home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Hello, Manager Kim

Hello, Manager Kim

Share:
Author : larasatityass
Published : 01 Apr 2015, Updated : 31 Mar 2016
Cast : EXO Member | EXO Manager | Kim Shin Neul (OC) | WINNER member | Park Janeul (OC) | Woo Jiho aka Zico
Tags :
Status : Complete
4 Subscribes |26282 Views |11 Loves
Hello, Manager Kim
CHAPTER 15 : Open Up

“Neo mwohae!,”kepulan asap keluar dari kedua belah bibirnya, kepalanya menadah ke langit, menatap nanar langit tak berbintang. Dua jari kanannya mengapit benda kecil berbentuk lingkaran memanjang dengan ujung yang mengeluarkan binaran berwarna merah. “Oh Sehun!,”gertakku, mengambil sebatang  rokok yang baru saja ia hisap dan menginjaknya setelah kulempar di atas tanah.

“O, nunna,”sapa Sehun tanpa menatapku yang sudah memandangnya geram. Tangan kanannya merogoh kantung celana, mengeluarkan sebungkus rokok yang ia sembunyikan, mengambil salah satu dari dalamnya. Kedua belah bibirnya kembali mengapit benda itu, menyalakan binaran berwarna merah diujungnya. “Haah,”kepulan asap kembali keluar dari mulutnya. “Sekarang aku bisa merasakan bahwa benda ini sangat berguna untuk mengurangi stres,”ucap Sehun, kembali mengisap rokok tersebut saat kepulan asap dalam mulutnya sudah habis terbuang. “Kau mau coba?,”Sehun menyodorkan rokok yang berada di tangan kirinya, kepalanya mengendik, seakan mengatakan bahwa tak apa jika aku menghisapnya meski dari mulutnya.

“Waegeura, Oh Sehun,”ucapku lirih menatap lelaki yang tampak hancur dari dalam. Ia mendecih mendengar ucapanku, memutar bola mantanya malas dan memalingkan wajahnya ke lain arah. “Malhae,”pintaku, menarik rokok yang hampir kembali ia hisap.

“Ya nunna!,”matanya membulat melihat rokok keduanya kembali kuinjak. Kepalanya mengedar ke penjuru arah, menahan emosi yang dapat kulihat dari sepasang matanya. Tangan kanannya kembali merogoh kantung celana berwarna hitam itu, namun segera kutepis, membuat isi dalam kontak panjang persegi itu berhamburan di atas tanah.

“Sampai kapan kau akan melarikan diri, magnae?,”aku menatap sepasang bola mata yang berkaca-kaca dan kemerahan, kepalanya segera berpaling saat kedua pasang mata kami saling bertemu.

“Haaah,”kepulan asap kembali keluar dari mulut Sehun, kali ini karena udara di atas gedung SM Building terasa lebih dingin karena angin malam. “Lalu, kau punya cara bagaimana aku harus menyelesaikan masalah ini?,”ia menatapku, mata lelahnya, wajah nanar yang ia kembangkan, Sehun seakan berkata bahwa ia benar-benar putus asa. “Geurigo...,”wajahnya menadah ke langit, ia kembali menghembuskan nafas berat. “...Aku harus menyudahi hubungan kami. Narang... Janeuli-rang...,”kepalanya kembali turun, terlihat senyum miris dari ujung bibirnya saat ia menatap lurus lampu-lampu Cheongdam-dong di depannya. “...Bagaimana aku harus menyudahinya...nun...na,”suara Sehun melemah diujung kalimat, kepalanya menunduuk dalam-dalam, membuat buliran air mata yang ia pendam sedari tadi akhirnya keluar dengan derasnya. “Malhae...nunna. Apa yang harus aku lakukan?,”tubuhnya naik-turun, senggukan tangis mulai terdengar lebih kencang.

“Uljimarago...,”aku segera meraih tubuh yang semampai ke dalam pelukanku, membuat kepalaku hanya mampu sampai di pundaknya. Sehun menangis sejadinya, bahkan kini aku bisa merasakan tubuhku ikut bergetar karena isakan tangis milik Sehun.

“Harusnya aku lebih berhati-hati. Harusnya aku tidak se-egois itu ingin bertemu dengannya setiap waktu. Harusnya aku bisa menahan diri untuk menemuinya di tempat ramai. Harusnya....,”racau Sehun di tengah isakan tangisnya. “Apa yang harus aku katakan jika pada akhirnya ia meminta untuk mengakhiri ini?,”lanjut Sehun, ia sangat paham watak Janeul yang lebih memetingkan pekerjaan mereka berdua, daripada ke-egoisan satu sama lain hanya karena hal cinta.

“Katakan apa yang kau mau katakan. Katakan jika kau tidak ingin mengakhirinya. Katakan jika kau merasa bersalah karena membuat kekacauan di antara hubungan kalian. Katakan jika kau mencintainya, sebesar apapun kau menjadi idol,”kedua tangan yang tadi merengkuh punggung Sehun kini beralih menadah wajahnya yang memerah, menatap kedua mata nanar yang masih mengeluarkan air mata. “Bisa?,”Sehun menatapku sejenak, kemudian memilih untuk mengangguk pelan, menjawab pertanyaan bahwa ia bisa melakukan apa yang aku sarankan. “Mungkin Janeul...,”daguku mengendik ke arah saku celana kirinya yang baru saja terdengar suara.

Tangan kiri Sehun pun segera merogoh kantung celana yang bergetar, menandakan pesan teks yang di kirim oleh Park Janeul yang ia ubah dengan sebutan ‘L Manager’ telah masuk. Sehun menarik nafas panjang menatap rentetan huruf yang harus ia hadapi. Ya, ketakutan yang sudah ia terka sebelumnya. Untuk beberapa saat ia terlihat mengatur emosi, menarik dan menghembuskan nafas dengan tempo beraturan. Sampai akhirnya ia mengangguk dan tersenyum singkat padaku, berkata seakan ia sudah lebih baik.

“Yoboseyo?,”panggil Sehun dengan suara garingnya seperti biasa, ia mahir memendam semua. Aku pun ikut tersenyum mendengar suaranya yang sudah berani menghadapi Janeul, membuatku kini harus segera pergi, memberikan privacy kepada anak asuh yang harus menyelesaikan masalah pribadinya.

Setelah menutup pintu rooftop dan meninggalkan Sehun sendiri di luar sana, aku pun sepertinya juga harus menyelesaikan masalah ini. Masalah yang dianggap tidak masalah bagi Youngjun sunbae, namun menjadi masalah karena menyangkut kontrak kerjaku.

“Yoboseyo oppa, mau menemaniku minum?,”ucapku kepada seseorang di seberang sana sambil menuruni tangga sebelum akhirnya meraih pintu lift yang tertutup sempurna. Suara lelaki yang tengah kuhubungi itu terdengar berpikir sejenak, namun akhirnya ia mengiyakan ajakanku.

Tombol bulat dengan panah turun segera kutekan, membuat cahaya merah menyala dari tombol tersebut. Untuk beberapa saat aku harus menunggu kubus besi itu naik dan menjemputku keluar dari gedung SM Building.

Pintu lift terbuka, kosong tidak ada seorang pun disana karena ini adalah lantai teratas SM Building, tidak banyak yang akan mampir kesini kecuali untuk melarikan diri. Tombol panah yang saling berhadapan segera kutekan saat tubuhku sudah masuk sepenuhnya ke dalam lift, membuat lepengan besi itu segera menutup dan membawaku turun pada lantai yang dituju.

Tak butuh berapa lama, kapsul besi itu sudah membawaku di lantai dasar. Dengan langkah pasti kubawa diriku keluar dari SM Building, menuju sebuah kedai terdekat untuk bertemu lelaki yang sudah mengiyakan ajakanku tadi.

Setelah memberitahu tempat pertemuan kami, aku pun menempati sebuah kursi kayu dengan bantalan hijau lumut di atasnya. Memesan secangkir cokelat panas dan beberapa makanan ringan untuk menyambut lelaki yang hampir seminggu tak dapat kuraih wajahnya di dunia nyata.

Aku menyesap sedikit cokelat panas yang baru saja diantar sang pramusaji dengan rambut yang diikat kuncir kuda. Lingkaran cangkir berwarna putih itu untuk beberapa saat menjadi pemandangan saat kedua belah bibirku membiarkan cairan berwarna cokelat gelap itu mengalir ke kerongkongan.

“Kamchagya!,”pekikku saat kuturunkan cangkir putih tersebut setelah mengapitnya dengan kedua belah bibirku. “Ya! Oppa,”teriakku namun dengan nada tingi yang tertahan kepada sosok lelaki yang sudah duduk manis di depanku.

“Kukira kau benar-benar akan mengajakku minum,”jelasnya masih dengan hodie yang bertengger di atas rambut berwarna cokelat itu. “Apa? Apa yang mau kau ceritakan hingga menyuruhku keluar. Huh? Harusya kau datang saja ke dorm. Memang kau tidak rindu dengan kami? atau hanya rindu denganku saja?,”tuturnya dengan senyum menggoda.

“Eiiishh...,”aku mendengus ringan mendengar ucapan yang terlalu percaya diri darinya. “Bogoshiposseo,“aku mengangguk menatapnya yang bersandar menatapku. “Aku baru saja dari SM Building, bertemu sajangnim,”lanjutku dengan telunjuk kanan yang berputar di atas cangkir putih berisi cokelat panas miliku. “Sehun...,”aku memandang lekat sepasang mata lelaki yang paling tua di EXO saat ini, menerawang kejadian yang beberapa waktu lamu baru saja terjadi.

Flash Back

“Anja,”suara pria itu segera terdengar saat kami memasuki ruangan bertulisan CEO Kim Young Min. Mendengar perintahnya kami segera duduk pada sofa yang tersedia tak jauh dari meja kerjanya, sedang ia masih terlihat sibuk membaca lembaran kertas yang ada di atas mejanya. “Oraenmanhae Tak Youngjun,”sapa Kim sajangnim tanpa melihat ke arah objek yang ia ajak bicara.

“Ne sajangnim,”jawab Youngjun sunbae agak kikuk sambil menatap pria yang kini sudah berdiri sambil membawa lembaran kertas di tangan kanannya. Single sofa yang berada di posisi tengah segera ia tempati, lembaran kertas itu pun melayang di atas meja bening di depan kami.

“Ah,”tubuh Kim sajangnim yang sudah duduk di atas singgah sananya kembali terangkat, kembali menuju meja kerja. Tangannya sibuk mengambil sesuatu di dalam laci yang berhasil ia raih dengan waktu singkat dan kembali melemparnya dengan enteng di atas meja. “Oh Sehun,”panggilnya kepada magnae EXO yang tengah terperangah dengan sesuatu yang tadi Kim sajangnim lempar. “Bisa kau jelaskan?,”tutur Kim sajangnim dengan kedua telapak tangan yang bersilang di bawah dagunya, menatap Sehun yang tampak gelagapan dan menatap keduanya bergantian.

“Jeosonghamnida sajangnim, aku tidak mengawasinya dengan benar. Jeosunghamnida,”ucapku otomatis saat Sehun sama sekali tak bergeming.

“Ya ya ya!,”tatapan Kim sajangnim kini beralih padaku. “Kau tidak usah ikut campur agassi,”lanjutnya dengan tatapan tajam yang kini kembali pada Sehun yang masih mematung.

“Jeosunghamnida sajangnim. Jeosunghamnida,”ucap Sehun dengan kepala yang menunduk dalam-dalam. Kim sajangnim mendecih, ia memalingkan wajah ke lain arah mendengar respon dari Sehun.

“Ah jinjja,”Kim sajangnim kembali bersuara, bahkan Youngjun sunbae tak berani berkomentar apapun, tapi aku bisa melihat kedua telapak tangannya mengepal keras di atas paha. “Nugurang? WINNER manager?,”lanjut Kim sajangnim dengan senyum yang meremehkan. “Tak Youngjun!,”panggil Kim sajangnim dengan nada tinggi. “Kau juga bahkan membiarkan member WINNER menginap bersama agassi ini,”ia menunjuk ke arahku. Tubuhnya yang berbalut jas berwara hitam itu kini sudah berdiri sambil bertolak pinggang.

“Jeosunghamnida sajangnim,”jawab Youngjun sunbae tanpa kalimat lain, namun aku bisa merasakan ia memendam emosi dalam dirinya.

“Ani ani. Akhiri sekarang juga, kalian berdua,”Kim sajangnim menunjuk aku dan Sehun bergantian. “Jika kalian belum jelas kenapa harus diakhiri, maka baca kembali kontrak kalian yang sudah kalian tanda tangani,”jelas Kim sajangnim menunjuk lembaran kertas di atas foto yang menampilkan sosok Janeul yang tengah mencium pipi Sehun. “Kka kka,”perintah Kim sajangnim menunjuk ke arah pintu yang tersedia.

Kami pun memutuskan untuk keluar ruangan secepatnya. Youngjun sunbae menghentikan langkah kami yang berada di belakangnya. “Oh Sehun,”panggil Youngjun sunbae memanggil nama lelaki yang masih nampak shock. “Akhiri sekarang juga, dan kau...,”Youngjun sunbae mengalihkan pandangannya padaku. “Kau juga,”tutup Youngjun sunbae kemudian segera melangkahkan kaki cepat. 

End of Flash Back 

“Jeongmalyeo?,”pekik Minseok tak percaya setelah mendengar serangkaian kejadian yang baru saja aku ceritakan. “Sekarang Sehun dimana? Apa dia baik-baik saja?,”tanya Minseok dengan nada cemas.

“Hmmm,”aku mengangguk. “Panggillah teman-temanmu, Sehun membutuhkan kalian. Dia ada di SM Building sekarang,”jawabku memandang Minseok yang tengah mengutik ponselnya. “Mau membeli sesuatu untuk Sehun dan anak-anak lain? Belilah,”aku menyodorkan sebuah lempengan hitam ke arahnya, membuatnya segera menatapku heran. “Wae? Aku tidak bisa ikut menghibur Sehun sekarang,”jelasku namun, masih membuat Minseok melongo tak percaya.

“Baiklah kalau begitu...,”ucap Minseok pada akhirnya dan beranjak dari kursi kayu dihadapanku.

-Hello, Manager Kim-

“Kau mau kemana?,”suara lelaki berhasil menghentikan kegiatanku yang akan mengenakan mantel berwarna putih susu. Kepalaku menengok ke sumber suara, pada sebuah pintu berwarna putih yang sudah terbuka dan menampakkan sosok lelaki dengan setelan yang mencetak sempurna lekukan tubuhnya.

“Sedang apa kau di sini?,”aku menatap lelaki yang menenteng tas kerja miliknya. Kancing jas yang menyekat tubuhnya ia buka saat meletakkan tas kulit berwarna hitam itu di atas ranjang king size milikku.

“Bukankah kau harus melakukan check up hari ini?,”lelaki bernama Woo Jiho itu mengeluarkan sebuah tablet dari dalam dalam tasnya. Tangan kanan Jihoo sibuk menggeser papan bercahaya itu, hingga akhirnya terhenti dan memandangku yang masih terkaku di tempat, memintaku untuk segera mendekat dengan gerakan mata dan endikan kepala.

Aku memutar bola mataku malas, menghela nafas tanpa suara, menenggerkan kembali mantel pada hanger dan memasukkannya ke dalam lemari. “Aku bisa berangkat sendiri, aku tidak punya banyak uang untuk membayar fasilitas dokter yang datang ke rumah,”ucapanku ia respon dengan senyum meledek dengan kepala yang memandang arah lain.

“Kim Shinneul bagian mana yang tidak bisa membayar itu? Kim Shinneul yang menjadi manager EXO maksudmu?,”tuturnya memandangku yang sudah melentangkan diri di atas kasur. “Buka bagian perutmu,”pintanya untukku membuka sedikit baju yang memperlihatkan jahitan hasil karyanya.

Jemarinya yang panjang itu dengan cekatan membuka perban yang masih menutupi bekas luka di sisi kanan perutku. Dengan kepala menunduk, ia menatapku saat tangannya menekan pelan sisi jahitan, melihat respon wajahku. “Sudah lebih baik sepertinya,”terkanya karena aku pun tidak terlalu merasa sakit saat ia menekan sekitar bekas luka jahitanku. 

Tubuhnya kembali berdiri tegap, tangan Jihoo segera meraih tablet yang ia letakkan di meja kecil sebelah kasurku, jemarinya bergerak cepat di atas tablet berukuran 8 inchi seakan mencatat sesuatu.

“Sudah? Itu saja?,”tanyaku melihat Jihoo yang tak kembali bergeming. Untuk beberapa detik tak terdengar jawaban dari mulutnya, hingga akhirnya layar tablet yang berada digenggamannya padam, kepalanya terangkat dan memandang lurus ke arahku yang kini sudah terduduk di atas ranjang.  

“O,”ia mengangguk dan meletakkan kembali tab tersebut di atas meja. Satu langkahnya kaki bak slow motion, tubuh kami yang sebelumnya sudah dekat, kini semakin mendekat karena satu langkah darinya.

Dengan gerakan cepat kedua tangan lelaki yang sudah kupacari selama delapan tahun ini meraih rahangku, menarik kepalaku mendekat kepadanya. Bibir kami yang saling bertautan, berhasil menarik bibirku lebih dalam masuk dalam ciuman yang tak terelakkan. Jihoo berhasil menghiptonis perempuan yang sudah berusaha melupakannya selama satu tahu ini, membuatku kembali mengenang delapan tahun yang kami lalui bersama. Kedua tanganku mengepal di atas kedua pahaku, tak tahu apa yang harus aku lakukan, menghentikkannya atau justru menikmati moment yang sejujurnya memang aku rindukan.

Kepalan tanganku akhirnya mengembang di dada Jihoo, mendorong tubuhnya untuk menjauh. “Geumanhae Wo Jihoo,”aku menggeleng, menatapnya yang masih memegang kedua rahangku. “Aku sudah punya kekasih. Begitu juga kau,”tuturku, membuatnya menghela nafas, menurunkan kedua tangan hangatnya dan memalingkan kepalanya ke lain arah.

“Kkeutnaji,”ucapnya masih dengan menatap ke lain arah. “Huh?,”kemudian kembali menatap kedua mataku yang mulai tergenang air mata. “Jebal,”tambah Jihoo dengan jemari yang sudah menggengam kedua tanganku.

“Aku sangat mencintainya, Wo Jihoo. Hampir sama seperti aku mencintaimu,”kedua telapak tanganku terbebas dari genggaman tangan Jihoo yang semakin melemah. “Mianhe,”tambahku tanpa melihat ekspresi wajahnya yang kini menunduk, dengan langkah berat aku meninggalkannya yang masih terkaku di tempatnya berdiri tadi.

-Hello, Manager Kim-

Setelah berhasil keluar dari kerumunan fans WINNER akhirnya aku bisa bernafas lega di dalam mobil. Getaran telpon genggam mengalihkan pandanganku pada kerumunan yang menepi karena mobil yang kutumpangi melewati mereka. ‘Aku menginap di hotel Hilton di Tokyo. Wae?’, tulis Seungyoon saat aku menanyakan tempat bermalamnya bersama WINNER dan staff selama di Jepang.

“Samchun, antarkan aku ke hotel Hilton Tokyo,”pintaku pada seorang pria paruh baya yang sengaja ikut denganku selama di Tokyo, ia siap mengantar kemanapun aku pergi. Sambil menunggu perjalanan menuju tempat Seungyoon, aku kemballi membuka file yang belum sempat kubaca karena terpotong untuk menonton konser WWIC tadi.

Ditengah-tengah keseriusanku membaca dokumen perjanjian, getaran telepon genggam mengalihkan konsentrasiku, nama ‘Woobin oppa’ membuatku harus mengangkat segera panggilanya. “Hmmm, oppa. Aku baru saja membaca file tadi. Wae?,”tuturku sambil menatap perjanjian yang kubaca melalui layar tablet berukuran 8 inchi.

“Ayahmu berbuat hal gila,”ujar Woobin oppa dengan suara berat khasnya, membuat pandanganku beralih dari dokumen yang sudah kubaca kilat sebanyak setengah halaman. “Dia baru saja menanamkan saham pada SM atas namamu Shin,”jelas Woobin oppa membuatku bisa melihat pantulan wajah tak percaya pada layar kecil di hadapanku. “Sepertinya kau tidak bisa berlama-lama disana, atau identitasmu akan segera ketahuan,”tambahnya.

“Oah jinjja aboji!,”pekikku dengan dengusan ringan mendengar penjelasan Woobin. “Gomawo ne sudah memberitahuku,”tambahku sambil menatap tulisan Hilton Tokyo yang berada di atas langit. “O, oppa. Kita lanjutkan besok ya. aku ada urusan sebentar. Ne, anyeong,”tutupku memutuskan suaranya yang terdengar masih ingin membincangkan sesuatu. 

“Kita sudah sampai nona,”jelas pria di depanku tepat saat mobil ini berhenti di depan hotel yang menjulang tinggi.  ‘Aku ada di depan hotelmu sekarang. Apa kau sudah sampai?’, tulisku dalam percakapan pesan singkat kepada Seungyoon.

Tak perlu menunggu lama, nama Seungyoon segera muncul di layar ponselku menandakan dia dilanda penasaran karena aku dengan tiba-tiba mengatakan hal demikian. “Kau sedang bosan ya? Makanya bercanda seperti itu?,”tutur Seungyoon yang terdengar tak percaya dengan pesan singkat yang baru saja aku kirim.

“Jika tidak percaya, kau bisa langsung turun ke bawah menemuimu. Aku sudah ada di depan hotel tempatmu menginap,”jelasku kepada Seungyoon yang masih tak percaya bahwa benar aku berada di Jepang dan baru saja menonton konser WWIC-nya di  Osaka IMP hall.

“Odi? Aku tidak menemukan sosokmu? Kau pasti berbohong,”ucapnya, sedangkan aku terkekeh melihat Seungyoon dengan mantel hitam yang menjuntai sampai lututnya.

“Kau bisa berjalan sekitar,”aku menahan kataku, tengah menghitung ada berapa langkah yang akan ia tapaki untuk berada tepat di depanku. “Lima langkah,”lanjutku pasti, ia pun tak segan mengikuti instruksi yang aku berikan. “Hmmm... charrannae,”godaku, membuatnya mendumal kesal karena tak juga mendapatiku. Padahal aku benar ada di depannya, hanya saja berada di dalam mobil.

Kaca mobil Maybach Landaulet berwarna putih ini segera kuturunkan, sosokku yang tengah duduk di kursi penumpang melambai ke arahnya yang tengah menelisik jalan di sekitar hotel. “Kau bisa melihatku sekarang, aku tepat berada di depanmu,”ungkapku pada akhirnya, membuatnya menganga tak percaya mendapatiku berada di dalam mobil yang hanya bisa dihuni empat orang ini.

Lelaki yang nampak kelelahan itu mulai mendekat ke arahku, “Masuklah,”aku mengendikkan kepala ke arah pintu yang berada di seberangku.

“Apa yang kau lakukan di sini?,”ucap Seungyoon tak percaya, ia masih terkaku di depanku, Seungyoon belum beranjak untuk masuk ke dalam mobil.

“Masuklah,”pintaku lagi, pada akhirnya membuat Seungyoon melenggangkan tubuhnya masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahku. “Mian,”ucapku saat mendapatinya sudah duduk tenang di dalam mobil. “Untuk beberapa hal yang belum aku ceritakan,”tambahku saat melihat mimik tak percaya dari raut wajahnya. “Apa aku mengangganggumu?,”aku menggenggam tangannya yang terlihat terkepal dari tadi. “Mian. hmm?,”pintaku sekali lagi, karena wajahnya masih menggambarkan rasa kekecewaan.

Tangan kirinya yang kugenggam ia balas dengan ganggaman, kedua obsidian yang tadi tampak membara, lambat laun makin melembut. “Aku hanya terkejut dengan...,”ia mengendarkan pandangannya ke penjuru isi mobil. “...Ini,”tutupnya sambil mengendikan bahu. “Neo nugu? Uri yeoja chingu? Aku seperti tidak mengenalmu dengan pakaian seperti itu,”ucap Seungyoon mengendikkan dagunya ke arahku yang tengah memakai blazer berwarna putih dengan mini dress berwarna hitam yang hanya menutupi setengah pahaku.

“Aku akan menjelaskannya saat perjalanan,”tuturku dengan senyum tipis, Seungyoon pun mengeratkan genggamannya. “Samchun, tolong antarkan aku kembali ke hotel,”pintaku kepada seorang pria paruh baya yang berada tepat di depanku yang berada di kursi kemudi.

Roda-roda mobil pun kembali bergulir, mengantarku dan Seungyoon menuju Mandarin Oriental Hotel Tokyo yang aku tempati sejak tadi pagi sesampainya di Jepang.

Seorang doorman membukakan pintu mobil yang berada tepat disamping Seungyoon, dengan langkah cekatan ia segera melangkahkan kaki menuju pintu sebelahku, menahan tangan doorman yang tadi membukakan pintu untuknya. “Silahkan nona muda,”ucap Seungyoon setelah pintu sebelahku terbuka lebar olehnya.

Aku pun tersenyum singkat melihat tingkah lakunya bak artis yang baru saja selesai mementaskan pertunjukan, menyambut uluran tangan Seungyoon dan melingkarkan tanganku di lengannya. “Kau sudah makan?,”aku menatap Seungyoon yang memasang wajah terperangah dengan arsitektur dalam hotel yang mereka bilang sebagai hotel termahal di dunia. “Seungyoon,”panggilku, membuatnya segera menengok ke arahku. “Mau makan? Di sana makanannya enak,”jelasku menunjuk sebuah restaurant yang berada di ground floor ini.

Senyum kecil namun terlihat seperti meringis itu terlampir di wajahnya yang menggeleng kecil. “Aku mungkin hanya bisa membayar minumnya chagya,”ucap Seungyoon ragu, membuatku tertawa kecil menatap wajahnya yang terlihat bingung. Tanpa babibu, aku menarik tubuhnya untuk masuk ke dalam restaurant yang dipenuhi para executive dengan pakaian rapih, ya kecuali dirinya. “Kau seharusnya mengatakan bahwa akan membawaku ke tempat seperti ini. aku merasa malu mendampingimu sekarang,”bisik Seungyoon sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku saat kamu sudah duduk di satu meja khusus dua customer.

Aku menggeleng mendengar ucapannya, “Ani. Aku suka kau seperti ini. Bahkan tanpa setelan jas seperti mereka, kau sudah terlihat high class,”jelasku sambil mengambil daftar menu yang baru saja dibawakan seorang pramusaji.

“Aku tidak yakin dengan makanan di sini,”Seungyoon menyodorkan kembali daftar menu yang bahkan terlihat baru satu halaman ia buka. Dengusan kecil keluar dari mulutku, membuatku dengan sengaja memesan dua menu yang sama untuk kami.

“Chagya...,”aku mengelus punggung tangannya yang berada di atas meja. “Jangan merasa tak enak denganku. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku karena belum menjelaskan tentang siapa diriku sebeneranya,”Seungyoon menatapku yang sedang memasang senyum termanis milikku.

“Ah matta! Kau belum menceritakan secara lengkap siapa kau sebenarnya, uri yeoja chingu,”sambar Seungyoon menggenggam jemariku yang tadi mengelus punggung tangannya.

Sembari menunggu pesanan makanan kami, aku pun secara lengkap menjelaskan siapa diriku sebenarnya. Apa yang aku lakukan sekarang di Jepang dan kenapa aku memilih menjadi manager artis yang bahkan gajinya hanya mampu membeli setelan pakaian olahraga jika di dalam kehidupan Kim Shinnenul yang lain.

Perbincangan itupun tak berakhir saat kami menunggu makanan yang kami pesan, Seungyoon terus mengulik jati diriku bahkan di tengah makan malam kami. Hingga akhirnya dia benar-benar berhenti setelah selesai menghabiskan setengah botol wine yang aku pesan setelah makan malam.

“Ayo, biar aku antar kau kembali ke hotelmu,”aku menengok ke arah pintu keluar untuk mengantar Seungyoon kembali ke hotel tempatnya dan teman-temannya menginap. “Ppali,”aku menarik tangannya, karena tubuhnya tidak bergeming. Bukan berhasil menariknya untuk keluar hotel, malah tubuhku yang berhasil ia tarik ke pelukannya.

“Aku akan mengantarmu lebih dulu, tuan putri,”ucapnya sambil mengelus pipi kiriku yang berlapis make up, tak seperti biasanya jika sudah bersama EXO. Seungyoon merangkul lenganku dan mengajakku menuju sebuah pintu lift yang sudah tersedia di pojok hall hotel.  

Pintu lift akhirnya terbuka, menyajikan seorang perempuan dengan pakaian minim yang ada di dalamnya. Aku dapat melihat tatapan mata Seungyoon yang fokus pada sebuah objek yang bisa ia lihat dari ketinggian badannya. “Ehem,”aku berdeham dengan sengaja karena insting laki-lakinya yang tak bisa terbendung karena melihat belahan dada perempuan yang berada di depan kami.

Seungyoon mengerjap kaget mengetahui bahwa aku melihat tingkah lakunya sedari tadi, aku hanya menggeleng sambil menatap lurus. Tak lama, pintu lift tersebut terbuka, membawa perempuan berwajah western itu keluar dari dalam lift.

“Sudah, kau cukup antar aku sampai sini saja,”tuturku menahan langkahnya yang akan ikut keluar dari lift. Aku pun segera melengos pergi dari hadapannya menuju kamar yang aku tempati, namun sebuah tarikan berhasil membuat tubuhku berbalik.

“Wae? Kau marah? Mian. Huh?,”ucapnya dengan nada penuh penyesalan. Dengan sekuat tenaga aku melepaskan genggaman tangannya, dan kembali berjalan lurus menuju pintu bernomor 10. “Chagya, jeongmal mianhae. Aku tidak bermaksud melihatnya dengan senagaja,”jelas Seungyoon yang masih tak aku perdulikan.

“O,”aku mengangguk dengan alis terangkat. “Gwenchana, Kang Seungyoon,”ucapku sambil sibuk mencari key card yang aku taruh di dalam tas. “Kau bisa kembali ke bawah dan mengejarnya. Siapa tau kau masih bisa bertemu dengannya,”lanjutku sambil menatapnya dengan kesal, setelah key card berwarna silver itu sudah berada di genggaman tanganku.

Dengan gerakan kesal, aku segera menggesek key card tersebut pada lempengan besi yang tersedia, knop pintu yang akan kuraih segera digapai Seungyoon, tangan kirinya mendorong pintu tersebut dan juga ikut membawaku masuk masuk ke dalam kamar hotel yang aku tempati sendiri karena tarikan dari tangan kanannya. “Ige... mwoya?,”ucapku terbata saat tubuh Seungyoon menghadap tubuhku yang terpojok di tembok, suara pintu tertutup pun terdengar di samping kiriku.

“Apa perlu kubuktikan seberapa besar aku mencintaimu?,“tangan kanan Seungyoon menarik tubuhku lebih dalam masuk ke dalam pelukannya, sebuah kecupan lembut ia sodorkan di atas bibirku yang masih berlapis lypstik berwarna merah terang. Hingga akhirnya berlanjut menjadi ciuman memburu yang membuatku terengah bahkan sulit untuk mengambil nafas.

Bibir Seungyoon yang memerah karena bekas ciuman di bibirku mulai terlihat, diiringi wajahnya yang sudah bisa kugapai karena kami sudah melepaskan ciuman yang berhasil membuat jantungku berdegup sangat kencang. “Boleh aku menginap?,”pinta Seungyoon dengan seringai dari bibirnya.

Ia segera menggedong tubuhku secara bridal setelah mendapati anggukan dari kepalaku. Dengan pakaian lengkap, bahkan sepatu high heels yang belum aku lepas, Seungyoon menghempaskan tubuhku perlahan di atas kasur king size dengan spray berwara abu-abu. Ia segera melepas mantel hitam yang ia kenakan dengan asal, hingga kini tubuhnya hanya berlapis kemeja putih polos di badannya.

Melihat dada bidangnya membuatku tak berhasil menelan ludah dengan sempurna, seakan ada yang menyekat di kerongkonganku. Jemari kekarnya satu-per-satu mulai membuka kancing kemeja bermulai dari leher hingga akhirnya terhenti di dada. Dengan perlahan, tubuh Seungyoon mulai menggerayangi tubuhku dari kaki, hingga akhirnya kami saling berhadapan di atas kasur, “Saranghae,”ucapnya perlahan di  telinga kiriku, sebelum satu-satunya lampu yang menyala di sisi kiri tempat tidur akhirnya padam.

-Hello, manager Kim-

Suara dering ponsel berhasil membangunkanku yang berada dalam pelukan Seungyoon. Untuk beberapa saat aku menatap sosok lelaki yang bahkan masih terpejam dengan pulasnya, senyum simpul pun tercipta tanpa diminta, aku pun memeluknya sekilas kemudian kembali bangkit untuk mencari sumber suara.

Dengan menutup bagian atas tubuhku dengan sehelai kain yang menjadi lapisan spray yang kini tampak berantakan, aku turun dari tempat tidur dan menggapai ponsel milik Seungyoon yang berbunyi di balik kantung mantelnya. “Yoboseyo,”jawabku dengan suara parau sambil terduduk di pinggir kasur.

“Kang Seung yoon?,”suara lelaki di seberang sana seperti tak percaya mendengar suaraku yang mengangkat telepon darinya. Untuk beberapa suara riuh terdengar, namun tidak ada yang terdengar dominan untuk melanjutkan perbincangan.

“Yoboseyo,”ucapku sekali lagi, kali ini suara riuh itu terdengar lebih jelas. aku pun menatap layar ponsel yang menyajikan nama Song Mino.

“O? Kim Shin Neul?,”panggil seorang perempuan yang kuingat suaranya.

“Ne ne. Janeul?,”jawabku setelah berhasil mengingat bahwa suara perempuan ini adalah milik Janeul. Aku mengigit jariku yang berlapis kutek putih di ujungnya, menyadari bahwa Seungyoon semalam tak kembali ke hotelnya.

“Kau bersama Seungyoon?,”tanya Janeul, membuatku menoleh pada lelaki yang masih pulas tertidur.

“Ne,”jawabku singkat karena tak tau apa yang harus aku katakan lagi, diseberang sana terdengar pekikkan seakan tak percaya dengan jawabanku. “Aku akan membangunkannya. Ne, anyeong,”gambar sebuah telepon dengan latar merah segera ku sentuh perlahan, membuat sambungan telepon Mino ke ponsel Seungyoon berakhir.

Aku pun segera meraih handuk kimono yang sudah tersedia di dalam lemari, menutupi tubuh ku yang tanpa busana. “Chagya,”tanganku mulai menggoyang tubuh Seungyoon yang masih terbungkus selimut putih. “Kang Seungyoon,”aku terduduk di samping Seungyoon sambil terus menggoyang-goyangkan tubuhnya.

“Hmmm...,”Seungyoon merenggangkan tubuhnya, menatapku dengan senyum sumringah yang menjadi pemandangan pertamanya di pagi hari. “Ppali ireona, managermu sudah telepon,”aku mengelus rambutnya yang tampak berantakan. Kedua tangan Seungyoon pun melingkar di tubuhku yang terduduk di sebelahnya.

“Morning kisseu,”ia menunjuk bibirnya dan memejamkan mata agar aku mau mengecup bibirnya. Kedua tanganku mengapit pipi Seungyoon, membuat kerucut di dua belah bibirnya dan mengecup singkat bibirnya, namun kecupan singkat itu justru bertahan lama saat tangan Seungyoon yang melingkar di pinggangku mendekap tubuhku untuk tetap berada di atas tubuhnya. “Hanbondeo,”bisiknya di tengah-tengah kegiatannya melumat bibirku.

Tanpa permisi, tangan Seungyoon berhasil mengangkat tubuhku dan berbaring tepat disamping kirinya. “Karena kita tidak tau akan bisa melakukan ini kapan lagi. Kaulah yang pertama dan terakhir untukku,”ucap Seungyoon sebelum akhirnnya selimut yang menutup tubuhnya kini juga menutup tubuhku.

-Hello, Manager Kim-

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK