home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Hello, Manager Kim

Hello, Manager Kim

Share:
Author : larasatityass
Published : 01 Apr 2015, Updated : 31 Mar 2016
Cast : EXO Member | EXO Manager | Kim Shin Neul (OC) | WINNER member | Park Janeul (OC) | Woo Jiho aka Zico
Tags :
Status : Complete
4 Subscribes |26282 Views |11 Loves
Hello, Manager Kim
CHAPTER 12 : I Need Kim Minseok Shoulder To Cry On

“Ige mwoya?,”aku masih bisa mendengar suara Minseok meski alam sadarku tak sepenuhnya sadar, tubuhku pasrah berbaring di atas meja yang penuh dengan botol soju yang habis kutenggak sendiri. “Shin-ah, ayo bangun,”ia menarik tubuhku yang terkulai, membopongku menjauh dari tempat pelampiasanku akan kesedihan yang coba kupendam sendiri. “Ku kira kau dengan Seungyoon,”ujarnya, membuat tetesan air mata mulai mengalir di pipiku. “Uljima...,”tubuhnya yang menopang tubuhku di sisi kanannya terhenti, menatapku yang terisak tanpa sepatah katapun.  “O, Kyungsoo,”Minseok memanggil sebuah nama dari ponselnya. “Kau bisa buatkan Hae Jang Guk? Managermu sangat mabuk,”jelasnya membutku dengan sekuat tenaga meraih ponsel yang masih menempel di telinga kirinya. “Chakkaman,”Minseok menepis tanganku yang memang sudah tak bertenaga. “Ne, gomawo,”Minseok mengakhiri percakapanya. “Kau tidak boleh begini Shin,”ia segera menopang tubuhku di punggungnya, membawaku yang meracau tak jelas, bahkan aku seakan tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri.

Aku dapat merasakan tubuhku terhempas di atas tempat tidurku yang menyajikan langit-langit berbintang, justru pemandangan itu membuat kepalaku pusing dan mendorong sesuatu dari perutku untuk dikeluarkan. Dengan langkah gontai, aku segera berjalan menuju kamar mandi, menundukkan kepala di atas closet, membiarkan isi di dalam perutku keluar.

Sebuah tangan mengelus punggungku yang naik-turun karena belum tuntas juga penderitaanku setelah minum soju yang tak aku hitung berapa botol. Benda tipis berwarna putih melayang dihadapanku, tangan Minseok menyeka mulutku tanpa merasa jijik. “Bangunlah,”tubuh kecilnya kembali menopang tubuhku setelah menekan tombol flush, ia membawaku kembali ke dalam ruangan, membiarkanku terduduk di atas sofa dengan sebuah hidangan Hae Jang Guk yang entah sejak kapan sudah ada di meja.

“Mianhae oppa, telah merepotkanmu untuk menjemputku,”ucapku saat melihat Minseok sudah duduk di sebelahku. Ia menggeleng dengan senyum sumringahnya seperti biasa. “Gomawo,”lanjutku tanpa menatapnya.

“Kau kenapa Shin?,”tangan Minseok menarik wajahku agar bisa ia raih. “Malhae,”pintanya dengan tatapan serius namun tidak menghardik. “Aku tidak bisa melihat adikku seperti ini?,”aku menggeleng seraya menjawab pertanyaannya.

“Sudah berakhir oppa,”mataku berkaca-kaca seketika mengatakan hal tersebut, dadaku terasa sesak memikirkan telah membuat seorang lelaki menangis dan memilih untuk meninggalkannya begitu saja. Kedua tangan Minseok menangkup wajahku, menghapus perlahan air mata yang terus mengalir.

“Kau perempuan tangguh Shin, jangan seperti ini,”ia menatapku lekat-lekat. “Jangan membuatmu lebih menderita dengan membawa beban satu laki-laki lagi,”tangisku menjadi, mendengar ucapannya, tubuh hangat Minseok memelukku. “Aku akan menjaga adikku ini, meskipun aku adalah artisnya,”tangan halus Minseok terus membelai rambutku yang berantakan. “Uljima. Huh?,”ia kembali menangkup wajahku yang sudah penuh dengan air mata. “Istirahatlah, aku akan bermalam di sini,”Minseok membopong tubuhku kembali ke kasur. “Tidur nyenyak uri manager,”tutupnya dengan elusan di keningku sebagai pengantar tidur.

Aku menatap telapak tangan yang terasa berat dan tak bisa digerakkan, tapi bukan ada yang aneh dengan tanganku, melainkan kepala Minseok yang menindihnya. Secara perlahan kugerakkan tanganku, bermaksud untuk membangunkannya, karena kepalanya bisa sakit jika tertidur dengan keadaan seperti itu.

“Hmmm, sudah bangun?,”suara parau Minseok menyapaku yang masih merasakan pusing yang luar biasa. “Mian, aku ketiduran di sini,”tangannya meraih keningku yang basah karena keringat. “Kau menggigil semalam Shin, suhu tubuhmu sangat panas. Kau tidak merasakan apapun semalam?,”Minseok menatapku khawatir. Aku menggeleng, yang kurasakan hanya mimpi buruk tiada akhir. “Tapi suhu tubuhmu sudah membaik sekarang,”ia beranjak dari tempatnya dan berjalan lunglai menuju dapur kecil.

Tak ingin merepotkan Minseok yang sudah menjagaku sejak semalam, aku pun menguatkan diri untuk menyusulnya ke dapur. Menyediakan teh hangat untuknya, “Oppa, jangan terlalu mencemaskanku,”ucapku saat melihatnya tengah menghangatkan  Hae Jang Guk yang kuingat semalam ada di atas meja. Dia menggeleng, namun suara batuk keluar dari mulutnya. “Jangan sampai kau sakit, oppa,”ia kembali menggeleng dengan suara batuk yang lebih panjang. “Minum dulu,”aku segera menyodorkan teh hangat yang baru saja jadi.

“Gomawo,”ucap Minseok setelah suara batuknya mereda. Ia kembali menengguk perlahan teh hijau yang dibawa ibuku minggu lalu dari Jepang. “Kau makan  Hae Jang Guk ini ya, Kyungsoo membuatkannya untukmu,”tangan Minseok membuka penutup panci yang terbuat dari keramik itu.

“Kita makan bersama, ne,”ujarku kemudian menyendok nasi ke dalam dua mangkuk, sedang Minseok menaruh keramik yang berisikan Hae Jang Guk di atas pantry.

“Shin, kau sudah enakan?,”sapa Kyungsoo yang masuk begitu saja ke dalam flat-ku. “Aku membawa makanan lainnya,”ia mengangkat sepiring kimbab untuk menunjukkannya padaku, kemudian meletakkannya tepat di tengah-tengah antara aku dan Minseok. “Oah, panasnya benar-benar turun,”Kyungsoo menatap takjub Minseok yang kini tersenyum simpul sambil melahap Hae Jang Guk, menurunkan tangannya setelah meraba keningku. “Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di sofa, tapi ia tdak mau karena harus mengganti kompresmu jika sudah kering,”jelas Kyungsoo, membuatku segera menatap Minseok yang menunduk.

“Benar oppa?,”tanyaku yang langsung dijawabnya dengan anggukan dan senyum canggung.

“Aigo, sudahlah jangan dilebihkan,”Minseok mengibaskan tangannya untuk tidak membahas kegiatannya semalaman dengan sibuk memakan makannya tanpa mengacuhkan mataku yang terus menatapnya. “Makanlah Shin, agar pusingmu mereda,”pintanya dengan senyum merekah dan elusan di pucuk kepalaku.

Ponsel yang ku taruh di samping mangkuk berisikan nasi yang belum tersentuh itu bergetar, ‘Uri chagya birthday’, begitulah tulisan yang tertulis, membuatku hanya tersenyum miris dan membalik layar ponsel dengan sinaran cahaya itu, tanpa kusadar bahwa aku telah menorehkan kenangan buruk di malam sebelum ulangtahunnya.

-Hello, Manager Kim-

Merasa tubuhku yang jauh terasa lebih baik setelah mengisi perut dengan  Hae Jang Guk buatan Kyungsoo pagi tadi, siang ini aku berniat untuk membuang sampah yang sudah menupuk di dalam flat. Setelah mengumpulkan beberapa titik tempat sampah dalam tiga wadah berbeda, aku pun membawa tiga kantung yang terpisah sesuai jenis itu menuju pembuangan yang tersedia di dekat gedung.

“Oppa,”sapaku pada seseorang yang juga baru keluar dari pintu sebelah. “Kau mau kemana?,”aku menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, penampilan yang cocok untuk berpergian. “Katakan padaku,”aku memaksa untuk menjelaskan kemana dia akan pergi, memajukan selangkah kakiku ke hadapannya yang kini merasa terpojok. 

“Aku hanya ingin membeli beberapa barang,”jelasnya, namun dengan nada yang terdengar aneh. Dengan gerakan cepat, aku membuka resleting jaketnya, menampilkan kemeja rapih, cocok dengan celana bahan yang kutatap sedari tadi memang agak janggal.

“O...,”aku mengangguk dengan wajah innocent. “Kukira pergi ke toko tidak perlu serapih ini, oppa,”lanjutku, membuat lelaki bernama Minseok ini menggigit bibir bawahnya, merasa ketahuan berbohong. “Jadi?,”ujarku tanpa mengulangi pertanyaan yang sudah jelas kutanyakan tadi. Minseok tersenyum meringis sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.

“Hari ini aku akan ujian untuk lisensi barista,”jelas Minseok pada akhirnya, membuatku menepuk dahiku meski dengan satu kantung yang tengah kupegang.

“Ah mian oppa, aku sungguh lupa. Padahal kemarin kau memintaku untuk menemanimu,”aku mengangguk dan memintanya untuk tidak beranjak sebelum kuperbolehkan. Sampah-sampah yang sudah dimasukkan ke dalam tiga kantung plastik kutinggalkan tergeletak di depan Minseok dan meninggalkannya untuk kembali ke dalam flat.

Dengan gerakan cepat, aku mengambil coat dan tas kecil yang biasa kubawa, kemudian berjalan menuju Minseok di depan pintu. “Kkaja,”ujarku dengan nada bersemangat dan membawa tiga kantung sampah itu. “Andwe,”aku menggeleng mendapati tangan Minseok ingin meraih salah satu plastik sampah yang kugenggam erat. “Nanti tanganmu akan banyak bakteri, kopimu jadi tidak enak. Arra?,”jelasku yang diterima dengan kekehan dari Minseok. Tiga kantung plastik sampah tersebut akhirnya kugenggam dalam satu tangan yang tak bisa di jangkau Minseok, membuat lelaki berambut cokelat itu memajukan bibirnya karena kesal.

Ku buka pintu mobil yang memang terparkir rapih setiap harinya di area parkir basement dengan tombol jarak jauh, Minseok pun menyambutnya dengan membuka pintu mobil tepat di sebelah kemudi. “Chakkaman, aku buang sampah dulu,”kunci mobil berwarna hitam itu kuberikan pada Minseok yang sudah duduk rapih di kursinya.

“Ya ahjuma!”saat suara teriakan itu terdengar, aku baru saja selesai menumpuk sampah terakhir. Kuedarkan pandanganku kepada sekelompok gadis remaja yang mendekati perempuan yang tadi dia panggil ahjuma, ‘Ahjuma?’. Salah satu perempuan itu menunjukku dengan suara lantang, “Neo!,”aku menunjuk tubuhku sendiri yang tak tahu menahu mengapa gadis ini sangat histeris denganku. “Ya kau, siapa lagi,”ia mendecih dengan memalingkan wajah ke lain arah, sedang teman-temannya menatapku sinis.

“Ada yang bisa kubantu?  Wahai gadis-gadis yang bolos sekolah, apa kalian tersesat? Setauku di sekitar sini tidak ada sekolah,”tanyaku panjang lebar, membuat bola mata mereka membulat tak percaya dengan perkataanku.

“Ya!,”perempuan yang terlihat seperti bos ini melayangkan kepalan tangannya seraya ingin memukul. Aku hanya melihat pergerakan tangannya yang mengurungkan niat karena suara klakson mobil yang nyaring terdengar.

“Xiumin oppa. Akh!,”seketika segerombolan orang itu menghambur dari hadapanku, begitu juga dengan perempuan yang tadi hampir memukulku, ia ‘berpamitan’ dengan meludah di sekitarku. Dengan santai aku melangkahkan kaki menuju mobil yang kursi kemudinya kini sudah ditempati Minseok.

“Permisi,”pintaku pada gerombolan gadis yang menutup jalanku menutup pintu sebelah kursi kemudi. “Permisi,”ucapku lagi, namun tak ada satupun yang bergeming. Aku mendengus kesal, menarik nafas dalam-dalam, “Karago!,”teriakku dengan suara terkencang yang aku miliki. Semuanya menoleh tak terkecuali Minseok. Disaat ‘pause’ itu aku membuka pintu dan menempati kursi di sebelah Minseok, memintanya untuk segera pindah ke kursi belakang untuk mencari aman, diikuti denganku yang menggantikan posisi Minseok di kursi kemudi.  

Perjalanan mobil  pun terhambat karena sekumpulan gadis berpakaian sekolah ini tak mau diajak bekerjasama karena terus menempel pada tubuh mobil. Hingga akhirnya dapat terbebas setelah kujalankan mobil bermuatan tujuh orang ini sedikit demi sedikit.

“Jangan melakukan hal nekat seperti itu lagi oppa,”ujarku dengan tatapan fokus pada jalan. “Lihat, sekarang sudah banyak taksi mengikuti kita,”aku menatap kaca spion yang menampilkan badan-badan mobil taksi merapat ke mobil van hitam ini.

“Mian. Hmmm?,”ucap Minseok dengan nada bersalah, aku hanya menghela nafas karena tak tau apa yang harus aku katakan pada sosok baik hati ini. “Aku hanya ingin membantumu saja terhindar dari mereka,”kuhentikan mobil karena lampu merah yang menyapa kami. Aku menoleh ke arah Minseok dengan wajah bersalahnya.

“Ani ani,”aku menggeleng. “Jangan memasang wajah seperti itu oppa. Aku sudah sangat berterima kasih padamu. Hanya saja membantuku bukan dengan cara seperti tadi. Huh?,”tubuhku kembali menghadap jalan yang lampu lalu lintasnya sudah berubah hijau.

Kupakirkan mobil di bahu jalan, tepat di depan gedung tempat Minseok akan melakukan ujian untuk mendapatkan lisensi baristanya. Aku memijat pundaknya lembut, memberikan sentuhan semangat kepada Minseok yang terlihat tegang. “Aku sudah memaafkanmu, jangan dipikirkan kejadian tadi. Kali ini, kau harus fokus oppa,”ujarku dengan tepukan berat di pundaknya . “Fighting!,”aku melayangkan kepalan tangan ke udara, yang juga sama dilakukan oleh Minseok.

Lelaki dengan kemeja biru muda dan celana bahan berwarna cokelat muda itu sudah duduk di antara para barista pemula yang juga akan mengambil lisensi. Jika dilihat dari urutan duduk, Minseok akan melakukan ujiannya setelah melewati tiga  orang.

Mata Minseok menatap dengan seksama rekan satu tempat belajarnya dengan lihai menggunakan alat yang ku ketahui sebagai mesin espresso, meski demikian ia tak segan memberikan tepukan tangan dan senyum renyah saat satu-per-satu rekannya berhasil melewati ujian. Hingga akhirnya tiba giliran Minseok, dengan senyum canggung, ia melangkahkan kaki menuju mesin grinder, mesin penghalus biji kopi. Raut wajah lega terpancar saat merasakan sesuatu di tangannya, mungkin kehalusan biji kopi yang ia rasa sudah pas.

Minseok melanjutkan step selanjutnya menuju mesin espresso yang sudah menjadi santapan sehari-hari di dormitori. Ia menoleh ke arahku sejenak, aku pun menyambutnya dengan senyuman dan kalimat ‘himnae’ yang kuucapkan dengan mimik mulut tanpa suara.

Sentuhan di ujung bibir gelas dengan sehelai kain mengakhiri ujiannya, ia dengan bangga memperlihatkan hasil karya terbaiknya kepada sang guru. Suara tepuk tangan pun berhasil ia peroleh dari rekan dan pengunjung yang hadir, begitu juga denganku yang sangat bangga melihatnya berdiri di depan sana dengan senyum canggung.

“Ini untukmu?,”Minseok menghampiriku dengan satu gelas espresso di tangannya. “Satu lagi untuk penilaian,”tambahnya sambil mengendikkan kepala ke arah gelas-gelas kopi yang berjejer dengan nama masing-masing pembuat.

Aku pun menyeruput kopi yang di atasnya masih terdapat kepulan asap. “Oah,”mataku membulat merasakan cairan berwarna hitam ini mulai menjelajah di lidahku. “Joha,”tuturku dengan ekspresi senang, membuat air wajah Minseok tak mampu membendung kebanggannya.

-Hello, Manager Kim-

Lelaki yang selalu menyusahkan ini akhirnya dapat diketemukan juga, dengan langkah cepat aku segera menyusulnya yang sedang berbincang dengan salah satu anggota Block B. “Anyenghasaeyo,”sapaku yang ternyata juga ada Janeul di sana. “Kau sedang apa di sini?,”aku mengalihkan pandangan sesatku pada Janeul, menatap Sehun yang masih terpaku dengan kecanggungan antara aku dan Janeul.

“Aku ke toilet,”jawab Sehun terdengar jujur.

“Ayo, kau masih harus siap-siap,”pintaku pada Sehun yang masih sibuk memberikan kode kepada Janeul saat lelaki bernama Park Kyung tak melihat ke arah mereka berdua. “Ppali,”aku menarik tangannya karena tak kunjung bergerak untuk mengikuti langkahku.

 “O? Seungyoon?,”panggil Janeul sesaat mendapati sosok leader dari anak asuhnya tengah berjalan mendekati ke arah kami.

“Nuna, Jjangmae hyung mencarimu,”ucapnya dengan suara yang sudah aku rindukan. “O? Anyeong Kyung hyung, Sehun~sshi,”kalimatnya tertahan, aku menundukkan kepalaku seraya memberi salam tanpa berkata. “Manager Kim,”lanjut Seungyoon,  diikuti sambutan hangat dari rapper Block B itu.

Saat aku sibuk menarik tubuh Sehun untuk segera meninggalkan tempat yang tak ingin kudiami dalam jangka waktu lama, Sehun masih sibuk dengan kekasihnya. Ia mengadahkan tangan seakan meminta sesuatu pada Janeul yang masih menatap punggung Kyung yang baru saja pergi. “Mwo?,”tanya Janeul menatap Sehun masih dengan mengemut lollipop. Adegan yang justru memperjelas penglihatanku akan sosok Seungyoon, membuatku segera membalikkan badan dan menunggu reaksi dari magnae untuk menyelesaikan perkaranya dengan sang kekasih.

“Jangan asal memakan apa yang diberikan oleh orang!,”ucap Sehun menutup perbincangannya dengan Janeul, membuat tubuhku mengikuti tarikan tangan Sehun yang pada akhirnya menjauhkanku dari Seungyoon dan Janeul.

“Oh Sehun, kau sedang apa?,”Seunghwan sunbae menyapa kami di ujung lorong karena kesulitan mencari anak ini yang menghilang cukup lama. “Ppaliwa,”tangan Seunghwan sunbae menarik tubuh Sehun yang baru saja membuang lolipop dari mulut Janeul. “Shin-ah, kau kembali ke dormitori, Minseok sakit. Aku akan mengurus mereka di sini,”jelas Seunghwan sunbae yang langsung kuiyakan dengan anggukan.

Setelah mengambil tas ku yang berada di ruang tunggu, aku bergegas kembali ke dormitori. ‘Bagaimana aku bisa membiarkannya sendiri di dormitori, sedangkan ia semalam terjaga menunggu suhu tubuhku kembali normal?’. Dengan tangguh aku menerobos segerombolan orang yang memadati halaman tempat berlangsungnya GAON K-Pop Music Award 2015, aku berjalan cepat mencari toko bubur cepat saji untuk kuberikan kepada Minseok.

‘Tuuut...tuuut...’,sambungan telepon ke nomor Minseok selalu berakhir di kotak suara, karena panik takut terjadi sesuatu yang tak bisa kubayangkan, aku menghentikan taksi dengan brutal, menghadangnya di tengah jalan.

“Oppa,”aku melempar sepatu yang kubuka dengan kaki. “Oppa,”panggilku yang tak mendapat respon darinya. “Op...pa,”aku menghela nafas lega melihatnya yang sedang menenggak segelas air. “Micheoso! Kau tidak mengangkat teleponku?,”bentakku karena terlampau menghawatirkannya.

“Mian, sepertinya aku lupa mengubah mode deringnya,”jelas Minseok sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.

“Ini makan, dan habiskan,”perintahku setelah membuka tutup bubur yang aku beli. “Kau sudah dibelikan obat?,”aku menatapnya yang tampak bingung, kemudian ia mengangguk. “Dimana kau menaruhnya?,”ia menunjuk ke dalam kamar, diikuti dengan jawabannya, aku pun langsung berjalan masuk ke dalam kamar yang dihuni Minseok dan Chen, meraih bungkusan obat yang berada tepat di atas meja di antara dua tempat tidur mereka.

Setelah dari dalam kamar, aku sudah menatap punggung Minseok yang sedang duduk dan menikmati bubur yang kubelikan. Gelas miliknya yang sudah kosong, kembali  kuisi penuh dan meletakkannya di sebelah kiri dari posisi Minseok.

“Mian, aku pergi sangat pagi-pagi sekali untuk mengurus visaku. Aku jadi tak sempat menengok kalian dulu,”ucapku sebagai permintaan maaf. Minseok hanyak mengangguk sambil menyuap bubur yang hanya di tempel di ujung sendok. “Apa tidak enak?,”aku menatapnya yang tidak bersemangat seperti biasa dalam hal makan, ia menggeleng dengan senyum memaksa. “Aaa,”tanganku segera merebut sendok yang ada digenggamannya, dan menyodorkan satu sendok penuh bubur dengan toping ayam dan potongan daun bawang. Meski ragu, ia akhirnya melahap bersih bubur yang aku sodorkan. “Kau harus banyak makan, oppa. Agar kau bisa melindungiku,”ucapku kembali meyodorkan satu sendok penuh ke mulutnya.

“Wae?,”tanya Minseok saat melihat gadis di depannya tengah termengu menatap sosok dirinya. Aku menggeleng dan menyodorkan lagi satu sendok penuh ke arah mulutnya. “Wae?,”ia kembali bertanya kepadaku yang masih menatapnya.

“Ani,”aku menggeleng. “Aku hanya sedang memikirkan jika mempunyai kakak sepertimu, rumahku berasa surga,”ucapku, membuat alisnya terangkat. “Aku anak satu-satunya, oppa,”jelasku menanggapi alisnya yang terangkat. “Oleh karena itu, aku sangat senang berada di sini, bekerja di sini,”mataku menelisik penjuru dormitori yang mengenang banyak memori. “Aku punya semuanya di sini. Ayah, ibu, kakak, adik,”hitungku dengan satu demi satu jemari yang terbuka, hingga menghasilkan empat jari yang tak menekuk.

“Hanya memikirkan itu kau sangat senang, huh?,”tangan kanan yang menopang kepalanya memandangku dengan senyum. “Sudah melupakan laki-laki yang membuatmu menangis dan mabuk semalaman?,”ia tersenyum miris mengingat lelaki yang dianggapnya sebagai penyebabku menangis beberapa hari lalu. Aku menggeleng, menggenggam tangannya yang tergeletak di atas meja.

“Bukan dia yang salah oppa, aku yang mengakhirinya,”jelasku, membuat matanya membulat sempurna. “Kejadian sejak kami di Beijing. Aku sudah mencampakkannya sejak di Beijing....,”Minseok menempelkan jari telunjuknya tepat di tengah bibirku, menyuruhku untuk berhenti menceritakan hal yang sesungguhnya tak ingin kuingat lagi.

“Kau lebih baik menyuapiku saja, tidak usah banyak bicara,”pintanya menyodorkan sendok ke arahku.

“Ah! Beginilah harusnya baristaku,”ucapku sambil menjentikkan tangan, memberikan Minseok suapan besar agar ia cepat menghabiskan buburnya dan kembali beristirahat.

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2025 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK