Luna PoV
Aku berdiri di depan pintu apartemen Youngbae oppa. Kulirik jam tangan dan sekarang menunjukkan waktu tengah malam. Tak pantas rasanya seorang wanita bertandang ke rumah seorang pria. Akan tetapi, aku harus melakukannya. Perpisahan ini walau terasa berat tetapi kami harus melewatinya dengan ikhlas. Keinginanku tak lebih dari sekedar Youngbae oppa bahagia dan move on. Kutekan bel kamarnya perlahan. Terdengar alunan nada familiar disana. Pintu lalu terayun lemah dan terlihat dia disana. Keadaannya jauh lebih memprihatinkan dari pertemuan kami sebelumnya. Dia meraih tangan kananku dan menarik badanku ke pelukannya. Kuhayati hangatnya tubuh kami bertaut dan ada rasa sesal yang meyusup ke dalam pikiranku.
“Luna, tak bisakah kita pergi jauh dari negara ini dan hidup bahagia berdua selamanya?” bisiknya di telingaku. Aku diam membeku. Apa sebaiknya aku menerima ajakannya dan lari dari kenyataan? Tapi, itu bukanlah hal yang benar. Sejauh apapun aku berlari, aku tak bisa lari dari Tuhan.
“Oppa, maaf. Aku tak bisa. Aku melakukan ini juga demi kebaikan oppa.” Aku mengucapkannya dengan susah payah. Aku juga menginginkan hal yang sama sepertinya. Aku ingin kami berdua bisa menjalani sisa hidup kami dengan bahagia selayaknya pasangan normal. Tapi, itu tak mungkin. Ada sebuah garis yang membatasi kami untuk mewujudkan harapan itu.
Aku berinisiatif untuk melepaskan pelukan kami. Youngbae oppa kemudian menatapku dengan tatapan sendu. Sulit rasanya untuk melihat tatapan itu. Air mataku tumpah karenanya. Youngbae oppa mengusap air mataku dengan tangannya. Dia lalu mencium dahiku dan bergerak mengunci bibirku dengan ciumannya. Aku sontak kaget dan berusaha menolaknya tapi tak bisa. Kedua tanganku ia genggam dengan erat. Ciumannya lembut bergairah. Aku tahu ini terlarang tapi aku lemah dan tak kuasa untuk menolaknya. Ciuman kami berakhir dengan rasa sakit yang menusukku. Kulirik tubuhku dan terdapat pisau yang menancap di dadaku. Apa maksudnya ini?
“Jika aku tak bisa memilikimu maka tak ada orang lain juga yang berhak bersamamu.” ucapnya perlahan. Dia mengenggam tanganku semakin kuat sehingga aku tak bisa memberontak dan mencabut pisau itu.
“Oppa, maaf.” ujarku lemah. Air mataku kembali menetes. Rasa sakit menguasai tubuh dan hati. Dia memang tak memiliki niat untuk melepaskanku selamanya. Kuanggap hal ini pantas kuterima. Mati di tangan pria yang kau cintai bukanlah hal yang buruk kan?
###