Gawat.
Dengan mata yang masih terus memindai sekelilingnya, seorang pria bertubuh tinggi dengan ujung mata lancipnya yang khas hanya bisa pasrah saat seorang pria lain berperawakan agak besar menariknya keluar dari tempatnya sadarkan diri.
“Mau sampai kapan kau tidur? Apa kau tidak ingat hari ini kau menjadi bintang tamu sebuah program? Apa kau tidak membaca pesanku lagi? Kau ini, kenapa selalu mengabaikanku? Aku susah payah berlarian kesana kemari untuk mengurusmu. Lagipula, kau ini harusnya…” Ia terus bicara tanpa henti, menjatuhkan pria yang tadi diseretnya dari tempat tidur keatas sebuah sofa besar di ruangan berbeda dan melemparkannya sebuah setelan jas berbungkus plastik berlabel sebuah binatu terkenal.
“…..atau namaku bukan Jae Gook.” Pria yang agak besar itu akhirnya berhenti berceloteh setelah menyadari bahwa orang yang seharusnya menjadi lawan bicaranya tidak meresponnya dengan reaksi apapun, kecuali menerawang seluruh dinding dan langit-langit ruang tamu apartemennya sendiri. Jae Gook menoleh sambil meliriknya sebal.
“Ya, Joon.” Panggilnya dengan suara biasa, tapi tetap tak mendapatkan reaksi dari lawan bicaranya.
“JOON!” Panggilnya seraya sedikit membentak. Sepertinya kali ini Jae Gook sukses mendapatkan perhatian pria yang sudah 3 tahun menjadi fokus pekerjaannya itu, terbukti dari ekspresi terkejut yang nampak dari pemilik wajah tirus itu saat mendengar suaranya.
“Ya! Kau mengabaikanku lagi?? Lee Joon!”
Pria itu menggeleng dengan sedikit gemetar. “A-aku dengar, aku dengar! T-tapi aku bukan Joon.”
Jae Gook tertawa sinis. “Hah. Yang benar saja…” Ia memijit alisnya untuk meredakan emosinya yang mungkin akan segera berbuah jadi bentakan lain karena si pipi tirus ini. “Joon, aku tahu kau berbakat jadi aktor. Tapi lakukan saja itu dengan lawan mainmu. Cepat ganti pakaianmu! kita bisa terlambat ke stasiun televis—”
“A-aku bukan Joon! Aku bersumpah! Aku Changsun, Lee Changsun!”
Jae Gook mengernyitkan keningnya dalam-dalam.
“Baik,” katanya setelah menghela nafas frustrasi. “Kutunggu kau di bawah. Pastikan kau sudah berada didalam mobil sebelum jam…..” Jae Gook menarik lengan kemejanya dan melirik jam tangannya.
“… tepat jam 10. 15 menit lagi.” Ia lalu beranjak pergi dari ruangan itu, menuju sebuah pintu dan menghilang dari pandangan Changsun dalam beberapa detik. Meninggalkannya tanpa satupun petunjuk tentang ini dimana dan bagaimana bisa ia berada disini.
“ASTAGA!” Changsun menarik rambutnya sendiri dengan kedua tangannya, membuat tatanan yang sudah tidak berbentuk sejak ia bangun beberapa menit lalu semakin tidak berbentuk. Dari hasil pemindaian singkatnya, ada beberapa hal yang ia temukan: 1) Ini bukan kamarnya. 2) Tidak seperti biasanya, kali ini bukan Hana yang membangunkannya. 3) Ia bisa melihat bagian atap gedung diluar jendela, yang artinya ia juga ada di dalam sebuah gedung. 4) Pria gemuk yang memanggilnya Joon tadi benar-benar kesal padanya.
Dan Ia harus berada turun dari tempat ini dalam waktu 15 menit! Demi Tuhan!
Changsun berdiri dan berjalan mengitari ruangan itu tanpa ada setitikpun tertulis didalam otaknya kecuali bagaimana ini. Disatu sisi ia ingin berlari keluar dari sini sebelum pria gemuk berpipi halus yang mengaku bernama Jae Gook itu menemukannya dan mungkin akan melakukan hal buruk padanya. Tapi disisi lain, Changsun ingin sekali mengetahui apa yang terjadi padanya. Dan mungkin, pria itu bisa memberi setidaknya sedikit petunjuk.
Changsun menggigit ibu jarinya. Sama sekali tidak tahu apapun tentang kondisi aneh saat ia sadar ia terbangun di tempat asing, atau apa yang harus dilakukannya sebelum 15 menit ini berakhir. Andai saja ada Hana. Ia pasti tahu apa yang kulakukan…
Ia terbelalak. Hana!
Ia berlari ke seluruh penjuru apartemen luas yang punya beberapa ruangan itu, berharap bisa menemukan Hana. Tidak mungkin kan, ia pergi dari rumahnya tanpa Hana. Mungkin saja ia mabuk di suatu tempat lalu Hana membawanya kesini. Tapi beberapa kali mengelilingi semua ruangan, ia menyadari tidak ada siapa-siapa lagi disana selain dirinya sendiri. Tidak ada sepatu, tas, mantel, aroma parfum, tidak tanda-tanda Hana pernah berada disini. Changsun memejamkan matanya erat untuk menenangkan dirinya sendiri. Sebuah foto diatas kanvas besar selebar satu panjang lengan orang dewasa yang menempel di sebuah dinding didepannya kini membuatnya tertegun.
“Itu….. aku?”
Seperti melihat cermin, Changsun dan akal sehatnya mengakui bahwa model didalam foto hitam putih diatas kanvas yang menjadikannya tampak artistik itu adalah dirinya. Dilihat dari sisi manapun, ia bisa mengenali mata, hidung dan garis wajahnya sendiri dalam foto itu. Tapi mana pernah ia berfoto dengan profesional seperti ini? Memangnya ia selebriti….
Changsun menggelengkan kepalanya dua kali. Dipikir seperti apapun, jelas-jelas ini bukanlah fotonya.
“Ini, orang yang bernama Lee Joon itu?” Seolah mekanisme di dalam otaknya mulai bergerak, beberapa analisa yang mengaitkan seluruh kejadian yang dialaminya pagi ini berhasil didapatkannya.
Kalau ini adalah orang yang bernama Lee Joon itu, berarti aku berada di apartemennya? Apa aku dan si Lee Joon ini… Ah, tidak mungkin. Tidak masuk akal. Tapi bagaimana bisa?
Bertukar tubuh??
Ia buru-buru menarik ujung baju atas yang dikenakannya untuk memeriksa perutnya. Changsun ingat ia memiliki bekas jahitan operasi usus buntu 10 tahun lalu di perut bagian kanan. Ia mendesah lega karena bekas jahitan itu masih ada di tempatnya, persis ditempat yang diingatnya. Ia menyimpulkan kalau ia tidak bertukar tubuh dengan siapapun, termasuk dengan Lee Joon yang bila dilihat dari foto tadi, memiliki rupa yang sangat mirip dengannya.
Apa ada yang menemukan kami lalu membawa kami ke tempat yang salah?
Sayangnya Changsun tidak bisa menemukan jawabannya, karena hal terakhir yang diingatnya adalah ia sedang berada dikamarnya, berbaring sambil memeluk Hana, calon istrinya, dan bersiap untuk tidur. Hanya kegiatan yang normal yang selalu ia lakukan setiap hari.
Itu dia! Changsun bertingkah seperti seorang penemu yang mendapatkan ide baru. Ia kembali memindai tempat yang terlalu rapi untuk dikatakan sebagai sebuah rumah itu sambil memeriksa setiap saku yang ia miliki, mencari ponselnya atau sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menghubungi Hana. Sebelum sesuatu berbunyi keras di belakangnya, memberinya serangan jantung.
Changsun mencari sumber bunyi yang ternyata berasal dari sebuah ponsel, tapi bukan miliknya. Dilayarnya tertulis “Jae Gook Hyung”. Changsun ragu, tapi akhirnya ia membawa benda itu dalam genggamannya dan menjawab panggilan tersebut.
“LEE JOON! DEMI TUHAN, TURUN! SEKARANG!!”
Suara itu terdengar seperti sambaran petir bagi Changsun yang menyesali kenapa ia menempelkan benda itu ditelinganya yang kini berdengung. Tidak berharap untuk mendengar suara itu lagi, Changsun memutuskan untuk menuruti mau pria gemuk-gook itu dulu, untuk cepat-cepat mengganti baju dan turun—entah kemana pria itu akan membawanya setelah itu. Mungkin, diluar sana ia bisa mendapatkan petunjuk tentang apa yang terjadi, atau sedikit pencerahan juga tentang bagaimana caranya ia bisa kembali ke rumahnya sekarang.
Atau ia bisa meminta Jae Gook itu untuk mengantarnya pulang.
Bagaimanapun caranya, ia harus kembali. Hana pasti sangat khawatir bila tidak menemukannya. Apalagi, hari pernikahan mereka tinggal 2 minggu lagi. Changsun mungkin lebih memilih mati daripada melewatkan hari itu hanya karena terkurung di sebuah tempat asing milik orang asing yang memiliki wajah yang seolah dicetak dari wajahnya. Terutama, bersama teman besarnya yang cerewet itu.
Changsun bergegas mengganti pakaiannya dengan setelan yang dilemparkan si pria Jae Gook itu ke sofa. Siapapun yang bernama Lee Joon ini, pasti pria yang berselera tinggi. Barang-barang yang digunakannya untuk mengisi rumah ini bukanlah barang-barang yang bisa Changsun lihat sehari-hari dilingkungannya yang sederhana. Bahkan setelan ini—yang herannya bisa begitu pas ditubuhnya—juga harumnya lain. Dari baunya saja sudah terbayang berapa harganya.
Ia lalu beranjak keluar dari ruangan itu saat ia melihat ponsel yang tadi digunakannya. Ponsel keluaran terbaru. Pasti bisa membantunya untuk pulang. Atau… Menelepon!
Ia menyambar ponsel itu dan buru-buru mengetik beberapa angka yang diingatnya sebagai nomor telepon Hana. Untung dia selalu mengingat nomor wanita yang sudah bersamanya selama 5 tahun itu.
Dari seberang sana terdengar nada sambung. Detik selanjutnya terdengar suara seorang wanita yang sangat familiar ditelinga Changsun. Suara Hana!
“Halo?”
Mendengar suara itu, seulas senyum antusias mekar di wajah Changsun. “Hana!!”
“Iya, saya Hana. Maaf, ini dengan siapa?”
“Hana ini aku, Cha—“
“Changsun!!” Suara Hana diseberang sana terdengar lebih antusias daripada dirinya. Changsun tersenyum lebar. Ia punya seorang Hana. Tentu saja, apapun yang terjadi, Hana pasti akan langsung mengenalinya.
“Iya ini aku!!” Changsun tak bisa menyembunyikan harunya. “Hana, aku—“
“Changsun, mau kemana? Kau belum menghabiskan supnya! Ya!! Kembali sini, pria jelek!”
Changsun mengernyitkan keningnya. Di ponsel yang digenggamnya terdengar samar-samar suara Hana yang sedang marah-marah seperti biasanya dan suara seorang pria yang sepertinya sedang dimarahi Hana. Hana sedang bersama… siapa?
Dengan ragu, ia kembali berbicara. “H-halo?”
“Halo,” suara Hana menjawabnya, kini terdengar jelas. “…maaf ada sesuatu yang mengganggu. Tadi kau bilang apa?”
Changsun mendadak lupa dengan apa yang ingin ia katakan sebelumnya. Mulutnya terbuka, tapi tak sepatah katapun keluar dari sana.
“Halo??”
“A-apakah itu… Changsun?” Suara Changsun gemetar. Akhirnya mulutnya bersuara, tapi hatinya semakin meragu.
“Iya benar itu Changsun. Dia bertingkah lagi… Ah, maaf. Apa kau mengenal calon suamiku? Apa kau temannya?”
Jawaban Hana membuat Changsun mengepal jarinya erat. Tidak.
Tidak mungkin.
“B-bukan. Aku— Bukan. Tidak ada apa-apa.” Ia langsung memutuskan panggilan tersebut. Otaknya yang baru saja bergerak kembali mencoba menerka-nerka apa yang mungkin terjadi.
Tidak mungkin.
***