home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Hello, Manager Kim

Hello, Manager Kim

Share:
Author : larasatityass
Published : 01 Apr 2015, Updated : 31 Mar 2016
Cast : EXO Member | EXO Manager | Kim Shin Neul (OC) | WINNER member | Park Janeul (OC) | Woo Jiho aka Zico
Tags :
Status : Complete
4 Subscribes |26282 Views |11 Loves
Hello, Manager Kim
CHAPTER 14 : This Is For Me, Not Kim Jong In

Udara dingin bulan Januari masih menyelimuti cuaca Korea pagi menjelang siang ini, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat para fans EXO yang sudah tersedia di depan gedung SM Building. Bahkan teriakan para gadis yang memanggil nama-nama member EXO, terdengar sangat riuh saat ke sepuluh member EXO mulai keluar dari mobil.

Entah mengapa aku merasa hari ini fans jauh lebih banyak dibanding biasanya, bahkan hari ini menjadi kali pertama aku merasakan sulit untuk masuk ke dalam SM Building yang bahkan pintu masuknya tak jauh dari tempat parkir.

Dengan langkah minim dan berdesakan, akhirnya kami berhasil masuk ke dalam SM Building, berjalan lebih dalam menuju ruang rekaman untuk memulai merampungkan album kedua EXO yang ku ketahui bernama EXODUS. “Anyeonghasaeyo,”sapa kami, saat memasuki ruang rekaman yang di dalamnya sudah ada tiga pemuda di kursinya masing-masing. Mereka membalas sapaan kami dengan ramah dan memutar kursinya menghadap kepada sepuluh lelaki yang baru saja tiba.

“Hari ini kita akan coba rekam dua lagu untuk album kedua kalian. Mungkin akan mematang waktu lama, bahkan kalian bisa menginap seperti biasa,”jelas seorang lelaki dengan kaos abu-abu polos dan topi yang bertengger di atas kepalanya.

“Ne hyung,”jawab Chanyeol yang terlihat paling semangat untuk melakukan sesi rekaman ini. 13 orang lelaki kini sudah bergerumul seakan membentuk lingkaran tanpa diminta, mereka membahas tentang lagu yang akan direkam sepanjang hari ini, sedangkan aku memilih untuk melipir di pojok ruangan, menikmati keseluruhan proses pembuatan album kedua EXO.

Ruangan bersekat kaca itu kini dihuni Kyungsoo yang tengah melakukan take vocal untuk finishing touch salah satu lagu mereka. Sedangkan member lain sudah berhamburan di atas sofa yang mengeliligi sudut ruangan, menjelajahi dunia mimpi yang baru bisa digapai setelah terjaga semalaman menunggu giliran.

Aku sendiri baru saja bangun dari tidurku yang mungkin hanya bertahan selama dua jam sejak jam 4 pagi tadi. Sebuah gelas gabus melayang di hadapanku, si empunya tangan tersenyum sambil berkata, "Selamat pagi manager Kim,"sapanya dengan wajah cerah, sedangkan aku hanya bisa membalasnya dengan muka bantal.

"Gomawo,"ucapku kepada lelaki yang kini sudah duduk tepat disampingku, menggeser kaki Lay yang berada di sofa kini menjuntai ke bawah. "Hmm, kau tidak tidur semalaman?,"tanyaku setelah menyesap kopi yang ia berikan. Lelaki bernama asli Kim Jongin itu menggeleng dengan mug hitam yang masih menempel dimulutnya. "Kau sudah tidak curiga padaku?,"aku memandang Kai yang menatap lurus pada Kyungsoo di balik kaca tranparan dengan headphone bertengger di kepalanya.

Kai kembali menggeleng kemudian menengok ke arahku yang sudah sadar total karena kopi yang ia berikan. "Memang kata siapa aku curiga padamu?,"alisnya terangkat dengan tawa kecil di akhir kalimat. "Aku hanya terlampau lebih lama beradaptasi denganmu...nunna,"tambahnya, berhasil membuatku membulatkan mata tak percaya dengan panggilan 'nunna' darinya. "Gwiyeomnae,"ucap Kai dengan tawa khasnya saat melihat mimik wajahku yang kaget karena panggilannya tadi. "Lagipula untuk apa aku mengkhawatirkanmu, sedangkan kau sendiri lebih memilih member dari grup lain untuk menjadi pacarmu,"jelasnya kembali memandang lurus ke arah Kyungsoo yang kini tengah melepas headphone dan tersenyum lega. "Ah, lebih tepatnya menjadi mantan kekasihmu," ledeknya dengan ketawa puas, aku pun langsung melayangkan kepalan tangan yang meleset karenan Kai langsung beranjak dari tempat ia duduk.

"Baru kutinggal rekaman saja kalian sudah dekat ya, atau memang seharusnya kalian sengaja ditinggal berdua agar dekat,"ledek Kyungsoo yang baru saja keluar dari ruang rekaman.

“Cepat sekali,”pekikku melihatnya mendekat dan duduk di samping kiriku. “Uri Kyungsoo lelah?,”tanyaku dengan nada manja sambil mengelus kepalanya yang kini bersandar di pundakku. Kepala Kyungsoo mengangguk dan memejamkan matanya.

“Aku juga lelah nunna,”tutur Kai dengan nada manjanya dan juga ikut bersandar di pundak kananku.

“O, tidurlah dulu sambil menunggu Yongmin sunbae datang baru kita pulang. Arrachi~,”kataku dengan lengkingan di akhir kalimat, namun tidak dijawab kedua orang yang tengah bertumpu di kedua pundakku ini.

Guncangan di kedua kakiku berhasil membangunkanku yang tanpa sadar telah tertidur kembali mengikuti jejak sepuluh laki-laki tadi. Kuurungkan niat untuk merenggakan tubuh selepas-lepasnya seteleh melihat dua lelaki yang awalnya bersandar di pundakku, kini sedang tertidur pulas di pahaku.

“Kau baru datang sunbae?,”tanyaku pada Yongmin sunbae yang tadi membangunkanku dengan guncangan dari tangannya. Yongmin sunbae mengangguk sambil membangunkan member lain yang berhamburan di ruang rekaman. “Kim Jongin, Do Kyungsoo. Ireona...,”aku menepuk pelan kedua pipi yang tertidur di atas pahaku. Kedua pasang mata itu terbuka pelan-pelan, berkedip seakan mengembalikan kesadaran mereka. Kyungsoo segera membangkitkan tubuhnya dari posisi meringkuk, begitu juga dengan Kai ikut melakukan hal yang sama dengan Kyungsoo.

Meski dengan gerakan lambat, akhirnya sepuluh lelaki ini siap untuk kembali ke dormitori setelah mereka mendedikasikan dirinya di SM Building kurang lebih 24 jam. Masih sama dengan kemarin pagi, udara dingin menusuk tubuhku saat baru saja keluar dari SM Building, dan pemandangan halaman parkir SM Building yang penuh dengan penggemar juga masih sama menyapa kami seperti kemarin pagi.

“Kai odi?,”tanyaku pada Sehun yang menjadi orang terakhir di barisan, sedangkan Kai belum terlihat di barisan. Dengan bare face dan mata sipit yang berusaha ia tutup dengan masker dan kaca mata hitam, kepalanya mengendik ke dalam gedung.

Kakiku mengikuti endikan kepala Sehun yang mengarah pada sebuah toilet, menunggu kehadiran Kai dari balik pintu berlambang laki-laki. Tak lama, tubuh berbalut jaket tebal berwarna hitam itu muncul, aku pun menggapai tangannya untuk mengajaknya keluar SM Building.

‘Aku tau visual EXO-K ini memang banyak penggemar, tapi apakah harus berdesakan seperti ini?’. Aku terus berusaha menerobos barikade perempuan yang sudah memasang badan dengan ponsel mereka untuk mengabadikan moment ini. Sambil terus berjalan di sebelah Kai dan memegang lengannya dengan kuat agar tak terpisah, kami masih berusaha menerobos 2 meter jalan yang terasa sangat jauh di kala situasi seperti ini.

Diriku mematung di tempat untuk sementara waktu, aku merasakan ada sesuatu yang sangat menyakitkan di perutku. “Nun...na...,”Jongin terkejut dengan tubuhku yang terhuyung di depannya. Aku meringis memegangi perut bagian kananku yang terasa hangat karena ada sesuatu yang mengalir. “Nunna!,”panggilnya dengan jeritan, bahkan aku bisa mendengar suara jeritan para fans. “Nunna!,”tangannya bertumpu pada tanganku yang sedari tadi menahan cairan yang mengalir dari perut sebelah kananku. “Ige Mwoya!,”gertak Jongin yang terdengar samar di telingaku, namun aku bisa merasakan deru nafasnya yang memburu dan kepalanya yang mengedar ke segala arah.

“Shin!,”pada akhirnya ku dengar suara Seunghwan sunbae dari arah belakang mendekati kami, kepala yang tak sengaja kusandarkan di kepala Jongin terasa bergetar karena isakan tangis.

“Ppaliwa hyung!,”teriaknya yang  tak terdengar jelas di telingaku. Satu-per-satu lelaki kesayangku  mulai muncul dengan wajah cemas, hingga akhirnya hanya pemandangan langit yang kulihat, kemudian hitam.

-Hello, Manager Kim-

 Mataku terbuka perlahan, penglihatanku untuk beberapa saat terlihat kabur, aku hanya bisa menatap lampu dan warna putih pekat dihadapanku. ‘Apa aku di surga?,’pekikku sebelum mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang seperti sebuah kamar di rumah sakit. “Ia sudah sadar,”kata seseorang yang ku dengar suaranya dekat denganku. Lelaki dengan baju penuh darah segera mendekat, menyapaku dengan wajah kusut yang tak pernah kulihat sebelumnya, “Nunna? Gwenchana?,”aku menjawabnya dengan anggukan dan senyum simpul, entah mengapa aku terasa berat untuk berucap.

Tak berapa lama sisi kanan dan kiriku dipenuhi dengan wajah-wajah cemas yang kelelahan. Aku tersenyum simpul menatap mereka yang ternyata setia menemaniku. “Shin sudah sadar?,”suara lain yang bukan berasal dari sepuluh lelaki ini membuatku melirik sumber suara, lelaki tinggi semampai itu muncul dengan kedua tangan yang sibuk membawa sesuatu. “Adeul, ini pesanan kalian di minum dulu,”pinta lelaki bernama Seunghwan sunbae itu. mendengar ucapan sang manager, satu-per-satu dari mereka mulai berhamburan dari hadapanku, kecuali Kai. Bocah ini setia memandangku yang masih terus berusaha meringankan tenggorokan untuk bicara.

“Nunna... Mianhae, jeongmal mianhae,”lirih suara Kai diiringi dengan mata yang berkaca-kaca. Mimik tertekan terlihat jelas dari wajahnya, ia merasa bersalah atas apa yang menimpaku. Telapak tangan Kai menggenggam erat guardrill di sisi kiriku, air matanya mengalir tepat di punggung tangannya, sebuah isakan panjang terdengar, ekor mataku pun bisa menangkap para  lelaki yang tengah duduk di sofa depanku menatap asal suara. Meski berat tanganku bergerak menggenggam jemari Kai, mengusap perlahan punggung tangannya yang terlanjur basah air mata.

“Gwen...chana...,”ucapku pada akhirnya, kedua mata Kai otomatis menatapku yang juga menatapnya nanar. “Ini bukan salahmu, Kim Jongin,”tambahku. Seorang lelaki yang tingginya lebih pendek dari Kai hadir di sebelahnya dan mengusap punggung Kai yang naik-turun. “Uljima,”tangan bertanamkan infus mengelus pipi Kai yang basah, menghapus buliran air mata dari wajah lelahnya.

Isakan tangis Kai perlahan mulai mereda, tanganku yang menggantung di atas wajahnya kembali turun dan kembali berbaring di atas kasur. Sudah tak ada lagi air mata yang mengalir dari kedua matanya. “Hyung, aku akan menemani nunna malam ini,”pinta Kai, membuat sosok Seunghwan segera bangkit dari duduknya dan menatap heran ke arah Kai.

“Tidak ada yang menginap, kalian semua pulang sekarang juga,”suara lain terdengar, membuat Seunghwan sunbae yang akan berucap segera mengurungkan niatnya. Manager utama EXO muncul di hadapanku, pria berkacamata itu baru saja masuk ke dalam ruangan. “Seunghwan, kau bisa bawa mereka pulang sekarang,”suruh Youngjun sunbae mengendikkan kepala ke arah pintu. “Aku akan menemani Shin di sini,”tutur Youngjun sunbae sambil meletakkan tas ransel berwarna hitam miliknya di atas sofa. “Yongmin kemana?,”tanya Youngjun sunbae sembari mendekatkan diri padaku.

“O, Yongmin sedang membeli makanan,”jawab Seunghwan, ia terlihat sedang bersiap-siap untuk mengantar anak asuhnya kembali ke dormitori. “Shin,”Seunghwan merangkul Kai yang sedari tadi mematung karena tak bisa melawan ucapan sang manager utama. “Kami pulang dulu,”ia memberantaki rambutku pelan dengan senyum simpul. “Lekas sembuh, agar aku tidak harus mengantar mereka lagi. Haha,”ledek Seunghwan dengan tangan kiri yang menepuk bahuku.

“Hmmm,”Kai menggigit bibir bawahnya, ia terlihat tak ingin beranjak dari tempatnya ia berdiri sekarang. “Nunna mianhe,”kalimat permohonan maaf Kai kembali terdengar. “Aku bukan salah satu dari sepuluh laki-laki yang bisa menjagamu. Aku terlalu naif dengan pikiranku selama ini. Mianhae, jinjja mianhae....”kalimat Kai terhenti saat telunjukku melayang di kedua belah bibirnya.

“Ssshhh,”aku menggelengkan kepala. “Pulanglah Kim Jongin, kau hanya sedang merasa lelah,”ucapku mengendikkan kepala untuk membuatnya pergi. Tubuhnya dengan seketika menghambur di tubuhku yang berbalut seragam pasien, ia memeluk singkat tubuhku.

“Cepat sembuh manager Kim,”ucapnya dengan senyum memaksa dari kedua sudut bibirnya.

Satu-per-satu anggota EXO lainnya mengikuti langkah Kai yang memelukku singkat. Meski berat, lambaian tangan dari ujung tembok yang menghalangi pintu kamar ini mengisyaratkan bahwa mereka akan segera pergi dan meninggalkanku berdua dengan Youngjun sunbae yang masih setia duduk di sebelahku.

Ruangan yang cukup luas untuk satu pasien ini kembali hening, sehingga aku dapat dengan jelas mendengar helaan nafas berat Youngjun sunbae yang duduk terkulai di sampingku. “Waeyo sunbae?,”aku menoleh ke arahnya, tangan kanannya memijat kening yang terlihat tegang.

Suara pintu yang tergeser berhasil membuatku mengurungkan niat untuk kembali mengajaknya berbicara, tubuh manager yang terlihat sangat letih ini beranjak dari kursinya, berjalan menuju sisi tembok penghalang.

“Ne, silahkan,”Youngjun sunbae mengarahkan tangannya ke padaku, ia mempersilahkan seseorang untuk menemui.

“Anyeonghasaeyo nona Kim Shinneul,”sapa lelaki dengan bungkukkan kecil kepadaku, yang langsung kubalas dengan tundukan kepala, meski posisiku sedang terlentang di atas kasur. “Perkenalkan, namaku Ok Taecyeon, aku detektif dari kepolisian Cheongdam-dong. Kedatanganku ke sini terkait insiden penusukan yang kau alami,”ucapnya sebagai langkah perkenalan. Aku pun mengangguk, menyuruhnya untuk melanjutkan maksud dan tujuannya menghampiriku. “Aku membutuhkan informasi terkait kejadian ini, mungkin kau mengingat ada seseorang yang mencurigakan atau hal lain,”kedua tangan detektif ini sudah siap dengan alat pencatat, menunggu untuk menerima jawaban dari pertanyaannya.

 “Saat itu keadaannya sangat ramai, aku tidak bisa memastikan siapa yang menusukku. Kami berdua, aku dan Kai berdesakan di antara fans. Tapi...,”kalimatku terhenti saat teringat akan gambar pesan yang kuterima seminggu yang lalu. “Mungkin kau bisa melacaknya,”detektif pria berjaket kulit berwarna cokelat itu menghentikan aktivitas tangannya yang tengah mencatat. “Seseorang mengirimkanku banyak gambar, dan pada akhirnya ia memintaku memilih antara mati atau meninggalkan EXO secepatnya,”matanya membulat tak percaya dengan apa yang kukatakan.

Flash Back

Aku kembali merebahkan diri setelah memastikan bahwa Baekhyun sudah kembali masuk ke dalam dormitori setelah dirinya tertangkap basah tengah menguping pembicaraanku dengan Woobin oppa. Tangan kananku meraih ponsel yang tak sengaja kutiduri dan meletakkannya di sebuah meja kecil tepat disamping tempat tidurku. Sambil memandang lampu tidur yang mengeluarkan cahaya kuning remang, aku kembali teringat dengan pesan gambar membabi-buta yang tadi aku unduh.

Suara pekikan kecil keluar dari mulutku secara otomatis, aku dapat dengan jelas melihat sosok Lay bersama seorang perempuan yang aku kenal sosoknya. Aku pun memperbesar gambar tersebut, dan pada akhirnya aku dapat memastikan bahwa gadis itu adalah diriku sendiri.

Ya, aku mulai mengingat kejadian ini, foto ini pasti diambil saat aku dan Lay sedang berteduh karena hujan. “Sempurna,”ucapku begitu saja saat melihat moment Lay dan diriku yang saling berpandangan dengan senyum sumringah, ini adalah moment saat kami menyanyikan lagu Officially Missing You bersama.

Belum selesai pada foto yang menampakkan sosoku dengan Lay, aku pun terus menggeser layar ponsel yang masih menyediakan berbagai fotoku dengan beberapa member EXO. Kali ini fotoku bersama Chanyeol yang saling berangkulan, “Ah!,”aku membanting tubuhku keras melihat foto ini. “Pantas saja Youngjun sunbae tau,”terkaku mengingat kejadian ‘sneak out’ yang aku dan member EXO lakukan saat di Hongkong.

“Ige mwoya!,”darahku seakan mendidih semakin lama aku menggeser layar ponselku. Sosokku yang tengah memberikan bungan kepada Sehun saat akan menjenguk Janeul juga tak luput dari orang ini. “O jinjja micheoso!,”pekikku memalingkan wajah tak percaya.

Foto selanjutnya adalah kebersamaanku dengan Tao, dan inilah foto terbanyak yang ia kirimkan. Hampir semua momentku bersama Tao di N Seoul Tower dan caffe di dekat dormitori diabadikan dengan indahnya.

“Kalau ini, aku sudah bisa memastikannya,”pikirku melihat fotoku bersama Minseok saat ia sedang melangsungkan ujian untuk lisensi barista. “Aniya!,”teriakku kecil memandang foto yang berhasil ia ambil saat aku dan Baekhyun memasuki gedung teater untuk menonton drama musikal.

Pada akhirnya pesan tersebut terhenti pada satu gambar yang menampilkan tulisan berwaran merah dengan latar hitam. ‘Hello, manager Kim. Kau pilih mati atau meninggalkan EXO secepatnya’, dengan tangan gemetar dan basah keringat akibat membaca tulisan itu, aku mematikan ponselku, memisahkan baterai ponsel dengan tubuhnya, dan memasukkannya ke dalam laci pada meja kecil di samping tempat tidurku.

End of Flash Back

“Aku bisa melihat pesannya?,”pintanya menadahkan tangan.

“Hmm,”aku mengangguk. “Disana,”aku menunjuk tasku yang tergeletak di atas meja di seberang. “Bisa tolong kau ambilkan,”pintaku kepada detektif Taecyeon. “Igon,” ponsel dengan latar pesan yang kumaksud melayang di genggaman tangan detektif Taecyeon. Untuk beberapa saat ia tampak seksama memerhatikan setiap detail gambar yang tercetak di sana.

Detektif Taecyeon mengangguk, “Kalau begitu ponselmu kami sita sementara untuk penyelidikan lebih lanjut, semoga saja ini bukan berasal dari ponsel sekali pakai, jadi akan memudahkan kami untuk menemukan pelakunya,”jelasnya sambil mengantungi ponsel berwarna emas itu ke dalam saku jaketnya. “Terima kasih atas kerjasamanya Kim Shinneul-ssi, semoga lekas sembuh,”ucap detektif Taecyeon diiringi dengan jabatan tangan singkat kami berdua, dan bungkukan dari tubuhnya dan beberapa anak buahnya yang sedari tadi mendampingi.

-Hello, Manager Kim-

“Shin, ada yang ingin bertemu denganmu,”kata Youngjun sunbae saat memasuki ruang inap yang hanya kutempati sendiri. Kepalaku melongok ke arah tembok yang menghalangi letak pintu.  

“Anyeonghasaeyo,”perempuan berambut sebahu itu menyapaku agak ragu, namun kubalas dengan senyuman dan memintanya untuk mendekat ke arahku yang sudah meretangkan tangan.

“Apakah harus ada peristiwa penusukan dulu agar kita bisa kembali berteman,”ucapku saat ia dengan segera memelukku tanpa basa-basi. Aku bisa merasakan kepalanya yang menggeleng kemudian melepaskan pelukan kami.

“Ani,”ia kembali menggeleng saat wajah kami sudah bertemu, kedua tangannya membasuh air mata yang sudah tergenang di pelupuk mata. “Selamanya, kita berteman Shin,”ucapnya menggenggam jemariku dengan lembut. “Mian,”perempuan itu menunduk. “Atas kata kasarku saat kita di Beijing. Ah...,”ia menadahkan kepalanya dengan tarikan nafas panjang. “Aku tak bermaksud seperti itu,”lanjutnya dengan menatapku mantap. “Ada yang sangat menghawatirkanmu,”perempuan bernama Janeul itu membalikkan tubuhnya, tak lama seorang lelaki yang bahkan harum tubuhnya masih kuingat muncul di balik dinding. “Sepertinya kalian butuh waktu berdua,”Janeul mengelus punggung tanganku yang masih berada di genggamannya, menatapku yakin bahwa sudah tak ada masalah lagi seperti yang ia tuturkan padaku tempo lalu.

Janeul melangkahkan kakinya menjauh dariku, melepaskan genggaman tangannya yang kini sudah beralih pada pundak lelaki seraya menepuk. “Aku tunggu di luar,”ucapJaneul kepada lelaki yang mengiyakan ucapannya dengan anggukan.

Aku menyambutnya dengan senyuman, saat wajah sendu itu menatapku yang tengah duduk berlapis selimut putih menutup kedua kakiku. Harum tubuhnya yang semakin pekat mendekatiku, menempati sebuah kursi kursi yang tersedia tak jauh dari tempatku beristirahat. “Goma...,”ucapan terima kasih yang ingin kuutarakan padanya terhenti ketika kedua tangan yang terasa dingin itu menggenggam jemariku dengan erat. “Kang Seungyoon,”panggilku sambil berusaha melepas genggaman tangannya yang tak berhasil kulepaskan, “Uri...,”satu kata yang muncul dari mulutku berhasil membuat Seungyon menatap wajahku dengan serius, ia menggeleng berusaha menahan lanjutan kalimat yang akan aku tuturkan.

“Aku tidak perduli apa hubungan kita sekarang, yang terpenting aku harus di sampingmu saat ini,”ucapnya sambil merapihkan rambutku yang menutup wajah, menyelipkannya di balik telingaku dan menghentikkan pergerakan tangannya tepat di bagian kiri wajahku. Sebuah setuhan lembut di pipiku membuatnya tersenyum simpul.  “Aku bersyukur keadaanmu tak seburuk yang aku bayangkan,”ia melepaskan tangannya dari wajahku dengan senyum lega. “Aku bahkan tak membayangkan masih bisa mengelus pipimu seperti ini,”lanjutnya dengan mata yang menerawang jauh tentang kematian.

“Aniya, aku sangat beruntung,”jelasku menjawab kegelisahan Seungyoon. “Bahkan luka tusuknya tidak mengenai organ vital,”tambahku. 

“Baguslah,”ujar Seungyoon masih dengan tatapan yang tak lepas dari wajahku. “Ah mian, aku tak sempat membawakan apa-apa saat perjalanan ke sini, aku terlalu khawatir tentang keadaanmu. Kau ingin sesuatu yang ingin dimakan? Aku akan membelikannya untukmu,”ucapnya yang kusambut dengan gelengan. “Chakkaman, aku akan membelikan buah. Ne,”Seungyoon segera meninggalkan ruangan, mengacuhkan gelengan kepalaku.

Menggantikan Seungyoon, kini Youngjun sunbae kembali masuk ke dalam ruang inap. Menatapku tak percaya dengan tamu yang baru saja menemaniku di sini. “Jadi benar kalian ada hubungan?,”aku mengerutkan dahiku mendengar ucapannya seakan tau apa yang terjadi denganku dan Seungyoon. “Tidak usah kau tutupi Shin-ah,”mata Youngjun sunbae yang terhalang kacamata itu berbinar, mengikuti air wajahnya yang meledek. “Aku tau, kalau kalian mencuri waktu saat menemani Kyungsoo dan Kai menonton film, kan?,”ia semakin mendekat, menepuk bahuku dan berkata bahwa tak usah menjelaskan tentang yang sebenarnya terjadi. “Kau tidak perlu memikirkan bagaimana aku bisa mengetahuinya, yang paling penting sekarang adalah kesehatanmu,”lanjut Youngjun sunbae dengan kembalinya senyum ramah yang sudah lama tak ku lihat.

Suara pintu yang terbuka kembali terdengar, kami berdua menoleh ke arah asal suara menunggu sosok siapa yang akan kembali masuk. “Manager Youngjun, apa aku boleh bicara?,”pinta Janeul meminta Youngjun sunbae untuk ikut dengannya keluar ruangan. Youngjun sunbae pun mengangguk, mengikuti langkah Janeul yang  sudah tak terlihat di pelupuk mataku.

Tak berapa lama, Youngjun sunbae kembali masuk ke dalam ruangan. Tubuhnya berjalan ke arah sofa yang menempatkan sebuah rasel miliknya di sana. Tangannya meraih ransel tersebut, menenggerkannya di kedua bahu yang selalu tampak tegar meski lelah sangat terlihat di wajahnya. “Kau bisa kutinggal kan? Aku ada rapat dengan staff SM lainnya terkait comeback EXO,”ucap Youngjn sunbae sambil mendekat ke arahku.

“O, gwenchana,”jawabku diikuti anggukan. Youngjun sunbae pun mendekat dan mengacak rambutku pelan.

“Mianhae, atas segala perlakuan kasarku padamu sebelumnya,”ia memandangku dengan perasaan bersalah. “Aku tau, kau hanya ingin berbuat baik untuk sepuluh anak itu. Jeongmal mianhae,”Youngjun sunbae memegang kedua bahuku. Aku hanya menggeleng menanggapi pernyataannya.

“Gwencaseubnida sunbae, justru aku yang harusnya minta maaf karena membuat banyak masalah karena menuruti keinginan mereka,”terangku yang membuatnya juga menggeleng. “Kka,”perintahku. “Kau harus kembali membuat comeback mereka mendapatkan banyak penghargaan lagi,”ujarku ditutup dengan senyum.

“Ani,”ia melepas genggaman tangannya di kedua bahuku. “Kita yang akan membawa mereka sukses di comeback kali ini, Shin,”ucapnya berhasil membuat mataku berkaca-kaca. “Baiklah, aku harus kembali merajut kesuksesan sepuluh anak ini. Jaga dirimu, ne,”Youngjun sunbea melambaikan tangannya seraya berpamitan, aku pun turut membalasnya dengan lambaian kecil.

Tak lama setelah kepergian Youngjun, Janeul dan Seungyoon kembali hadir di hadapanku dengan satu parsel buah di genggaman Janeul dan satu bucekt bunga mawar putih di genggaman Seungyoon.

“Shin, mian. Aku harus segera kembali, masih ada yang harus kukerjakan untuk persiapan WWIC di Seoul lusa nanti,”ujar Janeul sambil menaruh satu parsel buah itu di atas meja yang bersebelahan dengan kasurku. “Seungyoon...,”Janeul menatap Seungyoon yang juga menatapnya. “Ia akan menemanimu di sini,”ia menatapku yang akan segera berargumen, namun bibirku yang akan bergerak segera ditimpalnya. “Tenang saja, Youngjun sunbae sudah mengizinkannya,”Janeul menepuk pundak Seungyoon yang jauh lebih tinggi.

“Gaeurona...,”aku mengangguk sambil mengelus tengkuk leherku karena canggung. “Bukannya Seungyoon butuh istirahat untuk konsernya?,”aku menatap Janeul agar tidak mengikuti keinginan sang anak asuh.

“Aku sudah istirahat sangat cukup, cha...,”ia menahan kata terakhir yang akan terdengar seperti kata ‘chagya’ itu. “...Shin,”lanjutnya.

“Geurom, aku tidak bisa lama-lama,”Janeul segera memeluk singkat tubuhku singkat. “Perbaiki apa yang perlu diperbaiki dari kesalahnku, mianhae,”ucapnya berbisik di sela pelukan singkat itu. “Seungyoon-ssi, tolong jaga perempuan ini dengan baik ya, jika tidak kau akan berurusan dengan sepuluh laki-laki, sedang kita hanya punya lima,”Janeul menghentikkan kalimatnya. “Salah satunya semi laki-laki,”koreksinya, mungkin mengingat Taehyun, member yang masih ‘perang dingin’ dengannya. “Arraseo?,”pamit Janeul seraya meledek sang leader dari grup asuhannya. “Anyeong,”Janeul melambaikan tangannku ke arahku dan Seungyoon sebelum menghilang.

Ruangan ini kembali sunyi setelah kepergian Janeul, padahal ada dua insan manusia yang dulu mengaku saling mencintai atau sebenernya masih saling mencintai tapi terpaksa harus terpisah. “Kau ingin tidur?,”ucap Seungyoon pada akhirnya dan mendekat ke arahku, meletakkan se-bucket bunga mawar putih itu tepat di samping parsel buah.

“Gomawo,”aku menatap tumpukan bunga dan Seungyoon bergantian. “Kau harusnya tidak perlu repot-repot untuk membelikan itu semua, aku sudah banyak mendapatkannya di sini,”unjukku dengan endikkan kepala ke arah meja di seberangku yang sudah penuh dengan berbagai benda dari sepuluh lelaki EXO.

“Ah mian,”ia menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. “Aku lupa kau sudah punya sepuluh lelaki yang sangat istimewa untukmu,”ucapnya dengan tawa kecil di ujung kalimat.

“Ne,”aku mengangguk dengan senyum simpul. “Tapi aku melepas satu yang paling berharga,”pandangannya langsung tertuju padaku setelah aku selesai mengatakan hal tersebut. Tak ingin menimbulkan banyak pertanyan dari mulutnya yang terlihat akan segera melontarkan kata-kata, aku memintanya untuk membantuku kembali merebahkan diri di kasur. “Bisa bantu aku,”pintaku yang ingin kembali ke posisi tidur, namun akan sulit jika kulakukan sendiri karena masih terasa sakit di bagian perut kananku.

Kedua tangan kekarnya menyambut tubuhku dengan posisi seperti menggendong bridal, menarik tubuhku perlahan hingga akhirnya terbaring sempurna di atas kasur. “Gomawo,”ucapku setelah kedua tangannya membentulkan letak kepalaku di atas bantal.

Seungyoon kembali menempati kursi yang sebelumnya ia tempati, tangannya menggengam jemari kiriku yang bebas dari infus, membuatku menoleh ke arahnya yang tengah menopang dagu menatapku.

Tangannya yang menopang dagu itu terlepas saat ia sadar aku menatapnya bingung, “Aku akan menyanyikan sebuah lagu, agar kau bisa tidur. Mau dengar?,”Seungyoon menawarkan diri, aku mengangguk pelan menjawab keinginannya.

“When the rain is blowing in your face, and the whole world is on your case, I could offer you a warm embrace to make you feel my love,”suara serak Seungyoon berhasil membuatku memandang sepasang matanya yang lekat menatapku dengan lantunan lagu To Make You Feel My Love. “When the evening shadows and the stars appear, and there is no one there to dry your tears, I could hold you for a million years, to make you feel my love,”tangan kanannya yang tadi menggengam jemariku, kini sudah berpindah mengelus lembut pipiku yang memanas karena menahan air mata. “I know you haven't made your mind up yet, but I will never do you wrong. I've known it from the moment that we met, no doubt in my mind where you belong,”makin lama ia menyanyikan lagu ini, aku makin merasa sesak di dadaku, ia seakan bercerita sendiri kepadaku tentang kisah cintanya yang kandas kepada mantan kekasihnya, ya aku sendiri. “I could make you happy, make your dreams come true. Nothing that I wouldn't do. Go to the ends of the Earth for you, to make you feel my love. To make you feel my love...,”matanya terpejam pada akhir kalimat. Helaan nafas ringan keluar dari mulutnya, kemudian mata itu kembali terbuka, menatap mataku yang berkaca-kaca. “Jalja... Kim Shinneul,”tuturnya dengan kecupan singkat di keningku.

-Hello, Manager Kim-

Cahaya pekat menghantar mataku yang tertutup rapat kini mulai terbuka perlahan, wajah seseorang yang bermalam di sini menyapaku dengan senyum terbaiknya, “Jadi ini yang dirasakan orang-orang saat melihat orang yang mereka cintai membuka mata di pagi hari,”ucap Seungyoon tanpa mengalihkan padangan mata padaku, sedang aku menatapnya tak percaya pada wajah yang terbaring di kasur.

“Sudahlah Kang Seungyoon,”aku menggeleng berusaha tak membahas apa yang ia katakan tadi, dan berusaha duduk di atas kasur tanpa bantuannya, namun tangannya dengan sigap membenarkan letak bantalku agar tubuhku dapat nyaman bersandar di ujung kasur.

Ia bertahan di hadapanku yang sudah terduduk, seraya mengunci pergerakan tubuhku dengan kedua tangan yang mengapit tubuhku. “Ayo kita mulai dari awal. Aku akan membenarkan apa yang salah dariku dan menjagamu semampu yang aku bisa,”ucapannya berhasil membuatku berpikir untuk kembali merajut kasih dengannya.

Goyangan kecil dari kepalaku yang naik-turun pun menyibakkan senyum dari kedua ujung bibirnya, bibir yang semakin mendekat ke arah bibirku. Hembusan nafasnya semakin lama semakin terasa menghantam wajahku, hingga akhirnya terhenti saat terdengar suara pintu yang tergeser. Ia dengan cepat memundurkan tubuhya dan berdiri tegap membelakangiku, menanti seseorang yang akan masuk.  

“Shin-ah,”suara tak asing itu terdengar sangat khawatir. Sambil melepas kedua sarung tangannya seorang wanita paruh baya dengan baju terusan selutut berwarna navy blue dan mantel berwarna putih itu akhirnya menemukan sosok yang menyambutnya dengan senyuman. “Mani appo?,”wanita yang melahirkanku itu mendekat ke arahku, namun langkahnya sejenak terhenti melihat sosok yang berdiri bersampingan denganku. “Woo Jiho?,”ia menunjuk Seungyoon yang dianggapnya sebagai mantan kekasihku.

Aku menggeleng dengan tawa kecil, mengingat bahwa Jiho dan Seungyoon memang terlihat sangat mirip. “Aigooo,”omma, begitu panggilanku untuk wanita ini menepuk tangannya karena berhasil mengingat sesuatu. “Mianhae, huh?,”ia menepuk kedua pipi Seunyoon dengan lembut. “Aku sering melihatmu di televisi. Winner? Ne?,”ucap omma pada Seungyoon yang langsung ditanggapinya dengan anggukan.

“Kang Seungyoon imnida,”kata Seungyoon memperkenalkan diri, dengan bungkukan tubuh yang sempurna di hadapan ibuku. “Aku kekasihnya Kim Shinneul, omonim,”lanjutnya tanpa melihat bahwa seorang pria paruh baya baru masuk ke dalam ruanganku.

“Oh, kekasih Kim Shinneul,”sapa pria paruh baya dengan setelah abu-abu yang membalut dengan sempurna tubuh tinggi besarnya. Pria yang kusebut appa itu mendekat ke arah Seungyoon dan menepuk lengannya. “Idol?,”ia menatap Seungyoon sekilas sambil duduk di kursi yang tersedia di depan Seungyoon.

“Ne, abonim,”jawab Seungyoon terbata sambil menatapku yang mengendikkan kedua bahu karena tak tau apa yang harus ia jawab. Ayahku mengangguk tanpa menatap Seungyoon yang terkaku karena kedatangan kedua orangtuaku.

“Omonim, silahkan duduk,”Seungyoon menarik sebuah kursi agar bersebelahan dengan ayahku. “Chakkamn ne, aku akan membawa kalian kopi,”pamit Seungyoon yang disambut anggukan oleh ibuku, membuatnya segera keluar ruangan.

Aku menatap kedua orang yang sudah membesarkanku ini, tersenyum ramah kepada mereka yang terlihat sangat khawatir dengan keadaanku. “Aku baik-baik saja,”jelasku kepada omma yang kini memegang dengan lembut kedua tanganku.

“Ehem,”appa berdeham, siap melontakan banyak pertanyaan atau wejangan yang sepertinya akan terdengar membosankan bagiku. “Siapa dia?,”tanya appa mengingat sosok Seungyoon yang kini sudah tak ada.

“Kang Seungyoon, Kang Seungyoon, aigoo. Kau tidak dengar saat ia memperkenalkan diri,”jawab omma sebelum aku menjawabnya, aku hanya tertawa kecil mendengar celetukan omma yang mengomeli appa. “YG entertainment,”tambah omma membuat appa mengangguk-anggukan kepalanya.

“Sudah berapa lama?,”appa menatapku seakan ingin menguliti tentang lelaki yang baru kupacari bahkan belum terhitung satu bulan.

Aku mengendikkan kedua bahuku. “Molla,”aku merengek. “Kalian mau menjengukku atau malah menanyakan tentang siapa laki-laki tadi. Huh?,”suara tawa garing appa justru kini menggema, diikuti omma yang ikut tertawa.

Di sela tawa mereka, pintu yang selalu memberi ‘kode’ saat terbuka itu mulai terdengar, membuat omma dan appa menghentikan tawanya dan menunggu sosok yang datang. ‘Mungkin Seungyoon’, pikirku saat belum ada tanda-tanda seseorang yang terlihat, omma yang terkenal dengan ketidaksabarannya beranjak dari tempat duduk dan mendekati arah suara. “Ommo...,”pekik omma sambil menutup mulutnya karena kaget. “Uri adeul, kau bertugas di sini sekarang,”kumiringkan tubuhku untuk dapat melihat sosok siapa yang begitu mengejutkan bagi omma, namun tak juga dapat ku raih hingga akhirnya...

“Woo Jiho,”panggil appa pada lelaki dengan jas dokter dan stetoskop yang melingkar di lehernya. Sedang aku memilih mengalihkan pandangan ke arah jendela yang sudah tak tertutup gorden itu. “Orenmanhae Jiho,”suara garing apa yang menyambut hangat Jiho mengusik pendengaranku, membuatku hanya mendengus kesal.

“Anyeonghasaeyo, Kim Shinneul-ssi,”sapa Jiho, yang ku jawab dengan anggukan tanpa menoleh ke arah suara. “Aku akan melakukan pemeriksaan pagi, boleh minta waktumu sebentar,”lanjut Jiho dengan tubuh yang dapat kurasa semakin mendekat. “Kim Shinneul-ssi, aku harus melihat lukamu. Kau bisa merebahkan diri sebentar?,”pintanya, membuatku menatap Jiho dengan mata bulat tak percaya.

“Memang kau siapa? Dokterku?,”tanyaku menatapnya sinis, membuat omma memukul lenganku karena kata-kata sinis yang aku ucapkan untuknya. Jiho mengangguk, memberi tab yang ia pegang sedari tadi kepada seorang suster di sebelahnya.

“Aku dokter yang merawat lukamu. Aku yang mengoperasi luka dengan 13 jahitan di perut sebelah kanan yang hampir mengenai organ vitalmu,”jelasnya sambil memerintahku untuk berbaring di atas ranjang.

“Daebak,”aku menatap sinis omma yang bersorak bangga. “Berarti ada karya masterpiece dari dokter Woo Jiho di tubuhmu, Shin-ah,”lanjut omma membuatku menghela nafas berat.

“Bantu aku,”pintaku kepada Jiho, mendengar perintah dari sang mantan kekasih, Jiho membantu tubuhku kembali berbaring.

“Mian, terlalu lama,”sapa Seungyoon membuat kami yang berada di ruangan segera menoleh ke arahnya yang tengah menjinjing dua gabus kopi yang terkait di keranjang kertas. Aku menepuk keras tangan Jiho untuk segera menyingkir dari tubuhku yang sempat ia bantu untuk kembali berbaring.

“Oh ne, gwenchana adeul,”omma segera meraih kedua gelas gabus itu dan memberikan salah satunya kepada ayahku yang sudah beranjak dari tempat duduknya dan mengaitkan kembali satu kancing jas berwarna abu-abu yang tadi sempat ia buka.

“Pemeriksaan?,”tanya Seungyoon mendekat ke sisi kosong di sebelah kananku.

“Suster, bisa bantu aku membuka perban aggasi ini,”pinta Jihoo yang langsung ditanggapi anggukan dan menyibakkan sedikit bajuku ke atas, memperlihatkan perban putih yang membungkus luka tusukan di bagian kanan perukut, sehingga Jiho pun beranjak dari sisi kiriku, berdiri di sebelah Seungyoon yang kini tersudut ke tembok karena kehadiran Jihoo.

Dengan cekatan sang suster membuka perban tersebut, memperlihatkan bekas jahitan yang masih tampak basah. “Mian, aku akan memeriksanya sebentar,”tangan Jihoo menyentuh sisi luka yang tak terjahit, menghasilkan suara meringis dari mulutku.

“Appo?,”tanya Seungyoon yang secara otomatis mengusap pucuk kepalaku, membuat tatapan sekilas dari mata Jihoo akan tangan yang menggerayang di kepalaku.

“Berapa nilai dari rasa sakit ini jika ku tekan?,”tangan Jiho menekan perlahan perutku.

“Appo... appo,”aku menahan tangan Jiho yang tekanan tangan di perutku semakin mengendur. “Delapan, mani appo...,”jawabku ditanggapi anggukan dari kepala Jiho dan meminta sang suster untuk kembali menutup lukaku.

 “Kau harus bedrest di rumah sakit kurang lebih tiga hari. Dan selama lukamu belum kering sepenuhnya, kau tidak dianjurkan untuk berpergian jauh dan mendapatkan guncangan di tubuhmu terutama bagian ini,”Jiho menatapku setelah selesai memaparkan penjelasannya. “Jaga dirimu baik-baik, semoga lekas pulih,”tutup Jiho dengan bungkukkan kecil dan salam layaknya dokter kebanyakan. “Abonim, omonim, aku pamit dulu,”ujar Jiho mengundurkan diri kepada dua orang yang sudah ia kenal betul sebelumnya. Appa dan omma mengantar kepergian Jiho, hingga hanya ada aku dan Seungyoon di dalam kamar.

Seungyoon mengendikkan kepalanya pada sosok yang sudah tak terlihat, seakan bertanya tentang siapa lelaki yang pamit kepada omma dan appa dengan panggilan omonim dan abonim, lalu mengantar kepergian sang dokter dengan rangkulan hangat dari appa. Aku yang tak mau membahas masa lalu itu, hanya menggeleng dan mengendikkan bahu, memutar boa mataku seakan tak melihat tatapan matanya yang menunggu.

Seungyoon merogoh kantung celana yang mengeluarkan suara deringan ponsel, ia mengangkat panggilan tersebut dan menjawabnya dengan singkat. Tak lama, omma dan appa kembali dengan senyum merekah.

“Jeosunghamnida omonim, abonim, aku harus segera pamit, manager ku sudah menungguku di bawah,”ujar Seungyoon kepada kedua orang tuaku yang tampak tak masalah dengan izinnya.

“Ne ne, kami juga hanya berkunjung sebentar. Kita bisa pergi bersama,”ajak ibuku seraya mendekat kearahku dan mengecup pucuk kepalaku singkat. “Jaga dirimu baik-baik ne uri aegi. Saranghae,”tutupnya, diikuti elusan di bahuku dari appa. “Kami tunggu di luar ya Seungyoon-ssi,”jelas ibuku sambil mendorong appa untuk pergi terlebih dulu, akupun melambai ke arah mereka yang menjauh.

Setelah ia memastikan ayah dan ibuku keluar ruangan, Seungyoon mendekatiku dengan coat panjang berwarna hitam yang sudah bertengger di tubuhnya. “Kau masih berhutang penjelasan tentang dokter tadi,”ujarnya dengan tatapan hardik, namun segera berubah saat kecupkan singkat di keningku mendarat dan kembali mendapati wajahnya. “Kabarkan aku tentang kondisimu. Ne? “Saranghae,”tutupnya sambil mengelus pipiku sebagai salam perpisahan sementara.

-Hello, Manager Kim-

“Nunna,”panggil seseorang saat aku baru saja selesai membubuhkan tiga tanda tangan di meja receptionist. Ucapan ‘terima kasih’ pun dilayangkan suster penjaga setelah aku mengembalikan berkas administrasi karena pemulanganku hari ini dari rumah sakit. “Odiga nunna? Kau sudah mau pulang?,”lanjut Kai yang melihat sosokku sudah dalam balutan baju normal biasa.

“Hmmm,”aku mengangguk, mengiyakan jawaban Kai dan menghadap ke arahnya yang berada di sebelah kiriku. “Aku sudah bosan di rumah sakit,”lanjutku sambil mengambil dompet yang berada di meja recepsionist dan memasukkannya ke dalam tas yang talinya sudah kutenggerkan di bahu kananku. “Kau sudah makan?,”aku melangkahkah kaki diikuti Kai yang menyamakan langkahku.

“Hmmm,”angguk Kai memegangi kedua tali tasnya. “Kyungsoo hyung membuatkan dakjuk untukmu,”Kai menghentikkan langkahnya, menarik tas ransel yang berada dipunggungnya kini berada di depan tubuhnya. Tangan kanannya membuka resleting dari tas berwarna hitam itu, sedangkan tangan satunya mengeluarkan sebuah kotak yang dibungkus kain berwarna merah. “Igon,”ia menyerahkan kotak tersebut sembari mengembalikan posisi tasnya ke belakang punggung.

“Gomawo,”tangan kananku segera menyambar kotak tersebut, masih bisa aku rasakan dakjuk ini baru saja dibuat, karena terasa hangat dari kotaknya. “Kau dengan siapa ke sini? Apa sudah izin Youngjun sunbae?,”tanyaku saat kami sudah sampai di depan lift, menunggu kedatangan kapsul kubus ini sampai di lantai yang kami pijak saat ini.

“Aku sendiri nunna, membawa mobil. Youngjun sunbae tau,”jelas Kai yang masih terdengar nada canggung dari kalimatnya. “Kau pulang sendiri? Tidak ada yang menjemputmu?”dentingan pintu lift mengiterupsi jawaban yang akan aku berikan kepada Kai.

“Aku sudah dijemput, mereka ada di bawah. Apa kau tidak aneh bahwa aku hanya membawa tas kecil ini di hari kepulanganku?,”jelasku setelah kami berada di dalam lift. Kai mengangguk sambil mengusap tengkuk lehernya dengan senyum canggung. “Ya. Jangan memasang wajah seperti itu,”tunjukku pada Kai dengan dahi mengerut. “Kita harus lebih dekat sekarang,”tambahku seraya menarik Kai ke rangkulanku, membuatnya tertawa singkat.

Dentingan lift berkumandang, tapi bukan lantai yang kami tuju, melihat layar di atas pintu lift menunjukkan angka 2. “Ne, sunbaenim,”seorang lelaki dengan jas dokternya memasuki lift yang hanya dihuni kami berdua. Rangkulan yang awalnya aku ciptakan sendiri di lengan Kai, perlahan mengendur. Lelaki di depanku membalikkan tubuhnya yang awalnya menghadap aku dan Kai, menjadi menghadap pintu lift. “Ani, gwenchaseubnida sunbaenim. Aku akan ada operasi besar pukul satu siang nanti, tidak masalah jika hanya melakukan operasi usus buntu sekarang. Tidak memakan banyak waktu. Ne sunbaenim,”telapak tangan yang sedari tadi mendekatkan ponsel di telinga kanannya kini mengantunginya di saku jas berwarna putih itu.

“Kau sudah mau pulang Kim Shin Neul-ssi?,”tanya lelaki ini tanpa menatapku yang berada di belakangnya.

“Ye?,”tanyaku untuk mengulang pertanyaannya, atau lebih tepatnya membiarkan dokter ini untuk bertanya dengan tata cara yang benar. Tubuhnya berbalik, matanya menatap dua bola mataku yang kini membulat. Suara dentingan lift berhasil menahan kalimatnya yang sudah diujung lidah, membuatku menundukkan sedikit tubuhku dan berlalu dari hadapannya.

“Chakkaman,”langkahku terhenti. Kai yang berjalan sejajar denganku pun ikut menghentikan langkahnya. Kami berdua bebalik, ID card bertuliskan Woo Jiho itu berhasil menahan langkahku yang baru saja keluar lift. “Hmmm,”ia melepas jeratan tangannya dari pergelangan tanganku. “Jangan lupa pemeriksaanmu agassi. Aku hanya mengingatkan,”lanjut Jihoo dengan nada bicara canggung. “Geurom. Aku permisi,”Jihoo berjalan cepat ke arah lain.

Kai memandangku dengan tatapan menggoda. “Ya! Nunna... kau jangan nakal,”senggol Kai berhasil membuatku terhuyung ke kanan. “Sepertinya dia menyukaimu,”rangkul Kai seraya berjalan menuju pintu keluar rumah sakit yang berlapis kaca.

Keluar dari rumah sakit, seorang pria berjas hitam menyambutku sambil membukakan pintu sebuah mobil berwarna putih.  Tak menghiraukannya, aku pun berjalan menggandeng lengan Kai yang mengangap bahwa orang tersebut membukakan pintu mobilnya untukku. “Ah sepertinya sepupuku sudah berangkat duluan. Aku bisa menumpang denganmu?,”Kai mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya menuju mobil yang ia parkir di halaman terbuka rumah sakit Wooridul Spine.

“Aku tidak tahu jika kau punya mobil,”ujarku saat kami sudah berada di dalam mobil. Kai tersenyum meperlihatkan deretan gigi putihnya sambil men-starter mobil sedan berwarna hitam ini.

“Ada. hanya saja jarang kupakai karena aku tinggal di rumah orangtuaku,”jelas Kai dengan tatapan mata yang fokus pada pantulan kaca spion kanan dan kiri untuk keluar dari jejeran mobil. “Dimana rumahmu?,”tanya Kai setelah mobil yang ia kendarai berada di luar deretan mobil. Kedua tangannya memutar setir sehingga berhasil membawanya menuju gate-out rumah sakit yang berada di daerah Gangnam ini.

“Hannam-dong. Kau bisa mengantarku ke sana,”jawabku yang diikuti dengan gerakan tangan kanan Kai pada sebuah layar mini di tengah dashbourdnya. Suara arahan dari operator dari alat GPS tersebut pun mulai terdengar, mengarahkan kami ke kawasan Hannam-dong.

“Bukankah di sana banyak artis yang tinggal?,”terka Kai mengingat deretan artis yang sepertinya pernah dia dengar namanya mempunyai rumah di kawasan itu. Aku hanya mengangkat kedua bahuku untuk menjawab perntanyaanya. “Jika kau masih lelah, tidurlah dulu. Sepertinya akan sedikit macet menuju ke sana,”ucap Kai melihat garis merah pada jalur yang akan kami lalui.

“Gwenchana. Aku lelah terus berbaring di kasur selama tiga hari,”jelasku menatap lurus ke arah jalan yang memang sudah terlihat kepadatan. “Bagaimana dengan persiapan album kalian?,”kepalaku menengok ke arah Kai yang baru saja menaikkan rem tangan yang berada di sebelah kanannya. “Mian, karena tidak bisa menemani kalian. Aku akan mengambil cuti panjang sepertinya hingga menghabiskan bulan Februari,”jelasku dengan tubuh yang bersandar nyaman di jok mobil, namun masih setia menatap Kai yang kini juga menoleh menyimak penjelasanku.

“Gwenchana nunna,”jawab singkat Kai menurunkan rem tangan yang tadi terangkat, dan kembali melajukan mobilnya. “Kesehatanmu lebih utama sekarang,”ucapnya sembari memutar stir mobil ke kanan. “Karena usai cuti panjangmu, kau akan sangat sibuk nunna. Bahkan lebih sibuk daripada kami,”jelas Kai yang sudah berpengalaman selama tiga tahun di industri hiburan.

“Arraseo. Kalau begitu aku tidak akan menyia-nyiakan cutiku,”tukasku kembali menatap lurus jalanan siang hari Seoul. “Kai-ya, kau bisa belok kiri di depan sana,”pintaku setelah baru saja melewati rumah besar yang tengah di renovasi.

“O?,”Kai menatap jauh pantulan rumah tersebut dari kaca spion kirinya. “T.O.P sunbaenim. Itu bukankah rumah T.O.P, nunna?,”aku membalikkan tubuh kembali menatap rumah yang kabarnya seharga 3 buah mobil mewah itu.

“Molla, aku jarang pulang ke sini. Hampir dua tahun aku tak pulang ke sini,”jawabku kembali ke posisi duduk semula. “Geuman...,”aku menjerat lengan Kai, membuatnya segera menginjak rem mendadak sehingga tubuh kami terhentak ke depan cukup keras. “Mian mengagetkanmu,”ucapku sambil membereskan letak rambut yang berhambur ke wajahku. “Chakkaman.”

Rumah berlantai dua itu sudah terlihat, aku dengan cepat mengambil ponsel yang berada di dalam tas. “Ahjussi, bisa kau bukakan pintu? Aku sudah sampai di depan rumah dengan seorang teman,”jelasku dan langsung menutup sambungan telepon setelah mendengar balasan ‘ne’ dari mulutnya. “Kau bisa langsung belok kiri di depan,”pintaku pada Kai yang mengiyakan perintahku.

Sebuah pemandangan halaman yang luas mulai terlihat saat mobil Kai mulai berbelok ke kiri, lama kelamaan semakin nyata saat mobilnya sudah masuk ke dalam halaman dengan taman berukuran setengh lapangan bola di tengahnya. “Neo...jib?,”Kai mematung sesaat setelah menghentikan mobilnya tepat di depan pintu rumah.

“Ani. Uri bumonim jib,”ujarku dengan senyum singkat dan keluar dari mobil Kai. 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK