Gadis itu menggigir bibir bawahnya dengan jantung berdetak tak karuan. Kepalanya yang menunduk, menatap layar bening yang menampilkan foto anak lelaki dengan tekstur wajah dingin berhias senyum satu sudut. Jari telunjuk dan ibu jarinya yang menempel di permukaan screen, menyentuh, menarik dua garis berlawanan arah memperbesar tampilan gambar yang sudah membuat matannya tak berkedip selama beberapa saat.
“Akhhh …,” desisinya, sambil memukul sendiri dada bagian kirinya saat dirasa jari-jemarinya mulai berkeringat dingin. “What should I do?”
Dilemparnya ponsel warna silver abu-abu ke tumpukan bantal. Tubuhnya yang semula duduk di tepi ranjang, kini jatuh telentang di atas kasur dengan kaki menghentak-hentak lantai berlapis bulu berludru warna ungu. Ia menoleh ke samping saat bayangan lelaki bermata tajam itu mendadak muncul di langit-langit kamarnya yang polos. Mengusap mata, ia berharap bayangan itu segera lenyap.
Gadis itu merasa akan gila jika tidak segera menyentuh icon bergambar gagang telepon dan menyentuh kontak nama teratas panggilan keluar.
Tubuhnya bangkit. Menarik kedua kakinya naik ke atas ranjang dengan gerakan gesit. Dicarinya ponsel yang tadi dilempar ke atas tumbukan kain berisi kapas. Hingga lima menit berselang, akhirnya pencariannya membuahkan hasil dengan digapainya benda persegi panjang berlogo apel yang terselip dilipatan kasur dan punggung ranjang.
Gadis itu menarik napas. Merubah posisi duduknya yang semula bertumpu pada lutut menjadi duduk dengan kaki menyilang. Ditempelkan perlahan ponsel ke telingannya. Namun sayang, keberaniannya yang beberapa saat lalu mengerubung hatinya, kini kembali pupus karena reaksi tubuhnya tidak mendukung semua itu.
Pada nada sambung tunggu kedua, dirinya kembali memutuskan menyentuh tulisan cancel.
“Just wanted to hear his voice, as difficult as I had to pick the Emerald or Ruby.” Keluhnya.
Dengan gerakan pelan, kakinya meloncat dari atas ranjang membawa tubuhnya serasa terbang. Berjalan dengan menggembungkan pipi, ia menghampiri gambar sebelas anak lelaki dengan seragam bola warna hitam yang tertempel di dinding kamarnya. Yang kemudian fokusnya hanya tertuju pada satu lelaki bertubuh tinggi, rambut yang dicat blonde, dan memamerkan senyum tipis dengan tropy digengamannya.
Meneliti setiap pahatan masterpiece Tuhan di wajah sang objek, ia mendesah lesu. “Why are you so sucks, huh?” kesalnya. Telunjuknya terjulur mengusap wajah tak bergerak dari rambut, hidung, bibir, lalu berakhir dengan melipat kedua tangannya di depan dada. “Kenapa kau begitu dingin terhadapku, Oh Sehun? Kau tahu, rasanya aku ingin memasukkan kepalamu ke dalam microwave supaya wajah dinginmu meleleh berubah menjadi hangat, membenturkan kepalamu saat kau menggerakan mata melirik ke arahku saat kita tanpa sengaja berpapasan ,dan mencekik lehermu saat kau membalas sapaan kakuku dengan menarik satu sudut bibirmu.”
Kakinya menghentak lantai dengan tangan terangkat mengacak frustasi rambutnya. “Oh my Goodness, kau membuatku tidak berhenti tersenyum setelah itu! Dan sekarang, kau juga berniat membuatku seperti orang bodoh yang takut menghubungimu, huh?!” serunya dengan mimik mengiba. “You’re really cruel, you know?!” ucapnya menyentak wajah Sehun dengan telapak tangannya sebelum berbalik menghadap ke arah kaca.
Diamatinya pantulan tubuh yang tercetak di kaca. Jari-jari tangannya bergerak menyisir rambunya yang sedikit berantakan sebelum disibakkan ke belakang, lalu kemudian bergerak turun merapikan lipatan rok rempel pendek warna biru yang tengah dikenakannya. “Well, tubuhku sebenarnya tidak terlalu buruk asal tidak membandingkannya dengan bentuk tubuh Paris Hilton. Dan wajahku-” tangannya menangkup kedua pipinya yang putih merona, “-tidak terlalu memalukan. Jadi tidak-“
Ia tidak merampungkan kalimatnya. Suara dering ponsel di atas kasur dan layar yang menyala, menarik kakinya berjalan ke sisi ranjang.
Oh Sehun♥
Tubuhnya merosot jatuh saat menangkap Id caller di layar ponselnya. Terduduk dengan wajah tidak percaya seolah tengah berhalusinasi. Mendadak tangannya kebas begitu benda elektronik tersebut telah berpindah di gengamannya.
“Hallo?”
Jantungnya serasa meleleh saat suara pria itu masuk ke telingannya. Membuat kedua bibirnya menempel terkunci rapat.
“Hallo?”
Ia kesusahan menelan ludah saat Sehun mengulang sapaannya.
“Dumb, huh?”
Kali ini pita suaranya benar-benar tidak berfungsi dengan benar.
“Aghr…,” ia mendengar geraman dari seberang. Kemudian disusul dengan suara nada tinggi yang tak terduga. “Siapapun kau, berhenti menerorku dengan permainan teleponmu, please!”
Ia mengerjap. “S-sorry,” satu kata yang akhirnya lolos mewakili penyesalannya.
“Kau? Johanna Cho ?Ah… it’s okay.” Setengah percaya atau ia hanya tengah berhayal mendengar suara Sehun yang mendadak melunak. “Aku sedang sibuk sekarang. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Bye.”
Sambungan terputus.
Bahkan sebelum ia membalas sapaan pria itu. Yang indahnya, gadis itu malah menyunggingkan senyum manis di kedua bibirnya, masih dengan layar ponsel menempel di telinganya.
“Sehun berbicara padaku. Dia mengatakan akan menghubungiku lagi.” Mata hazel-nya berbinar tidak percaya tak kala ia berseloroh dengan dirinya sendiri. “Oh God, I can’t breath!”