Keduanya saling melepaskan ciuman, berganti menjadi sebuah pelukan hangat. Jiyeon mempererat pelukannya kepada Myung Soo karena mungkin ini adalah pelukan terakhir yang akan dia rasakan sebagai sepasang kekasih. Air matanya terus membasahi wajahnya, begitupun dengan Myung Soo yang mulai tak kuasa menahan tangis.
“Aku berjanji…” ucap Myung Soo sangat pelan. “…akan menjadi kakak yang baik untukmu, yang akan selalu menjagamu, yang tidak pernah bosan memberikan kebahagiaan untukmu.”
Jiyeon pun mengangguk seraya menjawab, “Aku juga akan berusaha menjadi seorang adik yang selalu ada disaat kau membutuhkanku. Dan aku akan menjadi orang pertama yang akan selalu mengucapkan kemenangan kepadamu setiap kau berhasil mengalahkan pesaingmu di atas ring.”
Myung Soo tersenyum sekilas mendengar ucapan Jiyeon.
“Berjanjilah kepadaku, Jiyeon-ah,” ucap Myung Soo setelah mengakhiri pelukannya dengan Jiyeon. “…kau dan aku tidak akan pernah menyesal dengan keadaan ini dikemudian hari. Kita harus ambil sisi positifnya, dengan kita menjadi saudara…kita akan selalu bertemu setiap hari dan aku jadi lebih leluasa untuk memarahimu.”
Kini giliran Jiyeon yang tersenyum seraya berkata, “Aku tidak akan pernah membuatmu marah lagi. Aku berjanji.”
Myung Soo pun mengelus pucuk kepala Jiyeon, diiringi bunyi dan getar yang berasal dari ponsel Jiyeon.
“Ne, Eomma?” Jiyeon menjawab telepon dari Na Ran. “M-mwo?”
Myung Soo menatap raut wajah Jiyeon yang tiba-tiba berubah.
“N-ne…aku akan segera kesana,” ucap Jiyeon sebelum menutup sambungan telepon.
“Waeyo?” tanya Myung Soo segera setelah Jiyeon memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.
“Appa…Jin Hee…dia…” ucap Jiyeon tak kuasa melanjutkan.
**
Jiyeon menatap jasad Park Jin Hee yang berada di depannya, sementara Na Ran menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya. Jiyeon memang tidak pernah menyukai tabiat ayah angkatnya ini yang suka sekali berteriak dan mengekangnya, tetapi sedikitpun Jiyeon tidak pernah berpikir bahwa kehilangan sosok yang sudah mengangkatnya ke rumah ini sebagai anak sekaligus membesarkannya adalah hal yang menyenangkan. Tak lama kemudian Tao datang dengan wajah panik. Di tatapnya sang ayah yang sudah tak bernyawa di atas ranjangnya sebelum air matanya sukses membasahi seluruh wajahnya. Jiyeon maupun Myung Soo belum pernah melihat Tao seperti ini. Paling tidak Myung Soo tahu seberapa tinggi rasa gengsi Huang Zitao untuk tidak memperlihatkan sisi terlemahnya kepada orang lain, terutama kepadanya.
“A-Appa…” Bibir Tao bergetar sementara jemarinya mencoba menyentuh tangan Jin Hee yang sudah dingin. “Appa…kau tidak boleh meninggalkanku. Aku hanya punya kau yang perduli padaku…”
“Tao…” Na Ran mencoba berdiri disebelah Tao untuk memeluknya.
“Eomma…Appa tidak benar-benar matikan?” tanya Tao seakan-akan berita kematian Jin Hee yang dia dengar satu jam yang lalu adalah lelucon belaka. “Dia pria kuat. Tidak mungkin dia mati secepat ini.”
Na Ran pun menggeleng seraya mengusap wajah Tao yang basah. “Kau harus menerimanya. Ayahmu sudah harus kembali. Dia sudah cukup menjalani hidupnya.”
“Aniyo…” ucap Tao tiba-tiba menggeram. “Aku tidak bisa terima kematiannya. Appa punya banyak cara untuk tetap bertahan hidup. Dia hanya tertusuk pisau. Hanya itu yang bisa dilakukan Gaza. Appa pria yang kuat yang tidak mungkin kalah hanya karena si pengkhianat itu berusaha membunuhnya!”
“Tao…” Tangisan Na Ran kembali merebak.
“Aku…aku harus balas si Saekki itu…” ucap Tao dengan tangan mengepal. Tanpa banyak bicara Tao segera meninggalkan ruangan, diikuti Myung Soo di belakanganya.
“Kau hanya membahayakan dirimu sendiri jika berniat menemui Gaza,” ucap Myung Soo hendak menghentikan niat Tao.
Tao pun menghentikan langkahnya seraya menjawab, “Pecundang sepertimu cukup diam saja. Aku tidak butuh saranmu yang tidak bermutu!”
“Yaa! Aku tahu kau jago bertinju dan kau memiliki watak keras kepala yang sangat menyebalkan,” ucap Myung Soo tidak perduli dengan ejekan Tao buatnya. “…tetapi perlu kau tahu, tindakanmu yang gegabah ini hanya bisa memperburuk suasana. Seharusnya kau yang paling mengenal anak buah ayahmu. Gaza, dia bukan manusia sembarangan. Dia sudah berani dengan terang-terangan membunuh ayahmu, dan kau pikir apa dia perlu berpikir dua kali untuk membuatmu ikut terbunuh?”
“Aku tidak perduli,” geram Tao dengan tangan mengepal. “Aku harus habisi dia. Aku tidak perduli jika pada akhirnya aku harus ikut terbunuh.”
“Kalau kau mati, siapa yang akan menjaga ibumu?” tanya Myung Soo. “Kau bilang di ruangan tadi bahwa yang perduli padamu hanya Park Jin Hee. Lalu menurutmu apa yang selama ini Na Ran berikan untukmu?”
Tao sesaat terdiam sebelum akhirnya berkata, “Ibuku hanya perduli pada Jiyeon. Dia…”
“Dia juga sangat memperdulikanmu,” sela Myung Soo melengkapi ucapan Tao. “Hanya saja cara keduanya berbeda.”
“Kau tahu apa tentang keluargaku?” tanya Tao tidak suka dengan gaya Myung Soo yang suka ikut campur.
“Aku memang tidak tahu apa-apa tentang keluargamu,” jawab Myung Soo. “Jika Na Ran tidak perduli padamu, dia tidak akan menghubungimu untuk memberitakan kabar kematian orang yang kau banggakan itu.”
“Dia punya nama!” geram Tao. “Park Jin Hee. Kau seharusnya menghormati ayahku!”
“Ayahmu yang telah berusaha membunuh ayahku? Ayahmu yang setengah hidupnya diisi kebencian mendalam hanya karena sebuah salah paham kepada ayahku? Dan ayahmu yang telah memisahkan sebuah keluarga hanya untuk kepuasan balas dendam?” tanya Myung Soo dengan suara semakin meninggi.
Tao terdiam dengan dahi berkerut.
“Ada begitu banyak hal yang tidak kau ketahui tentang ayahmu, Huang Zitao,” ucap Myung Soo. “Aku dan Park Jiyeon bersaudara.”
Tao terkejut mendengarnya sampai tak tahu mau bicara apa.
“M-mwo?” Hanya itu yang mampu keluar dari bibir Tao.
“Dan ayahmu, Park Jin Hee, yang telah mengambil Jiyeon dari keluargaku tepat setelah ibu kami melahirkan kami,” sambung Myung Soo. “Dan kau tahu? Siapa yang ayahmu suruh untuk membakar ayahku? Kang Han Bok.”
Tao nyaris tak bisa memikirkan sesuatu setelah mendengar berita mengejutkan ini.
“Dia kau anggap baik karena dia telah mengangkatmu sebagai anaknya,” ucap Myung Soo. “Dia juga yang telah berjasa karena kau kini bisa menjadi seorang petinju profesional didikan Internasional. Kau bisa melanjutkan hidup dengan baik karena dia. Tetapi tidak buatku, Park Jin Hee seperti lubang hitam yang melekat pada keluarga ayahku. Dia seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan membakar seluruh keluargaku. Aku dapat merasakan kepahitan hidup berkat ayahmu itu.”
Tao terdiam, cukup lama sampai akhirnya dia berkata, “Itu bukan urusanku. Dan apa kau lupa? Kita ini musuh, Kim Myung Soo. Sudah sewajibnya aku merasakan kebahagiaan setelah melihatmu menderita.”
Myung Soo terdiam, tak menyangka respon seperti ini yang dia dapat.
“Kau…dan Park Jin Hee…ternyata sama saja,” ucap Myung Soo pelan. “Kau bisa pergi sekarang, temui Gaza dan balaskan dendam kematian ayahmu. Disini aku hanya bisa berharap, aku tidak akan bertemu denganmu lagi setelah Gaza berhasil melubangi kepalamu.”
Myung Soo pun pergi meninggalkan Tao.
**
Tiga hari kemudian….
“Gongchul-Hyung sudah menjadwalkan keberangkatan kita ke Thailand lusa siang,” ucap Myung Soo memberitahu Jiyeon dan sang ibu yang duduk di depannya saat ini. “Dan sudah diputuskan, kita akan membawa ayah kembali ke sini.”
Oh Hani mengangguk dengan wajah penuh haru.
“Akhirnya keluarga kita bisa berkumpul lagi,” ucap Oh Hani seraya memeluk Jiyeon yang duduk disebelahnya.
“Dan kau bisa tetap mengunjungi Na Ran,” ucap Myung Soo pada Jiyeon.
Jiyeon pun mengangguk seraya berkata, “Eomma, Na Ran ingin bertemu denganmu besok pagi. Ada yang ingin dia bicarakan padamu.”
“Geurae,” ucap Oh Hani. “Aku juga ingin membicarakan banyak hal dengannya setelah kejadian buruk ini terjadi.”
“Satu lagi berita bagus yang aku dengar dari Gongchul-Hyung,” ucap Myung Soo. “Gongchul-Hyung ingin kembali membuka Blade Boxing.”
“Jinjiha?” tanya Jiyeon ikut senang mendengarnya.
“Ne, dia bilang Blade Boxing harus tetap ada. Karena markas tinju itu sebenarnya Kim Jang Min yang membuatnya,” ucap Myung Soo. “Maka dari itu, tempat itu harus kembali aktif. Apalagi setelah Mr. Kang telah mengirimkan surat kepada Appa di Thailand. Mr. Kang bilang Appa sudah bisa kembali ke Korea, walaupun untuk saat ini Appa dan kita semua lebih baik menetap di markas Mr. Kang ini sementara Gaza masih berkeliaran di luar sana. Aku sudah tidak sabar ingin melihat ayahku.”
Oh Hani pun tersenyum seraya berkata, “Dia pria yang tampan.”
“Tentu saja,” ucap Gongchul tiba-tiba datang dan mengambil tempat di sebelah Myung Soo.
“Dia tampan…tampan dan tampan,” ucap Gongchul membuat semuanya tersenyum. “Jadi tidak heran Noona, jika Myung Soo memiliki wajah sesempurna ini.”
“Kau juga tampan, Hyung,” ucap Myung Soo.
“Tentu saja, Myung Soo-ah!” ucap Gongchul seraya menepuk bahu Myung Soo tepat bersamaan dengan suara telepon yang berbunyi dan datangnya Mr. Kang dengan wajah panik.
“Biar aku yang angkat,” ucap Mr. Kang seraya bergegas menghampiri meja kerjanya. Cukup lama Mr. Kang berbicara dengan si penelpon sampai akhirnya sambungan berakhir.
“W-waeyo?” tanya Gongchul merasa cemas setelah melihat kepanikan Mr. Kang.
“Jiyeon-ah,” ucap Mr. Kang. “…Lee Na Ran, Gaza menculiknya.”
**
“Tenangkan dirimu, Jiyeon-ah,” ucap Myung Soo seraya memegang kedua tangan Jiyeon. “Ibumu pasti selamat.”
“Aku takut Gaza membunuhnya,” ucap Jiyeon terisak.
“Aniyo, Gaza tidak akan membunuh wanita yang dicintainya,” ucap Myung Soo membuat Jiyeon agak terkejut. “Gaza memiliki dendam pribadi dengan Jin Hee karena Jin Hee telah merebut Lee Na Ran darinya dulu.”
“Jadi kau tidak perlu khawatir,” ucap Gongchul menimpali. “Gaza membuat keributan seperti ini hanya ingin memancing agar Mr. Kang datang. Dan mungkin dia juga berpikir berapa persen kekayaan dari Mr. Kang yang akan dia dapat dengan menjadikan Na Ran sebagai tawanan.”
“Kalau Gaza masih mencintai ibuku, dia tidak mungkin mau menyerahkan Na Ran untuk hal apapun,” ucap Jiyeon dengan wajah khawatir.
“Kalau itu masalahnya, artinya kita perlu rencana,” ucap Mr. Kang dari balik meja kebesarannya. “Pada intinya Gaza menginginkan tiga hal, Lee Na Ran, hartaku dan juga nyawaku.”
“Jadi apa yang harus kita lakukan?” tanya Myung Soo tidak mendapatkan ide.
“Aku akan pikirkan ini bersama Gongchul,” ucap Mr. Kang. “Paling tidak malam ini kita harus menemukan cara bagaimana menyelamatkan Lee Na Ran, dan kalau bisa nyawaku juga. Karena besok pagi Gaza menunggu kita di tempat dulu aku dengannya pernah berkawan bersama Park Cho Sil.”
**
Gaza menatap Lee Na Ran seraya berkata, “Pada akhirnya kau memang harus menjadi milikku.”
“Dengarkan Moon Gae Ja, sejak kau meninggalkanku dulu, aku bersumpah tidak akan pernah mau kembali padamu,” ucap Na Ran dengan kondisi tangan dan kaki terikat di atas bangku.
“Aku punya alasan mengapa dulu aku pernah meninggalkanmu,” ucap Gaza. “Tetapi kau tidak pernah mau mendengarkanku dan lebih memilih karyawan ayahmu itu. Park Jin Hee si Saekki yang dengan beraninya merebutmu dariku…”
“Aku mencintai Park Jin Hee!” ucap Na Ran. “Dan dia satu-satunya pria yang mau menerimaku, bahkan disaat dia tahu aku tidak bisa memberikannya anak!”
“Aku pun bisa menerimamu, Na Ran-ah…” ucap Gaza. “Aku sangat mencintaimu dan tidak memperdulikan kekuranganmu itu.”
Belum sempat Na Ran menjawab ucapan Gaza lagi, terdengar suara berisik dari kamar sebelah.
“Wanita jalang satu ini selalu membuatku repot,” desah Gaza seraya meninggalkan Na Ran untuk mendatangi ruangan sebelah. “Saekki-ah, bisakah kau diam sementara aku sedang berkencan dengan pacar lamaku?!”
“Aku lapar….” erang sebuah suara yang mampu terdengar sampai ke telinga Na Ran. Na Ran otomatis terkejut menyadari Gaza sedang menyandera wanita lain selain dirinya.
Tak lama kemudian Gaza kembali ke ruangan Na Ran.
“Maafkan aku,” ucap Gaza. “Wanita jalang itu selalu menyusahkanku.”
“Wanita jalang?” tanya Na Ran dengan tatapan curiga. “Kau menyekap wanita lain? Siapa dia?”
Bukannya menjawab, Gaza justru tertawa.
“Apa kau sedang mencurigaiku sekarang?” tanya Gaza.
“Aku hanya berharap bukan Jiyeon yang sedang berada di ruangan sebelah ini,” ucap Na Ran. “Setelah kau berhasil membunuh suamiku, aku tidak akan biarkan kau menyakiti orang lain yang kucintai.”
“Tenanglah, wanita itu bukan Jiyeon,” ucap Gaza seraya mengeluarkan botol anggur dari dalam sebuah kardus. “Kau mau, Na Ran-ah?” tanya Gaza seraya berusaha membuka tutup botol anggur itu. “Hanya benda ini yang mampu mengontrol kemarahanku sejak Kang Han Bok bersama Kim Myung Soo bekerja sama untuk menangkapku dan mengambil semua anak buahku.”
“Kau pantas mendapatkan itu,” ucap Na Ran. “Kau manusia yang kejam. Dan aku sangat menyesal pernah mencintaimu dulu.”
Gaza pun tertawa semakin lebar.
“Seharusnya kau pertahankan cintamu itu buatku,” ucap Gaza setelah meneguk langsung anggur dari botolnya. “Dengan begitu, Jin Hee tidak akan terbunuh di tanganku.”
Tiba-tiba terdengar suara jeritan di ruangan sebelah lagi.
“Saekki!” geram Gaza seraya kembali menghampiri wanita itu.
Na Ran tak sanggup mendengar jerit tangis tawanan di ruangan sebelah. Sampai pada akhirnya Gaza kembali, Na Ran pun berkata, “Kau benar-benar kejam dan tak berperasaan! Kau apakan wanita itu sampai dia menjerit seperti itu?”
“Na Ran-ah, wanita itu bukan urusanmu,” ucap Gaza. “Jadi untuk apa kau memberikan belas kasihan seperti ini? Lagipula kau tidak tahu bagaimana rupanya.”
“Aku tidak perlu mengetahui rupanya untuk memberikan belas kasihanku pada orang lain,” ucap Na Ran. “Dia menjerit kelaparan. Seharusnya kau berikan wanita itu makanan sehingga dia diam dan kau jadi tidak terpancing emosi terus-menerus.”
“Aku tidak mau memberikannya makanan karena terakhir kali aku melakukan hal itu dia justru menggigit tanganku,” ucap Gaza. “Sekarang kau cukup diam tanpa harus mengatur bagaimana cara aku memperlakukan tawananku sendiri.”
Gaza pun pergi meninggalkan Na Ran malam itu.
Menyadari keadaan sudah aman, Na Ran mencoba berkomunikasi dengan tawanan di ruangan sebelah.
“K-kau yang ada disana!” teriak Na Ran agar suaranya terdengar sampai ke ruangan sebelah. “Aku tahu kau sedang kelaparan saat ini. Tetapi tenang saja, Gaza tidak akan menyakitimu. Aku akan berusaha mengeluarkanmu dari sana. Kita akan bebas bersama-sama!”
Tidak ada jawaban dan tidak ada respon.
“K-kau…bolehkah aku tahu siapa kau?” tanya Na Ran kembali berteriak.
Cukup lama tidak ada jawaban, sampai akhirnya terdengar suara serak seorang wanita yang berkata, “T-tolong aku…”
“Tentu!” jawab Na Ran cepat. “Aku pasti akan menolongmu, kita akan sama-sama bebas dari sini.”
“Aku…” Suara wanita itu terdengar kembali. “…sudah terlalu lama disiksa olehnya seperti ini…”
“Memangnya sudah berapa lama kau ditahan?” tanya Na Ran.
“Saat aku berumur lima belas tahun,” jawab si wanita itu.
“Saat berumur lima belas tahun?” gumam Na Ran terkejut. “D-dia sudah disandera sejak masih kecil. Berapa lama Gaza menyiksa anak itu?” Gumaman Na Ran terus berlangsung sampai akhirnya terdengar wanita itu lagi.
“Aku sudah lelah…” ucap si wanita. “Dan sakit…”
“B-baiklah…” ucap Na Ran miris mendengarnya. Siapapun orang yang ada di ruangan sebelah ini, Na Ran memutuskan untuk menolongnya. “…aku berjanji akan menolongmu. Aku akan membebaskanmu. Dan untuk sementara ini, kau hanya cukup diam dan berusaha untuk tidak memancing kemarahan Gaza. Aku yakin besok pagi akan ada yang datang untuk menolong kita.”
Tidak ada jawaban.
“A-apa kau mendengarku?” tanya Na Ran memastikan.
“A-aku akan bertahan sedikit lagi,” ucap si wanita terdengar menjawab. “…aku sangat berharap banyak padamu.”
Na Ran pun terdiam seraya membayangkan bagaimana bentuk penyiksaan yang telah Gaza berikan kepada wanita di sebelah ini. Bayangkan saja, bertahun-tahun disiksa seperti seorang tawanan. Gaza, dia memang manusia yang mengerikan.
**
Keesokan harinya…
Mobil Mr. Kang baru saja tiba di sebuah depan gedung kosong yang dulu dijadikan tempat perkumpulan Gaza dengan Park Cho Sil dan Kang Han Bok. Gaza pun sudah berada di lantai tiga, mengintai keadaan lewat jendela. Suara ponsel Gaza pun berbunyi.
“Kau sudah tiba, Han Bok-ah?” tanya Gaza seraya menyeringai lebar. “Sekarang kau cukup letakkan koper uang itu di atas meja yang sudah kusiapkan dekat dengan pintu masuk gedung ini. Ah soal Na Ran? Tenang saja, aku akan turun sebentar lagi untuk memberikan Na Ran padamu. Tetapi…kuperingatkan untuk menjauh sejauh-jauhnya dari pintu masuk gedung ini. Kau lihat papan hitam yang berada dekat dengan pagar? Kau dan yang lainnya berdiri disana dan jangan melakukan apapun sampai aku tiba di bawah.”
Usai berbicara pada ponselnya, Gaza pun turun ke lantai dua menuju ruangan dimana Na Ran disekap.
“Na Ran, penolongmu sudah tiba,” ucap Gaza setelah membuka pintu ruangan Na Ran. “Kau akan bebas…” ucap Gaza seraya membuka ikatan kaki dan tangan Na Ran. “Tetapi tidak benar-benar bebas…” ucap Gaza menambahkan dengan wajah licik sementara semua ikatan Na Ran sudah terbuka.
“Kau tahu?” tanya Na Ran yang sudah berdiri berhadapan dengan Gaza. “Aku ingin sekali membuat jera dengan cara ini!” ucap Na Ran seraya menendang kemaluan Gaza dengan sangat keras, membuat Gaza spontan merintih kesakitan sampai terguling di lantai. Tanpa banyak membuang waktu, Na Ran pun langsung keluar dari ruangan pengap itu, tidak lupa dikuncinya pintu itu agar Gaza tidak bisa kabur kemana-mana.
“K-kau yang ada di dalam…” ucap Na Ran memanggil dengan suara gemetar. Jujur saja, perlu keberanian khusus untuk melakukan hal tadi terhadap penjahat kelas kakap seperti Gaza. “Aku akan menyelamatkanmu sekarang…” Na Ran dengan tangan bergetar mencoba membuka pintu ruangan sebelah dengan setumpuk kunci milik Gaza. Perlu waktu untuk bisa menemukan kunci mana yang benar sementara Gaza sedang mencoba mendobrak pintu untuk keluar.
“Na Ran-ah!” teriak Gaza keras. “Kau berani melakukan hal ini padaku, maka kau harus tanggung akibatnya!”
Pintu sudah terbuka! Na Ran sempat terkejut melihat kondisi tawanan Gaza di ruangan ini. Tampilannya kusut dan bau. Kakinya dipasung di dalam kayu yang dikunci. Dan banyak bekas luka goresan di tangan dan kakinya.
“Oh Tuhan…” gumam Na Ran tak sanggup melihat kondisi wanita di depannya saat ini. Tanpa banyak berpikir, Na Ran kembali berusaha membuka kayu pasung yang melekat di kaki wanita ini dengan kunci ditangannya. “T-tenanglah…aku akan menyelamatkanmu.”
“Na Ran-ah!” Suara teriakan Gaza kembali terdengar. “Aku akan segera menemukan cara untuk keluar. Dan setelah itu aku akan benar-benar membuatmu bertemu dengan Jin Hee di neraka!”
Lagi-lagi Na Ran berhasil membuka pasung kayu dengan banyaknya kunci di tangannya.
“Ayo kita pergi dari sini,” ucap Na Ran seraya membantu si wanita untuk berdiri dan berjalan. Entah sudah berapa lama wanita ini dipasung seperti ini, sehingga untuk berdiri pun dia tak bisa. “Bertopanglah padaku.”
Na Ran dan si wanita ini sudah berada di tangga menuju lantai bawah gedung bobrok ini tepat saat Gaza muncul di anak tangga paling bawah.
“K-kau…” ucap Na Ran gemetaran.
“Kau pikir aku bodoh Na Ran-ah?” tanya Gaza sudah terlihat sangat marah. “Kau membuatku terluka karena aku harus membebaskan diri lewat jendela menuju lantai bawah.” Gaza menunjukkan tangannya yang berdarah pada Na Ran. “Sekarang kau harus menerima akibat dari perbuatan sok heroik-mu ini. Menolong seseorang yang bahkan kau tidak kenal…sangat memuakkan…” Gaza sudah berhasil memegang kedua tangan Na Ran. “Aku memang mencintaimu. Tetapi jika kau berusaha melawanku, mohon maaf…terpaksa aku harus bertindak keras padamu, Na Ran-ah…”
Si wanita yang diselamatkan oleh Na Ran hanya bisa jatuh tergeletak di lantai karena ketidakmampuan dirinya untuk berdiri tegap.
“Kau…” Gaza pun beralih pada si wanita malang di sebelah Na Ran. “Aku akan membunuhmu setelah ini.”
Gaza pun dengan sadisnya menyeret Na Ran untuk kembali ke ruangan dirinya disekap.
“Andwae….” erang Na Ran memohon pada Gaza. “Aku tidak mau….”
“Aku urungkan niatku untuk membebaskanmu!” teriak Gaza seraya menampar wajah Na Ran dengan sangat keras bersamaan dengan sesuatu yang tiba-tiba menyentuh belakang kepala Gaza.
“Beraninya kau menyiksa ibuku,” ucap seseorang yang sudah mengambil alih keadaan. “Lepaskan dia…atau aku lubangi kepalamu.”
Tanpa menoleh, Gaza sudah tahu siapa yang sedang berusaha mengancam dirinya saat ini.
“Huang Zitao…” ucap Gaza. “…akhirnya kau datang, setelah aku menunggu kedatanganmu.”
“Jangan banyak bicara kau Saekki-ah!” ucap Tao seraya berjalan ke depan agar berhadapan dengan Gaza. Ujung pistol di tangannya masih setia teracung ke arah kepala Gaza. Na Ran pun dengan cepat memeluk tubuh Tao. “Gwaenchanayo, Eomma?” tanya Tao seraya merengkuh tubuh sang ibu ke dalam dekapannya.
Na Ran hanya mampu mengangguk sementara tubuhnya kini sedang bergetar hebat.
“Kau bunuh ayahku dan kau siksa ibuku!” geram Tao seraya menatap tajam Gaza. “Aku akan membuatmu menyesal setelah berhasil mengkhianati keluargaku!”
“Keluargamu?” tanya Gaza diiringi kekehannya. “Mereka bukan keluargamu. Park Jin Hee dan Lee Na Ran hanya mengangkatmu dari rumah bobrokmu.”
“Saekki,” geram Tao semakin memuncak.
“Kau bisa tembak aku di manapun kau mau,” ucap Gaza. “Tetapi perlu kau ingat, Tao. Aku masih punya satu rahasia besar yang belum aku ceritakan kepada ibumu itu.”
Na Ran pun memalingkan wajahnya ke arah Gaza.
“Apa maksudmu?” tanya Na Ran tidak mengerti.
“Seharusnya Oh Hani ada disini,” ucap Gaza. “Dan seharusnya Jin Hee juga ada disini. Sehingga kalian semua bisa tahu tentang apa yang aku lakukan kepada anak yang kau ambil dari Oh Hani tepat dua puluh tahun yang lalu.”
Na Ran terdiam dengan wajah tegang, begitupun dengan Tao yang pistolnya masih teracung kearah Gaza.
“Park Chorong, bukankah itu nama yang kau berikan untuk anak Oh Hani dan Kim Jang Min yang kau ambil?” tanya Gaza pada Na Ran. “Park Chorong yang malang, yang menghilang entah kemana disaat kau sedang memberikannya makan dan tak lama telepon rumahmu berdering. Kau ketakutan karena anak yang baru kau ambil dari tangan Oh Hani tiba-tiba saja lenyap entah kemana.”
“Apa maksudmu?” tanya Na Ran tidak mengerti.
“Aku ada disana, Na Ran-ah,” ucap Gaza diakhiri tawa. “Aku memperhatikan kalian. Aku ambil bayi itu dan aku sembunyikan. Lalu kau panik….dan aku bahagia melihatnya. Aku bahagia melihat Jin Hee harus kembali tidak memiliki anak. Dan tak lama kau ambil bayi lain dari panti asuhan. Park Jiyeon yang kini bahagia karena merasa sudah menemukan keluarga kandungnya.”
“J-jadi kau?” tanya Na Ran sangat terkejut. Air matanya pun menetes. “Kau ambil Park Chorong dariku?”
“Dan aku pasung dia dengan sangat kejamnya selama lima tahun terakhir ini,” ucap Gaza menambahkan.
“Wanita itu…w-wanita yang kutolong tadi?” Kaki Na Ran spontan melemas dan tak tanggup berdiri, membuat Tao hampir lengah dengan pistol di tangannya.
“Bagaimana?” tanya Gaza terlihat puas. “Pada akhirnya kau harus mengagumi bakatku yang hobi mempermainkan hidup orang lain.”
“Kau manusia tidak berperasaan,” isak Na Ran. “Kau kejam!”
“Tetapi kau pernah mencintaiku dulu,” ucap Gaza. “Dan aku menyukainya.”
“Kau tahu betapa sedihnya aku kehilangan Park Chorong,” isak Na Ran.
“Lalu bagaimana dengan perasaan Oh Hani setelah bayi yang baru dilahirkannya kau ambil?” tanya Gaza membalas. “Aku tidak berniat membantu Oh Hani untuk membalas perasaan kehilangannya padamu. Aku melakukan hal ini hanya untuk membuat Park Jin Hee menderita.”
“Ayahku tidak perduli dengan hilangnya bayi yang baru diambilnya dari Oh Hani Ahjumma,” ucap Tao. “Ayahku mengambil anak Oh Hani pun karena ingin membalaskan dendamnya pada ayah Kim Myung Soo. Jadi…kau salah besar jika menganggap ayahku akan terpuruk setelah kau berhasil mengambil Park Chorong darinya!”
Gaza terlihat murka setelah mendengar ucapan Tao.
“Anak ingusan satu ini…pandai membuatku naik darah,” gumam Gaza pada Tao.
“Jangan hina aku…” balas Tao. “Karena sebentar lagi kau akan menggantikan ayahku dineraka.”
Gaza tergelak mendengarnya.
“Baiklah…” ucap Gaza. “Jadi kau ingin mengakhiri semuanya dengan kekerasan? Kau tahu, Huang Zitao? Kau tidak berada di dalam daftar orang-orang yang hendak aku hancurkan. Tetapi setelah keadaan ini, aku jadi sangat ingin menghancurkanmu. Percayalah itu.”
“Kalau begitu ayo kita lakukan,” ucap Tao menantang dengan berani. “Kita bertanding secara jantan.”
“Tanpa senjata…” ucap Gaza.
“Tanpa senjata,” ucap Tao menyetujuinya.
“Sudah lama aku ingin melakukan hal ini,” ucap Gaza seraya melepaskan jas coklatnya. “Bertanding dengan petinju internasional. Waaaaw….sungguh kehormatan buatku…” ejek Gaza.
Tao sudah membuang senjatanya ke sudut ruangan, tempat dimana Na Ran berdiri masih dengan wajah shyok.
“Kita main habis-habisan, bagaimana?” tanya Gaza. “Dan aku akan dengan cepat melakukannya. Karena jujur saja, kau dan ibumu sudah membuang waktuku untuk segera mengambil uang dari Kang Han Bok.”
Tao terkekeh seraya berkata, “Kau berhasil ditipu ternyata. Aku sudah mengeceknya di bawah dan uang mereka palsu.”
“Mwo?” geram Gaza yang tiba-tiba lengah, membuat Tao mengambil kesempatan ini untuk menyerangnya lebih dulu.
“Tidak susah melawanmu,” ucap Tao mengejek.
Gaza pun tertawa sebelum akhirnya menyeruduk perut Tao dengan kepalanya yang keras. Tao pun berusaha menyerang punggung Gaza secara bertubi-tubi.
“Maaf, Tao…” ucap Gaza berusaha bertahan dengan posisinya sekarang ini. “Aku tidak mau menggantikan Jin Hee di neraka.” Dan detik selanjutnya yang terjadi, Tao menghentikan pukulannya sementara darah mengucur dari pinggangnya. Gaza berhasil membenamkan pisau lipat ke dalam perutnya.
“K-kau…” ucap Tao bersamaan dengan ambruknya tubuhnya ke lantai.
Na Ran pun memekik histeris.
“Aku masih punya banyak hal untuk diurus di dunia ini,” ucap Gaza. “Dan jangan salahkan aku karena kau mengancamku lebih dulu. Sekali lagi aku katakan, aku tidak mau mati dan menggantikan ayahmu di neraka.”
“Tao…” isak Na Ran mencoba menutupi luka diperut Tao.
“E-Eomma…” ucap Tao berusaha bersuara.
“Bertahanlah, Tao….bertahanlah….” isak Na Ran. “Eomma akan segera membawamu ke rumah sakit.”
“Jangan banyak berjanji, Na Ran-ah,” ucap Jin Hee seraya memasukkan pisau lipatnya yang penuh darah ke dalam saku celananya. “Kau harus ikut dan kita akan pergi tinggalkan Korea.”
“Jangan harap!” ucap Na Ran menggeram seraya mengambil pistol Tao yang dilempar disudut ruangan.
Gaza pun tersenyum seraya bertanya, “Sekarang kau yang ingin mengancamku?”
“Mengancam?” tanya Na Ran. “Aniyo. Ini bukan ancaman, Moon Gae Ja!” Tanpa peringatan, Na Ran menarik pelatuk pistol di tangannya, menghembuskan peluru tepat ke arah jantung Gaza.
Gaza terdiam ditempat, seperti menunggu reaksi kesakitan yang akan dia rasakan berkat menancapnya peluru dari pistol Tao ke dalam dadanya.
“N-Na Ran-ah…” Gaza mengulurkan tangannya ke arah Na Ran. “K-kau…membunuhku?”
“Maafkan aku…” ucap Na Ran seraya melemparkan pistol ditangannya ke lantai. “Aku tidak bisa melihat kau terus menyiksa keluargaku dan orang lain…”
“Lee…Na Ran…” Gaza pun menghembuskan nafas terakhirnya.
**
Mr. Kang dan yang lainnya terkejut saat melihat Na Ran sedang membopong Tao yang terluka ke luar gedung.
“Gongchul, Myung Soo…cepat tolong mereka…” ucap Mr. Kang.
Gongchul dan Myung Soo pun bergegas menghampiri keduanya untuk membantu.
“Dimana Gaza?” tanya Mr. Kang pada Na Ran.
“Dia sudah mati,” jawab Na Ran.
“Mwo?” tanya Myung Soo terkejut. “Akhirnya kau berhasil membunuhnya?” Pandangan Myung Soo teralih pada Tao yang sedang sekarat di dalam mobil Mr. Kang.
“E-Eomma yang melakukannya,” ucap Tao berusaha bicara.
“Gongchul-ah, cepat kau bawa ke rumah sakit terdekat,” ucap Mr. Kang pada Gongchul. “Setelah mengantarnya kau kembali kesini.”
“Baik,” ucap Gongchul sebelum pergi membawa Tao ke rumah sakit.
“Na Ran-ah…bagaimana bisa kau melakukannya?” tanya Mr. Kang pada Na Ran yang masih tidak percaya bahwa dia telah membunuh Gaza.
“A-aku…aku pasti akan masuk penjara setelah ini,” ucap Na Ran ketakutan. “A-aku…aku harus menyelamatkan Tao. Dia tidak boleh meninggalkanku setelah Gaza membunuh Jin Hee…”
“Aku mengerti, Na Ran-ah…” ucap Mr. Kang berusaha menenangkan Na Ran yang masih terlihat shyok. “Tidak akan ada yang tahu Gaza telah mati. Kita akan sembunyikan hal ini. Dan kau akan aman.”
“Satu lagi…” ucap Na Ran teringat akan sesuatu. “Bisakah kalian tolong bawa wanita yang ada di dalam gedung ini?”
“Mwo?” tanya Myung Soo tidak mengerti. “Gaza menyekap orang lain selain kau?”
“Akan aku ceritakan semuanya, paling tidak setelah aku mampu bicara banyak,” ucap Na Ran yang tiba-tiba terjatuh dan terduduk lemas.
**
Dua minggu kemudian…
Myung Soo menatap perut Tao yang dibebat perban siang itu di dalam ruang rawat.
“Kau selamat, untung saja,” ucap Myung Soo.
“Dan kau ada disini,” ucap Tao. “Menjengukku…entah untuk alasan apa.”
“Kau memang manusia yang sangat menyebalkan,” ucap Myung Soo. “Tetapi aku harus hentikan kebencian ini, Tao. Kita sudah terlalu banyak mendapatkan masalah. Kau tahu? Akibat pertengkaran ayahku dengan Park Jin Hee, semuanya berlanjut sampai sekarang.”
“Jadi menurutmu, kita harus genjata senjata, begitu?” tanya Tao.
Myung Soo menggeleng seraya berkata, “Kita sudahi pertikaian kita untuk selamanya.”
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” tanya Tao.
“Akan jadi sulit untukku nantinya,” jawab Myung Soo. “Karena jujur saja, aku sudah tidak menyimpan benci padamu. Dan itu aku rasakan sejak aku tahu bahwa ayahku masih hidup.”
“Mwo? A-ayahmu masih hidup?” tanya Tao terkejut.
Myung Soo mengangguk seraya berkata, “Dia bersembunyi di Thailand. Dan semuanya berkat pertolongan Mr. Kang.”
“Mr. Kang yang kejam itu? Dia menolong ayahmu?” tanya Tao.
“Yaa! Kau lupa Mr. Kang yang menyuruh Gongchul-Hyung untuk segera membawamu ke rumah sakit sebelum kau kehabisan darah?” tanya Myung Soo. “Dia orang yang baik. Bahkan terlalu baik.”
“Aku masih tidak percaya,” ucap Tao.
“Begitupun denganku. Karena Gaza, aku batal membawa ayahku kembali ke sini. Dan diundur satu minggu dari sekarang,” ucap Myung Soo. “Tetapi hal baiknya semuanya sudah terbongkar, rahasia-rahasia yang dulu dipendam, kini aku sudah tahu semua…”
“Semuanya?” tanya Tao. “Kau yakin?”
“Tentu saja aku yakin,” ucap Myung Soo. “Ayahku masih hidup di Thailand dan Park Jiyeon adalah saudaraku yang telah lama hilang.”
“Kurasa kau keliru,” ucap Tao.
“Keliru?” tanya Myung Soo dengan alis bertaut. “Apa maksudmu?”
**
Myung Soo berlari menuju markas Mr. Kang, disana ada Oh Hani dan Lee Na Ran, yang sedang menangis. Myung Soo pun terdiam di ambang pintu sementara Na Ran terus mengucapkan maaf pada Oh Hani.
“Ahjumma…benarkah apa yang dikatakan Tao?” tanya Myung Soo pada Na Ran. “Park Jiyeon….bukan saudara kandungku?”
“Ceritakan padaku tentang kebenaran ini Na Ran-ah…” pinta Oh Hani yang masih memetakan keterkejutan di wajahnya sejak Na Ran memberitahu pasal Jiyeon bukan anak kandung Oh Hani beberapa detik yang lalu.
“Ini yang selalu aku sembunyikan darimu, Hani-ah,” ucap Na Ran. “Ini yang ingin aku bicarakan padamu sebelum akhirnya Gaza berhasil menculikku. Aku mengambil Park Jiyeon dari panti asuhan setelah anakmu yang aku adopsi menghilang. Park Chorong, aku memberi namanya Park Chorong. Aku takut saat Chorong menghilang. Dan aku tidak tahu dia ada dimana. Sampai akhirnya Gaza memberitahuku bahwa selama ini dialah yang menculik Chorong.”
Oh Hani terdiam sementara air matanya terus mengalir.
“Aku tidak tahu banyak soal bagaimana Gaza membesarkan Chorong. Yang pasti dia masih hidup sekarang,” ucap Na Ran. “Myung Soo-ah, kau ingat wanita yang tidak bisa berjalan yang kau tolong di dalam gedung? Dialah Park Chorong.”
Myung Soo berusaha untuk tidak terjatuh ditempatnya berdiri saat ini. Jelas Myung Soo merasakan kemirisan yang sama dengan Na Ran saat melihat kondisi wanita itu.
“Chorong berkata padaku bahwa Gaza mulai menyiksanya sejak umurnya lima belas tahun,” ucap Na Ran.
“M-mwo?” Air mata Oh Hani semakin mengalir deras. “Lima tahun Gaza menyiksa anakku?”
“Aku melihat banyak luka pada tangan dan kakinya,” sahut Myung Soo. “Dan dia sulit sekali berdiri, apalagi untuk berjalan.”
“Gaza…dia memasung kaki Chorong,” ucap Na Ran dengan berat hati memberitahu.
“Oh Tuhan…” desah Oh Hani seraya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Hani-ah…tolongkan maafkan aku karena aku lalai menjaga anakmu,” ucap Na Ran seraya duduk di lantai di depan kaki Hani. “Dua puluh tahun aku merasakan penderitaan ini. Aku takut dan merasa bersalah, aku bahkan tidak mampu menatap wajahmu sewaktu pertemuan kita di depan restoran.”
Usai meredakan perasaannya yang bercampur aduk, Hani akhirnya menyuruh Na Ran untuk bangun dan duduk di sebelahnya.
“Bukan begini caranya kau meminta maaf, Na Ran-ah,” ucap Hani. “Aku tahu bagaimana Gaza. Dan aku tahu kau tulus ingin memiliki dan merawat anakku. Myung Soo sudah menceritakan kisah masa lalumu dengan Gaza dan Jin Hee. Chorong hilang dan tersiksa karena Gaza. Dan aku tidak mungkin menyalahkanmu.”
“Aniyo…aku pun turut bersalah dan aku sangat merasa berdosa padamu,” ucap Na Ran. “Karena aku lalai, Chorong hidup dengan tersiksa selama dua puluh tahun.”
“Lalu dimana dia?” tanya Oh Hani. “Aku ingin bertemu.”
“Dia ada dirumah sakit dan sedang ditangani khusus oleh dokter kejiwaan,” jawab Na Ran. “Kau dan Myung Soo bisa menjenguknya hari ini.”
“Bolehkah aku ikut?” tanya seseorang yang berdiri di belakang tubuh Myung Soo.
Myung Soo terkejut bukan main saat tahu Jiyeon sudah berdiri di belakangnya entah sejak kapan.
“A-Aku…” Jiyeon menangis dan Myung Soo tahu mengapa dia menangis seperti ini. “…aku mau tahu seperti apa rupa saudara kandungmu yang sebenarnya.”
“Jiyeon-ah…” Myung Soo pun menarik Jiyeon ke dalam pelukannya. “Maafkan aku…”
Jiyeon menggeleng seraya berkata, “Aku senang mendengarnya. Kalian…akhirnya bisa berkumpul bersama.”
**
Park Chorong menatap Oh Hani dalam bayangan kabur. Dia baru saja bangun dari tidurnya saat perawat mengatakan ibunya ingin menjenguknya.
“Kau…” ucap Chorong dengan suara serak. Dipegangnya wajah Oh Hani. Oh Hani pun membalasnya, memegang wajah tirus Chorong yang terlihat mengenaskan. “….ibuku?”
Oh Hani mengangguk seraya meneteskan air mata.
“Benarkah kau…ibuku?” tanya Chorong dengan mata berkaca-kaca.
“Aku adalah ibumu, anakku,” ucap Oh Hani. “Aku yang melahirkanmu. Dan ini…” Oh Hani menarik tangan Myung Soo ke sebelahnya. “…Myung Soo, saudara kembarmu…saudara kandungmu…”
Chorong pun memberikan seulas senyum lemahnya sebelum berkata, “Gaza pernah bilang padaku…bahwa aku memiliki seorang kakak. Aku…tidak tahu….bahwa kakakku…setampan ini…”
Myung Soo pun tersenyum sebelum menggenggam erat tangan Chorong.
“Selamat datang di keluarga kami,” ucap Myung Soo.
Chorong pun membalas, “Aku butuh waktu untuk membiasakan diri…dengan orang baru.”
Oh Hani pun mengangguk seraya berkata, “Aku tahu selama ini kau mendapatkan perlakuan buruk dari Gaza. Tetapi percayalah, mulai saat ini kau aman bersama kami. Kami akan menjagamu dan melindungimu.”
“Aku senang mendengarnya…Eomma,” ucap Chorong terisak bahagia.
Sementara itu dengan Jiyeon. Dia tak kuasa menahan rasa haru melihat keluarga Kim Myung Soo akhirnya berkumpul seutuhnya, membuatnya akhirnya cukup berdiri di luar ruangan, bersama dengan Na Ran yang sedang sibuk berbicara dengan dokter khusus yang menangani Chorong.
Tak lama kemudian ada yang menyentuh tangannya. Kim Myung Soo baru saja keluar dari ruangan dan kini tangannya sedang tergenggam erat di dalam tangan hangat Myung Soo.
“Mau cari udara segar?” tanya Myung Soo.
Jiyeon pun mengangguk.
Myung Soo pun mengajak Jiyeon ke suatu tempat yang Jiyeon kenali sebagai tempat pertama kali mereka bertemu.
“Kau ingat tempat ini?” tanya Myung Soo yang duduk di sebelah Jiyeon.
Jiyeon mengangguk sebelum tersenyum.
“Aku duduk disini dengan wajah babak belur…” ucap Myung Soo berusaha mengingat keadaan waktu itu. “Dan kau sedang berdiri disini…siap menjatuhkan diri ke bawah sana.”
“Lalu kau hanya bilang `kau ingin mengakhiri hidupmu dengan cara seperti itu`…” ucap Jiyeon menambahkan.
“Geurae,” ucap Myung Soo tertawa saat mengingatnya. “Bisa kau bayangkan, Jiyeon-ah? Jika saat itu kau benar-benar menjatuhkan dirimu ke bawah sana, mungkin saat ini…kau tidak akan berada di sebelahku, menjadi wanita yang paling aku inginkan untuk menemani hidupku. Menemaniku entah sebagai siapa…kekasih atau saudara. Keduanya jadi tidak penting lagi disaat aku menyadari bahwa hanya dengan melihatmu, perasaanku menjadi jauh lebih baik. Dan ada kebahagiaan tak terkatakan yang aku rasakan. Disini…” Myung Soo menunjuk dadanya sendiri.
Jiyeon mengangguk seraya berkata, “Begitupun denganku. Disaat aku sadar bahwa aku memiliki perasaan khusus padamu, disaat itulah aku bersyukur bahwa kau pernah hadir pertama kalinya di dalam hidupku untuk mencegahku melakukan kebodohan yang dapat aku sesali seumur hidupku.”
“Aku tahu apa yang sedang kau rasakan saat ini, Park Jiyeon,” ucap Myung Soo seraya melihat raut kesedihan yang terpeta jelas pada wajahnya. “Kebahagiaanmu dalam sekejab luntur saat Chorong hadir diantara kita.”
Jiyeon menggeleng seraya berkata, “Aku masih bahagia. Sangat bahagia.”
“Kebahagiaan untuk apa?” tanya Myung Soo. “Kenyataan ini membuatmu akhirnya kehilangan sosok orangtua lagi.”
“Aku masih punya Lee Na Ran…” ucap Jiyeon. “Dan dia akan selalu jadi ibuku. Sampai kapanpun.”
“Dan kau…” ucap Myung Soo seraya memegang kedua tangan Jiyeon. “Kau akan selalu menjadi kekasihku, menjadi milikku dan menjadi orang yang paling aku cintai di dunia ini. Sampai kapanpun.”
Dikecupnya bibir lembut Jiyeon sebelum diakhiri bisikan, “Bagaimana kalau kita lanjutkan hubungan kita lagi?”
Jiyeon pun mengangguk lalu tersenyum diiringi dengan bunyi ponsel Myung Soo.
Usai menerima panggilan dari Gongchul, Myung Soo pun berkata, “Mau lihat ayahku sekarang?”
“Mwo?” tanya Jiyeon terkejut.
“Ppali…” Myung Soo pun menggandeng tangan Jiyeon sebelum dibawanya pergi menuju Mr. Kang.
**
“Sudah siap?” tanya Sunggyu yang baru keluar dari ruangan Mr. Kang yang tertutup. “Ada ibumu di dalam, sedang melepas rindu dengan ayahmu.”
“Kenapa dia ada kesini?” tanya Myung Soo. “Bukan begini rencananya.”
“Mr. Kang ingin buat kejutan untukmu,” ucap Sunggyu seraya mengecek ponselnya yang bergetar. “Aigooo…kenapa gadis ini selalu saja menyusahkanku.” Sunggyu pun pergi sambil mengoceh, entah kemana.
Myung Soo pun dengan perasaan tidak karuan membuka pintu ruangan Mr. Kang. Oh Hani yang sedang berpelukan dengan seorang pria pun otomatis menoleh ke arah pintu.
“Masuklah, Myung Soo-ah,” ucap Oh Hani.
Pria yang baru saja berpelukan dengan Oh Hani pun memalingkan wajahnya ke arah Myung Soo, yang masih tidak bergerak di ambang pintu.
Priai itu tersenyum sebelum mengeluarkan suaranya.
“Anakku…”
Air mata Myung Soo saat itu jatuh tak tertahankan disaat telinganya mendengar suara sang ayah yang selama ini sudah dianggapnya tiada.
“A-Appa…” ucap Myung Soo berusaha mengeluarkan suara.
“Kemarilah…” ucap Kim Jang Min di atas kursi rodanya seraya mengulurkan kedua tangannya ke arah Myung Soo.
Myung Soo pun berjalan maju ke arah Jang Min sebelum dirinya menyambut pelukan dari sang ayah.
“Appa…” Tangis Myung Soo semakin terdengar, membuat Jiyeon mau tak mau ikut menangis.
“Kau sudah besar anakku….” ucap Jang Min seraya mengecup kepala Myung Soo. “Kau tampan….kau sehat…”
“Aku sangat ingin bertemu denganmu, Appa…” isak Myung Soo.
“Kita sudah bertemu, anakku…” ucap Jang Min berusaha menenangkan Myung Soo yang masih terisak.
“Berjanjilah jangan tinggalkan kami lagi….” isak Myung Soo semakin menjadi.
“Ne, aku berjanji…” ucap Jang Min seraya mempererat pelukannya. “Aku akan selalu ada untukmu dan ibumu mulai saat ini.”
“Dan untuk Chorong?” tambah Oh Hani yang berdiri disebelah mereka.
“Dan untuk Chorong….Kim Chorong,” ucap Jang Min yang berencana akan menemui Chorong siang ini.
Sementara itu dengan Jiyeon…
“Park Jiyeon…” Tak diduga Jang Min memanggilnya untuk masuk ke dalam.
“N-ne?” Jiyeon otomatis membungkuk hormat di depan Jang Min.
“Aku ikut berduka dengan kematian Jin Hee,” ucap Jang Min. “Dan aku sudah dengar semuanya. Tak terkecuali satu pun. Termasuk saat dimana kau pernah hampir menjadi bagian anggota keluarga kami.”
Jiyeon hanya diam dengan kepala tertunduk.
“Tetapi…” tambah Jang Min. “Setelah kehadiran Chorong kembali ke dalam keluarga kami, itu tidak menghilangkan kesempatan dirimu untuk menjadi bagian dari kami.”
Jiyeon pun mendongak dengan wajah bingung.
“Ayahku hanya ingin bilang kalau aku harus segera melamarmu…” ucap Myung Soo dengan inisiatif menambahkan.
“Eomma tidak dengar ayahmu berkata seperti itu,” timpal Oh Hani diakhiri senyum.
“Itu hanya harapanku, Eomma,” ucap Myung Soo.
“Dan harapanku juga,” ucap Jang Min.
Jiyeon tersenyum menyadari bahwa sosok Kim Jang Min memang merupakan ayah yang luar biasa hangat dan baik.
“Apa aku masih boleh memanggil kalian dengan sebutan `Appa` dan `Eomma`?” tanya Jiyeon penuh harap.
“Tidak ada yang melarangmu, Jiyeon-ah,” ucap Oh Hani seraya memeluk Jiyeon. “Kau tetap anakku…sampai kapanpun.”
**
Lima bulan kemudian…
Jiyeon sudah siap sebelum memasuki ruangan pernikahannya sementara Myung Soo belum datang juga.
“Kemana dia?” gumam Jiyeon dengan wajah gelisah.
Eunji yang setia menemani Jiyeon di sebelahnya pun sedang berusaha menghubungi ponsel Sunggyu.
“Yaa! Kalian dimana?” tanya Eunji. “Pernikahan sudah mau dimulai! M-mwo?…Aku tidak mau tahu…pokoknya kalian harus cepat sampai disini!”
“Wae wae?” tanya Jiyeon tiba-tiba panik.
“Sunggyu…dia lupa mengisi bensin mobilnya…” jawab Eunji. “Pacarku yang satu itu memang bodoh sekali!”
Lima menit kemudian, akhirnya sosok yang ditunggu tiba. Sunggyu sedang berusaha memakaikan jas pada Myung Soo.
“Dia menang pertandingan hari ini,” bisik Sunggyu di belakang Jiyeon.
Jiyeon pun tersenyum seraya menatap wajah Myung Soo yang sedikit biru di bagian sudut bibirnya.
“Chukkae…” ucap Jiyeon sebelum keduanya masuk ke ruangan pernikahan.
Myung Soo pun membalasnya dengan, “Saranghae…”
The End