“Nona, kita sebentar lagi sampai,”ucap pria yang berada di balik kursi kemudi. Mataku yang sempat terpejam selama perjalanan dari bandara Incheon terbuka perlahan, pemandangan rumah seorang artis yang kuketahui dihuni oleh T.O.P Bigbang itu baru saja kulewati, itu tandanya tidak lebih dari lima menit aku akan sampai di rumah.
Sebuah halaman rumah yang berada di kawasan Hannam-dong ini akhirnya kupijak. “Apa ada appa di dalam?,”tanyaku pada seorang pelayanan yang terlihat baru saja keluar dari ruang makan.
“Ne agassi, tuan Kim ada di ruang kerjanya,”jawab perempuan muda tersebut sambil membungkukkan badan dan berlalu dari hadapanku. Mendengar jawabannya, aku pun melangkahkan kaki menuju ruang kerja appa yang berada di ujung lorong.
“O Shin. Wasseo?,”sapa omma yang melihatku dari ruang makan. Langkahku terhenti saat melihat omma tengah sibuk menata meja makan yang bahkan hanya dihuni kami bertiga. “Sudah makan?,”tanya wanita yang rambutnya dibiarkan tergerai ke samping kanannya.
“Kau sedang apa omma?,”tanyaku dengan nada malas tanpa mendekatkan diri kepadanya. Sendok terakhir yang ia letakkan di atas meja menandakan bahwa ia sudah selesai menatap meja makan yang bisa dihuni delapan oranag itu.
“Appa mengadakan jamuan makan malam. Kau kembali bekerja besok saja, ne? Temani omma, kau kan tau seberapa membosankan jamuan makan malam itu,”pinta omma yang kini sudah berhadapan denganku. Jemari yang kukunya dihias berwarna merah terang itu menepuk kedua pipiku. “Ne?,”pintanya sekali lagi dengan lengkingan panjang.
“Arraseo. Arraseo,”jawabku sambil mengangguk, membuat kedua telapak tangan yang ada di kedua pipiku akhirnya terlepas. “Aku akan bertemu appa dulu, ne,”lanjutku berlalu dari hadapannya yang sudah siap dengan pakaian berbahan velvet berwarna merah yang menutupi tubuhnya hingga dengkul.
Sepasang pintu kayu berwara cokelat gelap itu kini sudah ada dihadapanku, tanpa mengetuknya telebih dahulu aku pun segera masuk ke dalam ruangan yang didominasi warna hitam. "Appa,"tubuhku yang baru saja sampai di rumah segera menghadap ayahku di ruang kerjanya. Ia menatapku sesaat dengan kacamata yang bertengger di tengah tulang lunak hidungnya. "Jika ingin menanamkan saham atas namaku, harusnya kau tanyaku dulu kesediaanku,"ucapku dengan rengekan sambil menghempaskan tuhuh di atas sofa yang tersedia.
"Bukankah kau sangat menyanyangi sepuluh anak-anak itu,”ujar appa sambil menutup sebuah map berwarna hitam yang baru saja selesai ia baca. “Lagipula kau seharusnya memeriksa kembali saham yang aku tanamkan atas namamu,"tuturnya, berhasil membuat tubuhku yang awalnya berbaring, menjadi duduk dengan posisi normal.
Kacamata yang bertengger di hidungnya itu ia letakkan di atas meja. Dengan mengenakan kaos rumahan dan celana pendek, tubuhnya mendekat ke arahku, menduduki sofa yang berukuran lebih besar dari pada sofa yang aku duduki saat ini. "Kau harusnya mendengarka keseluruhan penjelasan Woobin, bukan justru menutup teleponya dan memilih tidur dengan atis yang bahkan lebih muda dua tahun darimu,"aku menggigit bibir bawahku mendengar penjelasan appa yang dengan entengnya mengatakan hal itu.
"Majjayeo, Kim Shin Neul,"terka appa melihat ekspresi kagetku karena berhasil mengetahui apa yang dilakukan anaknya selama di Jepang. Aku pun menunduk dalam-dalam mendengar perkataan appa. "Jadi kapan kalian akan menikah? Aku harap kau melakukan hal tersebut karena memang sudah merencanakan sesuatu, bukan hanya sekedar ingin,"lanjut appa yang langsung kutatap dengan mata mebulat. "Meski pada kenyataannya hubungan intim antara laki-laki dan perempuan dilakukan saat menikah, "tubuh appa beranjak dari singgah sananya, menuang scotch dari dalam botol beling yang berada di ujung meja kerjanya.
"Mianhae appa,"ucapku dengan suara lirih. Bayanganku akan menyerang appa dengan menbabi-buta karena asal menanamkan saham atas namaku langsung kandas begitu saja.
"Ah cham,”tubuh semampai bak model itu bersender pada ujung meja sambil memegang gelas yang berisi setengah cairan berwara kuning pekat. “Jadi benar ucapanku? Kalian benar-benar hanya ingin melakukannya?,"tanya appa, kini ia kembali duduk di dekatku, dengan segelas scotch yang tadi dia tuangkan. "Lantas jika kau hamil, maka apa dia berani bertanggung jawab?,"appa menunggu reaksiku yang hanya terdiam. "Ah,”bisa kulihat matanya mengedar dan senyum miris keluar menghias ujung bibirnya. “Kalian tidak memikirkan sejauh itu?,"tambahnya lagi, dengan scotch yang berhasil ia tenggak habis.
"Mianhamnida appa. Jeongmal...,"ucapku lagi, masih sama degan suara lirih.
"Hah...,"appa bangkit dari duduknya, yang membuatku juga ikut beranjak. "Shin,"aku memandangnya yang memanggil namaku, wajahnya lurus menatap pintu ruangan ini. "Kau sungguh mengecewakan,"ucapnya dengan sesaat menatap anak perempuan satu-satunya, membuatku segera menundukkan kepala sedalam-dalamnya saat ia berlalu dari hadapanku.
-Hello, Manager Kim-
“Seungwon-ni, oraenmanhae,”pria bertopi itu memeluk appa yang kini sudah berpakaian rapih, lengkap dengan kemeja dan celana bahan. Aku pun ikut menyambutnya dengan bungkukan kecil dan kembali duduk. “O. Sepertinya aku pernah melihatmu,”ucap pria yang bernama lengkap Yang Hyun Suk itu. ‘Ne, sajangnim. Aku adalah kekasih dari artismu’, ucapku dalam hati, kemudian ikut duduk bersamanya di ruang tamu.
Seorang wanita paruh baya mulai mengatur cangkir teh di atas meja, meletakkannya tepat di depan empat orang yang akan ia jamu. “Bagaimana dengan endorsement yang akan aku berikan pada WINNER?,”tutur appa yang berhasil mengalihkan perhatianku pada wanita yang sedang menuangkan teh ke dalam cangkir. “Anakku yang akan meng-handle semua keperluan WINNER selama di Jepang,”lanjut appa sambil menepuk pahaku sebagai penanda bahwa akulah anaknya. “Aku benar-benar siap membatumu Hyunsuk.”
“O, ini anakmu. Yeppota,”ucapnya sambil melirik ke arahku dengan senyum tipis terhalang rambut yang tergerai. “Hmmm,”mulutnya mengatup tanda bahwa ia sedang berpikir. “Sebenarnya aku masih memikirkan untuk debut WINNER di Jepang, tapi bagaimana aku bisa menolak sebuah kesempatan. Bahkan aku tidak perlu memikirkan lagi keperluan WINNER jika kesepakatan ini benar-benar deal,”jelasnya dengan panjang lebar, memoles senyum appa yang tertutup kumis tipis di wajah tegasnya.
“Sajangnim,”panggil seorang pelayan dari ujung pintu. “Ada tamu lagi yang baru saja datang,”tambahnya setelah mendapat perhatian dari empat orang yang berada di ruangan dengan arsitektur barat ini.
“O agassi, suruh mereka masuk ke sini,”pinta omma seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke ujung pintu kaca yang kini terbuka, untuk menyambut tamu lain yang sengaja diundang appa.
Suara sapaan dari dua mulut berbeda tak menggubris kegiatanku dari ponsel yang berbunyi karena ada panggilan dari Woobin oppa. Tubuh yang berlapis mini dress berwarna blue navy ini bangkit dari kursi, menjauhkan diri ke taman yang letaknya berada di sebelah ruangan ini.
“O oppa, wae?,”tanyaku sesaat setelah mengeser kotak hijau di layar telepon. “Aku baru sampai sore tadi, dan sekarang aku tertahan di rumah untuk jamuan makan malam dengan pemimpin YG,”ucapku untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Woobin oppa terkait keberadaanku saat ini. “Ah,”aku memandang lampu taman yang mengeluarkan sinaran putih dari dalam bola kacanya. “Ya. apa kau tau bahwa appa sedang mengatur sesuatu dengan WINNER. Kau kenapa tidak memberitahuku. Huh?”
“Ya!”pekiknya dengan volume suara yang cukup tinggi. “Kau bahkan menutup teleponku tanpa permisi saat di Jepang, bagaimana aku bisa menjelaskannya. Padahal saat itu banyak yang akan aku jelaskan,”kesal Woobin, membuatku kembali berpikr dengan kalimat appa tadi sore yang cukup membuatku shock.
“Ah. Jadi kau yang memberitahu appa bahwa aku ‘tidur’ dengan Kang Seungyoon. O? Malhae!,”terkaku tanpa membiarkannya berdalih.
“Jinjja!,”pekikknya tak percaya. “Neo...,”suaranya memelan. “Kau benar ‘tidur’ dengan Seungyoon? Eonje? Odi?,”tanyan Woobin oppa yang terdengar dibuat-buat dari telingaku. “Ah cham...,”ia mendengus kesal karena tak mendapat respon langsung dariku. “Ya! sekarang kau menuduh sepupu kesayanganmu ini sebagai pembongkar rahasia? Huh?,”helaan nafas kasar terdengar dari mulutnya. “Jinjja uri Kim Shin Neul-ssi. Aku benar-benar tidak tau. Atau kau mungkin perlu menanyakan hal itu pada bodyguard ayahmu yang tanpa kau sadari mengintaimu selama di Jepang,”ucapnya berhasil membuat bulatan besar di mataku.
“Ah appa, jinjja!,”kesalku sambil memutar bola mata malas, dan terhenti saat melihat satu dari dua mobil yang terparkir di pelataran rumah terlihat tak asing bagiku. “Sebelum aku menutup telepon, apa ada yang ingin kau jelaskan Kim Woobin-ssi,”ucapku karena merasa terpaan angin malam yang terasa makin dingin.
“EXO,”ucapnya, kemudian terhenti sejenak dengan suara kertas yang sedang dibalik. “Saham yang ditanamkan ayahmu di SM, itu lebih tepatnya ditanamkan untuk EXO. Jadi siap-siap menerima kenaikan gaji, manager Kim,”penjelasan Woobin oppa berhasil mebuat senyum lebar dari kedua sudut bibirku.
“O, baiklah Kim Woobin-ssi, terima kasih atas penjelasannya. Aku harus kembali ke jamuan makan malam,”ujarku yang langsung menerima sambutan kata ‘ne’, dari mulutnya.
Setelah menutup telepon yang berasal di Woobin oppa, pemandangan foto diriku dan Seungyoon yang menjadi wallpaper ponsel menyilaukan pandanganku, membuatku segera mengunci ponsel yang layarnya berukuran 6 inchi.
Baru saja akan melangkah, tubuhku sudah dihadang oleh seorang lelaki yang sedang melepaskan jas hitamnya, sehingga tubuhnya kini hanya berbalut kemeja dengan warna yang sedana denganku. “Bagaimana kau bisa mengenakan pakaian seperti itu di malam dingin seperti ini, agassi,”ucapnya dengan jas hitam langsung bertengger di pundakku yang polos tanpa sehelai kain.
“Kang Seungyoon, kau sedang apa?,”aku melirik arah pintu yang di dalam ruangan sudah ada Janeul, duduk dengan sikap kikuk.
“Ayahmu yang mengundangku kesini, ia berkata ingin bertemu leader dari WINNER,”jelas Seungyoon membuatku menggangguk tanda paham.
“Yoon-ah, Shin-ah, ayo masuk. Makan malam sudah siap,”panggil omma namun terdengar janggal saat ia memanggil Seungyoon dengan kata ‘Yoon-ah’. Ibuku ini benar-benar kelewat sok akrab.
“Ne omonim,”sahut Seungyoon dengan senyum yang menampakkan jejeran giginya sambil berbalik badan. “Ayo,”ia menadahkan tangan, namun hanya kugubris dengan meletakkan jas yang sempat bertengger di pundakku pada telapak tangannya.
“Pakailah,”aku kembali meraih jas yang membuatnya mati kutu karena sikapku lebih dingin dari biasanya. Kedua tanganku menyibakkan jas hitamnya, memintan sang pemilik untuk memasukkan tangan ke dalam lubang lengan. Ia pun menyambut dengan senyuman, bahkan aku terlihat seperti seorang istri yang sedang mempersiapkan suaminya untuk berangkat bekerja. “Hmmm, uri namja chingu kyeowo...,”kedua tanganku mengapit pipinya, membuat bentukan bibir seperti nimo. “Kka,”telapak tanganku yang mulai dingin meraih tangannya, mengajak Seungyoon untuk kembali masuk ke dalam rumah.
-Hello, Manager Kim-
Memasuki ruang makan, aku segera menyambut Janeul dengan pelukan singkat, membuatnya menatapku tanpa berkedip. Sepasang mata Janeul yang terhalang kacamata menelisik diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Ya. Neo nugunde? Kim Shin Neul?,”tanya Janeul saat aku sudah duduk tepat di sebelahnya. Dengan senyum menahan tawa, aku mengangguk sehingga bola matanya memutar tak percaya.
“O. Choneun, Kim Shin Neul imnida,”ledekku pada Janeul dengan bisikan, membuatnya langsung mengeluarkan seringai senyum tak percaya.
“Oah. You’re big liar manager Kim,”ucap Janeul masih dengan penekanan kata tak percaya dengan siapa jati diriku sebenarnya.
“Silahkan di makan manager Park, Seungyoon-ssi,”ajak omma menunjuk makanan yang sudah tersedia di tengah-tengah meja makan, sedangkan appa dan Yang sajangnim sudah terlebih dulu melahap makanan yang tersedia.
“Kalau boleh tahu apa yang membuat tuan ingin bertemu denganku?,”ucap Seungyoon disela-sela makan malam yang baru saja dimulai. Appa tak langsung merespon pertanyaan Seungyoon, ia masih berkutat dengan potongan daging kobe yang ia iris dengan pisau makan.
“Hmmm,”gumamnya setelah potongan kecil daging sapi asal Jepang itu mulai masuh ke dalam mulutnya. Gerakan rahangku untuk mengunyah halus daging sapi yang dipanggang mid-rare tertahan saat appa mulai bersuara, meski belum berucap. Appa menatapku sesaat kemudian mengalihkan pandangannya pada Seungyoon. “Ani,”ia menggeleng. “Aku hanya ingin bertemu anak yang baru saja dilahirkan Hyunsuk,”lanjutnya dengan tawa garing, yang juga disambut oleh Yang sajangnim.
“Oh ne,”sambut Seungyoon dengan senyum ramahnya, dan kembali melahap potongan daging yang sebelumnya sudah ia potong.
“Hyunsuk-ah. Aku mau tau, berapa patokan umur artismu untuk menikah?,”pandang appa kepada Hyunsuk yang langsung menegapkan tubuhya, di sisi lain aku dan Seungyoon saling menatap. Bahkan omma dan Janeul pun mengalihkan pandangan mereka kepada appa dan Yang sajangnim.
“Hmmm,”pikir Yang sajangnim sambil mengunyah makanannya. “Sejak JYP membolehkan Sunye menikah meski dia masih bergabung dengan Wonder Girls, aku tidak lagi membatasi umur artisku untuk menikah,”jawab Yang sajangnim terjeda dengan setenggak air. “Tapi yang jelas, artis tersebut sudah memiliki sumbangsih yang besar kepada YG,”tambah Yang sajangnim, membuat kepala appa naik-turun.
“Berarti menikah tidak dianjurkan untuk artis pendatang baru?,”sambung appa dengan sedikit jeda setelah jawaban dari Yang sajangnim.
“Sepertinya itu bukan pilihan yang tepat jika ia benar-benar ingin menjadi artisku,”jawab Yang sajangnim tanpa basa-basi.
Setelah perbincangan ‘aneh’ antara appa dan Yang sajangnim usai, suasana ruang makan kembali hening. Hanya terdengar suara alat makan yang saling bertabrakanan. Makan malam yang menurutku agak menegangkan itu akhirnya usai, tapi belum sepenuhnya selesai, karena appa mengajak Yang sajangnim untuk menikmati wine yang ia beli dari Uni Emirates Arab sejak dua tahun lalu.
Aku, Janeul, dan Seungyoon kembali ke ruang tamu, menemani pekerja YG ini menunggu sang bos yang tengah berbincang di ruang kerja appa beserta omma. “Ah... siapa agassi yang ada berada di hadapanku ini? Apa benar dia manager Kim? Manager pembantu dari EXO?,”ledek Janeul sambil menuangkan teh yang masih ada di dalam poci ke dalam cangkir kosong di hadapannya. “Apa EXO sudah tau siapa kau sebenearnya?,”tanya Janeul setelah menyesap teh yang menjadi sajian awal saat Yang sajangnim datang.
“EXO...,”aku memutar bola mataku, tengah berpikir tentang jawaban dari pertanyaan Janeul. “Kurasa ada beberapa, tidak semuanya,”ucapku kemudian, membuat Janeul mengangguk pelan.
“Ya. Kang Seungyoon. Apa kau masih percaya diri berpacaran dengan milyarder ini?,”ledek Janeul sambil menyenggol lengan Seungyoon yang duduk di sebelahnya, sedangkan aku berada di hadapan mereka berdua. “Hmmm,”pandang Janeul. “Kau harusnya duduk di sebelah sana,”endik janeul dengan dagunya.
Seungyoon menggeleng pelan dengan senyum simpulnya. “Aku akan sangat bangga duduk di sebelahnya nanti, saat dipelaminan,”jawab Seungyoon dengan kepercayaan diri yang sangat luar biasa, membuat sang manager langsung menghantamnya dengan pukulan keras di lengan kirinya.
“Eish. Jinjja. Kau akan menikah 10 atau bisa jadi 20 tahun lagi Kang Seungyoon, jangan bergurau,”sambar Janeul berhasil membuatku tertawa namun juga memikirkan apa yang baru saja ia ucapkan.
“Ya nunna. Kau berkata seperti itu, karena pacarmu juga akan sama sepertiku kan? Huh?,”balas Seungyoon tak mau kalah. Argumen yang mereka ciptakan berhasil membuyarkan tawa yang mengembang di atas bibirku. Seharusnya aku tidak berharap lebih kepada seorang artis untuk membangun sebuah keluarga. ‘Apa aku mulai berpikir lebih serius dengan Seungyoon? Ani. Ini hanya pengaruh ucapan appa tadi sore’.
“Wae Shin? Gwenchana?,”panggil Janeul yang sepertinya melihat perubahan air wajah dan gelengan kepalaku yang mencoba menepis pikiranku sendiri.
“O. Gwenchana, aku hanya masih merasa jetlag,”jawabku seketika karena tak ingin ada pertanyaan lebih lanjut yang akan dilontarkan kepadaku. “Ah,”aku memandang Seungyoon. “Besok aku akan kembali ke dorm. EXO akan segera comeback sebulan lagi, kemungkinan besar aku sangat susah dihubungi. Mian,”jelasku kepada Seungyoon yang menyimakku dengan seksama.
“Hmmm,”angguk Seungyoon, mengerti dengan sisi lain Kim Shin Neul yang menjadi manager EXO. “Hwaiting uri chagya,”ucapnya dengan nada manja, membuat goresan di bibirku.
Satu jam berlalu bergitu saja, ruang kerja yang dimiliki appa akhirnya terbuka, menghamburkan sosok Yang sajangnim, appa, dan omma, namun ada yang aneh sepenglihatanku, mereka tampak tegang, terutama omma yang kutahu tidak bisa memendam sesuatu.
“Park Janeul, ayo kita pulang,”panggil Yang sajangnim dari ujung pintu. Aku pun ikut mengekor di balik sosok Janeul dan Seungyoon yang sudah jalan terlebih dahulu ke arah pemimpin mereka. “Kim Shinneul, aku pulang dulu,”pamit Yang sajangnim, tapi tak sehangat sapaan awal pertemuan tadi. ‘Waegerae?’, pikirku sambil menatap omma yang kini berjalan paling belakang bersamaku.
“Omma...,”panggilku pelan, ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan di dalam tadi sehingga membuat suasananya agak menegang.
Kami menunggu di depan pintu, menatap ketiga orang yang tadi berkunjung sedang masuk ke dalam mobil untuk segera meninggalkan rumah ini. Tangan appa melambai saat suara klakson dua mobil menggema seakan memberi salam. “Jallja Hyunsuk-ah,”ucap appa dengan senyum yang menampilkan deretan gigi yang tertutup sedikit kumisnya.
Melihat pintu gerbang sudah kembali tertutup rapat, appa berbalik dan menatapku lekat-lekat, di lain sisi omma menggandeng lenganku kiriku. “Shinneul, ada yang perlu kita bicarakan,”ujarnya dengan nada serius. Kedua kaki yang berbalut sepatu pantofel hitam itu melangkah sigap menuju ruang kerjanya, diikuti aku dan omma yang turut mengekor.
-Hello, Manager Kim-
“Manager Kim!,”teriak sepuluh laki-laki yang menyambutku saat selangkah kakiku baru saja memasuki dormitori mereka. Dengan cepat, mereka menyambar tubuhku dengan pelukan singkat satu-per-satu, kecuali Tao yang duduk terdiam di atas sofa.
“Nunna...,”rengeknya dengan rentangan tangan saat aku sudah terbebas dari pelukan sembilan lelaki tadi. Pandanganku beralih pada kaki Tao yang berada dalam balutan gips putih tebal. Tubuhku segera menghambur dalam pelukannya, menepuk wajah Tao yang tampak kelelahan.
“Wae? Kau cedera? Sejak kapan?,”tanyaku saat sudah duduk di sampingnya. “Mani appo?,”aku menatap wajahnya yang terlihat sangat kesakitan dengan apa yang sedang ia rasakan. Tao mengangguk dengan mimik wajah memelas. “Oiya, aku membawa oleh-oleh,”aku menunjuk tiga bungkusan besar yang sudah terlebih dulu di buka oleh Chanyeol dan Baekhyun. “Eish! Kalian ini tidak sopan,”pekikku.
“O. Shin! Kau habis dari Jepang? Jadi kau cuti selama itu untuk jalan-jalan? Bukan untuk pemulihan? Ah cham...,”ujar Chanyeol setelah mengeluarkan berbagai macam barang yang ku bawa langsung dari Jepang. Sedangkan Minseok, Baekhyun, dan Kai menatapku dengan tatapan tajam, karena mereka sudah terlanjut mengetahui apa yang belum aku jelaskan sepenuhnya.
“Oh!,”pekik Lay melihat satu kotak yang di atasnya terdapat secarik kertas dengan nama seseorang. “Ini untukku?,”Lay menatapku tak percaya dengan oleh-oeh yang ia dapatkan. Seketika ruang utama dormitori EXO menjadi chaos karena masing-masing dari mereka mencari oleh-oleh dengan nama mereka sendiri.
“Oah. Kim Shin Neul, kau pasti orang kaya sehingga bisa membeli semua barang-barang ini, huh?,”terka Baekhyun dengan senyum yang membuatku merasa terancam. “Huh? Machi?,”lanjutnya sambil membanting tubuh di sebelahku. Sepasang mata para artis hallyu ini mengarah padaku, mereka menatap dengan tatapan yang sama seakan mengiyakan ucapan Baekhyun.
“O nunna. Bahkan kau membelikanku tas Gucci,”aku menggerakan leherku yang seakan kaku untuk menatap Tao. Ya, dia sedang kebingungan sekarang.
“Shin...,”Kyungsoo berdiri di hadapanku dengan kedua tangan melipat. “Berikan tasmu,”unjuk Kyungsoo dengan mata yang mengarah pada tas yang berada di balik tubuhku.
“Wae? Ada pakaian dalam di sini. Kau mau lihat?,”ucapku segera mencari alasan agar apa yang aku tutupi selama ini tidak ketahuan begitu saja.
“Kalau begitu keluarkan dompetmu,”pinta Bakehyun menatapku yang sudah membeku karena harus berhadapan sepuluh orang yang akan menginterogasiku setelah ini. Dering ponsel nyaring terdengar, sepuluh anak ini memeriksa ponsel mereka masing-masing karena memiliki nada dering yang sama. Nihil, tidak ada satupun dari ponsel mereka yang mengeluarkan dering ponsel tersebut, hingga akhirnya semua mata tertuju padaku.
“Ah. Itu ponselku berarti,”aku memindahkan tas yang tadinya berada di pungunggku, menjadi di pangkuanku sekarang. Merogoh kantung kecil yang berada di bagian depan tas, sebuah ponsel I-Phone keluaran terbaru menjadi sorotan utama mereka yang mengetahui bahwa bukan ini ponsel yang biasa aku gunakan sehari-hari (bila bersama EXO).
Melihat nama Woobin oppa, aku segera me-reject telepon tersebut dan mengirimkan pesan kepadanya agar tidak menghubungiku sekarang. Setelah berhasil meredam suara dering ponsel tersebut, aku kembali menatap mereka yang tertegun.
“Neo. Nugu? Manager Kim?,”tanya Kyungsoo melayangkan black card yang dia atasnya terdapat namaku. Ternyata saat aku sibuk dengan ponselku, Baekhyun berhasil mengambil dompet yang juga berada di dalam kantung tas yang sama.
Kyungsoo berbalik, ia kembali duduk di atas lantai dan memperlihatkan black card tersebut. “Ini punyaku yang kau ganti namanya?,”tanya Suho, membuat member lain mendengus kesal dengan pertanyaannya.
“Ya hyung! Aninde!,”tunjuk Baekhyun yang kini ikut-ikutan duduk bersama mereka. “Lihat,”Baekhyun mengeluarkan satu kartu lagi, milik Suho atas nama Kim Junmyeon. “Sudah paham sekarang? Artinya manager Kim derajatnya sama sepertimu,”ucap Baekhyun berhasil membuat sepuluh pasang mata menatapku lagi dengan tatapan selidik.
“Kau benar-benar sasaeng yang membayar SM ya agar bisa bekerja di sini?,”terka Sehun. Aku menggeleng keras, tak ingin kedekatanku dengan Kai yang sudah terbentuk menjadi hancur lagi. “Lalu, orang kaya macam apa yang mau melakukan pekerjaan serabutan seperti ini?,”tanya Sehun.
“Aku?,”aku menunjuk diriku sendiri. “Baiklah...,”tubuhku yang sedari tadi berada di atas sofa, akhirnya ikut bergabung dalam lingkaran mereka. “...Aku akan menceritakannya,”lanjutku kemudian mulai menceritakan asal mula kenapa aku akhirnya memilik pekerjaan ini, meski aku sendiri berasal dari keluarga berada.
-Hello, Manager Kim-
Suara bell dari depan pintu berhasil menghentikan kesibukanku membersihkan flat yang hampir satu bulan tak kuhuni. “Nunna! Buka pintunya,”teriak lelaki yang sepertinya sudah siap merepotkanku di hari pertamaku setelah cuti panjang. “Apalagi kali ini Oh Sehun? Tak bisakah kau memberikan aku sedikit wakyu untuk membersihkan tempat tinggalku?,”ucapku saat pintu yang tadi menghalanginya kini sudah terbuka. “Wae? Mau memohon apa sekarang?,”aku menatap Sehun yang sudah siap dengan pakaian outer-nya.
“Kau kan tahu apartemen Janeul. Bisa antarkan aku? Huh?,”pintanya dengan nada memohon dan puppy eye. “Jebal...,”tambahnya dengan kedua telapak tangan yang ia gosok-gosokkan sambil menenteng bungkusan karton kertas yang bertengger di lengan kanannya. Aku mengangguk kecil, mengiyakan keinginannya.
Tanpa menyuruhnya masuk ke dalam flat yang dipenuhi debu, aku segera bersiap untuk mengantar magane ini ke rumah sang pujaan hati. Tentunya dengan batas waktu minimum agar tidak ketahuan Youngjun sunbae.
Kedua pasang kaki mulai melangkah menjauh dari tempat tinggalnya masing-masing. Menuruni gedung hingga langkahku terhenti sendiri, sedangkan Sehun terus berjalan di depanku. “Ya! Oh Sehun,”aku memanggil Sehun yang masih terus berjalan. Tubuhnya berbalik dan menatapku yang berada di depan sebuah mobil Lamborghini Reventon berwarna putih.
“Wae? Jangan bilang kau mau meminta foto di depan mobil ini,”ujar Sehun sambil melangkahkan kaki untuk kembali ke arahku yang kini sudah berdiri di sisi lain dari pintu kemudi. “Seolma,”ingat Sehun kemudian.
“Bawa ini, aku sedang malas menyetir,”aku melempar kunci mobil ini sesaat setelah menekan tombol otomatis untuk membuka pintu. Dari dalam mobil aku bisa melihat kepala Sehun yang menatap bergantian diriku dan kunci mobil yang ada di tangannya.
“Ya nunna! Neo jinjja daebakkiya!,”pekik Sehun saat sudah berada di belakang kursi kemudi. “Wuah!,”Sehun menelisik isi mobil yang sebenarnya sudah berada di sini sejak aku pertama kali pindah, namun tak pernah kugunakan setelah itu karena harus menutupi identitas lain dari Kim Shin Neul.
Setelah puas menelanjangi isi dalam mobilku, akhirnya Sehun menjalani mobil ini menuju apartemen Janeul. Tidak dengan tangan kosong tentunya, dipangkuanku sudah ada tas karton yang entah berisi apa.
Dengan percaya diri penuh Sehun membelah jalanan Seoul dengan gagahnya, ia berasa ‘the man in the car’ karena bisa membawa mobil ini. Ia bahkan mengikuti arahan jalan yang kuberikan dengan sebaik mungkin, dan sepertinya ia lebih mahir mengendarai mobil ini dibanding aku sendiri.
Tidak sampai 30 menit, akhirnya kami sampai di apartemen milik Janeul. “Apa lagu kesukaannya Janeul. Kau tau?,”tanya Sehun dengan tatapan mata yang fokus pada ponsel berukuran 6 inchi itu. aku pun turut mengingat lagu apa yang menjadi kesukaan manager utama WINNER ini.
“O,”aku menjentikkan jari. “Dia suka Tell Me What is Love yang dinyanyikan Kyungsoo,”jawabku dengan pasti, mengingat ia sangat suka dengan suara Kyungsoo dalam lagu itu.
“Baiklah, aku akan mengganti dering telepon genggamku. Jadi saat aku nanti mengingatkanku untuk kembali ke mobil, dia bisa mendengar lagu kesukaannya. Hahaha,”ujar Sehun dengan bangga setelah selesai men-setting nada dering di ponselnya.
Sebelum beranjak dari dalam mobil dan mendatangi apartemen sang pujaan hati, ia kembali menyimak ponsel untuk terlebih dulu mengecek keberadaan janeul, apakah berada di apartemen atau masih dalam tugas.
“O? Kenapa lama sekali mengangkatnya?”rengek Sehun setelah akhirnya mendengar jawaban Janeul yang beberapa kali sebelumnya masuk ke voice mail. Sehun menghembuskan nafas berat, “Neo odi?,”tanyanya lagi dengan nada yang tidak lagi merengek.
“Jinjja. Apa kita akan tetap berbicara seirit ini walau tak sedang membalas pesan?” ucap Sehun dengan kesal, ia meraih kantung kertas yang berada di pangkuanku dan bersiap untuk keluar dari mobil. “Odi jib? Ni jib animyeon WINNER jib?”lanjut Sehun dengan pertanyaannya.
Setelah melontarkan pertanyaan tersebut, akhirnya Sehun keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju lift yang terlihat sudah terbuka. Untungnya dia tadi sempat menanyakan letak latai dan kamar Janeul saat diperjalana tadi.
Sepuluh menit berlalu, entah cukup atau tidak aku harus mengingatkan Sehun untuk kembali ke dormitori secepatnya. Lima menit berlalu setelahnya belum ada tanda-tanda kedatangan Sehun, membuatku kembali menghubungi Sehun yang hanya ditujukan sebagai penanda bahwa waktu berkunjung sudah habis.
Setelah ‘panggilan’ kedua, tak lama sosok Sehun mulai terlihat dari balik pintu kaca lengkap dengan masker dan topinya. Setelah masuk ke dalam mobil, Sehun meletakkan ponselnya pada space kosong yang berada di antara kami, melepaskan masker dan topi yang kini memancarkan mimik paling bahagia dari wajahnya. “Ottae nunna? Bagaimana aku bisa menghindari polesan di bibir selama satu bulan? Aku tidak ingin membiarkan siapapun menghapus ciuman Janeul dari bibirku,”ucapnya dengan wajah memerah sambil menghidupkan mesin mobil.
“Seolma! Ya! Oh Sehun. Daebak!,”teriakku tak percaya, membayangkan Janeul dengan mahluk ini menyatukan bibir mereka. Bahkan kini aku membayangkan siapa yang lebih dulu memulai ciuman tersebut.