“Ehemm.. ehem” DaRa mengeluarkan suara deheman yang sangat berlebihan untuk menggugah perhatian Jin yang sedang berkutat dengan setumpuk laporan di mejanya.
“Oh, kau. Masuk” Jin meletakkan bolpoin dari tangannya, menyandarkan punggung ke meja kerjanya sembari memperhatikan DaRa yang melangkah memasuki ruangannya. “Duduklah” ujarnya lagi ketika beberapa lama memperhatikan DaRa yang masih saja berdiri mematung di balik meja kerjanya.
“Ponselku?” DaRa langsung saja menyodorkan tangannya ke arah Jin tanpa mengindahkan perkataan lelaki itu yang menyuruhnya duduk.
“Woaa.. kenapa buru-buru sekali?”
“Ajushi, aku ada kuliah hari ini. Jadi aku harus cepat pergi”
“Eiiiyy.. jangan mencoba menipuku. Cukup sekali aku tertipu oleh pasienku yang mengatakan dia ada jadwal kuliah hari ini. Kau kira aku tidak tau kalau ini hari minggu? Duduklah”
DaRa yang merasa sedikit malu karena telah gagal menipu dokter muda di hadapannya itu langsung saja menempatkan dirinya duduk di hadapan Jin sebelum lelaki itu kembali melontarkan sesuatu yang lebih membuatnya malu lagi.
“Mana ponselku?”
“Ehmm.. sepertinya moodmu sedang buruk” Jin memperhatikan wajah DaRa dengan lekat mengabaikan DaRa yang masih menunggu ponselnya dikembalikan.
“Oh.. majayo (kau benar) bagaimana ajusshi bisa tau?” DaRa tampak takjub dan balas memandang Jin dengan tatapan tidak percaya. “Kau lupa? Aku psikiater”
“Oh benar, aku lupa. Aku sudah melihatnya di kartu namamu tadi. Jadi, mana ponselku?”
“Apa ada masalah? Kau bisa menceritakannya padaku. Anggap saja konsultasi gratis” Jin mengembangkan senyumnya dan lagi-lagi masih tetap tidak menghiraukan DaRa yang sudah menyodorkan tangan untuk meminta ponselnya.
“Ya! Ajusshi fikir aku tidak waras? Untuk apa aku melakukan konsultasi. Aishh jinjja! Berikan ponselku, palli!”
“Aku tidak membawa ponselmu kesini. Kau bilang kau meninggalkannya di dalam mobilku?”
“Ya, aku meninggalkannya di mobilmu. Jadi bisakah ajusshi mengambil ponselku yang tertinggal di mobil dan membawanya kesini?” ujar DaRa dengan nada lembut yang di buat-buat, berusaha menahan kedongkolannya yang sudah di ubun-ubun karena Jin terus mengulur-ulur waktunya.
“Begitukah? Apa kau ‘meminta tolong’ untuk mengambilkan ponselmu? Lalu, jika aku melakukannya, kira-kira kau akan memberikan apa sebagai imbalan?”
“Ajusshi! Kau memerasku?” selidik DaRa sembari memperhatikan ekspresi wajah Jin yang menurutnya terlihat saaaaaaaaaaangat menyebalkan saat ini.
“Memerasmu? Haha ayolah, aku tidak sekejam itu” tawa renyah Jin membuat DaRa semakin bingung dengan maksud perkataan lelaki itu “Kau bisa menyebut ini ‘negosiasi’ “ imbuh Jin mengembangkan senyum tulusnya, berusaha membuat ekspresi kekhawatiran menghilang dari wajah DaRa.
“Ahhhh.. igie mwoeyaaa..” rengek DaRa menjatuhkan kepalanya ke atas meja kerja Jin dan membentur-benturkannya selama beberapa kali berusaha menumpahkan kekesalanya.
“Ya! Ya! Gwaenchana??” Jin yang kaget dengan reaksi DaRa langsung saja bangkit dari tempat duduknya dan meletakkan telapak tangannya di meja, melindungi kepala DaRa agar tidak langsung berbenturan dengan meja.
“Aisshhhh ajusshi menyebalkan sekali”
“Hajima, kepalamu bisa terluka. Lagipula kita belum memulai bernegosiasi, kenapa reaksimu mengerikan sekali” Jin kembali duduk di kursinya setelah melihat DaRa sudah berhenti melakukan aksi gila-nya. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal mencoba berfikir bagaimana cara memberitahukan DaRa tentang rencana ‘perjodohan’nya dengan JinWoo. Sepertinya membutuhkan cara yang tepat, mengingat perempuan ini mempunyai kepribadian yang tidak bisa ditebak.
***
JinWoo tampak memutar matanya ke langit-langit ruang apartementnya, menggigiti kuku ibu jarinya dan mengabaikan keringat dingin yang sejak tadi tidak berhenti mengucur di wajahnya. Jantungnya yang berdetak sangat cepat juga masih belum bisa di atasinya.
Walaupun ‘pernyataan cinta’ konyol yang dilontarkannya pada DaRa sudah terjadi sejak 1 jam yang lalu, JinWoo masih saja belum bisa mengontrol degupan jantung yang terus membuat dadanya terasa sesak. Entah kenapa otaknya masih saja terus memutar memori kejadian 1 jam lalu tanpa bisa dihentikan oleh Jin Woo. Desahan keras terdengar beberapa kali dari bibir Jin Woo ketika memorinya kembali memutar adegan ketika DaRa menjawab ‘pernyataan cintanya’.
FlashBack
“Apa kau mau jadi pacarku?” JinWoo tak henti-hentinya berusaha memfokuskan bola matanya agar tetap melihat ke arah DaRa yang sedang menatapnya dengan aneh.
“Kau berbicara denganku?” DaRa menatap sekitar, seakan tidak yakin jika JinWoo benar-benar mengatakan hal itu padanya.
JinWoo mengangguk pelan tanpa menjawab apa-apa.
“Kau memintaku menjadi pacarmu? Dengan tatapan seperti itu? Aigooo.. jinjja busowo” ujar DaRa lagi sembari menunjuk kearah wajah JinWoo, membuat lelaki itu langsung meraba wajahnya berusaha mengoreksi ekspresi dinginnya. Kemudian memutar kepalanya dan memandangi DaRa yang berjalan melewatinya tanpa mengatakan apa-apa lagi.
FlashBack End
“Aissshhhh” JinWoo menjambak rambutnya dengan frustasi. Seperti sedang menyesali fikiran gila tentang meminta DaRa menjadi pacarnya yang melintas di otaknya tadi.
Memang reaksi DaRa tidak seperti yang dibayangkan JinWoo sebelumnya. Normalnya, seorang wanita akan menanyakan hal seperti ‘kenapa tiba-tiba kau memintaku jadi pacarku’ atau pertanyaan-pertanyaan yang lebih masuk akal ketika ada seseorang yang tidak terlalu di kenal memintanya menjadikan kekasih.
Tetapi pertanyaan-pertanyaan ‘normal’ seperti itu sepertinya akan sangat mustahil untuk dilontarkan oleh seorang perempuan semacam DaRa. DaRa bahkan sama sekali tidak terkejut dengan pernyataan JinWoo dan seperti menganggap JinWoo adalah orang yang belum pernah ditemuinya.
“Hello brother!” suara berat terdengar menginterupsi lamunan JinWoo. Membuat lelaki itu langsung mendongakkan kepalanya dan memutar matanya mencari sumber suara.
Seorang lelaki dengan tinggi sekitar 188 cm terlihat melepas sepatunya dan kemudian berjalan mendekati JinWoo. Lelaki dengan tubuh yang tegap dan dibalut dengan polo shirt berwarna biru tua itu menunjukkan senyum sumringahnya yang terlihat agak miring. Seperti sebuah smirk yang menyeramkan. Mungkin karena memang bentuk wajahnya yang bukan termasuk tipe wajah seseorang yang ramah, maka senyuman ramahnyapun tampak terlihat sedikit mengerikan bagi orang-orang yang tidak terlalu mengenalnya. Tapi percayalah, senyum yang baru saja ditunjukkan itu benar-benar senyum yang tulus.
“Aku sudah membunyikan bel, tapi kau tidak membukanya. Ya, jadi aku langsung masuk saja” lelaki itu langsung menjawab pertanyaan JinWoo yang tampak dari tatapan matanya. Tatapan mata dingin dan tidak suka dengan kehadirannya.
“Calon istriku membawakan makanan ini untukmu” lelaki itu langsung meletakkan barang bawaannya ke dapur yang letaknya tidak jauh dari tempat JinWoo duduk. JinWoo hanya melihat seluruh pergerakan yang dilakukan oleh lelaki itu tanpa berkata apa-apa.
“Oh ayolah, berhenti menatapku seperti itu. Aku bukan orang asing” ujar lelaki itu setelah selesai menata semua barang bawaannya ke dalam kulkas besar milik JinWoo. Lelaki itu adalah WooBin, kakak sepupu JinWoo yang tidak lain juga merupakan anak dari dosen Kim, paman JinWoo.
“Aishh jinjja, kau pasti tau kan maksud kedatanganku?” WooBin menunjukkan smirknya setelah melihat tatapan mengintimidasi dari JinWoo.
“Okay, aku tidak akan berbasa-basi lagi. Kau sudah tau maksud kedatangaku kesini. Dan kau tau aku sedang menunggu jawabanmu saat ini”
“Aku sudah mengatakan jawabanku pada samchun, hyung”
“Apa yang kau maksud sebuah jawaban itu adalah sebuah penolakan yang kemarin kau katakan pada appaku?” suara berat itu mulai meninggikan nadanya, membuat suasana menjadi terasa lebih tegang dari sebelumnya.
Jin Woo menatap mata WooBin, merasakan keringat dingin kembali mengucur melewati pelipis matanya.
“Jin Woo-ya, aku akan menikah dan tidak bisa terus-terusan mengurus perusahaan ayahmu itu”
“Ara, kau bisa tinggal menutup perusahaan ayahku itu”
“Aiisshh ijasikkk (bajingan ini), apa kau tidak memikirkan bagaimana nasib ratusan karyawan disana jika aku menutup perusahaan ayahmu itu? Ayolah Kim Jin Woo, kau sudah cukup dewasa untuk tau tentang ini”
“Aku tidak perduli” jawab JinWoo dingin, mengabaikan tatapan tajam WooBin yang cukup mengerikan.
“Kau tau, ayahmu pasti akan benar-benar kecewa jika dia mendengar perkataanmu ini. Dia adalah orang yang sangat perduli dengan orang lain. Aku tidak yakin jika kau benar-benar anaknya” kata-kata terakhir WooBin sukses membuat JinWoo sakit kepala. Ketika mendengar seseorang menyebutkan tentang ayahnya, ah tidak, bukan hanya ayahnya tetapi semua anggota keluarganya yang sudah meninggal, Kepala JinWoo serasa berdenyut nyeri, keringat dinginnya mengucur lebih deras dari biasanya. Bahkan kadang membuatnya serasa ingin muntah.
JinWoo menatap punggung WooBin yang sudah beranjak dari sana, meninggalkannya yang masih berusaha melawan rasa mualnya yang teramat sangat.
***
“Menjadi pacar pasienmuuu??? Maksudnyaa??” DaRa bertanya dengan heboh ketika Jin yang akhirnya memutuskan menceritakan dengan jujur permintaannya pada wanita itu. Ia membulatkan matanya, dan dengan cepat Jin kembali meletakkan telapak tangan ke mejanya, bersiap-siap jika saja DaRa akan kembali membentur-benturkan kepalanya.
“Wae? kenapa aku? Ajusshi fikir aku tidak waras, jadi ajusshi menjodohkanku dengan pasienmu??”
“Aniaa, bukan begitu” Jin menyingkirkan tangannya dari meja dan kembali duduk di kursinya setelah memastikan jika DaRa tidak akan membenturkan kepalanya lagi. “Kau fikir semua pasienku itu orang gila?” lanjut Jin dengan memasang tampang kecewa.
“Ehm, aku rasa begitu” ekspresi DaRa berubah kalem ketika melihat raut wajah Jin yang kecewa. “Jadi ajusshi mengajakku bernegosiasi dengan membantu menyembuhkan penyakit social phobia yang di derita pasienmu? Dan aku hanya mendapatkan ponselku yang memang sudah seharusnya kembali pedaku? Aishhh lucu sekali. V bahkan akan mengejekku bodoh jika aku menyetujui negosiasi konyol ini”
“V siapa? Pacarmu?”
“Ani”
“Jadi kau belum punya pacar?”
“Emm, oh. Sudah..”
“Oh ayolah, apa kau fikir kau bisa membohongi psikolog sepertiku?”
“Shitt! Aku lupa” DaRa mencerca dirinya sendiri, membuat dokter muda di hadapannya tidak kuat menahan ledakan tawanya.
“Jadi bagaimana? Apa kau mau?” tanya Jin lagi memastikan.
“Ani”
“Jadi kau berniat memberikan ponselmu padaku?” smirk Jin muncul dari wajahnya, sesaat membuat wajah DaRa memerah karena dia baru menyadari jika wajah dokter muda di hadapannya ini tidak kalah tampan dengan member EXO yang sangat dikaguminya.
“Ehmm..” DaRa mengalihkan matanya yang sejak tadi digunakannya untuk menatap Jin. “Begini ya ajusshi. Aku sama sekali tidak tertarik dengan negosiasi ini. Kenapa aku harus setuju? Keuntungan yang aku dapatkan tidak sebanding dengan keuntungan yang ajusshi dapatkan dariku. Benarkan??”
“Jadi kau benar-benar menolak?” Jin kembali memastikan. Ada senyum aneh yang terpancar dari wajah Jin.
“Ya, terserah. Kau bisa mengambil ponselku. Aku bisa membelinya lagi” DaRa beranjak dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi “Ya, tentu saja, V bisa dengan mudah membelikanku ponsel yang baru” bisik DaRa pelan berbicara pada dirinya sendiri dan membalikkan tubuhnya berjalan meninggalkan ruangan Jin.
“Ah, apa aku perlu menghapus semua akun fanbase EXO dari Instagram dan Twitter di ponsel baruku ya?? Hmm, foto-foto dan Video EXO juga sepertinya harus aku hapus. Itu semua memakan banyak tempat di memori” suara Jin yang terkesan dibuat-buat seketika menghentikan langkah DaRa. Kata-kata Jin barusan sepertinya merupakan sebuah ancaman tersadis dalam hidupnya. Wanita itu langsung memutar balik tubuhnya dan berlari dengan cepat kembali duduk di kursinya semula.
“YA! AJUSSHI! KAU BENAR-BENAR MENYEBALKAN!!” Teriakan terakhir DaRa nyatanya membuat Jin tersenyum senang, karena setelah itu, perempuan di hadapannya benar-benar mendengarkan perintahnya dan menunjukkan jika ancamannya tadi akhirnya berhasil membuat perempuan itu setuju untuk bernegosiasi.
***
“Aishhhhhhhh!! Menyebalkan sekali!!” DaRa menghentak-hentakkan kakinya dengan keras, membuat supir Taxi yang berada didepannya meliriknya dengan sinis melalui kaca kemudi.
Ya, sudah pasti saat ini DaRa merasa dongkol dengan tindakan semena-mena dari Jin yang baru saja diterimanya. DaRa merasa diperlakukan dengan tidak adil karena pastinya Jin mendapatkan uang yang banyak dari pasiennya itu jika DaRa berhasil menyembuhkannya. Dan DaRa? Dia hanya mendapatkan kembali ponsel yang bahkan memang sudah seharusnya menjadi kembali padanya.
Sebenarnya mudah saja mengelabui Jin dengan menyetujui negosiasinya secara asal dan kemudian melarikan diri dari sana, toh mereka baru pertama kali mengenal. Tapi ternyata dugaan DaRa salah, karena dengan cerdasnya dokter muda itu sudah menyerap semua informasi pribadi dari ponselnya. Bahkan, ajusshi itu sudah tau rumah V yang sering menjadi tempat kunjungannya lebih sering dari rumahnya sendiri.
DaRa menatap keluar jendela dengan tatapan sendu “Chanyeol-ah, ottokae? Apa aku harus benar-benar melakukan permintaan ajusshi itu??”
***
TRING!!
Terdengar suara pintu apartemen JinWoo terbuka. JinWoo yang masih sibuk meredam sakit kepalanya sejak kepergian Hyung-nya sampai tidak menyadari jika ada seseorang yang masuk ke dalam apartemennya.
“Hai”
Suara itu akhirnya berhasil menggungah JinWoo. Lelaki itu menengadahkan kepalanya dan menatap lekat perempuan yang sudah berdiri di depannya.
“Aku bingung harus kemana saat ini” DaRa langsung membuka suaranya lagi ketika melihat tatapan heran dari JinWoo. “Jangan tanya apa-apa dan biarkan aku disini”
JinWoo yang sangat kaget tampaknya kehilangan kata-katanya. Dia sama sekali tidak menjawab DaRa dan hanya menatapnya tajam.
“1 Jam saja, ah ani, 30 menit. Ya, 30 menit” lanjutnya, dan kemudian meletakkan dirinya sendiri di sebuah sofa yang terletak di hadapan JinWoo.
Beberapa menit berlalu dan mereka hanya diam. JinWoo sengaja diam karena wanita itu memintanya untuk tidak bertanya apa-apa sebelumnya. Ya, lagipula walaupun DaRa tidak mengatakan itu, mungkin dia juga akan tetap diam.
DaRa tampak memejamkan matanya dan sesekali terdengar desahan keras ketika kekesalannya mulai terasa.
Mungkin bagi kebanyakan orang berfikir bahwa hal-hal yang DaRa lalui adalah hal remeh yang sama sekali tidak perlu difikirkan. Tetapi tidak bagi DaRa. EXO dan Chanyeol sudah bagaikan separuh hidupnya. Sudah 2 tahun ini dia mengabiskan banyak waktu, uang dan tenaga hanya untuk memuaskan mata, dan pendengarannya melalui grup idolanya itu.
“Ya, apa sebaiknya aku lapor polisi?” ujar DaRa tiba-tiba. Perempuan itu membuka matanya, menegakkan posisi duduknya dan menatap JinWoo meminta jawaban. Dan tepat sekali, JinWoo hanya membalasnya dengan tatapan datarnya.
“Aisshhh jinjja! Berhenti menatapku seperti itu! Kau tau, wajahmu itu sungguh mengerikan” DaRa berhenti sebentar untuk kembali memeriksa raut muka JinWoo sebelum melanjutkan bicaranya. “Oh, oke.. jangan katakan apa-apa” lanjutnya setelah melihat JinWoo yang sama-sekali-tidak-tertarik dengan keluhannya.
***
V tampak serius mengusap-usap layar ponsel dengan tangan kirirnya. Sesekali terdengar pekikan tertahan dari bibirnya ketika melihat game yang dimainkannya mengeluarkan suara ‘Game Over’. Cidera di tangan kirinya sepertinya sama-sekali tidak menghilangkan ke-hyperaktif-annya.
V mengarahkan pandangannya ke arah pintu ketika tiba-tiba dia mendengar ada seseorang yang membuka pintu kamarnya. Seorang lelaki paruh baya tampak berdiri di depan pintu masuk kamar V dan mengembangkan senyumnya.
“V-ah” ujar lelaki yang diketahui adalah ayah V itu terdengar ‘mencoba’ untuk ramah.
V yang langsung mengembalikan konsentrasi ke ponselnya lagi setelah beberapa detik hanya melihat appa-nya itu dengan tatapan kosong, dan menjawab sapaan appa-nya itu dengan gumaman yang pelan
“Tanganmu baik-baik saja?” ujar appa V.
“Menurut appa?”
Appa V yang tampak kikuk setelah mendengar jawaban anaknya itu berdehem sejenak “Ya, tentu saja kau baik-baik saja, kau kan anak lelaki” jawabnya dengan memunculkan derai tawa yang tedengar dipaksakan.
“Mian, appa tidak bisa mengantarmu ke rumah sakit tadi” lanjut appa V “Emm.. ada pekerjaan yang tidak bisa apa tinggalkan hari ini dikantor”
“Ara” V memunculkan nada tidak tertariknya dan masih terus memandangi ponselnya yang bahkan sudah beberapa kali mengeluarkan suara Game Over
“Apa kau sudah makan? Bagaimana dengan kuliahmu? Apa sudah mulai uji..”
“Appa geumanhae (ayah hentikan)” V memotong kata-kata appanya “Berhenti bersikap seolah kau peduli padaku. Hajima” lanjut V dengan menatap tajam ke arah appa-nya. Tatapan yang tidak pernah dia perlihatkan pada siapapun kecuali lelaki di depannya ini. Tatapan muak yang seolah sudah sangat lama ingin di tunjukkan padanya.
“V-ah.. aku ayahmu, dan aku berhak untuk tau” jawab Appa V meninggikan nada suaranya karena sama sekali tidak menyangka akan jawaban anaknya itu.
V membuang nafasnya kasar, kembali menatap wajah appa-nya penuh kebencian “Oh, jadi appa mempunyai hak untuk tau tentang anakmu? Lalu apa hak-ku? Apa hak yang aku peroleh sebagai anakmu? Uang? Apa aku hanya mendapatkan uang sebagai hak-ku?”
“Geumanhae V-ah, kau tau appa sedang berusaha”
“Aku hanya meminta Appa berhenti untuk bersikap seolah perduli padaku. Appa tidak pernah peduli padaku”
“Appa peduli padamu V-ah! Appa selalu berusaha untuk menuruti semua kebutuhanmu. Appa mencoba mencukupi semuanya.”
V mencibir, menghilangkan tatapan kebenciannya dengan desahan mengejek “Kebutuhanku? Ya, dan tentu saja perempuan itu”
Plak!
Suara tamparan keras terdengar dari ruangan kamar V, menyebabkan gema di seluruh ruangan luas itu.
***
Please Leave your Love or Comment ^^
Dr.Jin, i think V needs your help >.<