home_icon
SIGN IN
SIGN UP
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
Portal Berita - Radio Streaming - Komunitas Anak Muda
LOUNGE
HOW IT WORKS
HOW TO BE DFF OF THE WEEK
TERMS OF USE
CONTACT US
  • Latest
  • Most Viewed
  • Most Loved
  • A-Z
  • My Fanfiction
  • My Subscriptions
  • My Subscribers
  • Create New Fanfiction
Fan Fiction > Their Love Story

Their Love Story

Share:
Author : Knaraxo
Published : 23 Aug 2014, Updated : 19 Jul 2015
Cast : K-Pop Idol Member, OC
Tags :
Status : Ongoing
1 Subscribes |4869 Views |1 Loves
Their Love Story
CHAPTER 4 : Winter's Ring

Main Cast : Kim Tae-Hyung and Jung Min-Hee || Genre : Romance, Sad || Rating : Teen || Length : Vignitte || Disclaimer : I own the story, not the cast || Note : Mind to read and RCL J

“Cincin itu... di mana?”

.

.

.

.

.

Gadis itu menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan gerakan cepat. Ketika meniupnya, muncul kepulan asap putih yang membeku di udara. Malam itu terasa dingin, apalagi dengan musim salju yang telah menghampiri Seoul. Meskipun gadis berambut kecoklatan itu mencari kehangatan pada jaketnya, rasa dingin itu tetap melekat.

Jung Min-Hee memandang langit yang tampak gelap. Cahaya bulan tidak seterang yang biasanya. Bintang-bintang bersembunyi di antara kegelapan. Yang terakhir kali ia ingat, dulu langit malam terlihat sangat terang dan indah.

Matanya tertuju pada cincin berhiaskan Mickey Mouse, salah satu karakter kartun yang ia sukai. Min-Hee telah memakai cincin itu selama 3 tahun dengan banyak kenangan yang tidak bisa dilupakannya. Kenangan bersama pria yang dicintainya.

Min-Hee mendesah keras. Ia selalu membenci kenangan-kenangan manis yang terputar di otaknya. Tapi, semua itu selalu muncul tanpa ia mau. Seakan semua kenangan itu mempunyai arti yang amat penting di hidupnya.

Pria itu... bagaimana kabarnya? Min-Hee selalu bertanya-tanya tentang keadaan pria itu sekarang. Setelah 3 tahun yang lalu memutuskan hubungan, tak pernah ada satupun kemunculan namanya di layar ponsel Min-Hee. Bertanya pada teman-temannya, mereka juga tidak pernah mendengar kabarnya lagi.

Meskipun pria itu telah membuat dunianya terasa berat untuk dijalani, Min-Hee tetap mencintainya. Dengan cincin kenangan mereka dan juga tempat ini, ia berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya.

Min-Hee memandang cincinnya lekat-lekat. “Mickey....”

“Jung Min-Hee?”

Min-Hee terpaku saat kepalanya menoleh ke atas. Pria yang selama 3 tahun ini tidak pernah lepas dari benaknya memunculkan diri. Wajah pria itu pun sama terkejutnya. Keduanya tertegun untuk sesaat.

Meskipun awalnya terkejut, akhirnya pria itu memberikan senyuman kepada Min-Hee. “Apa kabar, Min-Hee?”

Min-Hee meremas ujung jaketnya dengan kuat. Setelah memberikan rasa sakit yang begitu besar, pria itu memberinya senyuman tak berdosa. Hanya ia yang merasa perih melihat wajah tampan itu.

“Aku... baik-baik saja,” Min-Hee memaksakan senyumnya. Ada rasa gelisah ketika melihat wajah Tae-Hyung, membuatnya menunduk.

Rasa gelisahnya bertambah saat mendapati Tae-Hyun mendudukkan diri di sebelahnya. Min-Hee ingin memalingkan wajahnya, tapi ia tidak mau dianggap sebagai perempuan yang tidak bisa melupakan mantan kekasihnya.

Ada kesunyian di antara keduanya. Meskipun Tae-Hyung membuat jarak dengannya, namun ada rasa hangat yang menimpa tubuh bagian kanannya. Inilah yang selalu ia rasakan saat Tae-Hyung berada di sampingnya.

“Jadi, apa yang sedang kau lakukan di sini?” Tae-Hyung mulai berbicara.

“Hanya mencari angin,” jawab Min-Hee berbohong. Ia tidak mau tertangkap basah sedang mengenang masa lalu indah mereka.

Tae-Hyung tertawa pelan. “Di malam yang dingin ini? Kau tidak akan mendapatkan angin. Justru kau akan mendapatkan dingin dan sakit.”

Tawa itu. Min-Hee mencintai bagaimana seorang Tae-Hyung tertawa. Juga tatapan teduh pria itu yang selalu berhasil membuatnya meleleh. Tapi kini, semua itu juga membuatnya sedih di saat yang bersamaan.

“Bagaimana kabarmu sekarang?” Min-Hee mengalihkan pembicaraan dengan memberikan pertanyaan yang jawabannya membuat dirinya penasaran selama ini.

Tae-Hyung mengacak rambut pirangnya. “Sekarang rasanya melelahkan. Aku mendapatkan pekerjaan di perusahaan Yoon-Gi Hyung. Kau tahu? Yoon-Gi Hyung sangat berisik. Ia suka memerintahku seenaknya. Jika saja sekarang ia bukan bosku, mungkin aku akan menonjoknya.”

Tae-Hyung masih begitu ceria begitu berbicara. Sepertinya, kehidupan pria itu begitu baik dan nyaman. Hanya kehidupan Min-Hee yang akhirnya hancur karenanya.

Sejak Tae-Hyung yang merupakan cinta pertamanya memutuskan hubungan, tidak ada hasrat bagi Min-Hee untuk membuat dongeng seperti yang biasa ia lakukan. Tidak ada dongeng, maka tidak ada pekerjaan. Tidak ada pekerjaan, maka tidak ada penghasilan. Yang Min-Hee bisa lakukan hanyalah menumpang di rumah sahabatnya yang masih berbaik hati mau direpotkan.

Min-Hee memainkan jarinya dengan gelisah. “Lalu... percintaanmu?”

Tae-Hyun terdiam. Ia menatap Min-Hee yang tiada henti-hentinya menunduk, seakan itu tidak melelahkan dan sudah biasa ia lakukan. Mungkin, Tae-Hyung terkesiap karena Min-Hee mampu menanyakan pertanyaan itu secara langsung.

Gugup menghampiri Min-Hee. Ia ingin mendengar jawaban Min-Hee atas pertanyaan barusan. Ia penasaran dengan wanita yang mampu memenangkan hati pria kekanak-kanakan seperti Tae-Hyun selain dirinya.

“Hmm... biasa saja,” Tae-Hyung menepuk-nepuk pahanya sendiri seperti anak kecil. “Tidak ada perempuan yang mampu mengisi hatiku.”

Ada rasa lega saat mendengar pernyataan itu terlontar dari mulut Tae-Hyung. Ia berharapa bahwa arti dari jawaban itu berarti tidak ada pengganti dirinya di hati pria itu.

Min-Hee menengadahkan kepalanya. “Mickey....

“Ya?”

Timbul rasa gembira saat Tae-Hyung menyahut kepada panggilannya. Min-Hee merindukan bagaimana ia memanggil Tae-Hyung dengan sebutan Mickey. Ia ingat dengan jelas saat Tae-Hyung memintanya memanggil dengan sebutan itu karena keduanya mencintai karakter Mickey Mouse. Karakter yang menyatukan keduanya.

“Apa kau ingat tempat ini?” Min-Hee memberanikan diri menatap kedua bola mata milik Tae-Hyung.

Tae-Hyung tersenyum kecil. “Tentu saja. Ini tempat kita berkencan dulu, kan?”

Tae-Hyung tidak melupakannya. Muncul harapan di sudut hati Min-Hee yang tidak terelakkan.

Lalu, Min-Hee menunjukkan cincin yang masih setia terpasang di jari kelingkingnya. “Apa kau juga ingat dengan cincin ini?”

Tae-Hyung meraih tangan Min-Hee, membentuk desiran hangat di darah gadis itu. Tangan Tae-Hyung sama kuatnya dengan 3 tahun yang lalu, hanya sedikit lebih lembut.

“Ah, aku mengingatnya. Ini barang couple pertama kita, kan?” Tae-Hyung tersenyum lebar karena mampu mengingatnya.

Min-Hee mengangguk dengan semangat. Tidak sia-sia Min-Hee terus mengingat kenangannya bersama pria itu. Tae-Hyung, pria yang dicintainya, masih mengingat hal-hal yang telah ia tunjukkan.

Min-Hee menatap jari-jari Tae-Hyung. Ada rasa kecewa ketika mendapati bahwa cincin itu tidak dikenakan lagi oleh Tae-Hyung. Mungkin sudah kekecilan, Min-Hee berusaha berpikir positif.

“Aku merasa gerah,” Tae-Hyung membuka jaketnya dan menarik-narik kerah bajunya untuk mendapatkan rasa dingin yang nyaman, “Aku aneh, kan?”

Tidak sengaja mata Min-Hee tertuju pada sebuah kalung yang menggantung di leher Tae-Hyung. Seperti disayat oleh pisau yang tajam, Min-Hee merasa dadanya terasa sakit.

Kalung yang dikenakan oleh Tae-Hyung berbandulkan sebuah cincin. Cincin dengan sebuah goresan bertuliskan “MM”.

“Itu... apa?” Min-Hee menunjuk kalung Tae-Hyung. Pria itu memandang bandul kalungnya, lalu tersenyum lembut.

“Ini cincin tunanganku.”

Min-Hee terdiam. Ia memberikan tatapan tak percaya kepada Tae-Hyung yang melanjutkan kalimatnya tanpa melihat reaksi Min-Hee.

“Kami bertemu 3 tahun yang lalu, tepatnya di kantor Yoon-Gi Hyung. Ia merupakan asisten Hyung yang sangat cantik, baik hati, dan ramah. Tanpa aku sadari, aku sudah jatuh ke dalam pesonanya dan tanpa sadar kami bermain hingga akhirnya ia... hamil.”

Tae-Hyung menghela napas pelan. “Awalnya aku ingin menolak untuk menikahinya. Tapi begitu melihat bayi laki-lakiku, aku sadar bahwa aku tidak bisa menjadi Ayah yang jahat. Aku akhirnya bertunangan dengannya. Rencananya aku akan menikahinya minggu depan. Yang kulakukan benar, kan?”

Tae-Hyung tertegun saat melihat bulir air mata yang menetes dari kedua mata Min-Hee. “Jung Min-Hee?”

“Ah,” Min-Hee baru sadar bahwa ia menangis. Ia merutuki dirinya sendiri yang terlihat bodoh di depan Tae-Hyung. “Aku ini memang bodoh.”

Min-Hee memukul-mukul kepalanya sendiri sebagai bentuk hukuman dari air mata yang jatuh tanpa peringatan. Ia tersenyum pahit dengan air mata yang terus berjatuhan. “Maafkan aku Tae-Hyung, aku memang bodoh.”

Tiba-tiba, Min-Hee kembali merasakan kehangatan yang menjalar dari genggaman Tae-Hyung. Jika ia merasa senang setiap kehangatan itu datang kepadanya, kini itu tidak terjadi. Yang ada hanyalah perih dan luka yang kembali muncul.

“Kau tidak apa, Min-Hee?” Tae-Hyung bertanya dengan wajah khawatir.

Min-Hee menepis tangan Tae-Hyung. “Aku tidak apa-apa.”

Seraya mengusap cairan hangat yang tak henti-hentinya mengalir, Min-Hee beranjak dari bangkunya. Ia berusaha menguatkan dirinya sendiri untuk terus berjalan. Di belakangnya, Tae-Hyung juga ikut beranjak. Ia menatap gadis itu dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.

Terlalu lemas, akhirnya badan Min-Hee terjatuh. Gadis itu tidak merasakan sakit di bagian tubuhnya. Yang ia bisa rasakan hanyalah hatinya yang terasa sangat sakit, yang siap menghancurkan dunianya lagi.

Tae-Hyung berjongkok di sebelahnya. “Kau benar-benar tidak apa?”

Begitu menyadari keberadaan Tae-Hyung, Min-Hee langsung menutup wajahnya seraya merutuki dirinya sendiri. Ia tidak ingin terlihat bodoh di depan pria yang telah berhasil menghancurkan hati dan hidupnya untuk kedua kali. Sudah cukup dengan semua ini. Min-Hee tidak mau dipandang sebagai gadis cengeng.

Sesuatu yang hangat mendekapnya. Min-Hee terisak mendapati bahwa Tae-Hyung sudah memeluknya begitu erat.

“Maafkan aku Min-Hee. Maaf,” Tae-Hyung membisikkan kata-kata itu berkali-kali di telinganya. Sama seperti yang dibisikkan pria itu 3 tahun yang lalu.

Gadis itu dengan pelan mendorong tubuh Tae-Hyung sembari memaksakan senyum. “Sudah kubilang tidak apa-apa, Kim Tae-Hyung. Tenang saja.”

Min-Hee berusaha untuk kembali bangun. Tubuhnya hampir kembali jatuh dan Tae-Hyung hampir menolongnya, tapi ia menguatkan dirinya untuk terus berdiri. Menunjukkan bahwa ia adalah gadis yang kuat, bukan gadis yang cengeng.

Min-Hee kembali melangkahkan kaki-kaki jenjangnya di antara salju-salju putih. Namun, ia membalikkan badannya. Ia memegang jarinya, kemudian melemparkan sesuatu kepada Tae-Hyung yang langsung ditangkap oleh pria itu.

Cincin Mickey Mouse.

Tae-Hyung mengalihkan pandangannya kepada Min-Hee. “Min—“

“Kurasa, aku harus benar-benar melepaskanmu,” Min-Hee menutup mulutnya, berusaha mengendalikan suara isak tangisnya, “Maaf karena aku terus mengharapkanmu. Mungkin kau datang ke sini karena menyesal padaku. Tapi aku akan baik-baik saja. Jadi, berbahagialah Kim Tae-Hyung. Aku akan selalu mendukungmu.”

Min-Hee membalikkan badannya. Kata-kataku terdengar tegar, kan? Batin Min-Hee. Kalimat yang barusan lolos dari mulutnya adalah kata-kata terakhir untuk pria yang mampu membuatnya jatuh cinta. Mampu membuatnya bahagia dalam sekejap, namun juga membuatnya jatuh.

Kini, setelah bertemu dengan Tae-Hyung, entah mengapa ia merasa hatinya menjadi lebih lega dan ringan dari sebelumnya. Mungkinkah ia sudah merelakan Tae-Hyung sekarang? Itulah yang ia harapkan.

Min-Hee meninggalkan taman itu, bersamaan dengan dirinya yang berusaha untuk melepaskan luka-luka yang sudah digoreskan oleh Tae-Hyung. Berusaha untuk meninggalkan Kim Tae-Hyung dari kenangannya dan membuat sebuah kenangan baru yang lebih indah.

Kim Tae-Hyung, selamat tinggal. Terima kasih untuk segalanya.

.

.

.

.

.

Tae-Hyung terpaku di bangku taman. Ia menatap cincin itu dengan nanar. Kemudian, ia menggenggam cincin itu seraya menciumnya.

“Maafkan aku Min-Hee.”

Kalimat itu lolos dari mulutnya meskipun gadis itu kini tidak ada di sampingnya. Tae-Hyung menyandarkan dirinya di sandaran bangku, mengangkat tinggi-tinggi cincin Mickey Mouse itu dan mensejajarkannya dengan langit malam yang begitu gelap.

Tae-Hyung tersenyum pahit. “Aku bodoh... karena aku sudah melepaskan Minnie, kan?”

Masih terekam jelas bagaimana ia dan Min-Hee bertemu untuk pertama kalinya sebagai maniak Mickey Mouse saat pergi ke rumah Jung-Kook yang merupakan sepupu gadis itu. Mereka sama-sama seperti orang bodoh yang bertemu dengan anggota maniak lainnya. Sejak itulah, Tae-Hyung merasakan perasaan aneh yang bernama “cinta”.

Pria itu menyusuri saku celananya, mencari sebuah benda yang telah ia simpan. Ia telah menemukan salah satunya, lalu beberapa saat kemudian menemukan benda lainnya.

“Ah, aku masih menyimpannya,” gumam Tae-Hyung. Ia memakai ketiga benda di tangannya.

Cincin pasangan dari cincin tunangan di kalungnya, cincin Mickey Mouse, dan cincin Minnie Mouse.

Perlahan, Tae-Hyung menundukkan kepalanya. “Betapa bodohnya aku. Bodoh.”

Yang bisa pria itu lakukan hanyalah mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ia bodoh. Bagaimana bisa ia berani melepas gadis yang paling dicintainya di dunia ini? Ah, Tae-Hyung bukannya berani. Melainkan ia harus.

Karena waktunya tidak lama lagi.

Tae-Hyung begitu sesak membayangkan saat ia ingin melamar seorang Jung Min-Hee di taman ini dengan cincin yang sudah ia siapkan begitu lama. Saat akan melaksanakannya, justru penyakit jantung itu datang seenaknya. Membuat Tae-Hyung harus merelakan seluruh kebahagiaannya pergi dari kehidupannya.

Ia melepaskan cincinnya dari tali kalung itu. Tae-Hyung menatap goresan ”MM” itu lekat-lekat. Tanpa sadar, ia tidak bisa menahan air matanya lagi.

Minnie Mouse. Tae-Hyung ingin menyerahkan cincin ini kepada Min-Hee sebagai seorang Mickey Mouse yang akan membahagiakan hidup Minnie Mouse-nya. Tapi, kini semua itu hanya angan-angannya. Tidak akan pernah terwujud.

Setelah Tae-Hyung mengenakan cincin itu di jari-jarinya, akhirnya semua cincin itu terasa lengkap di matanya. Dengan air mata yang memenuhi wajahnya, Tae-Hyung tersenyum bodoh.

“Cincin-cincin ini... bodoh. Aku memang bodoh.”

Minnie Mouse, maafkan aku. Aku ingin selalu bersamamu, selalu menemanimu, selalu berada di sisimu. Tapi, sepertinya semua itu mustahil. Yang bisa kuharapkan adalah kau bisa selalu bahagia tanpa kehadiranku. Maafkan aku karena sudah mengarang semua cerita-cerita itu, membuatmu terluka begitu dalam dan hancur untuk kesekian kalinya.

Berbahagialah, Minni Mouse. Jung Min-Hee. Aku mencintaimu.

The End

POPULAR FANFICTION

BERITA PILIHAN

COPYRIGHT 2024 DREAMERS.ID PUBLISHED BY DREAMERS NETWORK