Hani membuka matanya saat mendengar suara berisik dari bawah. Suara tertawa babah yang menggema seluruh sudut rumah membuat Hani terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih sedikit pusing karena efek jetlag. Hani melihat kearah jam di dinding kamarnya. Jam tujuh pagi. Hani baru tertidur kurang dari satu jam.
Pada akhirnya Hani memutuskan untuk tidak kembali tidur, instead she went out from her bedroom and going down to the first floor. Hani menemukan babahnya sedang asyik berbincang-bincang dengan dua orang tamu.
“Oh, Hani! Udah bangun?” Babah Hani tersenyum lebar ketika melihat anaknya turun dari tangga, Hani hanya mengangguk dan membungkukkan badannya ketika matanya bertemu mata dari kedua tamu babahnya. Seorang pria yang sudah separuh baya-- mungkin seumuran dengan babahnya, dan satu orang laki-laki yang jauh lebih muda-- mungkin anak dari bapak tersebut. Mereka berdua tersenyum ketika melihat Hani.
“Sini dulu teh,” Babah Hani menyuruh anaknya menghampiri mereka, “Masih inget gak sama om Aldo sama Dyo?”
Hani menoleh kearah yang disebutkan, samar-samar ingatannya kembali kebeberapa tahun yang lalu, saat keluarganya dan keluarga om Aldo liburan bersama ke Bali. Dyo, anak satu-satunya om Aldo yang seumuran dengannya tersenyum saat melihat teman masa kecilnya tersebut setelah sekian lama mereka bertemu. Hani teringat, beberapa bulan setelah keluarga mereka berlibur bersama, om Aldo dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Australia karena tuntutan pekerjaan. That was five years ago.
“om Aldo lagi liburan ke Indonesia soalnya Dyo kuliah disini.” Babahnya menjelaskan.
Bibir Hani membentuk huruf ‘o’, matanya mencuri pandang ke arah Dyo. Dyo yang tidak jauh berbeda dengan Dyo yang ia kenal lima tahun yang lalu; He still looks cute, though now Hani can see a little fierce side of him from his round eyes. The 19 years old Dyo now has more charms than before which somehow intimidate Hani.
Dyo mungkin merasa Hani sedang memperhatikannya, ia lalu membalas pandangan Hani dan tersenyum kecil. His lips still got the heart shaped, Hani always think they look cute. Anehnya, ketika Dyo tersenyum, that intimidating feeling is gone and replaced by a warm feeling instead. The feeling that used to make Hani fall for him back in the days.
“Om denger Hani dapet beasiswa ya di London? Kuliah dimana?” om Aldo mengalihkan pandangan Hani dari Dyo.
Hani tersenyum, “Iya om, di University of Notthingham...” balasnya.
“Wah hebat dong! Ini Dyo juga sebenernya keterima di Queensland University, cuma malah ditolak sama dia.”
Dyo glared at his dad, “Pa apaan sih…” his face slightly turned face. His dad replied him by a grin on his face.
“Emang sekarang Dyo ambil dimana?” Tanya Hani penasaran, “Sayang banget di Queensland gak diambil.”
“Uhm, ITB, Han.”
“Oh, temen.. uh.. temen gue banyak juga yang di ITB.” ujar Hani, she was a little bit confused with what should she call herself because well, she used to call each other with their names. But Hani thinks it will be awkward to use that kind of nicknames now, “Ambil fakultas apa, Yo?”
“FTSL…” Jawab Dyo, “Temen lo fakultas apa?”
“Macem-macem, ada yang FSRD, ada yang SITH, ada yang FTMD…” Hani kemudian teringat Chanyeol, “...yang FTSL juga ada.” ujar Hani pelan.
“Eh, wah udah jam segini…” om Aldo tiba-tiba memotong pembicaraan mereka, “Dyo, kamu jadi mau ketemuan sama temen kamu?”
“Eh… iya, pa.”
“Yaudah, papa tinggal nanti kamu kasih tau ya dimana.”
Dyo mengangguk.
Babah Hani dan om Aldo berdiri dari tempat duduknya, “Hani, babah pergi dulu ya sama om Aldo. Kamu hari ini gak kemana-mana, kan?”
“Iya kayaknya, bah.”
“Kalau kamu mau pergi, jangan lupa semuanya di kunci-kunciin. Mamah pergi, baru pulang nanti sore. Nada sekolah tapi dia bawa kunci cadangan.”
“Oke…”
“Yaudah pergi ya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” Jawab Hani sambil menyalami tangan babah dan om Aldo.
Sesaat setelah mobil babahnya pergi, Hani sadar bahwa kini di rumah hanya tinggal mereka berdua.
Hani dan Dyo.
Mereka berdua msih berdiri didepan pintu rumah setelah mengantar kedua papa mereka pergi. Awkward. Hani berusaha mencari topik. Walaupun banyak hal yang bisa mereka bahas, namun Hani bingung harus memulai darimana. And the same goes to Dyo.
“Hani, uhm… lo belom sarapan, kan?” Dyo memecah keheningan.
Hani menangguk, an Indomie will do, pikirnya dalam hati.
But suddenly Dyo changing her mind, “Mau… keluar gak? Cari sarapan?”
Hani’s eyes got wider, her heart skips a beat, “Eh?” Hani is confused, no, not because Dyo suddenly asking her to have a breakfast with him, but she is confused because even though she used to have a feeling for him five years ago, she can still feel the butterflies messing up in her stomach.
“My treat,” Dyo memasang senyumannya, “Anggep aja traktiran lo balik ke Indo.”
Hani mengangguk pelan, “Boleh deh…”
Dyo lets out a relief breath, “Ya udah, Han-- uhm, lo mau mandi dulu apa gimana?”
“Iya, gue mandi dulu boleh?”
“Boleh kok, kalo gitu gue tunggu di ruang tamu aja ya.”
Hani menangguk, “Bentar ya, Yo. Make yourself home.” She said as she’s walking to her room.
***
“Lama ya?” Hani turun dari tangga rumahnya, she wears a slightly oversized sweater with bunny pattern on it, blue skinny pants and oxford shoes. Hani membenarkan letak strap tas kulitnya di bahu.
“Nggak kok,” Dyo bangun dari sofa, “Euh, udah dikunciin semua, Han?”
Hani menangguk, “Udah, yuk.”
Mereka berdua keluar dari rumah Hani, menuju Honda Civic berwarna hitam yang diparkir didepan gerbang rumah Hani. Saat Hani mengunci pintu gerbangnya, Dyo sudah bersiap-siap untuk membukakan pintu sebelah kiri untuk Hani.
“Thank you, Yo.” yang kemudian dibalas oleh anggukan Dyo.
Bandung pukul sembilan pagi di hari Sabtu. It’s not as crowded as Jakarta, but still the amount of the transportations is deteriorating compares to three years ago. But Bandung have always been the city Hani loves the most-- even she prefers Bandung than London or Notthingham. In Bandung, she found her love.
But also in Bandung, she lost her love.
“Mau makan dimana, Han?”
Pikiran Hani buyar, Hani kembali fokus ke jalanan yang padat merayap.
“Terserah lo, Yo.”
“Uhm…” Dyo berpikir keras, pandangannya masih ke arah jalan di depannya, “Hummingbird mau?”
“Oh… iya, boleh.”
Hani sebenarnya ingin mencoba makanan yang lebih ‘Indonesia’, since she has missed them so much. Hani ingin makan lontong sayur, bubur ayam, atau semacamnya. She’s a little bit disappointed but she doesn’t want to say it to Dyo. Afterall it’s going to be his treat, so Hani decided to follow what Dyo wants.
It’s going to be different if it was Chanyeol, pikir Hani. Chanyeol would definitely bring her to Simpang Dago to eat his favorite bubur ayam. Or he would probably bring her to Pasar Gempol and eat Kupat Tahu, since it was their Saturday Morning ritual.
What was I thinking, Hani menggelengkan kepalanya, he is an old story and everything about him is also an old story. Forget him.
“Kenapa, Han?” Dyo melihat ke arah Hani yang sibuk memandang ke luar jendela, “Gak mau di Hummingbird?”
“Eh, nggak Yo, lagi heran aja Bandung makin lama makin rame, ya.” Hani beralasan.
“Well, orang Jakarta gak ada hiburan lain selain ke Bandung kayaknya.” He giggles, “Lo udah berapa lama gak balik ke Indonesia, Han?”
“Three years, kurang lebih.” Jawab Hani, “Lo… lo kenapa gak ambil Queensland-nya, Yo?”
“Not interested in the major.” Jawabnya.
“What was the major?”
“Biological science… I’m not going to do the thing I don’t want to do, though.”
Hani grins, “As expected from you… lo kenapa dari dulu pinter banget sih, Yo? Makan apa sih?”
“Lo kan juga pinter, Han! Hell you got a scholarship in Nottingham! Landscape Architecture lagi!” Dyo tertawa, “You’re way smarter than me!”
Hani smiled sheepishly, “It was a luck… but anyway, kok tau gue ambil major Landscape Architecture?”
“Babah lo yang cerita…” ujar Dyo.
Hani mengangguk, “Ooh…”
There is silence again.
“It was so sudden,” Hani berusaha membangun topik, “lo pindah ke Australia tiba-tiba. At the peek of our friendship.”
Dyo laughs, “I know right! Kita lagi deket-deketnya terus tiba-tiba bokap ada panggilan kerja ke Aussie. You know I was really sad to leave this town.”
“Pas keluarga gue nganterin keluarga lo ke airport, I cried a little.” Hani being honest, “We were really that close, weren’t we?”
“Yes, so close. Gue udah nganggep lo kayak adek gue sendiri.”
Hani tersenyum kecil, pandangannya kembali keluar jendela. You were more than a brother to me.
“Then the time we were finally apart, I know it wasn’t it.”
Hani menoleh, “Maksudnya?”
Dyo gulped, “I realized it on the plane, Han. It was not a sister-and-brother kind of thing. It was more, much more than that.”
Mobil Dyo berhenti di parkiran Hummingbird.
Dyo menghadapkan tubuhnya ke Hani. He bits his lower lips. He scratches the back of his neck.
“Sorry for the sudden confession, but,” Dyo mencondongkan badannya kearah Hani, melingkarkan lengannya ke belakang punggung Hani. Dyo memeluk Hani erat. Pelukkan yang tertunda lima tahun yang lalu.
“Welcome home, Hani.”