Ia menghentakkan kaki kirinya dengan kuat ke lantai, seperti gerakan barusan adalah sebuah pamungkas yang menutup penampilannya setelah selama 4 menit membiarkan tubuhnya menjelajahi udara dan gravitasi. Meliuk, melompat dan berputar, sesuai irama musik energik yang mengiringinya bernyanyi.
Semua hampir sempurna.
Joon memburu nafasnya. Tetes demi tetes keringat turun dari kepalanya seperti gerimis. Ia menyambar sebuah botol air mineral di tepi ruangan berdinding cermin yang memang disiapkan sang manager untuknya, lalu menegak isinya seolah ia belum pernah minum selama seminggu.
“Kerja bagus! Hari ini, sampai disini dulu. Kau sudah bekerja keras.” Seungwoo, si koreografer yang tampak puas dengan hasil latihan hari ini menepuk pundaknya setelah melempari wajahnya dengan sebuah handuk. Sambil mengelap wajahnya, Joon yang masih terengah berusaha tersenyum, sebagai ucapan terima kasih.
Satu-persatu kemudian meninggalkan ruangan latihan itu. Namun Joon masih disana. Didepan sebuah kaca pantul besar, melihat bayangannya sendiri. Dibalik sana, ia bukan berada didalam sebuah ruangan latihan, tapi diantara jeritan ribuan penggemar dan kilauan lampu berkelip. Ia berdiri diatas sebuah panggung dengan gagahnya, dimana setiap gerakan kecilnya adalah perintah wajib bagi lautan manusia itu untuk berteriak. Dan ia bisa dengan sangat jelas mendengar kencang degup didalam dadanya yang berdesir diantara kebisingan total itu.
Degup yang istimewa baginya. Yang memberinya nyawa, dan tujuan hidup. Hasratnya.
Mimpinya.
Hanya tinggal 2 minggu sampai saatnya tiba untuk benar-benar berada diatas panggung itu. Konser solo pertamanya. Ia telah berlatih setiap hari bahkan sejak 5 bulan sebelumnya untuk memastikan bahwa semuanya benar-benar sempurna. Bukan hanya karena bawaan karakter perfeksionisnya yang bergolongan darah A, tapi ia benar-benar rela melakukan apapun untuk membuat konser solo pertamanya sesempurna mungkin. Tidak sedikitpun ada cacat. Sesempurna mungkin.
Tidak ada setitik hal pun yang boleh merusak itu.
Joon menatap dalam bayangan mata tajamnya di cermin sebelum berbalik mengambil tas dan bajunya lalu pergi dari ruangan itu.
Entah bagaimana, sepertinya ia meninggalkan sesuatu tanpa menyadarinya.
***
Matanya terbuka perlahan. Sinar matahari yang menyilaukan perlahan mengintip seiring ia membuka matanya semakin lebar. Samar suara kicauan burung terdengar di telinganya. Merdu. Sudah lama ia tidak mendengar—
Tunggu.
Kicau burung, di apartemennya, di tengah-tengah pusat kota.
Tidak mungkin. Hampir sangat jarang.
Joon akhirnya mendobrak seluruh lapisan kelopak matanya sampai pengelihatannya benar-benar berfungsi baik.
Ah, mungkin masih mimpi.
Ia lalu membuka matanya selebar yang ia bisa untuk meyakinkan bahwa ia sudah benar-benar bangun. Namun entah mimpi atau bukan, semua disekelilingnya kini tak ada satupun yang bisa ia kenali. Merasa ia tidak berada ditempat seharusnya ia berada, dengan sedikit gemetar Joon melangkah mundur perlahan, kearah dinding yang berada tempat disamping sebuah tempat tidur tempatnya terbangun. Tanpa ia perhitungkan, kepalanya membentur dinding, meski tidak begitu keras.
Bukan. Ini jelas bukan apartemennya. Seteliti apapun ia sudah memperhatikannya, ruangan ini sama sekali bukanlah kamarnya. Ia juga sadar tidak sedang bermimpi karena bekas benturan tadi masih terasa berdenyut sedikit.
Matanya memindai cepat seluruh ruangan kecil dan asing itu. Tepat didepannya, ada sebuah cermin persegi kecil yang tertempel di tembok. Sedikit penasaran, ia bergerak perlahan mengintip kaca tersebut, dan menemukan dirinya sendiri. Joon meenghela nafas panjang yang dalam, bersyukur ia bukanlah korban penggantian wajah oleh kekuatan sihir seperti didalam drama-drama, meski rambutnya jadi tampak berbeda dan ia tidak ingat pernah mengenakan baju yang agak kusam seperti ini. Setidaknya ada juga yang masih bisa ia kenali ditempat yang luar biasa asing ini. Dimana ini?
Joon refleks melompat saat mendengar suara ketukan pintu berasal dari balik pintu tua yang menghadap tempat tidur tak tertata dimana ia duduk sekarang. Ia sedikit ketakutan, karena kini ia ada di sebuah tempat asing yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Sebuah kamar yang bukan kamarnya. Tapi jujur saja, ia penasaran. Ia benar-benar ingin tahu di tempat seperti apa ia terjebak kini. Ia akhirnya memutuskan untuk mengintip sedikit dari jendela dan mencari asal suara ketukan pintu itu.
“Changsun! Bangun, sarapan sudah siap!”
Joon melompat sungguhan setelah mendengar suara dibalik pintu itu.
C-Changsun? Siapa?
“Changsun! Nanti makanannya jadi dingin!”
Joon mulai panik. Ia tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang asing. Siapa yang dipanggil Changsun, siapa orang yang ada dibalik pintu ini, dan kenapa dia bisa ada disini, tidak satupun ada yang nampak jelas bagi Joon.
“Changsun!” Orang itu mulai menggebrak pintu. Joon dengan ragu-ragu membuka pintu itu dan perlahan melihat sosok seorang wanita didepannya.
“Ayo! Aku sudah lapar sekali.. ” Wanita itu menarik tangannya dan menyeretnya dari ruangan itu.
Setengah terperangah karena wanita itu merekahkan senyum manis seperti itu didepannya, Joon mengikutinya.
Kini Joon sudah berada di sebuah runagan lain yang benar-benar asing buatnya. Ia duduk didepan sebuah meja makan sedehana yang diatasnya terhampar mangkuk-mangkuk berisi makanan. Joon tidak sempat menebak apa saja isi mangkuk-mangkuk tersebut karena ia sibuk memperhatikan sekelilingnya, mencari petunjuk yang mungkin bisa memberitahunya dimana dia dan apa yang terjadi padanya sekarang.
“Ini,” Wanita itu memberikannya semangkuk nasi. “Makanlah yang banyak, ya?”
Dengan canggung, Joon menerima mangkuk nasi itu.
“Sepertinya dia baik…” pikir Joon. “Mungkin dia tahu sesuatu…”
“Hm?” Suara wanita itu membangunkan Joon dari alam pikirannya. “ Ada apa, Changsun? Kau tidak suka makanannya?”
“Ah!” Joon jadi salah tingkah. “B-bu-bukan b-begitu, tapi….”
Wanita itu mengernyitkan keningnya melihat tingkah Joon yang jadi begitu canggung.
“A-aku…. Aku bukan Changsun. Aku Joon. Lee Joon.”
Wanita itu menatapnya tajam, membuat Joon sedikit waspada, sebelum meledakkan tawa terbahak-bahak.
“Lucu sekali, Changsun.” Wanita itu bertepuk tangan sambil tertawa.
Kini gantian Joon yang mengernyitkan keningnya. Dia sudah mengatakan yang sebenarnya tapi kenapa wanita ini bersikeras memanggilnya Changsun, Changsun. Siapa Changsun?
“Lalu, setelah itu apa? Apa aku harus memperkenalkan diriku juga sebagai Jun Jihyun?” Wanita itu masih tertawa.
Joon sama sekali tidak mengerti. Lagi pula tidak mungkin wanita bertubuh mungil ini Jun Jihyun—Joon pernah bertemu dengan Jun Jihyun noona yang asli, dan wanita ini tidak ada bahkan separuhnya dari dia.
“Sudah, makan saja sekarang. Mungkin aku akan memintamu mengatakan lelucon itu pada hari pernikahan kita nanti. Mereka pasti menyukainya.” Wanita itu berusaha menahan tawanya dan mulai mengambil sumpit, tidak menyadari Joon yang terbelalak setelah mendengar ucapannya barusan.
“P-per— apa katamu tadi?”
“Ya. Jangan katakan kau mau pura-pura tidak mengingat hari pernikahan kita yang tinggal dua minggu lagi. Tidak lucu, tahu.” Kata wanita itu sambil mengunyah makanannya dengan santai.
Joon menelan ludah pahit.
Gawat.
***