LEAN ON MY SHOULDERS
Black Romance present…
A story by JH_Nimm
(http://jh-nimm.blogspot.com, http://www.twitter.com/JH_Nimm)
Title: Lean on My Shoulders
Also known as: Lean on My Shoulders
Genre: Friendship, Family, Hurt, Sad, Romance
Rating: T (PG-15)
Length: Chaptered (3/4)
Cerita ini adalah sebuah FIKTIF belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat dan kejadian, semata-mata karena ketidaksengajaan.
All casts are belong to God, but this story is JH_Nimm’s.
Don’t re-share without my permission.
Don’t forget to leave your appreciation.
Happy Reading… Thank You… :3
Note: yang di tulis miring adalah FLASHBACK!!!
BGM:
INFINITE – Back
BTS – Just One Day
== GLOSARIUM ==
Kaja [1] = Ayo
SHIRHEO [2] = Tidak suka/ Tidak mau
Wae [3] = Kenapa
Ani [4] = Tidak/ Bukan
Gwaenchanha [5] = Tidak apa-apa
Geurigo [6] = Lalu
YA [7] = HEY
Geumanhae [8] = Sudahlah
Joshimhae [9] = Berhati-hatilah/ Hati-hati
Geurae [10] = Benar
Agasshi [11] = Nona
DOWAJUSEYO [12] = Tolong
I jashik [13] = Anak ini
Gwaenchanhayo [14] = Kau tidak apa-apa
Ne [15] = Iya
Gomawo [16] = Terima kasih
Mianhae [17] = Maaf
Seonbaenim [18] = Senior
Nuna [19] = Kakak (dari laki-laki untuk perempuan)
Eonni [20] = Kakak (dari perempuan untuk perempuan)
Hyung [21] = Kakak (dari laki-laki untuk perempuan)
Geureongeon aniya [22] = Bukan begitu
== PROLOG ==
Bagaimanapun kau menerimanya, atau bagaimanapun kau menanggapinya
Tak akan membuatku berhenti untuk berusaha mengembalikan senyumanmu
Sebanyak apapun kau tak menganggap kehadiranku dan sebanyak apapun kau menghindariku
Namun itu tak akan cukup menghentikanku untuk membuatmu kembali tersenyum
(July 26, 2014)
~~ Previous scene ~~
Lain dengan Tae Hyung yang heran, Yoon Gi justru menunjukkan raut wajah yang terbilang tak cukup bersahabat ketika kedua matanya dengan jelas menangkap bagaimana reaksi Seok Jin ketika hampir bertabrakan dengan Ji Hyeon itu.
“Ah, bagaimana jika kita pergi ke kantin?” ajak Tae Hyung yang mencoba mencairkan suasana agar Yoon Gi menunjukkan sikapnya seperti biasa.
“Ah, kaja[1]…” jawab Seok Jin.
“Kalian pergi saja, aku harus ke ruang guru,” ucap Yoon Gi seraya berlalu meninggalkan Seok Jin dan Tae Hyung yang menatapnya dengan heran. (http://jh-nimm.blogspot.com)
Bukan menuju ruang guru, langkahnya justru menuntun ke sebuah taman yang berada di belakang sekolah. Yoon Gi pun terduduk di atas rerumputan yang tepat berada di bawah sebuah pohon itu. Pikirannya kacau. Semenjak awal, ia mencoba untuk menjadi teman baik dengan Seok Jin selayaknya hubungannya dengan Tae Hyung. Namun setelah menemukan kenyataan bahwa beberapa kali matanya menangkap tatapan yang tak biasa dari Seok Jin untuk Ji Hyeon, tak dapat dipungkiri bahwa hatinya sesak. Ia takut bahwa Seok Jin akan ‘merebut’ Ji Hyeon darinya.
== CHAPTER 3 ==
Tak jauh berbeda dengan Yoon Gi, di sudut taman lainnya tampak Hye Bin yang tengah melemparkan bebatuan kecil dengan kasar. Ia begitu kesal dengan apa yang baru saja di lihatnya. Ia juga melihat hal yang sama dengan yang Yoon Gi lihat ketika secara tak sengaja ia lewat di depan kelas 3-1. Memang kekesalan yang sudah sejak lama ia pendam, yaitu ketika ia melihat Seok Jin menggendong Ji Hyeon yang pingsan ke ruang kesehatan. Sejak melihat kejadian itu, kebenciannya pada Ji Hyeon semakin memuncak dan membuatnya ingin menghancurkan Ji Hyeon bagaimanapun caranya demi mendapatkan Seok Jin.
“SHIRHEO[2]!!!” teriak Hye Bin.
Sedangkan di perpustakaan, tampak Jeon Guk dan Nam Joon tengah duduk di bangku perpustakaan yang terletak di paling sudut ruangan yang penuh buku itu. Sejak masuk ke ruangan tersebut bahkan hingga mereka memilih buku yang akan mereka pelajari itupun tampak Jeon Guk yang tak berkonsentrasi dengan baik seperti biasanya.
“Wae[3]?” tanya Nam Joon.
“Ani[4], gwaenchanha[5]…” jawab Jeon Guk.
Nam Joon pun menatap sahabatnya itu. Meskipun Jeon Guk tidak menceritakan yang sebenarnya tengah ia pikirkan, namun Nam Joon mencoba untuk mengerti apa yang sejatinya membuat Jeon Guk hingga tak dapat berkonsentrasi seperti itu.
“Apa ini karena Ji Hyeon?” tanya Nam Joon.
“Ani,” jawab Jeon Guk seraya membuka bukunya untuk mengalihkan pandangannya dari pandangan Nam Joon yang tampak sedang menyelidikinya itu.
“Geurigo[6], wae?” tanya Nam Joon lagi.
“Gwaenchanha…” jawab Jeon Guk. “Sudahlah, sekarang sebaiknya kita belajar. Aku perlu untuk memecahkan rumus matematika ini,”
Jeon Guk kembali mencoba untuk mengalihkan pembicaraan bahkan mengalihkan persoalan agar Nam Joon tak lagi banyak mengajukan pertanyaan yang malas untuk ia jawab itu.
Meskipun kau mencoba menutupinya, aku mengerti akan hal itu. Kita berteman bukan baru kemarin, Jeon Guk-a. Sudah kukatakan padamu untuk jangan menyukai Ji Hyeon, tetapi kenapa kau masih memikirkannya?, batin Nam Joon.
****
Malam kembali datang. Seperti biasa, Ji Hyeon telah menyelesaikan pekerjaan di klub malam tersebut. Dengan kata lain, ia masih tak menuruti apa yang Seok Jin sarankan. Meskipun memang ia sudah tidak mabuk-mabukan lagi.
“Kenapa buru-buru pulang?” tanya Hyo Seok yang melihat Ji Hyeon meraih tasnya.
“Ah, sebentar lagi aku ujian. Jadi aku harus segera pulang,” jawab Ji Hyeon.
“Untuk belajar? Bukankah tanpa perlu belajarpun kau pasti berada di urutan nomor satu lagi?” goda Hyo Seok.
“Kau pikir selama ini aku mengerjakan semua soal ujian itu dengan bantuan jin?” tanya Ji Hyeon.
Hyo Seok tertawa mendengar jawaban Ji Hyeon yang di rasanya untuk pertama kalinya Ji Hyeon memberikan sebuah jawaban seperti itu.
“Kau yakin pulang sedini ini?” tanya Hyo Seok.
“Pekerjaanku sudah selesai,” jawab Ji Hyeon. (http://jh-nimm.blogspot.com)
“Tidak mau menemaniku minum wine?” tanya Hyo Seok lagi.
“Kau mau melihatku mati muda?” tanya Ji Hyeon balik.
“Ah, aku lupa. Jangankan meminum wine, dengan 4 gelas kecil soju pun kau sudah mabuk berat,” jawab Hyo Seok.
“YA[7]! Jangan membahas hal itu lagi,” ucap Ji Hyeon.
“Baiklah, aku mengerti. Bagaimanapun kau ini masih seorang tuan puteri yang tidak tahan dengan alkohol,” goda Hyo Seok lagi.
“Geumanhae[8]…” ucap Ji Hyeon seraya tersenyum.
Hyo Seok justru menatap Ji Hyeon dengan heran ketika untuk pertama kalinya ia melihat Ji Hyeon tersenyum dengan cerah seperti itu. Karena selama mereka bersahabat, Hyo Seok justru lebih sering menemukan Ji Hyeon tersenyum dengan dingin padanya, ataupun senyuman yang seolah tampak ‘tak bernyawa’. Bahkan di hadapan para pengunjung klub malam tempat mereka bekerja pun, Ji Hyeon hanya memberikan senyuman yang tampak sangat jelas bahwa itu adalah senyuman yang dipaksakan. Tapi karena senyuman itu juga Ji Hyeon bertahan sebagai DJ di klub malam itu.
“Aku pulang sekarang,” ucap Ji Hyeon.
“Eoh, joshimhae[9]…” jawab Hyo Seok.
“Kau juga jangan pulang terlalu malam,” teriak Ji Hyeon seraya keluar dari pintu belakang.
Ji Hyeon pun keluar dari klub malam tersebut. Namun baru saja ia melangkahkan kakinya tak seberapa jauh dari sana, langkahnya justru terhenti ketika melihat dua orang pria paruh baya yang tampak setengah mabuk dan menghadang jalannya itu.
“Oh, inikah DJ yang cantik itu?” tanya salah seorang pria dengan kemeja cokelat tua.
“Oh, geurae[10],” jawab pria bertubuh pendek dan berbadan gemuk.
“Agasshi[11], apa kau yakin hanya dengan menjadi DJ cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupmu?” tanya pria dengan kemeja cokelat tua itu.
“Jika tak mencukupi, bagaimana jika kau ikut dengan kami?” ajak si pria gendut.
“Apa maksud kalian?” tanya Ji Hyeon.
“Kau berwajah cantik dan tubuhmu indah, kau pasti akan sangat laku untuk di jual,” jawab si pria gendut.
“Apalagi dengan pengalamanmu tentang dunia malam seperti ini, pelanggan kami pasti banyak yang tertarik padamu,” timpal si pria dengan kemeja cokelat tua.
“SHIRHEO!” bentak Ji Hyeon.
“Sudahlah tidak usah munafik seperti itu,” ucap si pria gendut.
“Jika kau ikut kami sekarang, kami akan menjadi pelanggan pertamamu dan memberikanmu banyak uang,” timpal si pria kemeja cokelat.
“SHIRHEO! Aku bukan manusia rendahan seperti kalian,” bentak Ji Hyeon lagi.
Ji Hyeon pun hendak melarikan diri, namun sayangnya pria gendut itu berhasil meraih tangan Ji Hyeon.
“Lepaskan!” ucap Ji Hyeon seraya berontak.
“Diam!” bentak si pria dengan kemeja cokelat itu.
Ji Hyeon masih berusaha berontak ketika kedua pria itu menariknya dan mencoba menyentuh beberapa bagian tubuhnya. (http://jh-nimm.blogspot.com)
“DOWAJUSEYO[12]!!!” teriak Ji Hyeon.
Beruntung saat itu Seok Jin yang memang sedang berjalan menuju tempat Ji Hyeon bekerja itu mendengar teriakan Ji Hyeon. Ia pun segera berlari kearah dimana suara teriakan Ji Hyeon jelas terdengar itu. Sedangkan di dalam klub, Hyo Seok yang memang masih berada di tempatnya juga itu mendengar teriakan Ji Hyeon.
“Ji Hyeon-a…” ucap Hyo Seok seraya keluar melalui pintu belakang.
Seok Jin menemukan Ji Hyeon tengah di ganggu oleh dua pria paruh baya yang kurang ajar itu. Seok Jin pun segera menarik si pria gendut yang terus mencoba untuk menyentuh Ji Hyeon itu pun.
“I jashik[13]!” bentak pria dengan kemeja cokelat itu seraya melayangkan pukulannya pada wajah Seok Jin.
Sebelum Seok Jin di keroyok, Hyo Seok datang dan membantunya. Pertarungan pun terjadi. Beruntung Seok Jin dan Hyo Seok dapat mengatasi kedua pria kurang ajar itu. Meskipun memang sebagai resikonya, wajah mereka memar dan terluka.
“Gwaenchanhayo[14]?” tanya Seok Jin seraya menghampiri Ji Hyeon yang masih tampak ketakutan itu.
“Ji Hyeon-a, gwaenchanha?” tanya Hyo Seok.
Ji Hyeon hanya menjawab pertanyaan Seok Jin dan Hyo Seok itu dengan menganggukkan kepalanya.
“Kalian tidak apa-apa?” tanya Ji Hyeon.
“Gwaenchanha,” jawab Seok Jin.
“Sekarang sebaiknya kau pulang,” ucap Hyo Seok.
“Tapi lukamu?” tanya Ji Hyeon yang mengkhawatirkan Hyo Seok yang memang terluka itu.
“Gwaenchanha, aku bisa mengobatinya sendiri,” jawab Hyo Seok.
“Hyo Seok-a…”
“Kau temannya Ji Hyeon?” tanya Hyo Seok seraya menatap Seok Jin.
“Ne[15]…” jawab Seok Jin.
“Bisa kupercayakan Ji Hyeon padamu?” tanya Hyo Seok.
“Tentu, aku akan mengantarkannya pulang,” jawab Seok Jin.
“Baiklah. Kalau begitu sebaiknya kalian segera pulang,” ucap Hyo Seok.
Ji Hyeon masih menatap Hyo Seok dengan tatapan khawatir. Bagaimana tidak, bagi Ji Hyeon, Hyo Seok adalah sahabat terbaiknya dan kini Hyo Seok terluka karena menolongnya.
“Gwaenchanha…” ucap Hyo Seok.
“Kaja…” ajak Seok Jin seraya menarik tangan Ji Hyeon.
Seok Jin pun membawa Ji Hyeon pulang. Selama di perjalanan hampir tak ada yang mereka bicarakan.
“Dimana rumahmu?” tanya Seok Jin.
“Aku tidak mau pulang,” jawab Ji Hyeon.
“Wae?” tanya Seok Jin yang mulai khawatir itu.
“Aku benci berada di rumah,” jawab Ji Hyeon.
Seok Jin hanya menatap Ji Hyeon. Meskipun ia sudah mengetahui semuanya, tetapi setidaknya ia tetap harus membujuk Ji Hyeon untuk pulang. Karena berada di luar rumah seperti ini terlalu berbahaya bagi Ji Hyeon. Terlebih lagi dengan kejadian yang baru saja Ji Hyeon alami.
“Sebaiknya kita obati lukamu,” ucap Ji Hyeon. (http://jh-nimm.blogspot.com)
“Ne?!” Seok Jin jelas terkejut dengan ucapan Ji Hyeon.
“Kaja…” ajak Ji Hyeon.
“Kemana?” tanya Seok Jin.
“Ke rumahmu,” jawab Ji Hyeon.
Seok Jin semakin terkejut dengan Ji Hyeon yang justru mengajaknya untuk ke rumahnya. Namun Seok Jin tak berniat untuk menolak, toh ia tahu tentang keadaan Ji Hyeon yang sebenarnya. Jika saja ia menolak, ia tak akan tahu kemana Ji Hyeon akan pulang sedangkan terlalu berbahaya untuk Ji Hyeon berkeliaran di malam hari seperti ini.
“Kaja…” ucap Seok Jin.
Seok Jin pun membawa Ji Hyeon ke rumahnya. Sesampainya di sana, Ji Hyeon pun mencari kotak obat yang akan ia gunakan untuk mengobati Seok Jin.
“Dimana kau menyimpan kotak obatnya?” tanya Ji Hyeon.
“Gwaenchanha, aku akan mengambilkannya,” jawab Seok Jin seraya masuk ke kamarnya.
Seraya menunggu Seok Jin, Ji Hyeon pun menyiapkan air hangat dan sapu tangan berwarna lavender yang ia keluarkan dari tasnya.
“Duduklah, aku akan mengobatimu,” ucap Ji Hyeon.
“Gwaenchanha, aku bisa mengobatinya sendiri,” jawab Seok Jin.
Ji Hyeon pun menarik tangan Seok Jin hingga Seok Jin terduduk di sebelahnya. Ji Hyeon pun membuka kotak obat, lalu menenteskan antiseptik yang akan ia gunakan untuk membersihkan luka di wajah Seok Jin itu pada air hangat yang sudah ia persiapkan.
“Aaarrgghh!!” erang Seok Jin ketika Ji Hyeon membersihkan luka yang tepat berada di pipinya itu.
Setelah membersihkan luka Seok Jin, Ji Hyeon pun mengambil selembar plester dan kemudian memakaikannya untuk menutupi luka Seok Jin.
“Gomawo[16]…” ucap Seok Jin seraya menatap Ji Hyeon.
Ji Hyeon justru menundukkan kepalanya ketika Seok Jin menatapnya.
“Mianhae[17]…” ucap Ji Hyeon.
“Untuk apa?” tanya Seok Jin.
“Karena aku, kau terluka seperti ini,” jawab Ji Hyeon.
“Gwaenchanha. Luka ini akan segera sembuh, karena kau yang mengobatinya,” ucap Seok Jin.
Ji Hyeon menatap Seok Jin yang masih betah menatapnya itu.
“Seharusnya aku menuruti kata-katamu untuk berhenti bekerja dari sana,” ucap Ji Hyeon.
“Gwaenchanha, selama kau masih belum berhenti bekerja dari sana, selama itu juga aku akan menjemputmu setiap malam,” jawab Seok Jin.
Ji Hyeon jelas terkejut dengan apa yang baru saja Seok Jin katakan.
“Sebenarnya memang setiap malam aku datang ke sana hanya untuk menjemputmu dan memperhatikanmu dari kejauhan. Tak lain hanyalah agar aku bisa memastikan bahwa kau aman dan tak ada pria tua yang berani mengganggumu seperti tadi,” terang Seok Jin.
“Seok Jin-a…”
“Sebenarnya aku juga sudah tahu semuanya,” ucap Seok Jin.
“Semuanya?” tanya Ji Hyeon.
“Saat kau mabuk, kau menceritakan semuanya padaku. Tentang keluargamu,” jawab Seok Jin.
Ji Hyeon kembali menundukkan kepalanya. (http://jh-nimm.blogspot.com)
“Sejak saat itu pula, aku semakin ingin menjagamu dan bahkan aku ingin membuatmu kembali tersenyum,” ucap Seok Jin.
“Wae? Kenapa kau ingin melihatku kembali tersenyum?” tanya Ji Hyeon.
Seok Jin hanya tersenyum. Sejatinya ia pun tak mengerti mengapa ia begitu ingin membuat Ji Hyeon tersenyum dan melupakan semua kesedihannya.
“Ingat ketika kita pertama kali bertemu?” tanya Seok Jin.
Ji Hyeon pun mencoba kembali mengingat saat pertama kali ia bertemu dengan Seok Jin. Namun sayangnya yang ia ingat adalah hanya saat Seok Jin menemukannya di atap sekolah.
“Di atap sekolah?” tanya Ji Hyeon.
“Ani, sebelum itu,” jawab Seok Jin.
Ji Hyeon pun menatap Seok Jin. Ia mencoba kembali mengingat dimana untuk pertama kalinya ia melihat wajah Seok Jin yang memang ia rasa begitu familiar dengannya saat Seok Jin menemuinya di atap sekolah itu.
“Apa kau yang di bis saat itu?” tanya Ji Hyeon lagi.
“Geurae,” jawab Seok Jin.
“Rupanya kau yang saat itu memelukku,” ucap Ji Hyeon.
“Aku tidak sengaja,” ucap Seok Jin. “Tapi mulai saat itu, saat pertemuan pertama kita, saat itulah aku mulai ingin melindungimu,”
DEG!
Jantung Ji Hyeon seolah berhenti berdetak untuk sejenak ketika ia mendengarkan pengakuan Seok Jin.
“Kita bahkan tak saling mengenal saat itu,” ucap Ji Hyeon.
“Aku juga tidak tahu mengapa aku begitu ingin melindungimu seperti ini,” jawab Seok Jin.
Ji Hyeon kembali menundukkan kepalanya. Sejenak sebuah perasaan bersalah menyapa batinnya atas apa yang dia lakukan terhadap Seok Jin.
“Dan perasaan semakin ingin melindungimu itu semakin tumbuh setelah aku mendengarkan hal yang membuatmu begitu sedih dan kesepian. Setelah aku mendengar alasan mengapa kau menjadi DJ dan mengorbankan dirimu seperti ini di tempat berbahaya seperti itu. Hal itu sungguh membuatku ingin selalu berada didekatmu dan memastikan bahwa kau baik-baik saja,” jelas Seok Jin.
“Kau mempedulikanku?” tanya Ji Hyeon.
Seok Jin tersenyum ketika ia mendengar pertanyaan Ji Hyeon.
“Sebuah pertanyaan yang sama persis dengan yang kau ajukan ketika kau mabuk,” jawab Seok Jin. “Benar, aku memang mempedulikanmu. Sangat mempedulikanmu. Bahkan bukan hanya mempedulikanmu, tetapi aku juga memperhatikanmu,”
“Jika saat itu aku menceritakan semuanya padamu, itu artinya kau juga tahu tentang orang tuaku?” tanya Ji Hyeon.
Seok Jin menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Ji Hyeon.
“Ah, hidupku sangat menyedihkan, bukan?” tanya Ji Hyeon.
“Ani…” jawab Seok Jin.
Ji Hyeon kembali menatap Seok Jin yang saat itu juga tengah menatapnya.
“Justru aku iri denganmu,” ucap Seok Jin. (http://jh-nimm.blogspot.com)
“Wae? Hidupku seperti ini, apa yang bisa membuatmu iri?” tanya Ji Hyeon.
“Dengarkan aku,” jawab Seok Jin seraya menyentuh bahu Ji Hyeon. “Kau bisa bersekolah di Seoul International High School, untuk masuk ke sekolah itu, aku bahkan hanya mendapatkan kesempatan yang diberikan oleh pemilik perusahaan tempat pamanku bekerja di Busan. Karena beliau tidak memiliki putera atau puteri, dan beliau sudah menganggapku seperti puteranya sendiri, maka beliau memberikan kesempatan langka ini padaku. Tidak sepertimu, yang bahkan tanpa menunggu kesempatan emaspun, keluargamu pasti akan sanggup untuk menyekolahkanmu di sana. Terlebih dengan kemampuanmu, semakin mempermudah kau untuk masuk ke sana. Lain dengan aku yang hanya menempati urutan pertengahan dari seluruh siswa,”
“Lalu dimana orang tuamu? Kenapa kau tinggal sendirian di sini?” tanya Ji Hyeon.
“Orang tuaku ada di Busan. Mereka hanyalah nelayan kecil. Dengan penghasilan yang sangat kecil, mereka selalu mengirimkannya padaku agar aku bisa bertahan hidup di kota Seoul seperti ini. Sehingga kau lihat rumah yang aku tempati ini, sangat kecil dan bahkan mungkin selain aku, tidak akan siswa dari Seoul International High School yang sanggup tinggal di rumah seperti ini. Begitu juga dengan kau, yang pasti hidup dengan kemewahan dan kedua orang tua yang sama-sama membangun sebuah bisnis yang besar,” jelas Seok Jin.
“Tapi mereka tak pernah memperhatikanku seperti orang tuamu yang begitu memperhatikanmu,” ucap Ji Hyeon.
“Tahukah kau sebuah hal yang membuatku bertahan dan bahkan ingin membuat kehidupanku juga keluargaku lebih baik?” tanya Seok Jin.
Ji Hyeon hanya menjawab pertanyaan Seok Jin dengan mengangkat kedua bahunya.
“Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa setidaknya aku masih memiliki kedua orang tuaku,” jawab Seok Jin.
“Geurigo?” tanya Ji Hyeon.
“Dari pemikiran itulah, aku menekankan pada diriku sendiri untuk tidak memberontak dan menerima kenyataan. Karena jika kubandingkan diriku dengan teman-temanku seperti Tae Hyung ataupun Yoon Gi, mungkin aku sudah memberontak dan melawan orang tuaku. Bahkan mungkin aku akan sangat membenci mereka karena tak mampu memberikanku kehidupan yang mewah. Tetapi dari sana, aku menatap kedua orang tuaku, mengingat segala jasa dan usaha yang telah mereka berikan dan lakukan untukku. Hal itu membuatku bersnyukur bahwa aku masih memiliki mereka. Tak akan dapat kubayangkan, jika saja tanpa mereka, mungkin aku sudah menjadi seseorang yang sangat buruk atau bahkan mungkin aku sudah mati,” jelas Seok Jin.
“Sekarang kau. Setelah ku dengar semuanya, tentang Ayahmu yang berada di Inggris ataupun Ibumu yang berada di Jepang, setidaknya kau masih memiliki mereka. Meskipun memang mereka seolah tak pernah memperhatikanmu bahkan tak pernah ingat bahkan tak pernah datang di hari ulang tahunmu, tapi lihatlah dengan semua yang kau miliki saat ini. Jika tanpa mereka, kau tidak akan bisa hidup dengan segala fasilitas dan kenyamanan yang kau miliki saat ini. Jika mereka tak ada, kau juga tak akan sanggup untuk bertahan hidup,” lanjutnya.
Ji Hyeon terdiam. Ia mencoba mencerna setiap kata-kata yang Seok Jin ucapkan.
“Mereka memang jarang atau bahkan tak pernah melewatkan hari-hari penting bersamamu, tetapi yakinlah, itu bukan berarti bahwa mereka tak pernah memperhatikanmu. Jika mereka benar-benar mengabaikanmu dan tak memperhatikanmu, mungkin mereka tak akan pernah mempercayakanmu pada orang-orang yang dipekerjakan di rumahmu. Mungkin kedua orang tuamu juga tak akan membayar mereka hanya untuk mengurusimu. Bahkan mereka juga tak akan mungkin tidak menitipkan pesan pada orang tua Ji Min dan Min Hye untuk mewakili mereka menjagamu di sini,” lanjut Seok Jin.
Setiap kata yang Ji Hyeon dengar dari Seok Jin rupanya sanggup membuat hati Ji Hyeon yang sempat mendingin dan keras itu seketika meluluh. Bahkan tanpa Ji Hyeon sadari, ia mulai menyandarkan kepalanya pada bahu Seok Jin. Seiring dengan denting jam yang terdengar, saat itu juga air mata Ji Hyeon jatuh.
“Mulai saat ini, mulailah berpikiran lebih terbuka dan luluhkan segala hal yang membuat hatimu menjadi keras. Ingat, di saat kau merasa bahwa tidak akan ada yang mau memperhatikanmu, aku akan selalu ada di sampingmu. Karena aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan selalu melindungimu,” ucap Seok Jin.
Hanya isak tangis yang terdengar. Sebuah jawaban yang cukup jelas bahwa apa yang baru saja Seok Jin katakan itu tepat mengenai hati Ji Hyeon.
“Dan mulai saat ini, aku akan selalu siap untuk menjadi sandaranmu ketika kau bersedih, kesepian dan terluka,” ucap Seok Jin seraya merangkul Ji Hyeon. (http://jh-nimm.blogspot.com)
Ji Hyeon pun menangis sejadinya dalam pelukan Seok Jin. Sedangkan Seok Jin mencoba memeluk Ji Hyeon dengan erat dan hangat untuk memberikan sedikit kekuatan pada Ji Hyeon.
****
Semakin hari, Ji Hyeon dan Seok Jin semakin dekat. Bahkan tak jarang ketika jam istirahat makan siang, Ji Hyeon dan Seok Jin pergi ke atap sekolah bersama hanya untuk menghabiskan waktu di sela-sela jam sekolahnya itu di sana. Namun sayangnya, di balik kedekatan Ji Hyeon dan Seok Jin itu, justru ada Yoon Gi yang cemburu dengan kedekatan mereka.
“Pengkhianat,” ucap Yoon Gi.
Tae Hyung pun menarik tangan Yoon Gi dan membawanya ke sebuah tempat dimana tak akan ada yang bisa melihat Yoon Gi melepaskan amarahnya, yaitu di taman belakang sekolah.
“Kenapa kau membawaku kemari?” tanya Yoon Gi.
“Agar kau tak meluapkan amarahmu ini dihadapan yang lainnya,” jawab Tae Hyung.
“Wae? Apa kau lebih membela si pengkhianat itu dibandingkan dengan aku?” tanya Yoon Gi.
“Aku bukan membelanya, tetapi Seok Jin melakukan itu semua adalah hanya agar bisa menjadi teman dengan Ji Hyeon. Ia dekat dengan Ji Hyeon karena ia ingin membantu Ji Hyeon,” jawab Tae Hyung.
“Membantu apa? Kau pikir aku ini bodoh?” tanya Yoon Gi. “Sangat jelas bahwa Kim Seok Jin mendekati Ji Hyeon karena Seok Jin menyukai Ji Hyeon,”
“Yoon Gi-ya…”
“Kau mungkin tidak tahu, setiap malam aku melihat Seok Jin datang menjemput Ji Hyeon dari klub malam,” ucap Yoon Gi. “Kau pikir itu apa jika bukan karena Seok Jin menyukai Ji Hyeon?”
“Sudah kukatakan bahwa Seok Jin hanya ingin membantu Ji Hyeon,” jawab Tae Hyung dengan nada sedikit meninggi karena kesal dengan Yoon Gi yang tampak seolah tak ingin mengerti keadaan yang sebenarnya itu.
“Jika benar Seok Jin ingin membantu Ji Hyeon, tidak bisakah dengan cara lain?” tanya Yoon Gi.
“Apa maksudmu?” tanya Tae Hyung balik.
“Tidak dengan cara yang justru membuat mereka lebih terlihat sedang berkencan!” jawab Yoon Gi dengan nada yang juga meninggi karena kesal dengan Tae Hyung yang seolah berpihak pada Seok Jin itu.
“Berkencan katamu?” tanya Tae Hyung.
“Apa Seok Jin sadar dengan apa yang dia lakukan? Bukankah dia juga tahu bahwa aku sudah lama menyukai ji Hyeon bahkan sebelum kedatangannya?” tanya Yoon Gi balik.
Tae Hyung terdiam. Ia sungguh lelah berdebat dengan Yoon Gi seperti ini. Karena jikapun ia memberikan jawaban, sudah pasti Yoon Gi akan menyangkanya bahwa ia berpihak pada Seok Jin. Sedangkan pada kenyataannya, ia tak berpihak pada siapapun. Karena baginya, baik Yoon Gi ataupun Seok Jin, sama-sama sahabat terbaiknya. Selain itu, jikapun ia memberikan jawaban, maka perdebatannya dengan Yoon Gi tak akan pernah berujung dan bahkan hanya akan merusak persahabatannya dengan Yoon Gi dan Seok Jin.
“Kenapa kau hanya diam?” tanya Yoon Gi.
“Aku hanya tidak ingin berdebat denganmu,” jawab Tae Hyung. “Tapi perlu kau ketahui, aku tidak pernah berpihak pada siapapun. Bagiku, baik dirimu ataupun Seok Jin, kalian berdua adalah sahabatku,”
Tae Hyung pun meninggalkan Yoon Gi yang saat itu hanya menatapnya. Dalam benaknya, ia pun tidak ingin berdebat apalagi bertengkar dengan Tae Hyung. Mengingat bahwa ia dan Tae Hyung bukan hanya baru kemarin saling berkenalan lalu berteman, tetapi sudah sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Namun memang juga tak dapat di pungkiri bahwa ‘pengkhianatan’ yang dilakuka Seok Jin teramat menyakitkan baginya.
“Tae Hyung Seonbaenim[18]…” sapa Min Hye dan Ji Min yang saat itu berpapasan dengan Tae Hyung yang saat itu sedang berjalan menuju ke kelas. (http://jh-nimm.blogspot.com)
Seketika, kekesalan yang awalnya membuncah dalam benak Tae Hyung mereda saat melihat Min Hye.
“Oh, Min Hye-ya, Ji Min-a, wae?” tanya Tae Hyung.
“Kami sedang mencari Ji Hyeon Nuna[19],” jawab Ji Min.
“Apa kau melihatnya?” tanya Min Hye.
“Ji Hyeon sedang bersama Seok Jin,” jawab Tae Hyung.
“Seok Jin Seonbaenim? Wae? Kenapa Ji Hyeon Eonni[20] bersamanya?” tanya Min Hye.
“Kau tertinggal berita, Min Hye-ya,” jawab Ji Min.
“Ne? Berita apa?” tanya Min Hye.
“Tentang Ji Hyeon Nuna dan Seok Jin Hyung[21],” jawab Ji Min.
“Aish, kau pasti mengarang bebas lagi,” ucap Min Hye yang tidak percaya dengan apa yang baru saja Ji Min katakan itu, padahal belum lagi Ji Min menjelaskannya.
“Yang dikatakan Ji Min itu benar,” ucap Tae Hyung.
“NE? Maksudmu Ji Hyeon Eonni dan Seok Jin Seonbaenim berkencan?” tanya Min Hye.
“Geureon geon aniya[22]…” jawab Tae Hyung dan Ji Min serempak.
“Geurigo, wae?” tanya Min Hye.
“Nanti juga kau akan mengetahuinya sendiri,” jawab Ji Min.
“Seonbae…” Min Hye merajuk pada Tae Hyung agar mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Setelah semuanya jelas, aku akan menceritakan semuanya padamu,” jawab Tae Hyung.
“Kalian…” dengus Min Hye kesal seraya mengerucutkan bibirnya.
To be continued…
Facebook link:
Chapter 1: https://www.facebook.com/notes/milky-daidouji/chaptered-bangtan-boysbts-lean-on-my-shoulders-14/10204253128518783
Chapter 2: https://www.facebook.com/notes/milky-daidouji/chaptered-bangtan-boysbts-lean-on-my-shoulders-24/10204259819606056
Chapter 3: https://www.facebook.com/notes/milky-daidouji/chaptered-bangtan-boysbts-lean-on-my-shoulders-34/10204273374024908