“Igeboeya?!” Seong Won nyaris terjungkal di depan pintu ketika melihat seorang gadis sedang bermain monopoli bersama Hae Won di kamarnya.
“Annyeonghasseyo!” seseorang dengan wajah familiar berdiri dan membungkuk untuk menyambut Seong Won. Tersenyum lebar seperti terakhir kali Seong Won melihatnya.
“Kau sudah pulang?” Hae Won ikut berdiri. “Kau masih ingat Shin Hye Su kan? Penggemar pertama kita sekaligus yang paling fanatik.”
“Kau! Keluar kau dari rumahku!” seperti ketika mereka pertama kali bertemu, Seong Won menarik tangan Hye Su dan memaksanya keluar. Seketika Hae Won melompat berdiri dan melepaskan cengkraman tangan Seong Won.
“Apa yang kau lakukan?!” bentaknya. “Dia tamuku! Kalau kau tidak suka ada fans di sini, Hye Su datang sebagai temanku. Kau tidak boleh mengganggunya! Hye Su-ya kajja!”
“Ne,” antara bingung dan kecewa, Hye Su menerima ajakan Hae Won. Alasannya sesungguhnya ia datang kemari adalah karena Seong Won.
Entah bagaimana Hye Su dan Hae Won kini menjadi semakin akrab. Ancaman Hae Won tidak mau tampil di jalanan lagi membuat Seong Won harus menerima Hye Su yang mulai sering datang ke rumahnya, bahkan sampai ikut ke pertunjukan. Semenjak ada Hye Su, Hae Won selalu gembira dan mood-nya selalu bagus sepanjang hari. Ia selalu bersemangat dan tersenyum setiap hari seolah tanpa beban.
Hae Won butuh teman. Seong Won memang selalu bisa jadi kakak sekaligus teman yang baik, tapi Seong Won bukanlah teman, dia keluarga. Hae Won butuh orang lain yang membuat hidupnya jadi warna-warni. Tak sekedar hitam dan putih. Tak sekedar bagaimana mendapatkan uang untuk makan hari ini, atau bagaimana agar tidak diusir dari kamar sewa.
Seong Won juga butuh semua itu. Mereka berdua masih terlalu muda untuk hal-hal seperti itu. Saat ini adalah waktu yang paling tepat bagi mereka berdua untuk menikmati masa muda mereka, untuk belajar, untuk melakukan hal-hal baru, untuk merasakan cinta dan persahabatan. Dan Hae Won percaya Hye Su bisa memberikan paling tidak satu dari semua itu.
“Kim Seong Won itu…”
“Kenapa dengan dia?” raut wajah Hae Won berubah kesal ketika Hye Su menyebut namanya.
“Apa dia selalu seperti itu?”
“Seperti itu bagaimana?”
“Bersikap dingin pada semua orang?”
“Tidak juga. Dia baik padaku.” Ujar Hae Won sambil menyantap roti dan susu favoritnya dengan lahap, membuat Hye Su menelan ludah. “Kadang-kadang sih.”
“Maksudmu kadang-kadang?”
“Kakakku kelihatannya saja galak dan dingin di luar, tapi sebenarnya hatinya sangat lembut. Dia juga penyayang. Dia selalu jadi kakak yang baik walaupun kadang menyebalkan juga. Aku sering dipukul olehnya tapi dia juga selalu ada di sampingku setiap aku membutuhkannya. Dulu, waktu Ibu masih bersama kami, Seong Won selalu menjaga Ibu dan aku saat Ayah tidak ada. Aku rasa dinginnya Seong Won adalah karena ia tidak ingin terlihat lemah. Dari dulu dia selalu ingin jadi yang terkuat, agar bisa melindungi orang-orang yang dia sayang. Ayah, Ibu, aku… kau kenapa Hye Su-ya?”
“Tidak apa-apa.” Ia berbohong. Mendengar cerita Hae Won, Hye Su tidak dapat menahan senyumnya. Ternyata Seong Won memang benar-benar cowok yang manis. Semanis roti dan susu di tangannya.
***
“Aaaa kapjagiya!” jerit Hye Su di ambang pintu. Sesosok pemuda tinggi dengan kaus tanpa lengan berdiri di depannya dengan wajah heran. Lekukan berotot itu membuat Hye Su membuka lebar-lebar mata dan mulutnya.
“Mau apa kau kemari?” tanyanya Seong Won ketus. “Hae Won tidak ada. Kau cari saja di toko roti depan sana.”
“A-annyeonghasseyo, Seong Won Oppa.” Hye Su membungkukkan badannya 90 derajat.
“Bisa tolong minggir? Aku mau lewat.” Kata Seong Won tanpa memandang Hye Su. “Oiya, satu lagi. Aku bukan Oppa-mu.”
Hye Su menatap punggung Seong Won yang menjauh sambil menghela napas. Dia menyadari satu hal, Seong Won begitu dekat, tapi juga begitu jauh. Sudah beberapa minggu sejak pertemuan mereka yang kurang menyenangkan itu, Seong Won tampak masih sangat kesal padanya.
“Meskipun kau bukan Oppa-ku tapi…” Hye Su menarik napas dalam-dalam. “Tidak bisakah kita jadi teman?”
Ia terdiam sesaat. Begitu pula dengan Seong Won. Sampai kapan mereka akan terus seperti ini? Hye Su tak tahan lagi. Untuk pertama kalinya, ia tidak terpesona melihat Seong Won. Ia benar-benar lelah dan kesal dengan semua ini. Sampai kapan Seong Won akan terus membencinya?
“Kalau menurutmu itu berlebihan, tidak bisakah kau memaafkanku? Aku tidak tahu kau akan semarah itu. Aku sungguh-sungguh menyesal. Aku tidak ingin kau membenciku selamanya. Aku memang paling menyukaimu, tapi waktu itu aku mengikuti kalian berdua, bukan kau saja. Kalau Hae Won bisa jadi temanku kenapa kau tidak?”
Seong Won merasa lehernya gatal ingin berbalik melihat wajah Hye Su. Apakah dia sungguh-sungguh? Apakah dia marah? Apakah dia menangis? Atau apakah dia hanya ingin membuatnya merasa bersalah. Tapi Seong Won hanya berdiri mematung seperti tidak terjadi apa-apa. Membuat Hye Su merasa semua tidak ada gunanya.
“Kalau Hae Won tidak ada, aku pulang saja.” Ia pun beranjak pergi. Seong Won hendak membuang muka ketika Hye Su melewatinya, tapi yang terjadi adalah ia justru menarik tangannya.
“Tarawa!”
Dari pertemuan yang tak terduga yang berujung pada kebencian yang tidak masuk akal, Seong Won tidak percaya ia akan mengajak Hye Su ke atap rumah dan duduk bersama. Selain Hae Won, tidak ada orang lain yang pernah Seong Won ajak ke tempat ini. Tentu saja, dia kan tidak punya teman lain.
Sore itu begitu indah. Langit tampak kemerahan dengan matahari yang perlahan beranjak terbenam di antara gedung-gedung tinggi kota Seoul. Tapi bagi Hye Su semua itu bahkan tidak lebih indah daripada seseorang yang duduk di sampingnya, dan alunan melodi yang keluar dari gitar yang ia mainkan sepenuh hati. Hye Su tak bisa berhenti berkhayal andai ia bisa jadi gitar Seong Won sebentar saja.
I wanna fly fly
Jayurobge nara fly fly
Himchage narabwa gamchwo nohatdeon
Neomanui kkumdeureul pyeolchyeobwabwa
Fly fly haneulwiro nara fly fly
Deo nopi narabwa sogsagijima
Uri-ui kkumdeureul soerichyeobwa~
“Whoaaa daebak! Kau kah yang membuat itu?” tanya Hye Su sambil bertepuk tangan.
“Ne,” untuk pertama kalinya, Hye Su melihat Seong Won tersenyum. Begitu manis dan tulus hingga membuat Hye Su ikut tersenyum. Haruskah dia menunggu selama ini hanya untuk melihat senyum Seong Won?
“Hae Won membantuku menulis liriknya. Dibandingkan aku, dia lebih baik dalam menulis lirik. Kalau sampai aku yang menulisnya, lagu itu mungkin tidak akan sebagus ini dan malah berisi kalimat-kalimat putus asa atau patah hati.” Ujar Seong Won sambil bercanda.
“Majayo!” Hye Su mengiyakan sambil tertawa, begitu pula Seong Won sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Mianhae, Hye Su-ya.”
“Eh?”
“Karena selalu marah dan bersikap kasar padamu.” Seong Won memeluk kedua kakinya yang ditekuk. “Aku selalu merasa kesal setiap hari, pada semua orang, semua hal tampak salah di mataku. Termasuk diriku sendiri.”
“Hae Won bilang kau selalu baik padanya?”
“Tentu saja. Aku tidak bisa benar-benar marah padanya. Kalau pun aku sampai marah padanya itu karena dia melakukan sesuatu yang sangat bodoh atau karena dia membahayakan dirinya sendiri. Dia adikku satu-satunya. Satu-satunya keluargaku yang kupunya.”
Hye Su begitu penasaran dan ingin bertanya apa yang terjadi dengan orang tua Seong Won dan Hae Won, tapi bisa duduk bersamanya dengan damai saja sudah bagus.
“Orang tua kami meninggal karena kecelakaan.” cerita Seong Won tiba-tiba seolah-olah bisa membaca pikiran Hye Su.
“Ah mianhaeyo,” jawab Hye Su canggung.
“Tsk, kenapa kau minta maaf? Memangnya salahmu orang tuaku kecelakaan?” Dari ekspresinya, Hye Su tahu Seong Won sudah lama move on dari kejadian itu. Lalu apa yang menyebabkan Seong Won seperti ini? Lagi-lagi Seong Won seperti bisa membaca pikirannya.
“Orang tua kami adalah salah satu musisi hebat di Seoul. Bahkan tidak hanya Seoul, tapi juga di Korea. Dulu orang-orang memuja mereka, mencintai mereka dan bahkan seluruh keluarga kami. Tapi setelah mereka pergi, entah kemana orang-orang itu sekarang. Nama orang tua kami seolah tidak pernah ada. Tapi darah musisi yang mengalir di tubuh kami jadi bukti mereka benar-benar ada. Meskipun mungkin tidak sebagus mereka, aku dan Hae Won sangat menyukai musik. Dengan hanya membawa gitar peninggalan Ayah kami, aku dan Hae Won pergi dari panti asuhan dan mencoba hidup mandiri dengan mencari uang sendiri lewat musik. Di masa-masa awal kami pernah nyaris mati karena kelaparan dan kedinginan di jalanan. Kami beberapa kali diusir keluar dari café sebelum kami sempat bernyanyi. Beberapa hari yang lalu kami bahkan hampir terpaksa menjual gitar kami untuk membayar uang sewa. Tapi untungnya karena kebodohan adikku, gitar ini tidak jadi dijual. Lebih dari sekedar peninggalan, gitar ini adalah nyawa kami. Hidup kami mungkin jauh dari layak, tapi gitar ini sudah lebih dari cukup. Tanpa gitar ini kami justru tidak akan punya apa-apa lagi. Dengan musik kami bisa melakukan apa pun, hal-hal yang kami sukai.” Seong Won menutup ceritanya sambil tersenyum dan mendongak menatap langit oranye kemerahan.
“Waah, kisah kita sepertinya benar-benar berbanding terbalik ya?”
“Kisah? Memangnya apa kisahmu?” pertanyaan Seong Won membuat Hye Su tersenyum getir. Sambil menatap matahari yang terbenam itu Hye Su menceritakan kisahnya.
“Apa kau percaya kalau kubilang bahwa musik adalah impian terbesarku?”
“Benarkah?” Seong Won begitu tertarik mendengarnya, seperti anak kecil yang mendengar temannya membeli mainan baru yang sangat mahal.
“Aku selalu ingin menjadi musisi yang hebat. Aku mencintai musik lebih daripada apa pun. Aku hidup dengan sangat baik. Aku bisa mendapatkan semua yang kumau, kecuali satu… bakat bermusik. Tidak peduli sekeras apa pun aku berlatih, dan berapa banyak biaya yang dikeluarkan orang tuaku, aku tidak pernah bisa menjadi musisi yang baik. Aku bahkan gagal masuk ke sekolah seni impianku.” Suara Hye Su tercekat. Seong Won menatapnya sementara pikirannya melayang jauh. Hidup Hye Su tampak sempurna, tapi Seong Won sendiri tak yakin ia mau bertukar posisi dengannya. Hidup enak tapi tidak bisa bermusik padahal musik adalah hal yang paling dia cintai, pasti buruk sekali rasanya.
“Karena itu aku selalu mengagumi orang-orang yang bisa bermain musik dengan baik. Menghibur banyak orang dan mendapatkan uang sendiri dengan melakukan sesuatu yang kita cintai pasti sangat menyenangkan. Aku selalu iri dengan mereka yang bisa melakukannya. Seperti kau dan Hae Won. Kalian sangat beruntung memiliki bakat itu sejak lahir. Yaa! Jangan pernah coba-coba untuk menjual gitarmu lagi! Itu sama saja kau menjual hidupmu. Dan asal kau tahu itu juga menyakiti perasaanku. Aku juga punya koleksi gitar meskipun aku tidak bisa memainkannya!”
“Ne, arasseo!” sahut Seong Won kesal. “Jadi karena itu kau selalu menonton penampilan kami? Karena kau sangat mengagumi orang-orang yang bisa bermain musik?” Hye Su mengangguk penuh semangat.
“Tapi bukankah ada banyak musisi jalanan di Seoul? Yang jauh lebih baik dari kami juga banyak. Kau juga bisa kan beli tiket konser sungguhan? Tapi kenapa kau lebih memilih menonton penampilan kami setiap hari?”
“Moellayo.” Hye Su mengerlingkan matanya. “Aku hanya sangat suka melihat penampilan kalian. Kalian seperti punya dunia sendiri yang kalian kuasai, dan aku ingin masuk ke dunia itu.”
“Puhahaha~ boeya?!” Seong Won tertawa geli. “Karena itu juga kau sampai mengikuti kami seperti penguntit dan mengaku sebagai fans?”
Hye Su tersenyum. Wajah Seong Won tampak sangat indah dibawah cahaya kemerahan matahari sore. “Bukankah sudah kubilang aku sangat menyukaimu, Seong Won Oppa?”
***