berwarna cokelat tua itu.
"Baiklah,"Janeul memandang wajahku lekat. "Himnae manager Kim!"ia melayangkan kepala tangan di udara seraya memberi semangat. "Chukkae,"tepukan ringan mendarat di lenganku. Janeul tersenyum sumringah dan berjalan menuju pintu.
Saat pintu itu terbuka, sosok appa sudah berada di depannya. Ia tersenyum lebar menyambut putri satu-satunya itu di balik pintu. "Kkaja,"ucap appa yang sudah siap dengan lengannya untukku sambut. Omma mengangguk kepadaku dengan senyum tipis dan buliran air mata yang membasahi pipinya. Dengan langkah perlahan, aku mendrkati appa, meraih lengannya yang akan mrmbawaku ke altar.
-Hello, Manager Kim-
Dentingan suara lift menandakan bahwa aku sudah sampai di lantai yang dituju. Kakiku melangkah keluar, berjalan menyusuri lorong yang dihiasi dengan pintu-pintu berpenghuni. Kecuali satu pintu yang kini sudah ada di hadapanku, pintu yang sempat menjadi tempat tinggalku selama hampir enam bulan. Aku tersenyum simpul pada pintu dengan nomor 10 itu, mengingat memory indah yang ada di dalam flat tempatku dan sepuluh member menghabiskan waktu bersama.
Setelah puas memandangi pintu yang sudah tak berpenghuni itu, kakiku bergantian melangkah ke pintu sebelahnya. Pintu yang terdengar masih sepi dari dalam. Tangan kananku menekan 6 dijit angka password untuk membuka pintu yang kini dihuni sembilan orang tersebut. 'Haaaah...'helaan nafas keluar dari mulutku, melihat tumpukan sepatu yang berserakan di lantai sebagai penyambutanku.
"Shin! Wasseo!"sapa Jongdae yang sepertinya baru keluar kamar mandi, rambutnya basah dengan handuk yang sudah bertengger di lehernya. Aku tersenyum membalas sapaannya, sambil membuka sepatu agar bisa melangkah lebih dalan masuk ke dorm. "Bogoshipo uri manager Kim!"Jongdae memelukku singkat dengan senyum terbaiknya. "Aku lapar. Bisa buatkan aku sarapan,"pinta Jongdae dengan nada manja sambil bergelayut di lenganku.
"O. Oke,"aku mengangguk dan kami berjalan menuju dapur bersamaan. "Kalian punya apa,"aku membuka kulkas yang nampak tak sebanyak biasanya. "Ada kimchi,"aku mengeluarkan kotak platik bening berisi setengah kimchi di dalamnya. "Telur dadar saja ya dengan kimchi. Aku tidak pandai memasak. Hehe,"tanganku mengusap tengkuk leher karena canggung, tak tau harus memasak apa untuk sarapan Jongdae.
"Gwenchana Shin. Aku akan makan apapun yang kau sediakan,"tutur Jongdae yang sudah duduk di meja makan, menatap kesibukanku di dalan dapur. Tangan yang tak biasa bekerja di dapur ini mulai sibuk mengocok telur untuk digoreng. Setelah menambahkan sedikit penyedap rasa ke dalam telur, decisan di atas wajan mulai terdengar saat aku menuangkan kocokan telur itu di atas teflon.
Semerbak wangi telur dadar goreng pun mulai mengisi dapur dan ruang makan yang tak berjarak itu. Tak butuh berapa lama, akhirnya aku bisa menyajikan telur dadar yang sengaja kubuat banyak itu di hadapan Jongdae yang sudah siap dengan nasi di atas mangkuk. "Kau sudah makan Shin?"tanya Jongdae yang tak melihatku membawa nasi saat duduk dihadapannya.
Aku bergumam menjawab pertanyaannya. Harum kimchi dan telur dadar goreng itu menjadi satu di indera penciumanku. "Huwek,"tiba-tiba saja ada dorongan dari perutku. "Wae?"Jongdae menatapku kaget. Menghindari hal buruk, aku segera berlari ke kamar mandi. "Shin,"sapa Chanyeol yang baru keluar dari kamar, namun tak aku hiraukan dan segera menutup pintu kamar mandi dengan satu hentaka keras.
"Shin. Neo gwenchana?"ketukan pintu bertempo itu terus mengusik kegiatanku di kamar mandi. Suara yang awalnya hanya kudengar milik Jongdae, lama-kelamaan berganti dengan suara lain.
"Ya!,"teriak seseorang yang kudengar milik Chanyeol. Perutku kembali bergejolak, dan untuk kesekian kalinya aku memuntahkan isi makanan pagiku ini. "Ya!,"suara teriakan mulai riuh terdengar, memintaku untuk membuka pintu dan membiarkan mereka masuk.
Setelah merasa semua isi perutku seperti sudah terkuras habis, aku pun menekan tombol flush, kemudian beranjak ke wastafel dan memberishkan mulutku. Pantulan wajah yang nampak kelelahan menampilka sosokku pagi ini. "Waegeuraseo Kim Shin Neul. Ini bukan waktu yang tepat untuk sakit,"gumamku sambil menatap sosokku sendiri dari pantulan kaca.
Hembusan nafas pelan keluar dari mulutku,mengatur rasa mual yang masih menerjang perutku. Tepukan kedua tanganpun mendarat dipipiku, untuk memberikan efek 'bangun' agar tak terlihat seperti orang sakit di mata sembilan orang yang sepertinya sudah mengerubung di depan pintu kamar mandi.
'Klik', knop pintu kamar mandi akhirnya kuputar. Pintu berwarna putih itu terbuka perlahan, dan benar. Mereka sudah mengerubung di depan kamar mandi, tanpa terkecuali. "O. Kalian mau mandi?"telunjukku memutar menunjuk sembilan laki-laki yang membuat setengah lingkaran. "Mian, aku terlalu lama memakai kamar mandi. Hehehe,"kekehku di akhir kalimat sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Sebelum mendapat banyak pertanyaan, aku segera melengos dari hadapan mereka, berencana berjalan cepat untuk menghindari mereka. Namun tangan kananku keburu tertahan oleh jeratan satu tangan yang berhasil menghentikan langkahku. "Neo appo?"tanya Kyungsoo, diikuti dengan pandangan mata delapan orang lain yang mengarah kepadaku.
"Aniya. Gwenchana,"aku mengibaskan tangan kiriku yang masih terbebas dari jeratan tangan Kyungsoo.
"Kau hamil nunna?"terka Sehun tiba-tiba. Kini semua mata mengarah pada sosok yang berada di samping Chanyeol. "Eish! Kenapa menatapku seperti kriminal? Apa bertanya seperti itu? Sedangkan nunna sudah menikah. Huh?"ucap Sehun yang merasa terintimidasi karena terkaannya yang asal sebut.
"Machi,"sambar Lay mengiyakan perkataan Sehun. "Kau muntah-muntah saat pagi begini. Kau harus ke dokter, Shin,"perintah Lay, diikuti dengan anggukan seluruh member. "Geunde...,"Lay menatap para sepasang mata yang masih setia berdiri mengerubungiku itu. "Kau kan baru menikah seminggu. Apa secepat itu?"ucapan Lay berhasil membuatku terlonjak. Begitupun dengan member lain yang ramai-ramai menyangkal perkataan Lay yang terdengar sangat innocent.
"Ani,"aku menggeleng. Mereka yang tadi ramai-ramai memarahi Lay, kini mengalihkan pandanga ke arahku yang baru saja angkat bicara. "Sepertinya aku harus menghubungi seseorang,"kataku menatap mereka yang tampak bingung.
Aku pun segera berjalan ke ruang utama, mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Lagi-lagi mereka mengerubung, menunggu apa yang akan aku lakukan kali ini. "Yoboseyo,"ucapku pada benda persegi panjang yang menepel di telinga kanan. Tangan Minseok setia mengelus punggungku halus,sedangkan aku berusaha tegar berbicara melalui sambungan telepon ini.
"Hmmm. Wae?"jawab seseorang dari sebrang. Suaranya yang serak bertutur kata dingin itu berhasil membuatku ingin mengurungkan niat mengutarakan apa yang akan kukatakan. Sejenak aku menatap Minseok dan Suho bergantian.
"Bisa bertemu sekarang? Ada yang ingin aku bicarakan,"pintaku pada akhirnya. Tak ada tanggapan, aku tidak mendengar suara apapun dari ponselku. "Yobose..."
"Odi? Onje?"ia segera memotong kalimatku yan memanggil namanya. Aku mengulum bibirku mendengar jawabannya yang kupikir mustahil setelah apa yang telah kuperbuat dengannya.
"Seoul National University hospital. Jika kau bersedia menemuiku di sana. Aku akan berangkat sekarang,"terangku pada akhirnya. Suara di seberang sana kembali tenang, tak ada sepatah katapun yang terdengar.
"Ne,"jawab lelaki ini pada akhirnya. Membuat mataku membulat sebesar-besarnya, diikuti dengan mimik ingin tau dari sembilan member yang mengerubung di sekelilingku. "Geurom. Aku akan bersiap." 'Biip',telepon kami langsung terputus.
"Nugu?"tanya mereka bak paduan suara. "Kau menghubungi suamimu?"tanya Jongdae ingin tau. Aku bergumam kecil, beranjak dari sofa hitam yang tadi sempat kududuki.
"Aku yang akan antar,"kata Chanyeol yang ikut beranjak mengikuti gerakanku.
"Ani, aku yang akan antar,"bantah Kai menahan tangan Chanyeol yang akan meraih tanganku untuk berjalan bersama keluar dorm.
"Aniyeo. Aku bisa sendiri,"aku menggeleng dengan tangan berkibas di antara Chanyeol dan Kai.
"Eish. Andwe Shin-ah. Kau harus ada yang mengantar. Bagaimana bisa kau membawa mobil sendiri? Saat wajahmu pucat seperti itu? Kau mau tabrakan?"cegah Chanyeol menghadang langkahku menuju pintu.
"Aku akan naik taksi Yeol-ah,"ungkapku yang langsung ditanggapi dengan teriakan sembilan mulut itu. "Aninde!"ucap nerrka serempak.
"Kau pilih salah satu dari kami. Atau kami semua akan membawamu ke rumah sakit,"ancam Suho yang kini ikut berdiri di antara Chanyeol dan Kai.
"Jinjaa neo...."aku menghela nafas sambil mengepalkan tangan diudara seraya akan memukul mereka semua. Mataku menatap antara Chanyeol dan Kai sebagai dua dsri satu pilihan yang akan mrnjadi 'supirku' hari ini. "Kai-ya,"aku menunjuk Kai, diikuti dengan gerakan tangan 'berhasil' dari kedua tangannya. Sedangkan Chanyeol memberantaki rambutnya kesal.
"Eish Shin. Neo...,"pekik Chanyeol kesal menatapku dan Kai yang sudah berjalan ke depan pinty sambil memasukkan sepasang sepatu ke kaki kamimasing-masing.
"Hehe. Mian,"tuturku dengan senyum meledek. "Na kkalkae,"pamitku, dijawab kata 'ne' serempak dari mulut mereka.
Lahan parkir di basement menjadi pemandangan aku dan Kai setelah menuruni lantai gedung dengan bantuan lift. "Kunci mobilmu, nunna,"pinta Kai menadahkan tangannya. Aku pun merogoh tas untuk mendapatkan kunci mobil yang aku bawa dari rumah. Kunci mobik berlambang huruf 'H' kuletakkan di atas telapak tangan Kai yang tadi menadah. "Kau pintar sekali berkamuflase, nunna,"kepala Kai menggeleng sambil tersenyum meledek.
Setelah menekan tombol otomatis untuk membuka pintu mobil, kami masuk ke dalam mobil hyundai ini. "Suamimu dipindahkan?"tanya Kai setelah menvhidupkan meain mobil berinterior cokelat hitam. Aku menggeleng sambil mengenakan sitbelt yang berada di sebelah kananku. "Kenapa kau minta menemuimunya di Seoul National University hospital? Kau kan bisa ke rumah sakit tempat suamimu bekerja,"tanya Kai ingin tau.
Aku bergumam kecil menanggapi pertanyaan berantai dari Kai. "Aku tidak pernah bilang bahwa aku akan bertemu dengan suamiku,"jawabku asal. Membuat Kai yang mulai melajukan mobil buatan tahun 2015 ini berhenti mendadak sebelum akhirnya keluar dari parkir basement. "Jalan, kenapa berhenti?"aku menatap Kai bingung, sedangkan ia menggeleng tak tau apa yang harus ia katakan.
"Geurom. Kau akan menemui siapa?"Kai menatapku saat kami terhenti di lampu merah. Aku memalingkan wajah ke arah jendela yang berada di sebelah kananku. "Eish, kau pasti menutupi sesuatu,"terka Kai sambil krmbali menjlankan mobil yang sudah mrndaoatkan sinyal lamou hijau dari lamou lalu lintas.
Gedung berlambangkan universitas terkemuka di Korea Selatan itu mulai terlihat di balik pohon-pohon yang berada di pinggir jalan. Dengan percaya diri, Kai menggerakkan ke arah kiri stir mobil untuk masuk ke dalam area Seoul National University hospital.
"Orang yang mau kau temui sudah sampai?"tanya Kai sembari melepaskan jeratan sitbelt yang sedaribtadi menahan tubuhnya di balik kemudi. Aku menatap ponsel yang masih menyibakkan cahaya, setelah mengirim pesan singkat kepada orang yang dituju. Sesaat sebekum layar ponsel ini meredup sempurna, cahayanya kembali menyeruat. Seuntai kalimat muncul,menandakan bahwa ia sudah sampai di rumah sakit ini.
"Kau mau ikut atau menunggu di sini? Aku takut ada fans yang mrngenalimu,"tanyaku pada sosok yang sudah mengenakan topi dan masker berwarna putih itu.
"Kau pikir aku supir. Yang menunggu nona mudanya di parkiran,"ucap Kai dengan nada kesal. "Kkaja,"ajaknya sambil membuka pintu. Aku pun juga mengijuti gerakannya membuka pibtu sebelah kananku.
Seorang suster memberikan arahan kepadaku tentang tempat yang akan aku tuju. Ya, ruang ibu dan anak, khususnya untuk para calon ibu yang tengah hamil. "Ya nunna, aku seperti suamimu di sini,"bisik Kai saat kami sudah duduk di kursi tunggu yang tersesia.
"Kau harus belajar dari sekarang Kai-ya. Menemani istrimu memeriksakan kandungannya,"ledekku menyenggol lengan kirinya sehingga ia terhuyung ke sebalah kanan.
"Ng?"tubuh Kai tersontak saat seorang laki-laki duduk mendekati kami. Penampilannya tak jauh beda seperi Kai yang menggunakan masker, hanya saya ia menambahkan topi di atas kepalanya.
"Kim Shin Neul-ssi. Silahkan masuk,"panggil seorang perempuan dengan tangan kiri yang memegang papan jalan. Aku mengangguk ke arah lelaki yang baru saja tiba itu. "Chakkaman ne,"pamitku kepada Kai yang mengangguk kaku. Sepertinya Kai punya banyak pertanyaan di dalam pikirannya.
Lelaki dengan jaket hitam ini mengikuti langkahku agak ragu. Ia menahan langkahku saat kami akan masuk ke dalam satu ruangan bertukiskan. Dahinya mengerut saat melihat tulisan yang menempel di depan pintu, seakan bertanya-'apa yang kita lakukan di sini?'. Aku menggeleng, tersenyum simpuk kepadanga yang perlahan melepaskan jeratan genggaman dari pergelangan tanganku. "Kkeotjonghajima. Aku hanya butuh bantuanmu di sini,"ucapku pada akhirnya, dan kami melanjutkan diri masuk ke dalam ruangan yang langsung disanbut seorang dokter wanita dengan senyum ramahnya.
"Selamat pagi, silahkan duduk,"sapa wanita paruh baya drngan jas dokter yang bertengger di tubuhnya. Aku pun menundukkan badan, membalas salam yang ia berikan, dab duduk di kursi yang tersedia di depan meja kerjanya.