Nana mendesah menatap bayangan dirinya di cermin panjang yang terdapat di toilet. Ia menyentuh pipinya yang tirus dan mendesah sekali lagi. Ia memiringkan kepalanya dan bertanya-tanya apakah Chanyeol merasakan hal yang sama dengannya? Pandangan laki-laki itu tadi memang pada awalnya juga gugup. Tapi kemudian terkendalikan.
Nana mendesah sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar dari toilet. Ia menemukan teman-temannya di meja bundar sedang bercakap-cakap. Dan ia juga melihat sekeliling sudah lumayan sepi. Kenapa ia tidak menyadari itu? Sudah berapa lama ia berada di toilet? Kibum melihat dan memberinya isyarat supaya ia mendekat.
“Hei, kau dari mana saja?” Tanya Lizzy.
Nana duduk di sebelah Kibum dan Lizzy “Aku hanya dari toilet,” sahutnya.
“Semua tamu pulang tanpa pamit kepadamu. Kenapa lama sekali?” Omel Kibum.
“Mian,” sahut Nana ringan. “Perutku sedikit tidak beres tadi.”
“Oh iya, Jongsuk hyung juga menyampaikan jika dia pulang lebih dulu.”
“Lalu apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa tidak ikut pulang juga?”
“Aeii.” Mendengar perkataan Nana, teman-temannya berdecak protes.
“Kita nikmati dulu malam kita. Kita sudah lama tidak seperti ini,” celetuk Baekhyun.
“Benar,” timpal Luhan. Dan langsung mendapat desisan sinis dari Nana.
“Aratsseo. Geureom, apa yang akan kita lakukan? Ini benar-benar sudah sepi, hanya tinggal kita saja.” Kata Nana.
“Assa.” Kibum menjetikkan jari dan tersenyum lebar, lalu ia mengambil botol wine yang masih ada isinya. Yah, isinya sudah tidak terlalu banyak. Tidak ada yang tahu dengan idenya. Ia menuangkan isi wine ke gelas mereka masing-masing tanpa aba-aba.
“Apa yang kau lakukan, Kibum?” tanya Luhan.
“Tenang dulu,” sahut Kibum.
Botol wine itu sekarang sudah kosong. Lalu ia memanggil salah satu pramusaji yang berseliweran membersihkan tempat itu. Dengan segera pramusaji mendekat. Ternyata Kibum menyuruh pramusaji tersebut untuk memindahkan pot bunga yang berada di atas meja dan meminta satu botol wine lagi. Setelah itu pramusaji segera meninggalkan mereka dan mengambil satu botol wine.
“Pertanyaan yang sama, apa yang akan kau lakukan, Kim Kibum?” Tanya Luhan kembali.
Kibum mencondongkan tubuhnya ke depan dan memandang teman-teman yang baru ia kenal itu satu persatu. Juga kepada Luhan dan Nana. “Kalian butuh permainan yang menyenangkan, bukan?” Kibum tersenyum penuh arti, lalu melanjutkan. “Bagaimana kita bermain truth or dare, jawab jujur atau minum? Caranya,” Kibum membaringkan botol wine yang sudah kosong tadi.
“Kalian mengerti maksudku, bukan? Kepada siapa bibir botol ini berhenti. Maka yang memutar bebas bertanya kepada orang itu. Ingat pertanyaannya bebas, dan siapapun yang mendapat pertanyaan itu juga bebas memilih. Jawab jujur atau minum,” pramusaji datang dengan satu botol wine. “Minum satu gelas wine.” Lanjutnya.
“Apa kalian tidak berpikir, kalau tempat ini juga harus dibersihkan,” kata Nana.
Lizzy menepuk pundak Nana. "Tenang saja, inilah saatnya aku harus bersikap menjadi anak bos yang manja."
“Joah, aku setuju.” Baekhyun mengangkat tangan.
“Nado,” beberapa mengangkat tangan kecuali Nana dan Chanyeol.
Baekhyun melirik ke arah Chanyeol. Seakan tahu apa yang dipikirkan Baekhyun. Chanyeol mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Aratsseo, nado joah.” Chanyeol mengangkat tangannya.
Dengan terpaksa, Nana akhirnya memutuskan untuk ikut juga.
.
Permainan dimulai dan botol mulai diputar. Botol berhenti ke arah Luhan. Kibum yang memulai untuk bertanya.
“Sudah berapa lama kau berhubungan dengan Eyoung?”
“Pertanyaan yang mudah,” remeh Luhan. “Kami kenal sudah hampir sembilan tahun, tapi tiga tahun ini kami baru menjalin sebuah hubungan yang bisa dikatakan serius.”
“Jinjja? Apa kita sudah selama itu?” Tanya Eyoung polos dan mendapat tawa dari teman-temannya. Namun, mendapat tatapan kesal dari Luhan.
“Sebenarnya, aku masih ada pertanyaan, tapi hanya dibolehkan satu pertanyaan. Okay, sekarang giliranmu memutar botol.”
Botol berhenti ke arah Baekhyun.
“Assa. Seberapa jauh kau dan Lizzy berhubungan?” Tanyanya dengan cepat.
Lizzy menggebrak meja dan berteriak. “YA! Pertanyaan macam apa itu?”
Baekhyun cuma berdeham dan memilih minum. Luhan dan Chanyeol menggoda Baekhyun yang mesum, dan Nana tertawa tak percaya. Sedangkan Lizzy menutup muka karena malu.
Gantian, sekarang Baekhyun yang memutar botol, dan berhenti di Kibum. Baekhyun mengembuskan napasnya. “Aei, aku tidak tahu tentang anak ini,” gerutu Baekhyun. Tiba-tiba Luhan berbisik ke arahnya.
“Mwoya?” Tanya Kibum.
"Kibum-ssi, berapa banyak gadis yang kau sakiti?"
“Hahaha,” setelah gelak tawa melayang di udara, Kibum melotot ke arah Luhan dengan kesal. Tapi tangannya mulai menghitung. “Aku tidak pernah menyakiti siapapun.” Kemudian ia mulai minum. Semua mencibir tak percaya, terutama Nana dan Luhan.
Kibum kembali memutar botol, dan lagi-lagi botol berhenti ke arah Baekhyun.
“Mwoya?” Celetuk Baekhyun.
“Aku juga belum mengenalmu lebih jauh, Baekhyun-ssi. Kau selamat. Tidak ada pertanyaan untukmu.”
Baekhyun tersenyum lega. “Baiklah, sekarang giliranku lagi.” Baekhyun kembali memutar botol, dan sekarang giliran Chanyeol.
Chanyeol menatap Baekhyun dengan tenang.
“Apakah ada seseorang di dadamu saat ini? Sudah berapa lama dia berada di dalam dadamu?”
“Ya~”
“Yang penting satu kali bertanya,” kata Baekhyun santai dan meminum wine-nya.
Chanyeol menghela napas dan tidak langsung menjawab. Ia memutar-mutar gelas yang berisi wine di depannya. Setelah diam sesaat akhirnya dia menjawab. “Ya, ada.” Chanyeol mengalihkan atensinya dari gelas yang berisi wine ke arah Nana.
Nana tampak gugup ketika Chanyeol tiba-tiba menatapnya. Ia merasa hatinya berdebar-debar.
“Dia––” Katanya.
Napas Nana tiba-tiba tercekat.
“Dia?” Tanya Kibum.
Mata Chanyeol tak lepas dari mata Nana. Baekhyun, Eyoung, Luhan, Kibum dan Lizzy pun menatap Chanyeol dan Nana bergantian.
“Dia Ibuku,” lanjut Chanyeol singkat. Lalu ia mengalihkan pandangannya dari Nana dan tersenyum kepada teman-temannya. “Dia ibuku, aku sangat merindukannya,” lanjutnya sekali lagi.
Baekhyun menatap Chanyeol dengan kesal.
Seakan oksigen baru saja masuk ke rongga parunya, Nana mengembus napas dengan keras, lalu ia meneguk wine di gelasnya. “Ini sudah lebih dari cukup untuk malam ini.” Nana mendesah panjang, kemudian langsung beranjak pergi dari tempat ia duduk.
Semua memanggil Nana, tapi ia mengabaikan panggilan itu. Kibum hendak menyusulnya, tapi Chanyeol sudah lebih dulu. Kibum jadi bingung kenapa Nana menjadi seperti itu.
.
Nana berlari ke luar dan menuju mobilnya di parkiran. Kenapa ia harus marah? Kenapa ia tiba-tiba merasa kecewa? Kenapa dadanya terasa sakit?
“Ya. Kau kenapa?” Chanyeol menarik lekukan siku Nana.
Nana tiba-tiba marah, melepaskan diri dari Chanyeol, bahkan mendorong Chanyeol. “Apa kau senang? Kau senang dengan permainan itu? Apa kau puas sudah berhasil mempermainkanku?”
“Sebuah permainan memang seharusnya dinikmati biar terasa menyenangkan. Dan aku tidak mempermainkan siapapun,” sahut Chanyeol.
“Menyenangkan katamu?” Tanya Nana tak percaya, lalu ia mendecakkan lidahnya.
“Kenapa kau marah?” Tanya Chanyeol.
“Kau memang tidak pernah berubah. Kupikir kau sudah berubah, ternyata aku salah.”
Chanyeol mengernyit dahinya. “Apa maksudmu?”
“Tsk, kau memang pandai dalam bermain perasaan.” Nana hendak berbalik meninggalkan Chanyeol.
Dengan gesit Chanyeol menyambar pergelangan tangan Nana, memaksanya tetap berdiri di sana.
“Apa lagi?” Jerit Nana.
Chanyeol tak terima dengan pernyataan Nana. “Memainkan perasaan?” Ketusnya. “Aku tidak pernah memainkan perasaan siapapun,” lanjutnya.
Nana mendesis. “Alasan apalagi itu? Tsk,”
“Apa kau masih mengingat kejadian enam tahun yang lalu? Apa kau tetap memilih untuk tidak mempercayaiku?”
“Sampai kapan pun kau memang tidak pantas untuk dipercayai, Park Chanyeol. Aku jadi menyesali pertemuan ini kembali, aku selalu berharap untuk tidak pernah melihatmu lagi. Dan harus kau tahu, setiap bertatap muka denganmu itu sungguh membuatku menderita.” tukas Nana ketus dan penuh emosi.
Chanyeol mengendurkan pegangannya. “Benar.” Chanyeol tersenyum masam. “Mungkin apapun yang kujelaskan padamu tidak akan bermanfaat. Aku tahu, sedikitpun kau tidak akan mempercayaiku. Tapi satu pertanyaanku. Sedalam itukah kebencianmu padaku?”
“Seharusnya kau sudah sadar sejak pertama kali kau menyakitiku. Aku tidak mengerti apa maumu, dulu kau bilang aku harus melupakanmu. Dan sekarang kau berharap aku untuk tidak membencimu. Aku rasa cukup sampai di sini pertemuan kita.”
“Geurae?” Chanyeol mengangguk kecil, kemudian perlahan-lahan melepaskan pegangan tangannya dari Nana.
“Aku hanya ingin kau tahu satu hal. Aku tidak pernah ingin menyakitimu sedikitpun. Mungkin sudah terlambat bagiku untuk mengatakan aku mencintaimu, tapi aku memang sangat mencintaimu bahkan merindukanmu, Nana. Enam tahun, Tuhan memberiku waktu enam tahun untuk melupakanmu. Aku sadar diberi waktu selama apa pun, aku tidak akan bisa melupakanmu. Aku menyesal atas semua perbuatanku dulu. Semua yang kulakukan karena terpaksa.”
Nana tercengang diam. Ia terkejut mendengar semuanya.
“Aku juga tahu, semua yang terjadi diantara kita tidak bisa diubah lagi, tapi jika saja aku bisa memutar balik waktu, aku tidak akan sekalipun menyakitimu. Aku tidak akan melepaskanmu hanya karena aku merasa tidak pantas mendampingimu. Sekarang semuanya sudah terlambat. Aku minta maaf. Seperti yang kau inginkan, ini pertemuan terakhir kita. Kau tenang saja, aku pandai untuk mengabaikan sesuatu. Seperti katamu, memainkan perasaan.”
Chanyeol menatapnya untuk yang terakhir kali, lalu ia melangkah pergi, meninggalkan Nana yang berdiri di sana––yang sedang berusaha membunuh semua keraguan yang kini mulai merasuki hatinya. Semakin ia mencoba untuk tidak percaya, semakin ia tenggelam dalam keraguan itu.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Keesokan harinya, Sena mencium gelagat tidak baik dari tingkah laku Nana yang serba aneh pagi ini. Walaupun mereka sarapan pagi bersama-sama, tapi Nana hanya diam saja dan tidak menatap Sena, Jongsuk, maupun Hana, putri kecil Jongsuk. Gadis itu hanya sibuk memainkan sarapannya dengan sumpit, sedikitpun ia tidak menyentuh makanan itu.
“Kemarin Ayah telpon, ia menyampaikan jika dua minggu lagi mereka akan kembali ke Korea," kata Jongsuk sambil menikmati sarapannya. Tapi Nana yang diajak bicara hanya diam saja.
“Nana, apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Tanya Sena padanya.
Nana meletakkan sumpitnya di atas meja. Kemudian ia mengangkat wajahnya. “Aniyo,” ia melirik ke jam tangannya. “Sepertinya aku harus pergi sekarang,” Nana beranjak dari kursinya dan keluar dari rumah.
.
Sama halnya dengan di rumah sakit, Nana tidak fokus dalam bekerja. Sesuatu mengganjal hati dan pikirannya. Ya, tentu semua karena pertengkarannya dengan Chanyeol semalam.
“Nana-ssi, gwaenchanayo?” Tanya salah seorang dokter.
“Oh? Ne, gwaenchana. Hheu,” Nana tersenyum kaku.
“Oh iya, bagaimana dengan pestamu semalam? Pasti menyenangkan. Maaf aku tidak hadir, mendadak aku harus menjaga adikku.” Keluhnya.
Nana lagi-lagi tersenyum. “Gwaenchana. Sebenarnya juga aku tidak menginginkan pesta itu.” Nana mengangkat bahu dengan senyum yang mengembang.
.
~
.
Chanyeol duduk di tepi danau itu seorang diri. Wajahnya kusut tidak karuan, semalam ia tidak bisa memejamkan matanya sedikitpun. Bayangan Nana terus melintas dalam benaknya. Hatinya sungguh hancur. Berkali-kali ia menegaskan dirinya untuk melupakan Nana, tapi yang tersimpan dalam benaknya malah betapa dalam cintanya untuk Nana.
“Pagi-pagi sudah datang ke sini. Wajah dan pakaian sama kusutnya. Sekali lihat saja aku sudah tahu, kau pasti korban patah hati.”
Chanyeol menoleh, melihat seorang gadis muda berpakaian biasa–layaknya gadis yang bersifat tenang–tengah berjalan ke situ. Ia ikut duduk tengah-tengah hamparan rumput, menyandarkan punggung di pohon seperti Chanyeol.
Chanyeol sering mendengar tentang gadis ini. Ia sering datang ke taman ini pagi-pagi lalu bermain harmonika dengan segenap hatinya. Tapi tidak ada yang tahu siapa namanya. Chanyeol memalingkan wajahnya tidak peduli. Tidak lama kemudian gadis itu berceloteh.
“Tempat ini memang tempat yang paling tepat untuk menangisi nasib burukmu. Taman yang memiliki sejuta tangisan bahkan harapan. Karena manusia selalu menangis dulu baru berharap.”
“Apa yang kuharapkan? Apa pun yang kulakukan, tidak akan mengubah keadaan.”
Gadis itu tersenyum, Chanyeol membalas senyuman gadis itu dengan tersenyum pahit.
“Memangnya apa yang membuatmu bisa berpikiran seperti itu? Apapun yang kau lakukan tidak bisa mengubah keadaan? Kadang kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi jika kita berhenti berharap, dan berhenti percaya.”
“Maksudmu?”
“Jangan pernah berhenti berharap pada cinta jika memang kau ingin meraihnya kembali. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang namanya terlambat.” Gadis itu tersenyum. Ia merogoh saku jaketnya, dan mengeluarkan harmonikanya, lantas memainkannya.
Chanyeol termenung. Lama ia terdiam di sana. Meresapi setiap kata-kata yang meluncur dari bibir gadis yang tidak dikenalinya itu.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Alunan lagu bernada cepat yang berasal dari piano tunggal di tengah-tengah panggung terdengar sampai ke seluruh sudut aula konser yang sudah dipenuhi penonton itu. Byun Baekhyun duduk di balik piano, kesepuluh jarinya bergerak dengan lincah di atas tuts, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam. Matanya tetap terpejam sampai ia memainkan nada terakhir lagu itu.
Tepuk tangan langsung meramaikan aula tersebut. Baekhyun berdiri dan memberi hormat kepada ratusan penonton. Matanya menyapu sekeliling aula konser. Ia melihat Lizzy juga kedua orangtuanya dan orangtua Lizzy yang duduk di barisan pertama kursi penonton. Lalu matanya beralih ke arah Eyoung dan Luhan yang juga duduk di barisan pertama. Senyumnya mengembang ketika melihat orang-orang yang disayanginya itu.
Di belakang panggung. tanpa sepengetahuan Baekhyun, Lizzy, Eyoung, dan Luhan menghampirinya. Baekhyun melihat kedatangan mereka dari cermin, dengan sigap Baekhyun langsung berdiri dan memeluk Lizzy dengan perasaan bahagia.
“Kau benar-benar hebat tadi,” seru Lizzy sambil memeluk Baekhyun erat-erat.
Eyoung dan Luhan berdeham kecil, dan mengharuskan Lizzy dan Baekhyun melepaskan pelukannya.
Baekhyun tersenyum lebar.
“Kau memang luar biasa, Byun Baekhyun. Dari dulu selalu membuatku iri,” Luhan dan Baekhyun tertawa saling memberi pelukan.
“Oh, iya, setelah ini kalian akan ke mana?” Tanya Eyoung.
Mereka tampak berpikir, kecuali Baekhyun.
“Aku minta maaf,” Baekhyun membuat seulas senyum permohonan maaf. “Setelah ini aku ada urusan penting. Aku tidak bisa ikut kalian,”
“Sepenting apa?” Lizzy menatap Baekhyun penuh selidik.
“Jangan menatapku seperti itu, aku hanya ada urusan penting dengan seseorang, kau tenang saja,” jawab Baekhyun sambil mengedipkan sebelah matanya.
.
** You Don’t Know Play Ur Love **
.
Chanyeol dan Baekhyun memasuki sebuah kedai di mana mereka pertama kali bertemu selama enam tahun terakhir kemarin. Chanyeol mendesah berat ketika ia meneguk segelas soju. Baekhyun duduk di sebelah Chanyeol terus mengamati pria itu yang tengah memutar-mutar gelas kecil di tangannya. Baekhyun menawarkan Chanyeol satu gelas soju lagi. Chanyeol menyodorkan gelasnya ke arah Baekhyun. Dan lagi, ia meminumnya dalam sekali teguk.
“Kau ingin menceritakannya padaku kejadian kemarin malam?” Tanya Baekhyun sambil menuangkan soju lagi ke gelas Chanyeol.
Sebelum menjawab Baekhyun, Chanyeol mengamati gelasnya yang masih berisi soju. “Lakukan sesuatu untukku, Byun Baekhyun,” ucapnya.
Baekhyun menatapnya khawatir. Ia mengamati gerak-gerik Chanyeol saat laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya. Sebuah kotak kecil berwarna merah marun dengan dihiasi beberapa manik untuk mempercantik kotak tersebut.
Baekhyun mengambil alih kotak itu. “Ige–– Kau–– Benar-benar tidak mau lagi––”
“Berikan itu padanya. Aku tidak bisa memberinya langsung. Karena kami sudah berjanji untuk tidak saling bertemu lagi.” Kata Chanyeol lirih.
“Kau memang bodoh,” desis Baekhyun kesal. “Apa kau benar-benar menyerah, dan selamanya ingin dinilai Nana menjadi laki-laki yang tidak punya perasaan?”
Chanyeol tersenyum getir. “Memang pada dasarnya kami tidak diizinkan bersama. Untuk apa dipaksakan.”
Dengan sekali sentakan Baekhyun langsung berdiri. “Kau bodoh Chanyeol, bodoh, sangat-sangat bodoh.” Baekhyun geram dan kehilangan sopan santunnya. “Seharusnya kau jangan berhenti berharap jika memang kau ingin meraih cinta itu kembali,” nada suara Baekhyun terdengar kesal.
Chanyeol kembali mengembangkan senyumnya. “Kau mengucapkan kata-kata yang sama dengan gadis di taman yang bertemu denganku pagi tadi. Jangan pernah berhenti berharap dengan cinta, jika ingin meraihnya kembali. Seharian ini aku memikirkan kata-kata itu, tapi aku sadar, kebahagiaan Nana adalah tidak pernah melihatku lagi.” Ia kembali meneguk sojunya. “Pastikan ia tidak menolaknya. Katakan itu hanyalah sebuah kado,” lanjut Chanyeol.
Baekhyun kesal, ia benar-benar kesal, lalu ia pergi meninggalkan Chanyeol. Sebelum jauh ia melangkah meninggalkan Chanyeol, ia menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Kau ingat, aku pernah berjanji padamu dan diriku sendiri, bahwa aku akan menyatukan kalian kembali. Apa pun itu caranya.” Baekhyun kembali melanjutkan langkahnya.
Chanyeol rapuh. Ia menunduk sedih melihat kebodohannya sendiri. Mencoba tersenyum untuk menampakkan dirinya seolah-olah dia baik-baik saja.
.
tbc
.
Kamsahamnida