Mimi menggerutu kesal begitu kedua kakinya menapak tanah. Jari-jemari tangan kirinya terangkat memijit pelipisnya yang berdenyut keras. Seakan tidak puas menyiksa Mimi dengan sakit kepala yang tengah mendera, perut Mimi tak mau kalah mengambil andil. Ulu hatinya berkontraksi kuat membuat lambung gadis itu terasa penuh bahkan terasa mendorong naik mengeluarkan isinya lewat mulut. Mimi mual.
Selain alasan ingin mempertahankan wangi parfum Luhan di dalam mobilnya, yang sebenarnya hanya ingin Mi-cha tidak salah sangka kalau-kalau kakaknya itu mencium wangi parfum Luhan di porschae putihnya, Mimi memilih menyetop taksi yang kebetulan sopirnya mengemudi secara ugal-ugalan. Jarak menuju rumah Mi-cha yang wajarnya membutuhkan waktu tiga puluh menit dari hotel tempat Mimi tinggal, sopir taksi itu berhasil menempuhnya hanya dengan dua belas menit. Mimi bertepuk tangan akan hal itu, namun ia juga bersumpah tidak akan menaiki taksi dengan sopir yang wajahnya sudah ia ingat di luar kepala tersebut.
“Mimi-ya!”
Mimi mendongakan kepala ke atas. Mendapati Mi-cha yang tengah melambai ke arahnya dari atas beranda rumahnya. Gadis itu membalas lambaian Mi-cha sembari melempar senyum menyamarkan wajah kesakitannya.
“Cepat masuk!” Seru Mi-cha lagi.
Mimi tidak menjawab. Ia hanya mengacungkan jari telunjuk dan ibu jarinya yang sudah menyatu-dengan tiga sisa jarinya berdiri membentuk tanda OK.
Rumah Mi-cha berada di Cheongdam-dong. Seperti yang ibunya katakan tempo hari, rumah kakaknya itu benar-benar luas. Dikelilingi taman dengan berbagai tanaman hias, kolam ikan dengan patung dewi Yunani yang Mimi tahu bernama Athena-dewi kebijaksanaan yang kerap digambarkan memakai helam bersabit juga perisai aegis, di tengah-tengahnya. Jalan setapak yang dibuat dari kumpulan batu marmer putih menuju pintu masuk utama, serta gazebodengan ayunan kayu yang berada tak jauh dari kolam ikan. Semuanya tertata indah.
Mimi bergabung dengan ibunya dan Mi-cha yang kini sudah duduk di depan meja makan. Ia mengecup sekilas pipi ibunya sebelum beralih menatap Mi-cha yang terlihan anggun meski dalam balutan kimono sutra merah muda. “Annyeong, Oenni.” Sapanya.
Mi-cha memberengut. “Sudah terlambat datang, Kau juga tidak berniat menciumku?” Tanyanya.
Mimi memeraih teko kaca dan menuangkan air putih ke dalam Pilsner Glass di depannya. “Biarkan aku minum dulu, Oenni. Aku haus.” Jawabnya.
“Okay” ucap Mi-cha mengalah. Lehernya terjulur sambil tangannya berusaha mengambil muffin bluebbery dari dalam keranjang yang sayang sekali lebih dulu dijauhkan oleh Ibunya. “Oemma!” protes Mi-cha dengan suara manjanya.
“Kau sudah mengabiskan empat potong muffin malam ini, chagi. Oemma membuatkan ini untuk adikmu juga.”
Mimi menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah mendengar penuturan ibunya. “Aku sudah makan tadi, Oemma. Jadi tidak apa-apa jika Oenni memakan muffin itu.” Ucapnya, melirik Mi-cha yang masih melihat muffin-muffin itu penuh minat. “Kasiahan Oenni, managernya pasti tidak memberinya makan sore tadi.”
Wanita itu tertawa kecil. Tangannya mendorong keranjang muffin ke arah Mi-cha yang disambut gadis itu dengan senyum lebar. “I love you, Mom.” Ucapnya.
“I love you too, sweetie.” Balasnya. Kemudian wanita yang kerap disapa nyonya Hwang itu kembali menoleh ke arah Mimi. “Mimi-ya, kapan kau akan pindah kemari? Oemma mengkhawatirkan keadaanmu jika kau terus-terusan hidup diluar sana sendirian.”
Senyum Mimi memudar, satu dari lengannya yang ia taruh di atas meja, jatuh menekan perutnya yang mendadak terasa nyeri. “Ak..aku be..bel..belum memikirkannya lagi, Oemma.” Jawabnya terbata-bata. Ia berusaha tidak memperlihatkan rasa sakitnya dengan berpura-pura kaget karena pertanyaan Ibunya.
“Apa kau tidak mau pindah kemari?” Tanya Mi-cha mendukung pertanyaan ibu mereka sebelumnya.
“Bukan begitu, tentu saja aku mau hidup bersama dengan Oenni di sini. ” Balasnya lagi. “Hanya saja aku belum memikirkan tawaran kalian itu lagi.” Melihat ekspresi dua perempuan di depannya yang menunjukkan raut kecewa, Mimi buru-buru menambahkan, “tapi malam ini aku berniat bermalam di sini. Apa boleh?”
“Tidak ada yang melarangmu, Sayang.”
***
Mimi mendengar curhatan Mi-cha dengan tenang dan sesekali tertawa jika kakaknya itu menceritakan perihal lucu mengenai Luhan, sosok yang menjadi bahan obrolan mereka malam ini. Gadis itu berusaha menunjukan muka biasanya dan tidak terlalu mengekspresikan sedikit rasa cemburu kala tahu kakak perempuannya mengenal Luhan sangat baik.
“Bukankah Luhan sangat baik, Mimi-ya? Dia membantuku meng-arasement lagu saat para senior terlihat angkat tangan tak ingin membantu.”
“Benarkah?”
“Tidak hanya itu, Luhan juga pernah mengajariku gerakan tari baru. Dia sukarela menjadi partner-ku di sesi latihan satu minggu sekali. Kau tahu, aku dan dia bahkan pernah berlatih sexy dance.”
Mimi nenangkap semburat merah yang tiba-tiba muncul di dua pipi Mi-cha saat kakaknya itu mengatakannya. Gadis itu hanya tersenyum tiga jari lalu menangkup pipi kakaknya dengan dua tangan lembutnya. “Oenni, kau begitu menyikai Luhan, ya?” tanyannya.
Mi-cha ikut menjulurkan tangan menangkup tangan Mimi yang masih berada di pipinya. “Semua orang menyukainya.” Jawabnya. “Aku dan seluruh member-ku malah menjadikan Luhan sebagai ideal type kami.”
“Benarkah?” Mimi merespon singkat. Ia merasakan dadanya bergemuruh tak terkendali. Ingin rasanya ia berlari ke kamar mandi lalu menghidupkan air keran kemudian berteriak menyuruh orang-orang yang menyukai Luhan berhenti menyukai lelaki itu. “Aku tidak tahu Luhan semenarik itu, Oenni.” Ucap Mimi berbohong.
Mi-cha mendesis. “Bukankah kau akhir-akhir ini sering bertemu dengannya? Apa kau tidak merasa kebaikan lelaki berwajah bayi itu, Mimi-ya?”
Mimi mengedikan bahunya. Ia menarik lepas tangannya dari wajah Mi-cha. “Aku tidak tahu.” Jawabnya. “Tapi aku ingat dia pernah menabrakku, numpahkan kopiku, juga menghancurkan laporanku. Perbuatan seperti itu, tidak bisa dikatakan baik, kan, Oenni?”
“Yang benar?” Mi-cha melebarkan kelopak matanya. “Aku yakin Luhan tak sengaja melakukan itu.”
Mimi mengangguk. “Luhan juga mengatakan seperti itu. Dia bilang kalau ada beberapa fans sedang mengejarnya.”
“Lagi?!” Mi-cha berseru sebal, dan itu membuat dirinya terlihat mengenal Luhan dengan baik di mata Mimi. “Kau harus tahu kalau ada beberapa fans yang terlalu membahayakan untuk idolanya, dan Luhan, itu bukan pertama kalinya dialaminya. Ia pernah dilarikan ke rumah sakit akibat luka sobek di lengannya yang didapat dari cakaran salah satu fans-nya diacara fanmeeting-nya sendiri.”
Mimi menahan napas. Gadis itu kesulitan menelan ludahnya sendiri mendengar cerita Mi-cha yang terlalu ekstrim menurutnya. “Lukanya tidak serius, kan, Oenni?” tanyanya tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.
“Tidak,” Mi-cha menggeleng. “Tapi pihak agency membatalkan beberapa jadwal fanmeeting yang sudah direncanakan sebelumnya. Luhan sedikit menyayangkan hal itu.”
“Syukurlah.”
“Syukurlah?” Kening Mi-cha mengkerut tajam. “Kau bersyukur karena kesenangan Luhan di batalkan?”
Mimi mengerjap. “Tidak! Tentu saja bukan itu yang kumaksudkan.” Balasnya cepat.
“Kau terlihat sangat mencemaskannya, Mimi-ya.” sergap Mi-cha dengan kalimat curiganya.
“Aku lebih cemas andai kau juga mengalai hal seperti itu, Oenni.” Ucapnya sebelum belalu melenggang ke kamar mandi.
***
“Ketua Tim!” Seruan suara perempuan membuyarkan konsentrasi Mimi yang sedang terfokus mempelajari perkembangan project iklannya. Gadis itu menoleh dengan mengedikkan dagunya pada sosok tersangka yang membuat kegaduhan siang ini, Yoo Ah-ra. “Seseorang mencarimu di luar.” Ucapnya.
“Siapa?”
Ah-ra tersenyum-berniat menggoda Mimi. “Apa aku harus mengatakannya?” Pancingnya. “Anda tidak ingin melihatnya sendiri saja?”
“Aku sedang sibuk. Jika alasan mencariku bukan sesuatu yang penting, tolong katakan padanya untuk menemuiku dua jam lagi.” Balasnya sebelum mengalihkan pandangannya dari Ah-ra kembali berkutat dengan laptop-nya.
“Wahh..” Ah-ra berdecak sembari menggelengkan kepalanya. “Anda pasti menyesal menolak bertemu dengan orang ini, Ketua Tim.” Ucapnya.
“Memangnya siapa?” Seru Jin-ki yang mendadak penasaran setelah mendengar ucapan rekannya.
Mimi yang sedang menggerakan kursor lewat mouse-nya, tidak memungkiri jika dirinya sekarang menjadi penasaran karena ucapan Ah-ra.
“Ya, Yoo Ah-ra! Katakan siapa yang mencari boss kita?” Seru Min-ah yang terdengar tidak sabaran karena Ah-ra yang sengaja berlama-lama tidak menjawab pertanyaan Jin-ki.
Ah-ra mengatur napasnya. Ia berdehem sebelum akhirnya membuka mulutnya. “Xi Luhan. Pemuda berkulit seputih susu dengan ketampanan bak dewa Eros yang memiliki mata seindah kristal berharga jutaan Won serta bibir tipis warna merah yang begiiiitu menggoda. Dia sedang menunggumu diluar, Ketua Tim.”
Mimi tidak bernapas selama beberapa detik. Wajahnya memanas begitu nama Luhan masuk ke gendang telinganya.
Luhan mencariku? Luhan menungguku? Oh My God, aku sedang tidak bermimpi,kan?
“A..ad..ada apa dia mencariku?” Tanya Mimi tergagap.
Ah-ra mengedikkan bahu tidak tahu. “Dia hanya memintaku mengatakan kalau dia menunggumu di luar. Tidak ada yang lain.”
“Ketua Tim,” Mimi menoleh ke arah Min-ah yang baru saja memanggilnya, “apa Anda masih tidak mau menemui lelaki itu?” Tanyanya. “Aku mau mengantikanmu bertemu dengannya.”
Mimi menelan ludanya. Menghela napas mengatur ritme jantungnya yang berdetak liar kemudian menggeleng. “Aku akan menemuinya.” Ucapnya.
Dihampirinya Luhan yang berdiri tak jauh dari pintu ruang kerjanya. Lelaki itu mengenakan hodie hitam yang sebenarnya tidak bisa dikatakan hitam seutuhnya karena corak bunga sakura berwarna merah muda dan putih, juga beberapa garis berwarna merah menyala ada disana. Wajahnya tampak tidak selelah seperti yang dilihat Mimi beberapa hari yang lalu, hanya sedikit garis hitam di bawah matanya.
Luhan menoleh begitu mendengar suara ketukan heels makin keras. Ia melempar senyum pada Mimi yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
“Ada apa mencariku, Luhan-ssi?”
“Luhan-ssi?” Luhan mengulang. “Bukankah kita teman? Antara teman tidak perlu menambah embel-embel ‘ssi’ di belakang namanya.”
“Ahh,” Mimi salah tingkah. Ia menggigit bibir bawahnya sembari menyelipkan beberapa anak rambut depannya ke belakang telinga. “Maaf.” Ucapnya.
“Antara teman juga tidak ada kata maaf, Mimi-ya.”
Mimi tersenyum. “Lalu apa yang harus aku katakan?” Tanyanya, benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa malunya.
“Aku merindukanmu, seperti itu.” Ucap Luhan. Lelaki itu menggoda Mimi yang terlihat lucu dengan sikap polosnya.
“Eh?” Kedua kelopak mata Mimi melebar. “Aku tidak tahu jika berteman dengan lelaki harus mengatakan hal seperti itu saat bertemu. Aku dan Wendi jarang sekali mengatakan demikian. Kami saling mungungkapkan perasaan hanya saat kami terpisah jarak bergitu jauh.”
“Wendi? Temanmu?”
Mimi mengangguk. “Hm, dia sahabat perempuanku.” Jawabnya.
“Aku sudah khawatir dia seorang laki-laki.” Balas Luhan seraya tersenyum. Dan Mimi merasa perutnya dibolak-balik melihat cara lelaki itu tersenyum. Manis, ucapnya dalam hati.
“Ehm, Mimi-ya, sebenarnya aku mencarimu karena ingin memberimu ini.” Kata Luhan, laki-laki itu menyerahkan bingkisan di tangannya kepada Mimi. “Itu penganti ponselmu yang rusak tempo hari akibat kecerobohanku.”
Mimi menunduk mengintip isi bingkisan dari lipatan paper bag di tangannya. “Terimakasih.” Ucapnya setelah mengangkat wajahnya kembali menatap Luhan. “Sebenarnya kau tidak perlu sampai menggantinya, aku bisa menyuruh Jin-ki untuk membawanya ke tempat reparasi.”
Sambil tersenyum-lagi, Luhan mengusap singkat lengan Mimi lembut. “Itu sudah kewajibanku.” Lelaki itu meyakinkan Mimi. “Aku harus pergi sekarang. Sebenarnya aku sedang dalam perjalanan menuju lokasi shooting dan melihat ponsel itu masih ada di mobil, jadi kuputuskan untuk menyerahkan padamu lebih dulu.”
Mimi mendengus kecil. Ia begitu ingin menahan lelaki itu dalam pembicaraan yang lama bersama dirinya. Tapi ia tahu keberuntungan tidak selalu berputar hanya pada dirinya seorang. Ia melepas Luhan. Menatap punggung lelaki itu yang semakin jauh dan tidak terlihat tertelan pintu lift di samping tangga darurat.
Thanks for coming. That was enaugh to treating my longing.
***
Mimi duduk tenang kendati sebelah matanya tengah dibuka paksa dan di sorot oleh lampu senter yang biasa dipakai doket untuk memeriksa pupit mata. Ia sudah merasa biasa. Mimi bahkan pernah mendapat perlakukan yang lebih dari itu dulu saat ia tiba-tiba saja jatuh pingsan di dalam kelas. Gadis itu diwajibkan menginap beberapa hari di rumah sakit dengan selang infus yang menghiasi punggung tangan dan suntikan-suntikan yang membuatnya tidak bisa duduk nyaman.
Wanita yang memeriksanya itu menggeleng, kemudian mengalihkan kegiatannya ke mata Mimi yang satunya lagi. “Kau mengabaikan anjuranku, iya, kan?” Tanyanya setelah selesai memeriksa reaksi mata Mimi dan memasukkan senter ke dalam saku jas putih seragam dokternya.
Mimi sedikit menarik sudut bibirnya, wajahnya nampak berpikir, menimbang-nimbang untuk berkara jujur atau tidak.
“Kau tahu,” Dokter Shin meletakkan tangannya di atas tangan Mimi dan meremasnya ringan. “Ibumu datang ke Korea setelah aku menghubunginya. Beliau benar-benar mempedulikan kesehatanmu, Mimi-ya.” Terangnya, sambil tersenyum. “Jangan membuatnya khawatir, arrachi?”
Bagi Mimi, senyum Dokter Shin-yang sudah dikenalnya sejak belasan tahun lalu, adalah senyum terbaik yang pernah dilihatnya. Ada ketenangan sendiri saat dirinya menatap dan menikmati tiap gerakan kecil bibir ranum milik wanita tadi.
“Ingin mendengar usulku, Mimi-ya?” Tanya wanita itu sambil berjalan mengitari mejanya dan duduk di kursi. “Ada sebuah villa kosong di Nonhyeon-dong milik keluargaku, kalau kau mau dan tidak keberatan, kau bisa tinggal di sana. Pemandangannya tidak terlalu buruk. Cukup untuk menyegarkan matamu dari kejenuhan menatap layar komputer dan bebas dari hiruk pikuk keramaian.”
Mimi turun dari ranjang tempat ia diperiksa, kemudian duduk di bangku yang berhadapan dengan bangku dokter Shin. “Itu sangat merepotkan,” ucapnya dengan kepala menunduk. “Lagi pula Oemma belum tentu-“
“Aku yang akan bicara dengan Oemmamu. Percaya padaku.”
Mimi mengangguk. Oemma tidak pernah tidak mendengarkan saran dari dokter Shin, pikirnya. “Tapi Dokter Shin,” Mimi mengangkat wajahnya, menatap langsung mata wanita di depannya. “Akhir-akhir ini dalam tidurku, aku berulang kali memimpikan hal yang sama. Apa itu pengaruh dari kepalaku yang mendadak sering merasa pusing?”
“Memangnya apa yang kau impikan?”
Mimi menggelng pelan. “Tidak terlalu jelas, yang bisa kuingat hanya sebuah boneka barbie dengan noda merah.” Jawabnya. Kepalanya mendongak sedikit miring ke kiri dengan mata menerawang menatap langit-langit ruang pemeriksaan. “Selain itu, aku juga mendengar suara sirine ambulance. Dan jika kupikir-pikir, sepertinya aku memimpikan sebuah tragedi kecelakaan.”
“Kecelakaan?” Dokter Shin mengulang ucapan Mimi. Raut wajahnya mendadak terlihat sedih mendengar penjelasan Mimi.
“Ne,” Mimi mengangguk, namun kemudian menggeleng ragu. “Tapi aku masih tidak terlalu yakin.” Ucapnya.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mimpi hanya mimpi, sebuah bunga tidur yang kebenarannya tidak bisa dipercaya seratus persen.”
Mimi menunduk. “Ya, aku tahu.” Ucapnya.
***
Mimi membungkuk mengintip siapa tamu yang barusan membunyikan bel kamar hotelnya. Dan itu terasa sia-sia begitu wajah Jong-in memenuhi seluruh retina mata Mimi. Ia seharusnya tidak perlu repot-repot mengijinkan dirinya berhalusinasi mengharapkan kalau Luhan yang datang berkunjung. Karena sebenarnya ia tahu, Luhan tidak mungkin kabur dari jadwal padatnya.
“Kupikir sudah tidur,” Mimi mengamati Jong-in yang hanya memakai kaos polo tanpa lengan yang dirangkapi jaket kulit warna merah bata. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada tembok dengan dua tangannya menyilang di depan perut. “Aku tidak melihatmu setelah jam istirahat. Karena khawatir mungkin kau sakit lagi, aku kesini berniat menjengukmu.”
Mimi tersenyum rikuh. Ia berjalan tiga langkah keluar kamar dan menutup pintu sementara tangannya di belakang punggung dan masih mengengam gagang pintunya. “Aku berkunjung ke bagian editing sebelum meminta ijin pulang lebih awal.” Jelasnya. “Tapi tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Tidak sakit.” Lanjutnya kemudian.
“Baguslah,” Jong-in mengangguk. Ia menyelipkan dua telapak tangannya ke saku celana jeans-nya. “Jadi apa kau sudah makan malam?” Tanyanya melenceng jauh dari pertanyaan awal, yang tentu saja membuat Mimi mengerutkan dahi mendengarnya. “Ayo makan malam denganku.”
“Aku-“
Tidak ada kesempatan Mimi untuk mengelak. Jong-in tidak memberinya waktu untuk menolak ajakan lelaki itu. Tangannya sudah diraih dan tubuhnya menurut saja ketika lelaki itu mulai menuntunnya masuk ke dalam lift yang membawa turun ke lantai dua dimana restauran hotel berada.
Sejujurnya, Mimi sedikit malu dengan penampilannya yang kini hanya mengenakan piama merah muda motif beruang kutup. Ia ingin sekali protes pada Jong-in yang seenaknya saja menariknya atau memberinya waktu sepuluh menit untuk mengganti pakaiannya. Tapi melihat Jong-in yang tidak mempermasalahkan gaya busananya dan menikmati setiap potong daging sapi yang disiram saus tiram di piringnya, Mimi merasa bahwa pakaiannya tidak termasuk hal tabu yang dilarang dikenakan.
Tidak ada yang salah dengan Beruang besar.
Gadis itu menaruh garpu dan pisau makan di sisi-sisi piring steak-nya. Tangan kanannya meraih gelas berisi air putih yang terletak hanya berjarak sepuluh senti di sebelah piring. Mengirim beberapa teguk air bermaksud membasahi tenggorokannya yang nyaris tersedak. Kalimat penjelas yang dilayangkan Jong-in kepada dirinya sukses membuat ia tak lagi bernapsu menghabiskan satu potong daging sapi kualitas nomor satu di Korea yang tersaji di atas meja lengkap dengan hiasan-hiasan penggugah selera.
“Kau…” Gadis itu menelan ludah, “serius?” Tuntutnya. Jong-in memberitahu kalau almamater sekolahnya akan mengadakan reuni dan meminta Mimi menjadi pasangan pemuda itu untuk menemaninya datang. “Tapi maaf, aku tidak bisa. Ada beberapa urusan yang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja.” Tolaknya.
Jong-in memberengut. “Ayolah, Mimi, aku tidak tahu harus mengajak siapa untuk menyelamatkanku dari olok-olok rekanku nanti.”
“Ah neul?” Mimi berbisik lirih. “Kau bisa mengajaknya, dan aku yakin dia juga tidak mungkin mengecewakanmu.”
“Mengecewakan tidak, memalukan iya.” Dengus Jong-in. “Lebih baik aku datang sendiri jika hanya dia satu-satunya wanita yang tersisa untuk menjadi pasanganku.”
“Tepat!” Mimi mengacungkan jari telunjuknya ke wajah Jong-in. “Kalau begitu kau datang saja sendiri. Tidak masalah,kan?” Ucap Mimi dengan senyum merekah.
Jong-in menyadari jika perumpaannya barusan telah memberi celah Mimi menolak permintaannya. Tapi bukan Jong-in namanya jika ia tidak mempunya stock alasan untuk membuat gadis itu menerima ajakannya.
“Kalau kau tidak mau menjadi pasanganku lusa, berarti kau menerimaku menjadi kekasihmu.”
“What the hell!?” Mimi memekik tertahan. Ia menggulum bibirnya sendiri dengan sebelah mata meruncing menatap Jong-in. Sedang pemuda yang di tatapnya hanya tersenyum penuh kemenangan di sisi meja.
“Bagaimana?” Goda Jong-in dengan mengerlingkan sebelah matanya ke arah Mimi. “Kau hanya tinggal memilih satu dari dua opsi yang kutawarkan.” Ucapnya. “Atau kau malah mau memilih dua-duanya?”
Mimi mengatupkan dua bibirnya. Tentu saja tidak! Serunya dalam hati. “Aku akan pergi denganmu.” Setunjunya lesu.
Oh baiklah, daripada aku harus menjadi kekasih lelaki ini, anggap saja aku tengah mencari resensi melihat gaya busana pemuda-pemuda Korea musim ini.
“Kau yang terbaik, Mimi-ssi.”
Mimi tersenyum. Lebih tepatnya, memaksa diri untuk tersenyum.
Lanjut ke The Forgotten #4 (2)