home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Last Chance

Last Chance

Share:
Author : Dian1995
Published : 08 Oct 2014, Updated : 08 Oct 2014
Cast : Action, Romance
Tags :
Status : Ongoing
0 Subscribes |869 Views |0 Loves
Last Chance
CHAPTER 1 : Last Chance

 

Main Chast :

1. Xi Luhan

2. Kang Ji Yoo

3. Byun Baekhyun

4. Park Chanyeol

5. Dan lain-lain. (Nanti juga ketauan kalo udah baca, Kkkk)

Genre : Romantis, Action.

Ratting : SU

 

 

--- --- ---

Tidak ada yang bisa mengobati rasa cinta, kecuali lebih mencintai. Dan jangan memilih cinta, karena cinta bukan untuk dipilih. Sesuatu yang berharga itu akan datang dengan sebuah jalan. Entah berawal dengan kerikil-kerikil kecil dan berakhir pada sebuah taman bunga yang indah. Ataupun berawal dengan jalan rata yang lurus namun membawamu pada sebuah pengalaman pahit yang hanya bisa disembuhkan oleh waktu.

 

--- --- ---

 

 

 

“Kang Ji Yoo!”

Suara itu mengusik pendengaran gadis berusia 19 tahun yang sedang duduk di sebuah bangku kayu lapuk dengan kedua tangan terikat ke belakang. Mendengar suara pria dengan jarak yang cukup dekat, membuat gadis yang bernama Kang Ji Yoo itu bergerak meronta, mencoba melepaskan diri. Namun ikatan kuat di pergelangan tangannya hanya memperparah luka goresannya.

“Aaaahhhhhh, tolong!”  air matanya beruraian lagi.. Sejak satu hari yang lalu, hanya menangis, berteriak dan meronta yang bisa ia lakukan. Bukan dengan bebas ia bisa melakukan semua hal gila itu, terkadang seseorang menjambak rambutnya, kemudian balas berteriak dengan makian-makian aneh.

PLAK!

Tamparan keras itu sudah dia dapat sebanyak tiga kali selama seharian ini. Itu tangan seorang pria, kemudian disusul perdebatan seru antara beberapa orang. “Jika kau berisik, maka dia tidak akan keluar dengan selamat. Begitu juga denganmu!”

Ji Yoo merasakan asin di sudut bibirnya, disertai rasa perih terbakar di sekitar wajahnya yang terlihat lebam dengan warna merah bercampur biru tua.

“Brengsek kau! Kenapa kau bawa dia? Ini urusan antara aku dan kau saja!”

Itu suara pria yang selalu berusaha melindunginya, akhirnya dia datang.

 

**

 

Flash Back On.

 

“Kau mau pesan apa?” Pria tinggi tegap itu membawa nampan berisi segelas Moccacino dan  sepiring kue muffin hangat. Mata elangnya menelisik tajam setiap jengkal wajah gadis di hadapannya sekarang. Tampak cantik dengan riasan seadanya.

“Aku? Lalu ini untuk siapa, Luhan sayang?” Kang Ji Yoo menunjuk makanan yang diletakkan tepat di hadapannya dengan wajah kebingungan. Mencoba mengikuti cara kerja pria dingin yang terkadang sangat aneh itu. “Apa ada gadis lain yang sekarang sering duduk disini? Heeem?”

“Ckk!”

Luhan melenggang pergi, tidak menanggapi omongan gadis itu dengan serius.

Gadis itu bahkan sudah sangat terbiasa. Oke, selain menyiapkan makanan yang sama bahkan sebelum ia membolak-balikkan buku menu, tidak ada hal istimewa yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih.

Ya, mereka adalah sepasang kekasih. Terhitung sejak dua tahun lalu. Sungguh begitu lama, hingga terkadang Ji Yoo memikirkan alasan kenapa ia begitu sabar menghadapi sikap Luhan yang terlampau dingin.

“Pulanglah.  Ini sudah melanggar jam malammu.” Luhan bergumam di balik meja kasir. Café miliknya bahkan sudah sangat sepi. Tidak aneh memang, jam besar yang diletakkan di atas lemari kaca mulai menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Setengah jam lagi sebelum café benar-benar ditutup.

“Tidak, aku tidak ingin pulang. Ibu dan ayahku bertengkar lagi” Gadis itu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Sejenak menatap dingin kaca di sisi kanan bahunya. Ia merasa sangat marah sekarang, apalagi setelah Luhan menyuruhnya pulang. Padahal satu-satunya tempat yang bisa membuat perasaannya nyaman adalah tempat dimana Luhan berada. Dan sekarang apa? Luhan juga bahkan menyuruhnya pulang.

“Pergilah kemanapun asal bukan disini.”

Perkataan Luhan sukses menohok ulu hati Ji Yoo. Memaksanya jatuh kedasar paling dalam saat ia baru berlajar terbang. Beginikah pada akhirnya?

Gadis itu sadar jika sekarang Luhan tengah mengusirnya, dengan tanpa perasaan. Sebegitu tidak pentingkah dirinya bagi orang lain?

“Aku pergi.” Ia tidak mungkin merengek pada Luhan untuk tidak mengusirnya. Gadis itu cukup tahu diri, kekasihnya itu pasti tidak ingin direpotkan dengan seorang gadis yang berniat kabur dari rumah.

Tidak ada yang menahannya, tentu saja! Luhan masih sibuk membereskan pekerjaannya yang melelahkan itu. Seorang pria yang dulunya seorang mafia tukang tawuran, memangnya mudah membiasakan diri dengan berkutat pada mesin uang dan mesin kopi?

Tentu tidak!

Bodohnya ia! Dengan begitu mudahnya membiarkan seluruh hatinya dibawa pergi pria semengerikan itu.

 

--- --- ---

 

 

“PERGI KAU WANITA JALANG! PERGILAH BERSAMA PRIA SELINGKUHANMU!”

Teriakan itu tentu sudah menjadi kata penyambutnya ketika menginjakkan kaki di halaman rumahnya sendiri. Ironisnya kini pemandangan itu lebih menyakitkan dibandingkan hari-hari biasanya. Ayah dan ibunya bertengkar, nampaknya sudah biasa. Kali ini, ibunya berlari bersama seorang pria muda. Mungkin dua tahun diatas umurnya. Tidak ada penyesalan dimata wanita yang dibanggakannya itu. Sungguh, bahkan nampaknya ia sangat bahagia setelah mendapat pengusiran dari suaminya sendiri.

“Ji Yoo, kkaau- kkau- ..“

“Maaf, aku harus masuk menemui ayahku, sungguh malang sekali dia ditinggalkan sosok wanita yang begitu dibangga-banggakan!” Ji Yoo berusaha menahan air mata yang menyesak ingin keluar. Langkahnya nyaris terseok, seperti ada beban yang sedang bertengger di pundaknya.

Sangat berbanding terbalik dengan langkah ibunya yang tampak ringan. Bahkan sesekali dua orang lintas usia itu terdengar cekikikan, saling bercanda.

 

--- --- ---

 

Ji Yoo sekarang duduk di sudut kamarnya yang gelap, memeluk kedua lututnya dengan tangan yang disilangkan. Sudah pukul empat pagi. Sedangkan gadis itu masih dalam posisi seperti itu selama kurang lebih tiga jam.

Rumahnya tampak sepi, tidak ada siapapun kecuali dirinya sendiri. Sang ayah tentu saja menyinggahi kedai untuk minum arak beras sampai mabuk. Begitulah kebiasaannya. Namun tentu saja ayahnya bukan seorang pria yang pulang ke rumah dengan keadaan mabuk parah dan sering melakukan tindak kekerasan pada anaknya. Itu salah besar. Bukankah minum arak beras itu juga terhitung dalam tradisi?

Sedetik kemudian, tangannya bergerak menyusuri lantai untuk meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh darinya. Layarnya hitam, tidak ada satu panggilan masukpun dari Luhan. Yang dapat disimpulkan bahwa pria itu tidak terlalu peduli dengan urusan Ji Yoo.

 

To : Luhan

Aku sudah pulang. Terima kasih

 

Satu jam, dua jam.

Hingga sampai gadis itu tertidur karena kelelahan. Layar ponselnya tetap hitam.

 

 

 --- --- ---

 

Ji Yoo berjalan menyusuri koridor café itu lagi. Sehari saja ia tidak melihat wajah Luhan, maka bisa dipastikan bahwa gadis itu akan uring-uringan. Dan, dalam jangkauan pandangannya kini, Luhan tampak duduk berhadapan dengan seorang gadis. Cantik! Dengan rambut lurus sepinggang dan sebuah gaun berwarna putih yang membungkus tubuh langsingnya.

“Chanyeol! Moccacino.” Ji Yoo melewati Luhan dengan biasa. Bahkan terkesan tidak peduli. Kemudian memusatkan perhatiannya pada pria tinggi di hadapannya itu.

“Jangan marah, Luhan bilang mereka hanya teman.” Chanyeol selalu bisa membaca isi pikiran Ji Yoo. Pria itu tampak tampan dengan kemeja dan apron hitamnya. Begitu pas pada tubuhnya yang menjulang tinggi.

“Aku? Tidak .... “ Oh demi Neptunus, untuk mengatakan ‘tidak’ saja gadis itu seperti sangat berat. “Sudah! Cepat buatkan aku Moccacino!” Ada sebuah ide cemerlang terlintas di otak kosong Ji Yoo. Maka, ia cepat-cepat mencari posisi duduk seperti biasa, di sudut ruangan yang bersebelahan dengan tembok kaca bening.

“Aku tidak bisa kembali, Eunji-ya. Aku sudah punya pekerjaan disini”

“Luhan, mereka mengincarnya! Jika kau tidak datang, habislah nyawa gadis itu!”

“Tidak …”

“Kau tidak mencintainya?”

“Aku –“

“Kau tidak bisa seperti itu lagi, bodoh. Ini menyangkut urusan nyawa. Jika sekali saja kau lengang, maka bisa dipastikan hidupmu jauh lebih hancur dari kemarin.”

 

Ji Yoo yang hanya sekilas mendengar pembicaraan mereka, sedikit terkejut karena mereka membicarakan seorang gadis. Membuat nampan di genggamannya terlepas, namun tidak sampai kelantai. Hanya sedikit terbanting pada permukaan meja kayu. Beruntung juga moccacino kesayangannya tidak tumpah, sedangkan uapnya masih mengepul panas.

“Dia begitu mencintaimu, Luhan. Hati-hati dengan perasaanmu sendiri.” Gadis cantik itu mengakhiri pembicaraan mereka, lalu segera beranjak pergi. Meninggalkan sebuah tanda tanya besar untuk Ji Yoo.

Gadis itu berteriak cukup keras pada Luhan. Posisi Ji Yoo yang memang tidak terlalu jauh, membuatnya secara tidak sengaja mencuri dengar.

Gadis?

Mencintai Luhan?

 

--- --- ---

 

Sekarang Ji Yoo duduk di pinggir anak tangga, kelasnya baru dimulai pukul dua belas siang dan sekarang baru jam sebelas. Gadis itu sibuk berkutat dengan laptop dan buku tebal ketika terdengar suara berdebum dari arah ruangan atas. Secara spontan gadis itu berdiri, berniat melarikan diri sebelum sedetik kemudian terdengar tawa dan raungan secara bersamaan. Ruangan paling atas yang berbatasan dengan balkon memang jarang dikunjungi mahasiswa. Namun tempat itu sering dijadikan tempat penindasan terhadap mahasisiwa yang keberadaannya dianggap mengganggu. Ji Yoo pikir mungkin diatas sana sedang terjadi pengeroyokan. Jika ia menyela aktifitas senior diatas sana, mungkinkah nasibnya berakhir sama dengan sang korban, atau mungkin lebih parah. Tapi jika ia pergi, perasaannya akan dibayang-bayangi rasa bersalah karena membiarkan seseorang berada dalam bahaya.

“Tuhan, Kau masih melihatku kan?”

Ji Yoo menapaki langkah demi langkah hingga mencapai anak tangga teratas. Dihadapannya kini ada seorang pria yang telah babak belur, wajahnya penuh luka memar. Namun hanya ada orang itu disana, tidak ada siapa-siapa lagi.

“Apa kau baik-baik saja?”

Pria itu bersandar pada pagar setinggi satu setengah meter, tampak hampir tidak sadarkan diri. Tangannya bergerak berusaha menggapai Ji Yoo. “Tunggu sebentar, aku akan kembali.”

Gadis mungil itu berlari, terkadang hampir saja terjengkang karena ulah kakinya sendiri. Tujuan utamanya adalah loker kampus. Disana tersedia banyak plester dan kotak P3K. Satu-satunya benda yang dibutuhkan pria asing itu.

 

 

 

--- --- ---

 

“Apa ini sakit?” Ji Yoo menyentuh dahi pria itu sembari menempelkan plester pada luka terakhirnya yang cukup menganga di dahi. Disekitarnya berceceran kapas yang telah berubah wana menjadi merah. Pria itu sekarang meneguk sisa air pada botol minum yang selalu di bawa Ji Yoo.

“Terima kasih, namaku Baekhyun. Aku ingin pulang!” Pria itu meninggalkan Ji Yoo sendirian seperti orang gila. Lagi-lagi gadis itu harus berhadapan dengan pria dingin. Apa sudah nasibnya?

Pria itu terus saja melenggang pergi, meninggalkan Ji Yoo yang masih berjongkok di dekat anak tangga. Gadis itu menggerutu sembari memberesi ceceran kapas dan peralatan P3K nya.

“Hey, kau tidak pulang?”

“Eh. Kau menungguku?” Ji Yoo seperti orang linglung. Ternyata perkiraannya salah, setidaknya sifat Baekhyun tidak lebih parah dari Luhan.

“Apa kau berani pulang sendirian?” Baekhyun terkekeh, tampak menggoda Ji Yoo. Kini wajah pria itu tidak semengenaskan tadi. Ditambah dengan lengkungan senyumnya yang aneh, membuatnya tampak sedikit seperti anggota-anggota grup pria yang terkenal sekali di Korea ataupun seluruh dunia, EXO.

“Eh, tidak tidak.” Ji Yoo mengekor Baekhyun hingga sampai di perbatasan pintu gerbang dan tempat parkir. Baekhyun tiba-tiba berhenti. Ji Yoo yang kebetulan sedang tidak memandang ke arah depan sontak menabrak tubuh pria itu. Kemungkinan terburuk, pria itu pasti jatuh terjerembab. Namun tangan Ji Yoo yang sedikit ‘nakal’ secara spontan menahannya, dengan cara memeluk pinggang pria itu.

“Kau tidak apa-apa?” Baekhyun menyentuh pergelangan tangan Ji Yoo yang masih bertaut erat di pinggangnya. Posisinya yang sedikit menunduk membuat kepala gadis itu menempel pada punggungnya.

“Tidak tidak, maaf!” Ji Yoo berusaha melepaskan tangan nakalnya, namun pergerakan itu tertahan oleh pegangan tangan Baekhyun padanya. Diluar dugaannya, Baekhyun segera membalikkan tubuh dan kini jarak mereka berdua tidak lebih dari lima senti. Bahkan hembusan nafas hangat milik pria itu menerpa seluruh wajahnya.

“Terima kasih. Jika saja kau tidak datang, mungkin aku sudah mati.” Baekhyun memeluknya. Iya! Memeluknya! Menempatkan wajahnya pada lekukan leher Ji Yoo yang hangat, membuat deru nafas milik pria itu berganti menyapu kulit lehernya.

“Aku kebetulan sedang berada disana saat –“ Mata Ji Yoo melebar kala itu, sebuah benda lunak menyentuh dan melumat bibirnya. Singkat! Baekhyun menciumnya disini. Ditempat umum seperti ini. Beruntung hanya segelintir orang yang berada di tempat itu, dengan konsentrasi yang tidak mengarah pada mereka berdua.

Pria itu menjauhkan wajahnya sebelum Ji Yoo bereaksi apapun. Lalu segera pergi dengan sebuah senyuman misterius. Terkekeh, kemudian mengacak rambutnya sendiri. Langkahnya menuju tempat parkir.

“Aiiissh!” Kesadarannya kembali, kemudian punggung tangannya bergerak mengusap bibirnya dengan pergerakan yang brutal dan kasar. “Aaaaaaaahh!” Pria itu merebut ciuman pertamanya, yang harusnya untuk Luhan.

 

--- --- ---

 

“Lying beside you, here in the dark .. Felling your heart beat with mine ..” mimik gadis itu berubah cerah ketika mendapati sosok pria yang sedang duduk di bawah tiang lampu sebelah tempat pemberhentian bus. “Feeling your heartbeat with mine.” Tangannya bergerak menyusuri jantungnya yang berdetak lebih cepat. Menekannya seperti jika hal itu tidak dilakukan maka semua orang akan mendengarkan detak jantungnya yang bekerja lebih cepat dari biasanya.

“Ehem, kau baru pulang?” Luhan tampak membawa sebuah keranjang makan.

Apa pria itu habis berkencan dengan seorang gadis? Gadis lain? Yang bukan kekasihnya sendiri?

“Aku baru saja mengunjungi rumah Sehun. Kau sendiri?” Jika Luhan saja bisa bebas berkencan dengan gadis lain, kenapa Ji Yoo tidak? Meskipun dengan kebohongan sekalipun. “Yak, jangan memandangiku seperti itu!” Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di depan Luhan. Pria itu menatapnya penuh selidik.

Pantas, Oh Sehun adalah teman kuliah yang dikabarkan dekat dengan Ji Yoo sebelum gadis itu menjadi kekasih Luhan. Sehun yang selalu menjadi tempat bersandar Ji Yoo saat Luhan masih bersikap berandalan. Sehun yang selalu menyayangi Ji Yoo lebih dari seorang sahabat. Sehun yang selalu dan selalu.

“Aku sedang mencurigai kekasihku sendiri, apa salah?”

Ji Yoo tergelak. Kekasih? Baru sekarang ia mengakuinya sebagai kekasih?

“Hahaha, tidak. Aku aku tidak terlalu memikirkan hal itu tentunya. Kau tidak perlu khawatir.” Ji Yoo berdiri di sisi Luhan, kemudian sedikit mencondongkan tubuhnya untuk mengecek suara klakson dari arah jalan. Bus nya telah datang.

“Kau tidak akan pulang naik bus.” Luhan mengomando dari balik punggung Ji Yoo. Sedetik kemudian, pria itu mengenggam tangan kiri Ji Yoo. Sedikit menariknya agar gadis itu menuruti perintah Luhan.

“Kenapa?”

Mereka berdua kini berjalan beriringan menyusuri sebuah jalan setapak di dalam taman. Keadaannya masih ramai karena sore baru saja dimulai. Anak-anak kecil berlarian di taman bermain dengan gelak tawa. Sesekali menganggu teman kecilnya yang tampak riang bermain ayunan.

“Karena, aku ingin kau sampai dirumah. Jangan kemana-mana setelah pulang kuliah. Mungkin aku tidak bisa menjagamu lebih lama lagi.”

Luhan tampak sangat berbeda hanya karena senyumannya kini. Tangan mereka berdua masih sibuk berayun disela-sela langkah kaki yang terus menapaki padang rerumputan.

“Kau ingin putus? Hem?” gadis itu memutar badannya secara penuh demi menatap manik mata Luhan yang kecoklatan. Tidak ada kilatan kemarahan dimatanya, Ji Yoo tahu cepat atau lambat Luhan pasti bersikap demikian. Tidak perlu menangis, mungkin Luhan membutuhkan gadis yang lebih baik darinya.

“Aku, harus kembali ke China. Dan kau harus mulai bahagia tanpa aku.”

“Aku tahu. Mungkin aku memang sudah seharusnya pergi dari hidupmu.”

Ji Yoo pasrah atas apa yang terjadi padanya hari ini. Tentu sangat menyakitkan jika ia harus ditinggalkan seperti ini. Untuk memulai hidup tanpa sosok Luhan, mungkin gadis itu akan merasakan kesulitan pada awalnya.

“Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku ha- ..”

“Aku tidak akan memaksamu. Jangan merasa bersalah.”

Chuuup—

Ji Yoo berjinjit, lalu mencium Luhan tepat di pipi kanannya. Setelah kecupan singkat itu, tangan Ji Yoo mulai menyentuh kedua pipi pria itu. Mengusap dengan lembut. Tatapan matanya teduh, disusul sebuah senyuman.

“Aku pergi, jaga dirimu baik-baik.” Langkahnya pelan namun teratur. Dua tahun terakhir adalah waktu yang sangat menyenangkan, dan jujur ketika perasaannya tidak terbalas. Sempat ada kekecewaan yang dalam. Namun gadis itu membiarkannya berjalan seperti air, mengalir saja sampai ke lautan. Berharap dengan itu Luhan segera tersadar dan kembali menemukan kebahagiaannya.

Benar, mungkin sekarang Luhan sedang mencari kebahagiaanya, tanpa Ji Yoo.

 

 

--- --- ---

 

Pagi ini sungguh tidak bersahabat untuk semua orang, hujan turun dengan deras sejak malam dan belum juga berhenti sampai pagi datang. Sekarang Ji Yoo duduk di pinggir jendelanya dengan tenang, menikmati cipratan air hujan yang menerpa wajah polosnya. Dua minggu sejak perpisahan itu, Luhan seperti benar-benar hilang ditelan bumi. Tidak ada tanda-tanda keberadaannya di semua tempat. Bahkan Chanyeol telah membuka lowongan baru untuk mencari pengganti Luhan di cafenya. Tidak ada yang tahu kemana perginya pria itu.

Pernyatannya tentang pergi ke China ternyata benar, dan secepat ini. Sedang Ji Yoo masih bungkam jika ditanya kemana perginya Luhan. Ia rasa Luhan memang telah menghapus semua kenangannya di Seoul, termasuk tentang perjalanan cinta sepihak Ji Yoo pada pria itu.

“Hoooiii! Kauu!!”

Ji Yoo menjulurkan lehernya melewati jendela. Dilihatnya seorang pria baru saja keluar dari mobilnya. Tampak bersandar pada pintu mobil dengan tangan melambai ke arah jendela kamar gadis itu.

“Baek, sedang apa kau disini?” Rasa penasaran menyelimuti pikiran Ji Yoo. Baekhyun, kenapa bisa orang itu datang ke rumahnya pagi-pagi buta seperti ini? Ketika rasa malas mendominasi seluruh mood-nya.

“Kau tidak ada kelas kan? Ayo berkencan.” Baekhyun tertawa-tawa ketika mengatakan kalimat terakhir. Yang diikuti pergerakan mulut Ji Yoo yang mengatakan gila, sinting, tidak waras, dan lain sebagainya.

“Bodoh, aku tidak mau dibunuh pacarmu!” Ji Yoo berteriak sambil mengepalkan tangan ke arah Baekhyun. Untung ayahnya sudah berangkat kerja satu jam yang lalu. Kalau tahu ada pria asing selain Luhan yang datang kerumah, sudah pasti akan diusir mentah-mentah.

“Turunlah, cepat!” Baekhyun terlihat gemas karena Ji Yoo tetap saja duduk di tepi jendelanya.

 

--- --- ---

 

“Kita kemana?” Ji Yoo memasang sitbelt setelah duduk manis di samping Baekhyun. Sedang pria itu mulai menjalankan mobilnya secara perlahan.

“Berkencan, tentu saja. Kau sudah bukan milik siapa-siapa lagi kan se— Aw! ” Kepala Baekhyun menjadi sasaran empuk kali ini. Topik itu masih menjadi hal yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Saat tangan Ji Yoo masih bertengger di puncak kepala Baekhyun, berusaha menjambaknya kali ini. Pria itu malah menginjak pedal gas nya secara brutal. Membuat Ji Yoo menabrak sandaran kursinya. “Turuti saja. Hari ini kita bersenang-senang! Wuuuuu Yeeeeeeeeey! Hahahahaha”

Baekhyun seperti orang gila. Tenggelam dalam tawanya yang riuh. Kebahagiaan sungguh seperti selalu menjadi bayangan hidupnya. Ji Yoo kalah jauh bila dibandingkan dengan pria itu. Dan, gadis itupun merasakan perbedaan yang sungguh besar.

 

Tidak sampai satu jam, mereka sudah berjalan menyusuri sisi bukit kecil yang tenang. Tangan Bakhyun mengait di pinggang Ji Yoo, membuat gadis itu merasa sedikit risih. Karena bahunya menempel pada dada bidang pria itu. Ditambah hubungan mereka yang tidak lebih dari seorang kenalan. Baekhyun dan Ji Yoo baru beberapa kali bertemu di kampus. Baekhyun yang notabene adalah senior barunya. Pindah kampus dengan alasan bahwa dia hidup sendiri akibat perceraian orang tuanya yang sangat rumit. Ayah dan ibunya memperebutkan rumah yang ia tinggali dulu. Jadi untuk menghindari tekanan buruk, Baekhyun memilih pindah dan mencari tempat tinggal yang baru.

Tangan kiri Baekhyun mengenggam keranjang makan. Keduanya terus menyambung langkah untuk sampai pada sisi lain bukit itu, tujuan utamanya adalah sebuah danau kecil.

Mereka benar-benar berkencan. Persis seperti apa yang dulu diinginkan Ji Yoo. Namun dulu sosok yang ia idamkan adalah Luhan, bukan Baekhyun.

“Baek, tunggu sebentar!” Ji Yoo melepas tautan tangan Baekhyun secara paksa dengan alasan ingin menalikan tali sepatunya yang lepas.

Ji Yoo berharap Baekhyun mendahuluinya, dan melepaskan skinship mereka. Namun sangat disayangkan ketika Baekhyun malah ikut berjongkok, kemudian meraih tali sepatu sebelah kiri Ji Yoo yang belum tersentuh. Mengikatnya menjadi simpul yang rapi.

“Kau lambat sekali.” Baekhyun mengomel.

“Baek, “ Oh Neptunus, demi apapun. Baekhyun begitu tampan hanya dengan kaos putih polosnya. Pria itu mendongakkan kepalanya menghadap wajah Ji Yoo.

“Hmmm?”

“Kau ing— Em, tidak tidak .. Tidak jadi sajalah.” Ji Yoo menegakkan bahunya, kemudian berjalan mendahului Baekhyun ketika pria itu masih memusatkan seluruh fokusnya.

“Aku kenapa? Dasar aneh!” Baekhyun menyusul Ji Yoo dengan berlari cepat. Hingga Ji Yoo melarikan diri dari kejaran Baekhyun. Mereka berlarian sambil tergelak. Sesekali berhenti dan menyambung nafas, lalu kembali berkejar-kejaran seperti anak kecil.

 

--- --- ---

 

Luhan berjalan masuk ke sebuah gedung yang belum selesai dibangun. Tampak bangunan itu terbengkalai cukup lama. Namun bukannya berbalik, pria itu malah semakin melangkah masuk. Seakan sudah tahu bahwa di dalam gedung itu ada orang yang telah menunggunya.

“Apa kabar Luhan? Senang bertemu denganmu lagi!” Luhan mendapati beberapa orang tengah menatapnya dengan bengis, termasuk seorang pria berjas hitam. Namun Luhan  hanya balas menatap dengan pandangan meremehkan.

“Apa maumu?” Luhan tidak membalas sapaan pria itu. Baginya, semakin cepat ia keluar dari situ, malah semakin baik.

“Mauku masih sama, aku membutuhkan jasamu untuk transaksi besar kali ini.” Pria itu berjalan mendekati Luhan. Wajahnya berubah ramah, namun berbanding terbalik dengan Luhan yang mengalihkan pandangannya. Tangannya berusaha menggapai bahu Luhan. Dan tampak sebuah tato wajah harimau di lengannya. Itu pertanda buruk. Sangat buruk!

“Aku tidak berminat sama sekali. Carilah orang lain.” Luhan melenggang pergi begitu saja tanpa perkataan apapun. Ia terlalu muak untuk berada di situ. Muak akan segala masa lalunya yang kelam. Muak dengan orang-orang yang dulu pernah bekerja sama dengannya. Bahkan sekarang ia muak dengan dirinya sendiri.

“Aku mempunyai penawaran yang menyenangkan, Tuan Xi. Tentu gadis itu akan membuat perjanjian kita semakin menyenangkan.”

Tunggu, gadis itu? Kemana arah pembicaraannya?

“Tuan Byun, anda tidak akan pernah bertindak curang.” Sebenarnya Luhan mulai goyah. Bagaimanapun, keberadaannya di China memang bertujuan untuk menyelamatkan gadis itu, meskipun dengan berat hati.

Lalu jika sekarang keadaannya akan menjadi seperti ini? Haruskan ia kembali memasuki lingkaran setan itu? Yang sewaktu-waktu bisa saja menghisap dan menyeretnya ke dasar, seperti dulu.

“Demi misi yang kutawarkan padamu tadi, aku akan melakukan berbagai cara. Hahahahaha.”

Luhan mendengus, ia tetap saja melenggang pergi meski kini perasaannya mulai bercampur aduk. Antara khawatir dan takut. Takut jika nasib gadis itu berakhir seperti yang dikatakan tadi, dan khawatir jika semua omongan pria itu bermaksud hanya untuk menjebaknya.

 

 

--- --- ---

 

“Baek, sini!” Ji Yoo mengayunkan telapak tangannya untuk menarik perhatian Baekhyun yang tengah berbaring terlentang beralaskan rumput hijau.

Gadis itu mengomel ketika pria itu bahkan tidak bereaksi apapun. Tapi ia tidak menyerah begitu saja, dihampirinya Baekhyun, lalu tangannya terulur untuk membuat Baekhyun bangkit. Ia mengerahkan seluruh tenanganya, namun posisi Baekhyun hanya bergeser sedikit, sangat sedikit. Dan Ji Yoo tidak yakin bahwa Baekhyun benar-benar tidur, buktinya wajah pria itu terlihat sedang menahan tawa. “Baek! Bangunlah!”

“Kau mau aku kemana?” Pria itu membuka matanya, dengan jenaka menarik tangan Ji Yoo hingga sekarang gantian gadis itu yang berbaring di atasnya. Uh, pria mesum.

“Baek, lepaskan! Kau membuatku sesak nafas!” Ji Yoo benar-benar kaget dengan pergerakan Baekhyun yang sangat tiba-tiba. “Uhhh!”

Gadis itu membanting tubuhnya ke samping Baekhyun, lalu meraup udara sepuas-puasnya.

Dasar Baekhyun gila!

“Baekhyun, gila!”

Cacian yang dilontarkan Ji Yoo malah disambut kekehan dari pria yang ia katai gila.

“Iya, aku tergila-gila padamu!” Baekhyun menekuk lengannya membentuk sudut untuk menopang kepalanya. Mata tajamnya menatap Ji Yoo dengan penuh kesungguhan.

“Ahahaha, gila!” Gadis itu gemar sekali mengatai Baekhyun gila. Ya sepertinya Baekhyun memang gila. Sekarang Ji Yoo tengah duduk sambil memandangi danau yang tampak tenang. Ia merasa, perasaannya sangat lega. Apa jangan-jangan?

 

--- --- ---

 

Ponsel Ji Yoo bergetar dari dalam tas punggungnya, mendendangkan sebuah lagu yang cukup ampuh membuat lamunannya buyar. Tubuhnya yang sedang bersandar pada kaca bergegas tegak. Tatapannya tampak menyiratkan keraguan untuk mengangkat panggilan itu atau tidak. Karena lagu itu, nada dering yang ia pilih khusus untuk, Luhan.

“Kau tidak mengangkatnya?” Baekhyun bergeser sedikit untuk mengintip siapa yang sedang melakukan panggilan pada ponsel gadis yang tengah duduk manis di sampingnya itu.

“Ah ini tidak terlalu penting” Ji Yoo akhirnya memutuskan untuk melempar kembali ponselnya. Ia sudah tidak peduli tentang apa maksud Luhan kali ini. Yang pasti, sejak hari dimana hubungan mereka telah berakhir. Ia sudah berniat untuk melupakan Luhan.

“Benarkah? Tapi mimik mukamu tidak mengatakan hal yang sama.”

“Baek, cukup! Aku tidak ingin membahas ini” Kepalanya kembali bersandar pada kaca. Ia tidak mau berdebat pada topik seperti itu. Dan untunglah Baekhyun cukup mengerti dengan tidak membahasnya lebih dalam lagi.

“Kau lapar?”

“Tidak”

“Haus?”

“Tidak juga, aku hanya ingin cepat sampai rumah.” Mata Ji Yoo tidak lepas memandang pepohonan yang berbaris rapi di kedua sisi jalanan yang panjang. Menatap perkebunan, gubuk di tengah-tengah padang ilalang dan sinar matahari yang mengintip kecil dari celah awan mendung. Membuatnya sering tidak sadar jika Baekhyun berulang kali mencuri pandang ke arahnya.

“Apa kencan kita tidak menyenangkan?” Baekhyun sendiri sebenarnya sangat menikmati hari ini. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Beban itu yang membangun sebuah tembok pembatas yang tinggi.

 

 

--- --- ---

 

Luhan melempar setiap benda yang berada pada arah pandangnya, tidak terkecuali ponsel layar sentuh miliknya. Setelah benda kecil itu ikut menjadi korban perbuatan Luhan, kini tampak sebuah retakan cukup parah pada layarnya. Memikirkan Ji Yoo hanya membuat emosinya meletup-letup dan bersiap meledak. Jika saja gadis itu mau mengangkat panggilannya, tentu Luhan tidak akan meluapkan amarahnya pada benda-benda tidak bersalah itu.

“Dasar gadis bodoh, apa kau baik-baik saja sekarang?” Luhan seolah tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis itu akan baik-baik saja. Benar, harusnya dengan ia pergi jauh. Keselamatan gadis itu akan terjamin.

“Aku mempunyai penawaran yang menyenangkan, Tuan Xi. Tentu gadis itu akan membuat perjanjian kita semakin menyenangkan.”

Pria itu hampir frustasi sebelum melemparkan tubuhnya pada kasur secara sembarangan. Menyisakan kedua kaki panjangnya yang menggantung bebas pada sisi ranjang.

“Kau harus hidup dengan baik ..”

 

 

 

--- --- ---

 

Hujan.

Karya ciptaan Tuhan itu yang akhir-akhir ini Ji Yoo benci. Mereka berdua masih berada di tengah perjalanan, saling diam karena tidak ada seorangpun yang memulai sebuah pembicaraan menyenangkan. Baekhyun juga sepertinya lebih memilih memusatkan perhatiannya pada jalanan di depan sana. Yang medannya akan menjadi lebih sulit jika hari hujan.

“Kau masih memikirkan pria itu?” Baekhyun masih sangat penasaran akan hubungan macam apa yang sedang dijalani Ji Yoo dengan seseorang yang membuatnya menjadi pendiam itu. Sedikit banyak Baekhyun telah mencari informasi ke semua teman Ji Yoo, tentang bagaimana gadis itu. Dan yang ia dapat hanya tentang bagaimana keseharian gadis itu yang selalu mengunjungi sebuah café di depan gedung kampusnya yang cukup ramai.

Dan semua hal yang telah ia dapat, semua berhubungan dengan sesuatu yang ia cari sekarang.

“Apa?”

“Dasar bodoh, kau masih menunggu pria seperti itu? Malang sekali. Kau berusaha bahagia meskipun sikap pria itu sangat dingin?” Baekhyun melupakan sifat sensitif Ji Yoo yang bisa muncul kapan saja. Dan sayangnya, sepertinya gadis itu mulai terpancing.

“Baek, jangan berbicara sembarangan. Dia lebih baik dari apa yang ada di pikiranmu sekarang. Jadi berhenti memberi penilaian yang berlebihan.” Nada bicaranya naik 2 oktaf. Ia rasa, Baekhyun kali ini sudah sangat keterlaluan.  Wajahnya kini berbalik menghadap pria itu.

“Kau tidak membuka hatimu untukku?” Baekhyun bertanya secara gamblang, membuat Ji Yoo terpaku pada sikapnya. Pria itu? Punya maksud lain dibalik semua kebaikan yang diberikan hari ini?

“Hahahaha, kau bercanda! Itu tidak lucu. Berkonsentrasilah menyetir atau kita akan celaka karena kecerobohanmu” Ji Yoo sedikit bergeser menjauhi Baekhyun, lalu berpikir bahwa mungkin Baekhyun sedang melontarkan lelucon garing karena kekikukan mereka.

 

--- --- ---

 

“Masuklah!” Baekhyun berdiri di balik gerbang dengan kepala menyembul karena tinggi tubuhnya melebihi tinggi pembatas itu. Diikuti anggukan kepala dari Ji Yoo. Yang sekarang mulai berjalan menapaki jalan setapak di halaman depan rumahnya. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, diluar perkiraan mereka yang harusnya bisa sampai di rumah setelah matahari terbenam. Hujan yang mengguyur daerah itu selama hampir seharian. Membuat perjalanan semakin lama karena perlu kehati-hatian lebih.

Semua lampu dirumahnya masih tampak belum dinyalakan. Itu memberikan dua opsi kemunginan. Antara sang ayah benar-benar belum pulang atau memang sudah kembali lagi ke kantornya. Begitulah keseharian seorang pengusaha. Lebih sering menghabiskan waktu dengan berkutat pada urusan kantor.

Tangannya bergerak memutar kunci yang ia keluarkan dari dalam tasnya. Kemudain mencari tombol lampu ruang tamu yang terletak di sebelah pintu.

“Jangan bergerak!”

Ji Yoo membeku, darahnya berdesir ketika merasakan sebuah tangan mencengkeram erat lengannya, dan tangan satunya sedang menempelkan sesuatu yang dingin di lehernya. Lampu yang belum sempat dinyalakan membuat pandangannya samar. Ia tidak bisa menoleh untuk memastikan siapa sosok yang kini berdiri di belakangnya.

“Kkka- kkau mmm-mau apa?”

“Sedikit bersenang-senang!” Sosok itu, seorang pria yang kini bergerak menggeser benda dingin itu. Turun kebawah, hingga sampai ke perutnya. Dengan cepat, merobek kulit gadis itu dan menghujamnya beberapa kali. Membuat cengkraman tangan korbannya yang mulai lemas, sedikit mengendur. Gadis itu ambruk dengan luka menganga cukup dalam. Darah segar mulai berceceran mengotori lantai dan bajunya.

Pria itu menghilang dengan cepat setelah menatap Ji Yoo dengan dingin. Nafas gadis itu mulai tidak teratur, telapak tangannya masih berusaha menghalangi darah yang masih mengucur. Perih dan pusing, itulah hal paling dominan yang dirasakan sekarang. Ketika sebuah usapan menyentuh kulit wajahnya pun, ia hanya bisa bergumam minta tolong. Dan sesaat setelah itu, semuanya berubah gelap.

 

--- --- ---

 

“Dia dirumah sakit sekarang! Kalau kau tidak kembali ke Seoul, sebentar lagi dia akan mati, bodoh!”

“Yeol, aku- ..”

“Dia akan tetap diteror meskipun kau pergi jauh! Sampai kau menuruti apa yang mereka mau, atau sampai gadis itu mati!”

Chanyeol menatap ponselnya geram, setelah berhasil memutus panggilannya. Ia sedang berada di lorong panjang sebuah rumah sakit. Punggungnya menempel di tembok dengan kepala yang tertunduk. Dua puluh menit yang lalu, ponsel yang diletakkan begitu saja di lokernya mendadak berdering. Biasanya ia tidak begitu cermat mendengar deringan ponselnya sendiri, namun kali ini berbeda. Suara itu seakan sangat dekat dengan telinganya. Dan sesaat setelah ia meraih ponselnya, tertera sebuah nama yang sedikit membuat dahinya berkerut. ‘Mr. Kang Calling..’ Itu panggilan dari ayah Ji Yoo.

Sekarang, ada dua orang yang sedang duduk di kursi tunggu di depan ruang operasi. Tuan Kang, dan satu pria lagi. Baekhyun, namun Chanyeol tidak begitu mengenal pria itu. Hanya tahu bahwa pria itu pernah beberapa kali datang ke cafenya.

Ji Yoo baru saja dilarikan ke rumah sakit sekitar sepuluh menit yang lalu, dan langsung dibawa ke dalam ruang operasi karena luka di perutnya cukup dalam. Dan beruntung, ia belum kehabisan darah. Mungkin keajaiban masih menolongnya, untuk saat ini.

Tidak lama kemudian, seorang pria berpakaian polisi berjalan mendekati Tuan Kang. Kemudian melaporkan hasil kerja kilatnya pada pria berumur 45 tahun itu.

“Tidak ada barang berharga yang hilang, pak. Saya kira kasus ini bukan motif perampokan.” Pria itu menyerahkan beberapa berkas. “Bisakah anda ikut kami sebentar?” Kemudian mengajak Tuan Kang untuk turun ke bawah, menemui anak buahnya yang lain. Melaporkan inti kejadiannya dengan lebih rinci.

“Chanyeol ..”

“Iya,” Chanyeol berjalan melewati Baekhyun begitu saja, lalu terfokus pada Tuan Kang kali ini.

“Tolong hubungi aku jika operasinya sudah selesai. Aku turun sebentar.”

Chanyeol mengangguk, kemudian menggantikan posisi Tuan Kang untuk duduk pada bangku paling dekat dengan pintu. Membiarkan Baekhyun bergelut pada pikirannya sendirian.

Setengah jam lebih kemudian, saat Dokter dan dua perawat keluar dari ruang operasi sambil melepas masker. Tuan Kang belum juga kembali, membuat Chanyeol berpikir bahwa ini tanggung jawabnya untuk mencari tahu keadaan Ji Yoo.

“Keluarga Kang Ji Yoo?” Seorang perawat ikut bergabung, ia mengekor dengan membawa sebuah kertas laporan kecil ditangannya.

Chanyeol dan Baekhyun secara serempak mengangkat tangannya. Hingga perawat itu mendatangi mereka berdua.

“Nona Kang Ji Yoo akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Keadaannya masih sangat kritis, jadi kami masih memantau perkembangannya. Untuk saat ini Nona Kang Ji Yoo belum bisa dijenguk oleh siapapun.”

Rahang Chanyeol mengeras. Kemudian mengangguk dengan cepat dan membiarkan perawat itu mengurusi administrasi seperti biasa.

Tangannya bergerak lincah di atas layar ponselnya. Melakukan sebuah panggilan yang lagi-lagi ditunjukkan kepada orang yang sama. Luhan.

“Kau bersikeras pada keputusanmu? Hah?” Chanyeol mendadak mengerikan dengan mimik wajah menahan amarah. Tidak habis pikir kenapa lawan bicaranya mempunyai keegoisan yang tidak bisa ditoleransi akal sehatnya.

Baekhyun menoleh dengan cepat. Bayangan masa lalunya muncul begitu saja di kepalanya. Kilasan-kilasan hitam itu berebut masuk satu per satu. Menampilkan adegan kilas balik yang membuat nafasnya tercekat.

“Dia bahkan kritis, bodoh!” Chanyeol berteriak-teriak seperti orang gila. Dan tidak memperdulikan Baekhyun yang sedang berjalan tertatih sambil memegangi dadanya. Tanpa sadar, Baekhyun menangisi keadaan Ji Yoo. Bahkan setelah itu, ia mulai berlari ke luar rumah sakit dengan perasaan sedih yang mendominasi.

 

 

--- --- ---

 

“Kau bersikeras pada keputusanmu? Hah?”

“Dia bahkan kritis, bodoh!”

Dari nada bicara Chanyeol, Luhan tahu bahwa pria itu sedang marah besar karena sikapnya. Chanyeol adalah orang yang sangat peduli pada Ji Yoo. Gadis yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri. Ketika gadis itu begitu lelah pada sikap dingin Luhan, Chanyeol juga lah orang yang pertama ia cari. Dan sekarang, Chanyeol juga terlihat begitu menyayangi Ji Yoo.

“Bodoh!” Entah siapa yang bodoh, dirinya sendiri atau orang lain. Jika itu orang lain, orang yang dikatai bodoh juga tidak ada di dekatnya, apalagi dengan suara Luhan yang terdengar sangat lirih. Bisa dipastikan jika tidak ada yang dapat mendengar suaranya kecuali ia sendiri.

Setelah mengumpat dengan satu kata –bodoh!-, Luhan akhirnya mengalah pada dirinya sendiri. Ia mengemasi baju-baju yang baru saja selesai ditata di lemari, kemudian meraih paspor dan beberapa benda lain. Lalu menjejalkan begitu saja pada sebuah ransel hitam berukuran sedang. Langkahnya begitu mantap meninggalkan apartemen yang baru saja ditinggalinya. Apapun hasil akhirnya, ia tetap meyakini bahwa Ji Yoo masih begitu mencintainya. Dan ia adalah seorang pria yang akan melakukan apa saja untuk melindungi gadisnya.

 

--- --- ---

 

“Arrrrrrggggggghh!” Baekhyun menendang apa saja yang ada di hadapannya sekarang. Tanah, rumput, kaki bangku, dan udara. Apa ia harus melakukan hal seperti yang sudah diberikan padanya? Padahal disatu sisi, pria itu mulai merasakan ada yang aneh pada jantungnya ketika berdekatan dengan gadis itu.

“KENAPA SECEPAT INI? HAH?” Baekhyun berteriak pada ponselnya. Sedang lawan bicara diseberang sana hanya berdehem. Tidak bereaksi apapun terhadap kemarahan Baekhyun.

“Keadaan kita mulai terjepit, buat pria bodoh yang sedang jatuh cinta itu bertekuk lutut dihadapan kita. Kau tahu persis kan bagaimana orang sedang jatuh cinta? Kau sedang merasakannya kan? Gadis itu sungguh ajaib. Hahahaha!”

Tut .. Tut .. Tut ..

Panggilan Baekhyun diputuskan secara sepihak. Bahkan sebelum Baekhyun meluapkan emosinya pada satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas semua kejadian yang menimpa Ji Yoo pada hari ini.

“Aku tidak bisa. Aku tidak bisaaa. AKU TIDAK BISAAA! AYAH TOLONG, JANGAN SEPERTI INI!” Baekhyun memohon pada bulan yang sedang bersinar terang. Ia bertekuk lutut ke tanah. Merasakan sakit yang begitu melukai hatinya.

Malam itu, akhirnya Baekhyun kembali duduk di depan ruang operasi. Tidak ada Chanyeol ataupun Tuan Kang. Karena memang Ji Yoo sudah dipindahkan ke ruang perawatan intensif di lantai 4.

 

 

--- --- ---

 

Luhan berlari-lari di sekitar bandara Incheon. Setelah melewati beberapa prosedur penerbangan, akhirnya sampailah ia di depan pintu keluar. Beradu dengan orang-orang yang sama sibuknya dengan ia sekarang. Langkahnya yang terburu-buru akhirnya berhenti pada sebuah taxi yang baru saja menurunkan penumpang. Ia tidak punya banyak waktu lagi untuk berlari menuju tempat pemberhentian taxi. Setelah penumpang alat transportasi darat itu mengambil barang bawaannya yang terakhir, secepat kilat Luhan membanting tubuhnya pada bangku penumpang di belakang supir.

“Rumah Sakit!” perintahnya cepat. Sang supirpun nampaknya sudah mengerti maksud Luhan tanpa perlu bertanya lebih lanjut. Ditambah mimik muka sang penumpang yang tampak berantakan. Jangan pernah membuatnya lebih marah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.

Mobil itu bergerak stabil menembus malam hari di kota Seoul. Hanya butuh setengah jam untuk sampai di rumah sakit, dan nyatanya tidak sampai tiga puluh menit mereka telah berada di depan pintu masuk rumah sakit besar itu.

Setelah memberikan beberapa ratus ribu won, tanpa mengambil kembaliannya. Luhan segera berjalan sambil menempelkan ponsel ke telinganya. Satu-satunya orang yang harus ia hubungi tampaknya masih setia berada di gedung besar itu.

“Kau dimana? Lantai 4? Ya aku akan segera kesana!” Luhan menjulurkan lehernya untuk mencari-cari letak lift, yang ternyata berada tepat di sisi kanannya.

Langkahnya terhenti tepat setelah ia mendapati dua sosok sedang duduk saling terdiam di depan pintu kamar. Luhan menghamburkan langkahnya untuk mengikis jarak dengan kedua sosok itu.

“Luhan, bukankah kau pergi ke Beijing?” Tuan Kang merasa sangat terkejut ketika didapatinya sosok Luhan sudah berdiri dengan nafas terengah di hadapannya. Namun tidak begitu dengan Chanyeol. Ada sebuah lengkungan senyum samar yang diperlihatkannya pada Luhan. Ancamannya memang selalu berhasil.

“Aku tidak bisa meninggalkan Ji Yoo sendirian dalam keadaan seperti ini.” Luhan memalingkan wajahnya melewati tembok kaca di sampingnya. Memperlihatkan dengan jelas bagaimana keadaan Ji Yoo yang masih terbaring lemah dengan beberapa selang di tubuhnya. Gadis itu masih dinyatakan kritis.

“Sayangnya, kita semua belum bisa masuk untuk melihat Ji Yoo.” Tuan Kang tampak sangat kelelahan. Ditambah lagi waktu sudah menunjukkan pukul satu malam. Waktu yang seharusnya terpakai untuk mengistirahatkan diri, bukan untuk duduk menunggu di lorong rumah sakit yang sepi dengan perasaan was-was setiap waktu. “Oiya, Chanyeol. Apa kau melihat pria itu?”

Chanyeol buru-buru menggeleng. Memang benar ia tidak mengetahui dimana orang yang dimaksud Tuan Kang. Pria itu seakan menghilang sesaat setelah suster dan dokter keluar dari ruang operasi.

“Aku harap dia selalu berada dalam lindungan Tuhan, karena telah menyelamatkan putri kesayanganku.”

 

--- --- ---

 

“Byun Baekhyun .. “

Luhan merasakan pergerakan jari-jari yang berada di dalam genggamannya itu. Ia baru saja memutuskan untuk menutup mata sejenak. Sudah dua hari Ji Yoo tidak sadarkan diri, dan selama itu pula Luhan tidak pernah pergi jauh dari sisi gadisnya.

“Baek .. ”

Ia tidak terlalu memperhatikan nama siapa yang sedang Ji Yoo panggil. Yang menjadi kebahagiannya sekarang adalah, gadis itu telah sadar. Dengan tatapan mata yang sama, dengan suara yang sama, dengan wajah yang sama. Sangat sama seperti sebelum ia pergi.

“Kau sudah sadar? Bagaimana? Ada yang sakit?” Luhan bangkit berdiri dan lantas memencet tombol di atas ranjang Ji Yoo, yang berdekatan dengan tiang infus.

“Luhan ..”

“Iya, aku disini. Apa ada yang masih sakit?” Setelah memencet tombol selama dua kali, tangan Luhan berpindah menuju puncak kepala Ji Yoo. Mengelusnya dengan lemah lembut. Berusaha mencurahkan semua perhatian yang dulu tidak pernah sekalipun ia berikan pada gadis itu.

“Hmmm..” Gadis dihadapannya itu menggeleng. Kemudian mimik muka gadis itu sedikit berubah. “Kau kenapa disini? Dimana Baekhyun?”

Pertanyaan sepele itu sukses membuat Luhan menelan ludahnya yang terasa sangat pahit. Wajah Ji Yoo masih sama, suara Ji Yoo masih sama, wajah Ji Yoo masih sama. Namun kesamaan itu tidak semata-mata sama dengan yang dulu. Yang hanya ada nama ‘Luhan’ di pikiran dan hatinya. Kini, Luhan merasa Ji Yoo telah berubah. Berubah seperti yang dulu ia harapkan, dan yang sekarang ia sesalkan.

“Akan aku panggilkan dia.” Luhan bergerak dengan gontai, senyuman yang menghiasi wajahnya kini seakan pudar. Yang ada hanya rasa menyesal. “Dia mencarimu!”

 

--- --- ---

 

Baekhyun duduk di bangku itu sama lamanya dengan Luhan yang duduk di dalam. Pria itu juga sama cemasnya seperti yang Luhan rasakan. Dan ketika Ji Yoo siuman, pria itu sama bahagia nya seperti Luhan. Hanya saja sekarang ia tidak bisa mendekati Ji Yoo, menggenggam jari jemarinya dan mengelus lembut puncak kepalanya. Dan sejujurnya, ia sangat iri dengan apa yang dilakukan Luhan tadi.

Ketika Luhan keluar dan mendekatinya, ia merasakan sebuah perasaan luar biasa yang membuncah di hatinya. Tatapan kekalahan itu yang membuat langkahnya ringan. Sangat ringan.

“Dia mencarimu!”

Sangat berbanding terbalik dengan sikap Luhan. Baekhyun dengan semangat segera berlari mendorong pintu hingga sedikit membantingnya. Menghampiri Ji Yoo yang tengah menatapnya dengan senyuman. Senyuman itu yang mampu menghalau rasa bersalahnya tadi.

“Hai. Apa kau duduk diluar?” Ji Yoo memberikan sapaannya seperti biasa.

“Apa kau baik-baik saja?” Baekhyun menduduki bangku bekas Luhan tadi. Tangannya juga meraih jari-jemari yang tadi digenggam Luhan.

“Perutku sakit, tapi aku baik-baik saja asal ada kau.” Ji Yoo meyakinkan Baekhyun bahwa semuanya akan baik-baik saja jika pria itu berada di sisinya.  “Terima kasih, Baek!”

“Untuk?”

“Aku tahu siapa yang datang ke rumahku sesaat setelah orang jahat itu kabur.”

Baekhyun tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Tingkat sensitifitas gadis itu memang satu tingkat berada di atasnya. “Aku merasakan hal yang aneh saat meninggalkan kau sendirian. Jadi aku memutuskan untuk kembali. Sungguh kupikir aku akan gila jika kau benar-benar tidak tertolong!” Ini pengakuan tertulus yang Baekhyun lontarkan pada gadis-gadis yang pernah ia temui. Jujur, ia juga bukan pria baik-baik yang merasa cukup dengan mempunyai hubungan hanya dengan satu gadis. Namun mungkin kali ini ia mungkin akan bertekuk lutut pada gadis yang satu ini.

“Terima kasih, Baek.”

 

--- --- ---

 

Luhan merasa seluruh dunianya telah runtuh dan jatuh ke dasar jurang. Menyaksikan bagaimana reaksi Ji Yoo yang begitu dingin padanya. Pikirannya telah jauh melayang meninggalkan raganya. Berkelana mencapai titik masa lalu yang sungguh ingin diulangnya kembali. Merajut rasa yang dengan bodohnya ia acuhkan begitu saja. Hingga sampai pada sebuah tepukan di bahunya, membuyarkan lamunan bodoh itu.

“Dia perlahan mulai menggantikan posisimu. Dia tahu apa yang tidak bisa kau berikan pada Ji Yoo. Senyuman, perhatian, keramahan, tawa, perlakuan hangat. Dia memberikan semuanya pada Ji Yoo. Itulah salah satu alasan kenapa aku memaksamu kembali, Han. Aku tidak begitu yakin jika pria itu bisa menjaga Ji Yoo lebih lama lagi.” Chanyeol berusaha meyakinkan Luhan bahwa keputusannya untuk kembali ke Seoul adalah pilihan yang sangat tepat.

“Kau bisa lihat reaksi Ji Yoo padaku kan? Apa menurutmu aku masih bisa kembali seperti dulu? Membuatnya selalu berada di sekitarku, tertawa, marah, sedih, menangis. Apa aku bisa melihat semua itu setelah apa yang aku lakukan padanya? Aku yang menyuruhnya pergi, Yeol!”

“Apa kau mencintainya?”

“Aku mencintainya melebihi diriku sendiri. Dan rasa itu akan tetap sama sampai kapanpun.”

Dulu, mungkin Luhan akan melenggang pergi begitu saja jika diberikan pertanyaan semacam itu. Seperti berusaha mencari jawaban yang paling benar pada hatinya sendiri.

“Lalu sekarang?”

“Aku harus mengambil sesuatu yang seharusnya menjadi milikku. Benarkan?” Tepukan di bahunya, semakin membuat ia tersadar dan bertekad lebih kuat. Bagaimanapun, ia lebih tahu sosok Ji Yoo dibandingkan pria asing itu. Pria asing yang tahu-tahu sudah mengisi posisinya yang baru saja kosong.

 

--- --- ---

 

Seperti sudah menjadi alarm alaminya, setiap jam enam pagi Ji Yoo pasti sudah bangun dari tidur. Dan kali ini juga sama. Meskipun baru pukul dua pagi tadi ia memejamkan mata, setelah berbincang cukup serius dengan sang ayah. Yang menginterogasi apakah gadis itu mempunyai musuh, atau sedang berada dalam sebuah masalah besar. Karena tidak satu barang berharga pun yang lenyap. Dan hanya dibalas gelengan kepala dari Ji Yoo. Mempunyai musuh? Teman akrab di kampus saja ia tidak punya, apalagi musuh? Tempat yang rutin dikunjunginya setiap hari adalah kelas, taman kampus yang sepi, café milik Chanyeol, dan yang terakhir adalah rumahnya sendiri. Setiap hari berputar-putar di tempat-tempat itu saja.

“Ji Yoo-ya?”

“Euunggg?” Ji Yoo memutar lehernya mencari asal suara yang terdengar sangat damai memasuki gendang telinganya. Suara milik Luhan, seseorang yang selama seminggu lebih ini ia hindari.

“Kau sudah bangun? Hmm? Bagaimana keadaanmu, apa masih ada yang sakit?”

Luhan bahkan menanyakan pertanyaan yang menggambarkan betapa perhatiannya ia sekarang. Ditambah lagi, sekarang pria itu bergeser duduk di kursi, tepat disamping ranjang Ji Yoo.

“Baekhyun dimana?” Sebenarnya pertanyaan itu dilontarkan hanya untuk mempertegas garis batas hubungan gadis itu dan Luhan. Sekarang semuanya telah berbeda. Meskipun sejujurnya, debaran jantung itu terasa masih sangat sama. Yang berubah hanyalah betapa kuat tekad gadis itu untuk memberikan tempat paling besar di hatinya untuk Baekhyun. Namun, ternyata gadis itu juga masih meraba. Apakah perasaannya pada Baekhyun memang benar-benar tulus atau semata-mata hanya sebagai tindakan balas budi.

“Emm, dia pamit pulang tadi malam. Hari ini kelasnya tidak bisa ditinggalkan.” Luhan tidak berbohong. Baekhyun memang telah  meninggalkan rumah sakit sejak pukul delapan malam. Pria itu sama cemasnya dengan Luhan. Dan mereka berduapun terlihat tidak pernah beranjak meninggalkan kamar Ji Yoo.

“Oh, kau juga tidak pulang?”

“Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian.”

“Wow, ada yang tidak beres denganmu. Apa aku melewatkan beberapa hal penting saat kritis? Kau berbicara terlalu banyak. Biasanya hanya ‘ya’, ‘tidak’, ‘hmm’ dan ‘pergilah’?” Ji Yoo terlalu jujur mengungkapkan ada yang ada di dalam pikirannya, membuat Luhan serasa dicambuk dengan ribuan tali berujung paku. Menggores dan melukai setiap jengkal tubuhnya. Terutama hati dan pikirannya.

 “Maaf ..”

“Hahahaha, untuk apa?”

“Membuat orang itu menggantikan posisiku. Dan sekarang aku menyesal.”

“Penyesalan tidak ada gunanya sekarang. Pergilah, aku tidak membutuhkan permintaan maaf.” Ji Yoo merasa ia cukup pandai untuk membohongi perasaannya. Namun sayang, sepertinya Luhan melihat kilatan tidak rela dari mata gadis itu.

“Aku tidak ingin membuatmu lebih sakit lagi. Tidak akan. Hanya aku yang kau butuhkan sekarang!” Luhan hanya bisa menatap bagian belakang tubuh Ji Yoo ketika gadis itu bergerak memunggunginya. Mereka berdebat dengan suara sangat lirih.

“Aku masih punya orang lain. Ayahku, Chanyeol, dan Baekhyun.”

Luhan sempat putus asa. Kemudian tangannya meraih jari-jemari Ji Yoo yang terlihat saling meremas. Ia tidak salah kan? Luhan tahu betul bagaimana Ji Yoo. Bagaimana gadis itu ketika merasa takut, bagaimana gadis itu ketika sedang bahagia, bagaimana gadis itu ketika sedang menangis, terlebih bagaimana gadis itu ketika gugup.

“Aku tidak menyukai kebohonganmu. Bodoh, kau sangat bodoh! Aku pergi karena ingin kau hidup bahagia. Kenapa malah seperti ini?”

“Jika kau tahu aku bodoh, kenapa kau masih ada disini? Apa aku gadis terbodoh yang pernah kau temui? Gadis bodoh yang menggantungkan seluruh hidup pada pria yang jelas-jelas sangat acuh padanya. Apa aku lebih bodoh dari yang aku bayangkan?” Ji Yoo merasakan jarinya semakin digenggam hangat oleh Luhan ketika ia mencaci maki pria itu. Ada perasaan tidak rela ketika ia berusaha melepas kaitan tangan Luhan. “Terima kasih, pergilah.”

Keputusan final bagi Ji Yoo. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hatinya hanya karena ia kembali melihat masa lalu. Berharap kesalahan itu akan tertebus di masa depan. Percuma, sekarang semuanya sudah kembali dari awal. Jikapun ia mulai berhubungan lagi dengan Luhan, semuanya sudah hanya sebagai ‘teman’.

 

--- --- ---

 

“BAEK! Itu!” Telapak tangan Ji Yoo terjulur mendekati pipi Baekhyun, dan saat pria itu menoleh. Lelehan saus tomat sudah mengotori seluruh pipi dan hidungnya. Seketika, sang pelaku tertawa cukup lebar sambil berlari menjauhi sang korban.

“Kau curang yaaaaaa!” baekhyun berlari membututi Ji Yoo. Keduanya sudah terlihat saling berkejaran sambil berkelit.

Tiga bulan berjalan sesuai dengan perkiraan tim dokter. Ji Yoo sudah dinyatakan bisa keluar dari rumah sakit dan hanya seminggu sekali mendatangi gedung itu untuk mengecek kondisinya yang sudah mulai stabil. Dan sekarang, Baekhyun dan Ji Yoo sudah berada di bukit yang sama dengan kencan pertama mereka. Plus dengan pemandangan danau yang semakin hijau.

Nafas Ji Yoo yang sudah satu-dua memaksa gadis itu untuk berhenti berlari dan membiarkan pinggangnya tergapai tangan Baekhyun. Mereka kini berada dalam jarak sangat dekat. Seperti biasa, Baekhyun akan segera meletakkan wajahnya di lekukan leher gadis itu. Menyesap bagaimana harumnya parfum Ji Yoo yang sekarang mengisi seluruh indra penciumannya.

“Baek! Menyingkir, kau membuatku geli!” Ji Yoo memukul kedua lengan Baekhyun yang masih melingkar di pinggangnya. Hanya sebagai gertakan, karena gadis itu sekarang malah terkikik ketika Baekhyun menggelitik perutnya. “Baek, aku lapar.”

“Kau ini, Uh!” Baekhyun tidak rela melepas skinship mereka. Ketika Ji Yoo bergerak menuju keranjang makan mereka, ponsel Baekhyun bergerak-gerak dari dalam saku.

“Ya?” sapanya singkat. Berurusan dengan orang yang melakukan panggilan dengannya sekarang, berarti keadaannya tidak cukup baik.

“Si dungu itu sudah masuk perangkap kita! Hahahaha”

“Lalu sekarang apa?” Baekhyun tampak tidak terlalu berminat dengan arah pembicaraan ini. Arah pandangnya sedang terpusat pada gadis yang duduk dengan jarak cukup jauh darinya.

“Bawa gadis itu ke gudang. Kita lihat saja bagaimana kelanjutannya. Apakah pria bodoh itu masih tetap pada pendiriannya.” Pria diseberang sana seperti tertawa lebar. Namun tidak juga membuat Baekhyun ikut senang. Malah terkesan memaki dalam hati.

“Aku tidak bisa, ayah.” Benar, Baekhyun tidak harus membohongi hatinya seperti kejadian-kejadian yang dulu. Dan ia mulai sadar, bahwa Ji Yoo adalah sumber kebahagiannya.

Sejak mengenal Ji Yoo ia sudah tidak lagi hidup dalam kecemasan dan balas dendam. Dan apakah hidup barunya ini harus berakhir dalam waktu singkat?

“Aku tahu kau begitu berbakti pada ayahmu kan?”

Tut .. Tut .. Tut ..

Panggilan itu lagi-lagi diputus secara sepihak. Dan Baekhyun hanya membanting ponselnya dengan keras. Mengeluarkan makian-makian yang ditujukan pada ayahnya sendiri.

“Baek, kau kenapa?” Tahu-tahu Ji Yoo sudah berada dibalik bahu pria itu. Menatapnya dengan bingung, karena belum pernah sekalipun Baekhyun bersikap sekasar ini. Pasti ada penyebabnya, dan sayangnya Ji Yoo tidak tahu itu apa.

“Tidak.” Balasan singkat itu terucap seiring dengan pergerakan tangan Baekhyun yang menarik gadis itu untuk masuk ke dalam pelukannya. “Jangan bergerak, aku ingin memelukmu lebih lama, sangat lama..”

Baekhyun ingin sekali waktu berhenti sekarang. Untuk melepaskan gadis itu, rasanya sulit sekali.

 

--- --- ---

 

“Ji Yoo!”

Ketukan itu membuat Ji Yoo buru-buru bangkit dari posisinya yang sedang tengkurap di ranjang. Dengan sekali gerakan, tangannya memutar knop pintu dan kuncinya. Tampak sang ayah baru saja pulang kerja, dengan masih meneteng jas hitam dan tas miliknya.

“Iya ayah, kenapa?” kepala gadis itu menyembul dari balik pintu yang hanya terbuka sedikit.

“Luhan menunggumu di bawah. Ada yang ingin dibicarakan.”

Fiuhh, gelar ‘Calon Mertua Terbaik’ memang seharusnya disandang Tuan Kang sejak dua tahun lalu. Bagaimana tidak? Sejak pertama kali pria paruh baya itu bertemu dengan Luhan. Gelagatnya sudah dapat terbaca oleh semua orang. Senyum lebar yang mengiringi pertemuan pertamanya dengan Luhan. Mungkin hanya satu dari sekian ribu orang tua –terutama ayah- yang akan langsung membuka pintunya lebar-lebar untuk seorang pria asing yang dikenalkan oleh anaknya dengan embel-embel ‘pacar’. Dan satu-satunya orang itu adalah Tuan Kang tentu saja.

“Untuk?” Lebih baik Ji Yoo berpura-pura bodoh daripada harus langsung menemui Luhan. Ia juga ingin melihat bagaimana reaksi Luhan saat menunggu seseorang. Meskipun tidak selama yang pernah ia rasakan.

“Wajahnya terlihat sangat pucat. Kalau tidak penting, ayah rasa dia tidak sampai seperti itu.” Tuan Kang bergerak menjauhi kamar Ji Yoo sesaat setelah gadis itu tampak bimbang. Seorang ayah pasti akan sangat mengerti bagaimana anaknya kan? Maka dari itu, ia bisa meyakinkan dirinya sendiri bahwa sebentar lagi Ji Yoo akan berlari turun ke bawah untuk menemui Luhan.

Dan, perkiraannya memang tidak pernah salah. Ji Yoo kini berlari dengan sedikit menjeblakkan pintu kamarnya sendiri hanya karena mendengar kata-kata : ‘Luhan datang’ dan ‘Wajahnya terlihat sangat pucat’. Dan lagi-lagi Ji Yoo harus mengakui kekalahannya sendiri ketika berjalan menuruni tangga. Mendapati Luhan sedang duduk di sofa ruang tengah sambil menyandar punggungnya secara penuh pada sandaran. Matanya terpejam, dengan jari yang bergerak memijit pelipisnya.

“Kalau sakit kenapa masih disini?” Ji Yoo berhenti tepat di anak tangga terbawah.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu .. Jadi aku mohon dengarkan, ya?” Nafas Luhan tersengal. Keadaannya sangat buruk ternyata. “Mendekatlah,” Tangannya menjulur ke arah gadis yang berjarak sekitar sepuluh langkah darinya itu.

“Kalau seperti ini apa aku yang harus bertanggung jawab? Itu masalahmu sendiri, Luhan!” Meskipun bibirnya terus mengomel, namun Ji Yoo tetap saja berjalan mendekat. Mendudukkan dirinya di sebelah Luhan, dan meletakkan punggung tangannya pada dahi pria itu. Mengukur seberapa parah demamnya. “Apa kau sedang mengigau sekarang?”

Pria itu hanya terkekeh, tidak sia-sia ia berjalan di bawah hujan seharian ini. Hasilnya ternyata sangat memuaskan. “Maaf, sekali lagi maaf.”

“Kau minta maaf untuk apa?” Ji Yoo mengurungkan niat untuk pergi mengambil kain dan air es ketika pergelangan tangannya ditahan Luhan. Jujur, kali ini ia sungguh harus bersusah payah untuk terus bersikap dingin pada Luhan. Tatapan pria itu terus saja terarah padanya, dan membuat hati kecilnya sedikit memberontak. Pemandangan itu sukses membuat air matanya menggenang. “Pulanglah!”

Luhan tahu bahwa ketika gadis itu membuang muka, ia juga sedang menghapus air matanya. Entah bagaimana caranya, kini pria itu sudah bergerak mengurung tubuh Ji Yoo dalam pelukannya. Menyandarkan keningnya pada bahu gadis itu. Serta mencoba menetralkan rasa sakit yang mendominasi kepalanya.

“Aku tidak bisa melihatmu pergi bersama pria lain, berkencan, makan, berpelukan, saling berpegangan tangan. Itu seharusnya kau lakukan hanya denganku.”

“Kita bahkan tidak berada dalam sebuah hubungan yang cukup serius untuk melakukan hal-hal yang kau sebutkan tadi. Semua sudah berakhir Luhan, aku tidak ingin berada di kenangan lama. Aku sudah berusaha menata hidupku agar lebih menyenangkan, tapi kenapa kau datang lagi? Menghancurkan semuanya hanya dengan sebuah senyumanmu itu? Sudah cukup, sudah cukup. Hentikan semuanya!” Gadis itu berada dalam titik terendah, sia-sia ia mengobati lukanya yang belum kering, dan sekarang telah menganga lagi.

Entah siapa yang memulai, kini wajah mereka tampak semakin tanpa celah. Tangan Luhan berada di sepanjang pipi Ji Yoo, menariknya agar semakin mendekat. Dan sepertinya gadis itu tersihir oleh tatapan mata Luhan, hingga tidak bereaksi apapun. Hanya terdiam dan mengikuti setiap  pergerakan Luhan.

Ciuman itu tidak tampak memaksa. Luhan menggulumnya dengan sangat lembut, dan hal itu berlangsung sekitar dua menit ketika dirasa ada sesuatu yang asin masuk dalam pelampiasan emosi mereka. Dan tidak berselang lama, Ji Yoo memutus ciuman itu, lalu tertunduk di bahu Luhan. Tampak terisak dengan suara tertahan.

“Aku menyerah .. Katakan p

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK