home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > THE FORGOTTEN

THE FORGOTTEN

Share:
Author : cloudsmys
Published : 14 Sep 2014, Updated : 09 Aug 2015
Cast : Hwang Mimi (OC) ; Hwang Micha (OC) ; Kim Jong In ; Xi Luhan
Tags :
Status : Ongoing
3 Subscribes |70011 Views |9 Loves
THE FORGOTTEN
CHAPTER 9 : The Forgotten 4b

 

Mimi bertolak pinggang seraya menghela napas menatap koper besar di atas kasur yang sudah penuh dengan pakaiannya. Sore tadi di sebuah cafe yang sudah dijanjikan, ia bertemu dengan Ibunya dan mendapat ijin untuk tinggal di villa yang direkomendasikan oleh dokter Shin. Meski awalnya Mi-cha tidak setuju dengan keputusan itu dan memaksa Mimi tinggal bersama dengannya, pada akhirnya Mi-cha bungkam dengan alasan yang dikatakan Mimi kalau keberadaannya di rumah Mi-cha bisa merusak karir gadis itu.

Sebenarnya, pakaian Mimi belum semuanya masuk, juga masih ada beberapa celana yang belum ia ambil dari jasa tukang cuci. Gadis itu memang memutuskan pindah pada hari kamis-tepatnya tiga hari yang akan datang. Tapi karena takut kerepotan pada hari yang sudah ditentukan, ia memilih menata sebagian pakaiannya lebih dulu.

Mimi menoleh. Dan melihat undangan reuni -yang diberikan Jong-in sebagai alasan lelaki itu tidak bisa datang tanpa ada undangan ditangannya, membuat ia lagi-lagi menghela napas.

Sebelumnya, Mimi tidak pernah datang ke acara seperti itu dengan menjadi seorang pasangan. Ia lebih senang datang sendiri atau berdua bersama Wendi. Jika ada yang mengajaknya, ia akan dengan tegas menolaknya, entah menggunakan alasan kalau ia sudah menyanggupi ajakan orang lain, atau berkata jujur ia ingin berangkat sendirian.

Tapi menolak Jong-in yang sepertinya sudah sering mengajak gadis-gadis sebelumnya, Mimi benar-benar tidak bisa. Lelaki itu dirasa memiliki bermacam-macam cara supaya bisa mengajaknya meski ia keukeh menolaknya.

“Mimi,”

Seolah mendengar sayup suara yang memanggil namanya, Mimi menoleh ke sana kemari memastikan kalau ia hanya sendiri di kamar hotelnya.

“Mimi,”

Bulu kuduk gadis itu mendadak berdiri begitu telinganya mendengar namanya di sebut lagi. Mimi menggigit bibir bawahnya seraya memeluk tubuhnya dengan dua lengannya sendiri.

“Hwang Mimi,”

Oh please, siapapun itu, berhenti menakutiku seperti ini.

“Hwang Mimi, keluarlah sebentar, aku ada di beranda.”

Mimi reflek menoleh ke arah jendela. Kakinya berjalan pelan mendekat ke sana. Ujung tirai yang berterbangan terbawa angin, menyapu sebagian wajahnya yang masih sedikit ketakutan.

“Siapa?” Tanyanya.

“Aku, Jong-in.”

Mimi menghela napas lega. Ia menyibak tirai sebelum meneruskan langkahnya menuju beranda. “Kau membuatku takut!” Protesnya, setengah berteriak. “Ada apa?”

Jong-in tersenyum lebar. Menunjukkan deret giginya yang rapi dan putih. “Tidak ada apa-apa, hanya ingin melihatmu saja.”

Mimi mengangguk kecil. “Kalau begitu aku akan masuk lagi, udaranya sangat dingin.” Pamitnya.

“Eh, tunggu dulu.” Tangan Jong-in terjulur berusaha menahan Mimi supaya tidak pergi. “Temani aku melihat bulan.” Pintanya.

Mimi mengerutkan dahi. “Bulan?” Kepalanya mendongak menatap langit di atasnya. “Tidak ada bulang, Jong-in ssi. Semua penghuni langit tertutup awan mendung.” Ucapnya.

“Benar juga,” Jong-in tersenyum malu. “Kalau begitu biarkan aku melihat wajahmu lebih lama.”

Mimi menyadari wajahnya merona sekarang. Tubuhnya sudah termakan rayuan Jong-in. Bahkan tulang lehernya ikut andil dengan mengangguk mengiyakan permintaan lelaki itu.

“Kau tahu, seharian tadi wajahmu terus mondar-mandir di depan mataku. Aku sedikit bingung bagaimana caranya membuat kau berdiam diri saja di kepalaku.”

Mimi menelan ludah. Ia ingin membalas ucapan Jong-in, tapi rasa gugup menguasai dirinya. Alhasil, ia hanya diam saja dan memandang gedung-gedung pencakar langit di depannya.

“Wajahmu merah, Hwang Mimi.” Jong-in kembali menggoda dengan mengatakan jujur warna merah di pipi Mimi yang terlihat semakin merah.

“Aku merasa dingin.”

“Kau ingin aku memelukmu?” Tawar Jong-in. Ia mengulum senyum namun langsung pudar begitu Mimi mendelikkan mata ke arahnya. “Baiklah, baiklah, aku akan berhenti menggodamu.” Ucapnya kemudian. “Oh, ya, siang tadi aku beberapa kali datang ke ruanganmu, tapi kau tidak ada. Ada yang ingin kukatakan sebenarnya.”

“Apa?”

“Memastikan kau tidak lupa dengan acara kita besok, dan juga memintamu supaya berdandan yang cantik untukku.”

Mimi mendesah kecil.

“Aku serius. Aku benar tidak sabar untuk besok, Mimi-ya.”

***

“I can do this. I can do this. I can do this. I can … Oh hell! Ini tidak akan berjalan!” Mimi menggerutu akibat rasa frustasinya. Ia menarik dua lembar tissue dari tempatnya lalu menghapus lipstik yang sudah menempel di bibirnya. “Aku tidak perlu berdandan semacam ini.” Ujarnya. Ia kemudian berjalan ke arah kamar mandi dan menghapus riasannya dengan membasuhkan air ke wajahnya.

Gaun pesta merah muda yang sudah dikenakannya ia lepas dan mengantinya dengan dress hijau tosca lengan panjang bercorak bunga sakura. Setelah itu ia kembali menyapukan sedikit bedak juga blasson di wajah putihnya. Kali ini tidak ada lipstik, hanya lipbalm warna peach yang melembabkan bibirnya.

Ketukan pintu yang berulang terdengar, mengatakan kalau sang ‘pasangan‘ sudah siap membawanya ke tempat dimana reuni diadakan. Mimi buru-buru memakan wedges-nya sebelum lelaki di depan mendobrak pintu karena tak sabar.

“Kupikir aku masih harus menunggumu satu jam lagi untuk melihatmu.” Ucap Jong-in, menyelipkan sedikit sindiran juga.

“Maaf, maaf, tadi aku tidak ingat waktu saat berada di kamar mandi.”

“Tidak apa-apa. Terbayar dengan penampilanmu yang luar biasa sore ini. Kau cantik, Hwang Mimi.”

Mimi tersipu. “Terima kasih. Kau juga menawan sore ini.” Balas Mimi. Gadis itu berkata jujur mengenai penampilan Jong-in yang memang sungguh menawan. Lelaki itu mengenakan kemeja hitam yang dirangkap jaket kulit warna hitam rancangan Armani Dengan rambut blonde-nya yang pada bagian depan dibuat sedikit berantakan.

“Ayo berangkat.”

***

Awalnya, Mimi tidak merasa nyaman berada di tengah pesta, terlebih setelah ia mendapat tatapan tajam dari beberapa gadis yang berdiri di sudut ruangan. Namun keberadaan Jong-in yang setidaknya tidak meninggalkan dirinya di tengah keramaian seorang diri, perlahan menguapkan rasa itu.

Memang kadang Jong-in sedikit mengacuhkan Mimi saat beberapa teman perempuannya menghampirinya dan mengajak bicara. Tapi itu tidak lama, karena Jong-in akan buru-buru menarik Mimi untuk diperkenalkan setelah salah satu dari mereka menanyakan siapa gadis di sebelahnya. Begitupun dengan Mimi, gadis itu akan tersenyum tulus sembari menjulurkan tangannya memperkenalkan diri. Selama gadis-gadis itu dirasa tidak menggangunya, mimi akan menyambut sikap baik mereka.

Mimi tidak bisa menyangkal kegugupannya saat tiga pemuda berjalan mendekat ke arah mereka dengan seringai punuh di bibirnya. Ia bahkan meremas sisi dress-nya tak kala Jong-in menujukkan seringai yang sama yang ditujukan untuk ketiga orang itu.

“Oraen-maniya, Jong-in ah.” Seorang berkulit pucat dan memiliki ekspresi dingin di wajahnya menyapa Jong-in lebih dulu.

“Merindukanku, huh?”

“Merindukanmu?” Seorang lain dengan pipi sedikit tembam dan memiliki tubuh paling pendek dibanding dua rekannya mengulang ucapan Jong-in. Ia mencibikkan bibirnya sebelum melayangkan tinjunya ke perut Jong-in.

Mimi memekik melihat adegan itu, tangannya terjulur meraih Jong-in yang membungkuk sembari tangannya menekan perut. Mimi akan nekad berteriak jika satu pukulan lagi bersarang di tubuh Jong-in. Dan benar, tak kala niatnya terkumpul dalam hati, satu bogem menggantung di depan wajah Jong-in yang sudah mendongak.

“Jangan!” Teriak Mimi seraya menutup mata.

Ketiga pemuda itu menoleh ke arah Mimi, termasuk Jong-in. Keempatnya memasang wajah kaget sesaat sebelum mengurai tawa membelah ketakutan Mimi.

“Menyenangkan sekali. Kekasihmu?” Sahut pemuda paling tinggi yang memiliki suara tawa paling indah dibanding yang lainnya sembari mengedikkan dagu ke arah Mimi.

“Cantik, kan?”

Mendengar suara Jong-in yang terdengar baik-baik saja, Mimi membuka mata perlahan. Ia mendapati empat pasang mata yang menatap ke arahnya dengan senyum terkulum di bibir masing-masing.

“Kau baik-baik saja, Jong-in?” Tanya Mimi cemas. Ia menyikap lengan Jong-in yang ada di perut memastikan lelaki itu benar-benar baik-baik saja. “Kenapa memukulnya?” Tanyanya, menoleh ke arah pemuda tembam yang mengedikkan bahu menjawab pertanyaannya.

“Mereka temanku, Mimi-ya.” Ucap Jong-in menangkup tangan Mimi di perutnya. “Kenalkan, Oh Sehun, pemuda berwajah seperti vampire ini yang kepopulerannya satu tingkat di bawahku, yang sedikit tembam yang menonjokku barusan adalah Do Kyungsoo, sedang pemuda yang tawanya bisa membangunkan macan tidur namanya Park Chanyeol.”

Mimi menyipitkan mata. “Temanmu?” Ulangnya tak percaya, kemudian menarik cepat tangannya di perut Jong-in. “Yang tadi itu, hanya bercanda? Menyenangkan sekali.” Sahut Mimi tanpa rasa tertarik.

“Tentu saja. Kami sudah sering melakukan seperti itu, Mimi-ssi.” Balas Chanyeol sebelum merangkul bahu Jong-in dan dilanjutkan dengan tertawa, lagi.

Mimi merasa menyesal sudah khawatir dengan Jong-in yang dikiranya akan babak belur dihajar ketiga pemuda di depannya itu. Sama sekali tidak menganggap cara mereka bercanda adalah sesuatu yang lucu.

Jong-in menyadari raut wajah Mimi yang mendadak berubah. Ia menghentikan tawanya begitu melihat bibir Mimi yang sedikit menekuk ke bawah dengan mata yang terus menatap lantai. “Hei,” lelaki itu mencondongkan tubuhnya mendekat ke wajah Mimi dan mengusap pipi gadis itu. “Kau marah?”

“Tidak.” Sahut Mimi cepat. Ia mundur selangkah kebelakan dengan menggelengkan kepala. “Aku tidak marah.”

“Kalian lihat,” Jong-in menoleh pada tiga rekannya. “Kekasihku itu sangat lucu, kan? Ia begitu mengkhawatirkanku.”

“Aku bukan ke-“

Jong-in memotong kalimat Mimi dengan mencium pipi gadis itu. Lalu menarik tangannya sebelum akhirnya menyembunyikan tubuh Mimi di dekapannya.

Dekapan Jong-in terurai begitu terdengar suara siulan dari tiga lelaki di depan mereka. Mimi menarik napas dalam menetralkan getaran di dadanya. Gadis itu marah, namun juga merasa nyaman secara bersamaan.

“Perlukah menunjukkan kemesraan di depan kami? Aku tahu kau pemain cinta yang berbakat, Jong-in ah.”

Pipi Mimi terasa lebih panas karena marah-juga malu, begitu mendengar komentar Oh Sehun. Ia memalingkan wajah namun tetap membiarkan lengan Jong-in mengitari pundaknya.

Ingat Mimi, kau sudah menyanggupi sandiwara ini sejak awal. Jadi bertahanlah sedikit lagi, ini akan segera berakhir.

***

“Bisa turunkan aku sekarang?” Pinta Mimi tanpa menoleh ke arah Jong-in. Ia sudah tidak bisa berlama-lama dengan Jong-in sementara ia menyimpan kekesalan yang amat besar pada lelaki di sebelahnya.

Jong-in menggeleng. “Aku tidak mungkin menurunkanmu di tengah jalan, Hwang Mimi. Ini sudah  larut.”

“Tepikan mobilmu sekarang juga, Busajjangnim. Kumohon.” Ucap Mimi dengan menekan kata terakhir.

“Tapi,”

“Tidak perlu mencemaskanku, aku hanya ingin membeli sesuatu sebelum pulang.”

Jong-in mengalah. Ia menuruti permintaan dengan menepikan mobilnya dekat dengan halte subway.

“Terimakasih,” ucap Mimi. Ia buru-buru turun dari mobil dan berjalan cepat sebelum Jong-in membuka mulutnya lagi.

Mimi berbohong. Tidak ada yang dibelinya. Ia hanya mencari alasan untuk tidak lebih lama bersama Jong-in. Gadis itu mengeratkan lengannya yang memeluk tubuhnya, berusaha menghalau suhu dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Ia butuh taksi, sebelum tubuhnya benar-benar dibuat ngilu.

Kesibukannya yang berkali-kali melongokkan kepala membuatnya tidak menyadari keberadaan lamborgini putih yang berjalan mundur ke arahnya. Sampai sang pengemudi menurunkan sedikit jendela dan menyerukan namanya, Mimi baru menyadarinya.

“Kim Jong-in,” Mimi bergumam. Gadis itu membuang muka begitu Jong-in turun dari mobilnya.

Mimi tidak tahu kalau sebenarnya Jong-in tidak meninggalkannya. Pemuda itu berhenti sepuluh meter di depan Mimi dan mengamati Mimi hampir selama satu setengah jam berdiri sendirian lewat kaca spion mobilnya. “Ayo masuk,” ajak Jong-in. Pemuda itu mencoba meraih tangan Mimi namun ditepis lembut oleh gadis itu.

“Aku bisa pulang sendiri.” Tolak Mimi.

Jong-in menangkap getaran di suara Mimi yang terdengar seperti ingin menangis. “Sampai kakimu pegal karena terus berdiri dan tubuhmu menggigil karena dingin, tidak akan ada taksi yang lewat di jalur ini.”

Mimi menatap wajah Jong-in. “Tidak ada?” Tanyanya. Satu tetes air mata jatuh menelusur di pipinya.

Jong-in mengangguk. Ia meraih tangan gadis di depannya merasakan suhu dingin pada tangan Mimi. Kemudian melepaskan jaket-nya dan memakaikannya di bahu Mimi. “Kumohon, masuklah ke mobilku. Kita pulang sekarang.” Ajaknya.

Mimi menggeleng. Kepalanya menunduk mengamati ujung wedges-nya yang mulai basah karena embun. “Aku bodoh sekali menunggui taksi disini selama hampir satu setengah jam.” Ucapnya, sambil memaksa tertawa -yang sayangnya malah meloloskan isakan. “Orang-orang yang lewat melihatku seperti orang aneh.”

“Kau tidak bodoh ataupun aneh, Hwang Mimi.” Jong-in melebarkan tangannya merengkuh tubuh Mimi yang terlihat ringkih. Pemuda itu menyembunyikan wajah Mimi yang terisak di dadanya. Sebelah telapak tangannya mengusap pundak gadis itu, sementara satunya mengerat tak membiarkan orang lain melihat wajah cantik Mimi saat menangis. “Maafkan aku. Seharusnya tadi aku tidak membiarkanmu turun dari mobil dan kedinginan seperti ini. Terlebih membuatmu marah. Aku  benar-benar minta maaf mengenai perlakuanku yang menciummu tadi di pesta.”

“Aku takut Jong-in. Aku belum mengenal tempat ini dengan baik.” Ucapnya. “Aku tidak suka cara mereka menatapku.”

Jong-in mengeratkan pelukannya. “Tidak apa-apa, kau aman sekarang. Jangan takut, aku bersamamu.”

Mimi mengangguk pelan. Ia menautkan dua lengannya di belakang pundak Jong-in mencari perlindungan dari rasa takutnya. Melupakan kalau dua jam yang lalu ia menyimpan puluhan umpatan kesal untuk pemuda itu.

‘Aku akan melindungimu dengan kekuatan superku. Jadi kau tidak akan merasa takut lagi.’

‘Air matamu akan habis jika kau menangis terus. Tenang saja, aku janji aku tidak akan meninggalkanmu.’

‘Kau tidak akan pernah merasa sendiri. Aku akan selalu bersamamu.”

“Jong-in,” Mimi mendongakkan kepalanya bersemu muka dengan wajah Jong-in yang menunduk. Ia merasakan denyutan keras di kepalanya, sementara jantungnya berdesir kuat melihat bayangan hitam putih yang kembali disodorkan gumpalan lembek otaknya.

“Ya?” Lelaki itu menangkup sebelah pipi Mimi, berniat menghalau suhu dingin yang dihembuskan angin ke wajah putih Mimi.

“Sebelum ini, mungkinkah aku pernah menangis di pelukanmu?”

 

***

Bersambung

****

The Forgotten Chapt. 4 ini jadi FF terakhir yang aku publish di Dreamersradio

untuk baca part selanjutanya bisa dibaca disini [Chapter 1-13] (update 17/02/2015)

Terimakasih semuanya yang udah nyempetin baca, komentar, & ngasih love juga.

Kalau ada FF baru lagi insya Allah dipublish disini lagi.

 

***

Thankyou Very Very Gamsha

***

 

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK