Disinilah aku, memandang dengan aneh diriku sendiri di cermin. Rok kotak-kotak pendek, kaus kaki hitam selutut dan rompi dengan lambang bunga teratai SHINWA di bagian kiri. Apa aku sudah terlihat seperti orang Korea? Atau mungkin aku harus pakai kontak lensa berwarna hitam agar lebih meyakinkan? Sudahlah, aku sudah menghabiskan banyak waktu di depan cermin, bisa-bisa aku terlambat di hari pertamaku sekolah.
Aku segera menyambar tas coklatku dan berjalan cepat keluar kamar. Setelah menuruni tangga aku langsung mencari Ibu, ingin mengejutkanya dengan seragam baruku ini. Tapi ketika aku berada di lantai bawah aku hanya melihat pelayan-pelayan yang sibuk membersihkan rumah yang sudah terlewat bersih ini. Jadi aku berjalan menuju meja makan dan ternyata hanya terdapat Juno disana. Ia sedang sibuk dengan makanannya yang sudah hampir habis itu, aku juga dapat melihat seragam biru yang ia kenakan, kami sama-sama akan berangkat sekolah. Lalu kemana Ibu?
Aku berjalan mendekati meja makan, ternyata piringku sudah terisi dengan sarapan dan susu yang melengkapi disampingnya. Dengan tenang aku duduk sambil memandangi sarapanku itu, kemudian melirik Juno yang menghabiskan sarapannya dalam diam. Tidak, aku tidak berpikir untuk bertanya kepadanya tentang dimana Ibu atau siapa yang menyiapkanku sarapan. Itu akan mempermalukan diriku sendiri karena ia tidak mungkin menjawab apa lagi memandangku.
Setelah menghela napas aku dapat melihat sebuah kartu putih didekat piringku. Ada tulisan disana.
Good morning Ana, maaf Mom tidak bisa menemani dihari pertamamu sekolah. Aku harus menemani Teo Joong keluar kota untuk rapat besar, kemungkinan Mom akan pulang lusa. Maaf Mom lupa memberitahumu semalam tapi Mom sudah siapkan sarapan untukmu, semoga hari pertamamu menyenangkan.
Lot of love
Mom,
Aku menatap kartu itu sedih. Haruskah aku berbagi kebahagiaanku pada robot kecil dihadapanku ini? Ibu tega sekali.
Beberapa menit setelah selesai sarapan aku dan Juno menuju halaman rumah, disana terdapat dua mobil yang sudah menyala. Aku mengerutkan kening kemudian berjalan mendahului Juno.
“kita akan menggunakan dua mobil?” tanyaku sambil menghalangi langkah Juno. Dia mentapku sekilas kemudian berjalan melewatiku. “kita bisa gunakan satu mobil saja, kan? bukannya sekolah kita tidak begitu jauh? Itu akan menghemat” seruku pada Juno yang terus berjalan kemudian masuk kedalam mobil. Aku juga ikut berjalan kearah mobil tapi mobil silver itu malah berjalan dan meninggalkanku yang sekarang sudah tercengang.
Aku menyentuh keningku tak percaya. Ini sudah kesekian kalinya aku berusaha bersikap baik tapi Juno tidak pernah mau menghargai itu. Baiklah kalau ia juga ikut mengibarkan bendera perang padaku, itu tidak masalah. Sekali lagi, itu tidak masalah!
“Nona, mobilnya sudah siap” ucap seorang supir yang menghampiriku. Aku masih mengendus kesal tapi kemudian aku teringat Taemin, suara air dari rumah sebelah membuatku berpikir kalau itu Taemin yang sedang menyiram tanaman.
“keluarkan saja mobilnya, aku ingin bertemu Taemin sebentar” setelah mengangguk paham supir itu masuk ke dalam mobil dan aku berjalan ke luar rumah. Aku mengintip sebentar dari pintu gerbang rumahnya, ternyata Taemin tidak sedang menyiram tanaman, tapi sedang menyuci motornya.
Taemin menoleh kearahku kemudian berjalan mendekat sambil tersenyum.
“Hi,” sapanya setelah membuka pagar “hari pertama sekolah?” tebaknya sambil memandangku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
“ya, begitulah” ucapku sungkan.
“aku senang kau menerima saranku” ucapnya lagi sambil memandang logo SHINWA yang berada di rompi sekolahku.
“aku rasa aku cocok dengan sekolahnya, terima kasih” aku melempar senyum kearahnya dan ia terlihat senang. Wajah Taemin selalu terlihat segar dan menyenangkan. Aku sampai ingin bertanya rahasianya, siapa tahu itu bisa membantuku di hari pertama ini.
“aku kira kau sedang menyiram tanaman” aku melirik kearah motor yang berada di belakang Taemin.
“oh itu” ia menoleh ke belakang sejenak “motor lamaku, sebenarnya sudah jadi rongsokan sejak lama aku hanya mencucinya sebentar kalau masih bagus akan aku jual tapi kalau jelek akan aku buang”
“apa?” aku agak terganggu dengan kata buang, itu mengingatkanku pada sesuatu “jangan dibuang” cegahku, “aku bisa memperbaikinya kalau kau mau” aku menatapnya tak yakin, hah.. aku memang terlalu percaya diri.
“kau? Bisa memperbaikinya?” dia menatapku antusias tapi aku hanya memandangnya bersalah.
“sepertinya” balasku ragu “ah! Aku harus segera berangkat” lanjutku ketika mobil yang akan mengantarku ke sekolah sudah berada dibelakangku “bagaimana kalau kita mengobrol lagi ketika aku pulang sekolah nanti?” tawarku.
“oke baik, semoga harimu menyenangkan” aku mengaminkan ucapannya kemudian melambai sambil masuk kedalam mobil.
Baiklah, aku sudah duduk manis didalam mobil. Hari ini langit sangat cerah dan seluruh jalan terlihat terang. Aku juga tahu Seoul merupakan Ibu kota yang cukup padat, keramaian di jalan seperti ini tak membuatku terkejut. Hanya, pohon-pohon hijau yang berbaris rapi di tepi jalan membuat pemandangannya jadi lebih berbeda di banding San Francisco.
Ketika aku sedang asik memandangi jalan tiba-tiba mobil melewati gerbang besar dan aku disambut dengan pemandangan pohon-pohon yang lebih rindang dari sebelumnya. Terdapat juga taman yang luas dan jalanan lurus menembus sebuah gedung dengan nama SHINWA di atasnya. Oh, jadi aku sudah sampai.
Mobil mulai menepi dan berhenti persis di depan seorang wanita yang tengah berdiri tegap. Aku keluar dari mobil dan wanita itu tersenyum kearahku.
“Selamat datang kau Anabelle, kan?” tanyanya ramah bersamaan dengan mobil yang berjalan meninggalkanku.
“ne, Annyeoghaseyo” balasku sambil membungkuk.
“aku Tiffany, aku guru kesiswaan disini” lanjutnya memberitahu. Aku mengangguk sambil membalas senyumanya “mari ikut denganku” dia berjalan lebih dulu dan aku mengikutinya dari belakang. Padahal ia terlihat masih muda, tubuhnya bagus dan rambutnya hitam bergelombang, ternyata ia hanya guru kesiswaan disini.
Kami tiba disebuah lorong dimana terdapat pintu bertuliskan ruang kepala sekolah disalah satu sisinya “baiklah pertama-tama kau harus menghadap kepala sekolah terlebih dahulu” ia membalikkan badan dengan anggun dan aku menatapnya kagum “oh ya apa kau ada masalah dengan seragammu? terlalu besar atau terlalu kecil mungkin”
“tidak, ini sangat nyaman, terima kasih” jawabku sambil menyentuh rokku.
“baguslah kalau begitu, saat sekolah di San Francisco kau pasti tidak mengenakan seragam jadi aku hanya memastikan kau nyaman” ia kembali tersenyum ramah. Aku jadi takut pipinya keram kalau ia terus tersenyum seperti itu.
“ya, ini cukup nyaman” balasku senang. Ia mengangguk kemudian jari lentiknya mengetuk pintu yang terlihat kokoh itu. Aku mengedarkan pandagan di sepanjang lorong. Tidak ada ruangan lain disini, hanya ada beberapa lukisan bunga, dan piagam usang yang diabadikan disepanjang dinding.
Sekarang pintu itu terbuka dan menampilakan ruang yang cukup luas dengan dua jendela yang besar di sisi kiri. Lalu persis dimana aku berdiri, aku juga menghadap sebuah meja dengan seorang wanita berabut pirang yang berdiri membelakangi kami.
Kepala sekolah membalikkan badan menyadari seseorang membuka pintu ruangannya, “Oh murid barunya sudah datang!” ia menepukkan tangan dan melihat kearahku.
“masuklah” guru kesiswaan itu mempersilahkanku masuk kemudian ia menutup pintu dari luar.
“duduklah” tawar kepala sekolah itu. Aku berjalan mendekat sambil memegang tali tas ranselku. Butuh banyak langkah untuk sampai ke mejanya, ruangan ini sangat luas.
Setelah sampai aku langsung menarik kursi dan duduk di hadapannya “baiklah Anabelle” ia turut duduk di kursinya sambil memajukan tubuhnya.
“Ana saja, Kyojangnim” ralatku. Ia mengangguk “baiklah Ana” ia tersenyum lembut. Lipstick merahnya memperlihatkan bentuk birbirnya, rok hitam yang ia naikkan sampi ke atas pinggul membuat bentuk pinggangnya yang ramping juga terlihat.
“jadi sudah berapa lama kau tinggal di Amerika?”
“sekitar sepuluh tahun, Kyojangnim”
“cukup lama juga, tapi karena kau masih lancar menggunakan bahasa Korea jadi aku pikir tak masalah” ia kembali tersenyum dan melipat tangannya diatas meja.
“Baiklah, hari ini kau sudah bisa mulai belajar, tata tertib, peta dan buku sekolah akan diberikan oleh Tiffany, guru kesiswaan yang mengantarmu kesini” jelasnya. Aku mengangguk paham dan tak sabar untuk memulai kelas. Ia menangkap rasa senangku dan aku kembali menyembunyikan senyumku.
“tapi yang menjadi peringatanku adalah, kau memilih sekolah biasa otomatis semua murid disini orangtuanya adalah warga Korea asli, mungkin kau akan jadi sedikit jadi pusat perhatian” ucapnya mengingatkan. Aku berpikir sejenak, benar juga apa lagi wajah dan rambutku tidak mencerminkan wajah Asia jadi mungkin itu akan sedikit bermasalah. Ya Tuhan, aku baru menyadarinya.
“kenapa? Apa kau baru menyadari hal itu?” tebaknya, aku diam tak membalas dan tak mengangguk. Sekarang aku jadi tahu kenapa Ibu menyuruhku untuk masuk sekolah International saja.
“iya, tapi aku tidak masalah aku akan mencoba mengatasinya” jantungku jadi berdegup kencang saat mataku menatap mata Kepala Sekolah itu. Ia seperti mencoba membuatku gelisah, atau mungkin ini hanya perasaanku saja. Jadi aku menunduk dan tak sengaja membaca papan transparan yang menuliskan nama Kepala Sekolah ini. BoA?
Nama yang unik.
“jadi” aku sedikit terlonjak “selamat datang di SHINWA” ia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya. Tangannya sangat dingin, apa ini akibat AC ruangan? Atau ia sedang sakit? Aku menarik tanganku kembali kemudian tersenyum. Ia seperti sedang menangkap hal aneh dariku tapi aku segera memandang kearah lain.
“semoga hari pertamamu menyenangkan” wajahnya kembali berubah ramah, auranya begitu kuat ketika menatapku aku jadi sulit bernapas.
“terima kasih” aku bangkit dan membungkuk kemudian berbalik berjalan menuju pintu. Sambil berjalan aku melihat kearah dinding yang terdapat beberapa lukisan besar diantara pintu masuk. Disebelah kiri aku yakin foto Kepala Sekolah itu tentu saja, lalu sisi sebelah kanan terdapat lukisan kehidupan rakyat jaman dahulu tapi tidak menggunakan Hanbok melainkan baju berompi layaknya rakyat romawi. Ketika aku menyentuh gagang pintu, aku menoleh sejenak dan mendapatinya masih duduk diam menatapku.
Aku melempar senyum sejenak kemudian menutup pintu sambil berjalan mundur. Aku seperti baru saja keluar dari ruangan bersalju.
“sudah selesai?” sebuah suara menganggetkanku. Ternyata itu Tiffany-Ssaem. Ia berjalan mendekatiku dan aku tidak tahu dari mana ia muncul. Aku mengangguk samar kemudian ia kembali memintaku untuk ikut dengannya. Kami kembali turun ke lantai dasar dan masuk ke sebuah ruangan dimana tertulis bagian administasi disana. Ketika kami masuk ternyata sedang terputar lagu John Legend – all of love tapi dengan volume yang sangat kecil, aku tahu karena Ayah suka memutar lagu itu dirumah. Tak jauh dari pintu masuk duduk seorang wanita gemuk yang tengah menulis beberapa angka di buku besar. Kaca matanya ia turunkan untuk melihat kearahku. Aku membungkuk memberi hormat.
“ini” dan entah dari mana lagi Tiffany-Ssaem datang kembali sambil membawa beberapa buku yang sekarang sudah beralih ke tanganku. “ini buku mata pelajaranmu hari ini, dan ini kunci lokermu” ia meletakkan sebuah kunci diatas buku-buku yang baru aku pegang “semua buku, peta, baju olahraga dan seragam musim dingin semuanya sudah ada di lokermu” lanjutnya lagi sambil menaruh kedua tangannya dipinggang.
“Gamsahamnida Songsaengnim” ucapku sambil berusaha membungkuk sambil memegang buku-buku tebal itu, ia kembali tersenyum “baiklah waktunya masuk kelas” ia mengangkat pergelangan tangan yang terdapat jam melingkar disana. Tiffany-Ssaem berjalan keluar dan aku kembali mengikutinya.
Sekarang kami sudah dilantai tiga dan sedang melewati koridor. Dari lantai tiga ini aku dapat melihat air mancur yang sepertinya jadi pusat keindahan sekolah ini. Aku juga dapat melihat gerbang sekolah yang sedikit tertutup dengan pohon yang rindang. Aku jadi ingin cepat-cepat musim gugur agar aku dapat melihat pepohonan itu berubah warna menjadi coklat dan oren, sekolah ini pasti akan sangat indah. Disebelah kiri terdapat kelas-kelas yang pintunya sudah tertutup rapat, bel sekolah ini sudah berbunyi satu menit yang lalu jadi semua murid sudah duduk di kelas dan menunggu guru masuk.
“Dong Kook Songsaengnim!” Tiffany-Ssaem menyapa seorang pria yang sedang membuka salah satu pintu kelas sambil tersenyum lebar kemudian pria yang ternyata seorang guru itu beralih menatapku.
“oh murid baru?” tebaknya sambil kembali melirik Tiffany-Ssaem.
“Annyeonghaseyo Songsaengim” aku membungkuk memberi salam kemudian kembali menatap matanya yang masih memperhatikanku.
“senang bertemu denganmu, em..”
“Ana, Ssaem” ucapku memberitahu.
“Ah ya Ana, jadi.. dia akan masuk kelas ini?” Dong Kook-Ssaem mengalihkan pandangannya dan Tiffany-Ssaem membalasnya dengan anggukan “baiklah, Ayo masuk” ia mulai membuka pintu, sejenak aku menoleh kearah Tiffany-Ssaem untuk mengucapkan terima kasih sambil membungkuk.
Sekarang kakiku sudah masuk ke sebuah ruangan bercat putih dengan papan tulis hijau tertempel di dinding. Para murid yang tadinya masih mengobrol dan bercanda sekarang terdiam melihat Dong Kook-Ssaem dan aku yang masuk ke dalam kelas.
“baiklah Anak-anak sebelum kita memulai pelajaran, aku ingin memberi kesempatan teman baru kalian untuk memperkenalkan diri” setelah itu dia menoleh kearahku “silakan” lanjutnya.
Aku maju satu langkah, sungguh aku agak gugup. Beberapa kali aku membasahi tenggorokkanku untuk mencegah suara serak yang akan mengganggu pendengaran mereka.
“Annyeonghaseyo” aku menyapa lebih dulu dan semua mata sudah tertuju padaku. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan semoga aku memberi kesan pertama yang baik “namaku Anabelle Walker, aku pindahan dari San Francisco senang bertemu dengan kalian” aku kembali membungkuk tapi tak berani tersenyum takut kalau itu malah akan menganggu mereka.
“baiklah Ana silakan duduk” aku menoleh kearah Dong Kook-Ssaem sekilas, kemudian aku berjalan kearah kursi kosong yang berada di paling depan baris kedua dari kanan. Setelah aku menaruh buku-buku yang diberikan Tiffany-Ssaem diatas meja aku menoleh ke kiri dimana seorang murid putri yang berkaca mata tengah menatapku. Aku membalas tatapannya dengan sebuah senyuman tipis, ia membalas dengan senyuman juga. Syukurlah.
Semua pelajaran berjalan dengan baik, sejauh ini aku juga tidak menemui kesulitan. Sekarang sudah dua guru berganti, beberapa murid yang duduk dibelakang seperti sedang berbisik. Aku memainkan jariku tak tenang, aku takut mereka sedang membicarakanku. Tidak tidak, Aku akan membuang pikiran itu dan segera membuka buku untuk mengusir rasa cemasku. Beberapa menit kemudian seorang guru kembali masuk dan pelajaran kembali di mulai, sesekali aku melirik kearah gadis berkacamata di sebelahku. Ia terlihat sangat serius memperhatikan pelajaran, berbeda sekali dengan beberapa murid dibelakangku yang terdengar suka mengobrol, meski aku tidak berani menoleh ke belakang tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas.
Baiklah satu jam berlalu dan bel tanda instirahat berbunyi bersamaan dengan suara langkah-langkah kaki yang keluar dari kelas. Aku masih merapihkan beberapa buku dan memasukkannya ke dalam tasku.
“Hallo Anabelle” aku mendongak dan beberapa orang siswi –yang roknya sangat pendek—datang dan berdiri didepan meja ku.
“Hi” balasku menyapa.
“apa kau ingin ke kantin bersama kami?” tawar salah satu gadis berponi dengan rambut coklat mengkilap.
“oh, aku harus membereskan buku-bukuku dulu, kalian duluan saja” jawabku ramah, mereka terlihat mengangguk kemudian pergi dengan senyum malu-malu.
Setelah memastikan mejaku bersih aku segera keluar kelas dan mulai menyusuri beberapa koridor yang berujung pada sebuah lorong dimana loker-loker berwarna biru tertata rapi.
Sekarang aku sudah berdiri didepan lokerku yang terdapat angka 207 sama seperti yang terdapat di kunci lokernya. Aku segera membuka dan mengambil peta sekolah ini, aku harus tahu letak-letak ruangan penting seperti toilet, ruang guru dan kantin jadi aku mulai memperhatikan peta Sekolah itu. Setelah menutup loker dan kembali menguncinya aku membalikkan tubuh untuk kembali berjalan menyusur Sekolah besar ini tapi seseorang menganggetkanku. Sekarang aku melihat seorang gadis dengan rambut ikal yang memakai seragam cheerleaders plus bando kuning sebagai pelengkap berdiri dihadapanku dengan wajah senang.
“Annyeong” ia menunjukan gigi putihnya sambil tersenyum kearahku.
“A..Annyeonghaseyo” balasku ragu.
“kau Anabelle si anak baru, kan? aku Hanyoung ketua cheerleaders di SMA SHINWA” ia mengulurkan tangannya dengan semangat, senyum juga tak hilang dari wajahnya. Aku tidak menyangka orang yang pertama kali mengajakku berkenalan adalah sorang ketua cheerleaders yang biasanya bersikap buruk dengan murid baru. Ah, aku terlalu banyak berpikir yang tida-tidak.
Aku meraih tangannya “Ana” balasku dan ikut tersenyum.
“kau sendiri?” tanyanya dengan wajah heran.
“iya”
“kau bukannya sekelas dengan Hana?” aku mengankat alisku, Hana? Apa gadis ini hilang ingatan? aku belum sehari disini mana tahu aku siapa Hana. “oh ya apa kau mau ke kantin?” aku melihatnya melirik peta ditanganku.
“sebenarnya, aku ingin melihat beberapa tempat” aku mengangkat peta ditanganku untuk memberitahunya.
“iya aku tahu dan harusnya itu tugas Hana, bagaimana kalau kita ke kantin dulu?” tawarnya dengan mata yang berkedip beberapa kali. Aku tidak tega menolak, sikap Hanyoung sangat baik dan ramah.
“baiklah” aku menyetujui ajakannya dan kami berjalan menuju kantin. Sepanjang jalan aku dapat melihat beberapa murid tersenyum kearahku dan beberapa diantaranya melihatku sambil berbisik.
“oh ya dari mana kau tahu kalau aku anak baru?” tanyaku penasaran, jangan-jangan aku terlihat mencolok sebagai anak baru.
“tentu saja, dari rambutmu dan dari wajahmu”
“apa itu terlihat mencolok?”
“tentu saja, wajahmu bisa sangat dikenali. Matamu tidak sipit dan warna rambutmu coklat kopi itu cukup membuat kami mengenalimu” ternyata benar, aku sangat mecolok. “tunggu, apa kau pakai kontak lensa?”
“tidak” aku menggeleng.
“warna matamu bagus!” Hanyong menepuk tangannya senang. Baiklah harusnya aku menganti warna rambut dan memakai kontak lensa berwarna gelap, setidaknya itu dapat membantuku agar lebih terlihat seperti orang Korea.
“kenapa melamun?” Hanyong menyadarkanku, aku langsung menggeleng dan kembali fokus pada jalan. Sekarang aku sudah berada di lantai dasar dan tengah melewati lapangan basket yang terlihat sepi.
“itu dia orangnya, Hana!!” aku melihat Hanyoung melambaikan tinggi tangannya kemudian gadis berkaca mata putih penghampiri kami. Oh, jadi ini yang namanya Hana, dia duduk disebelahku saat di kelas.
“Hi, aku mencarimu kemana-mana” ia berdiri didepanku sambil mengatur napasnya.
“a.. aku?”
“tentu saja, dia kan ketua Organisasi siswa disini, tentu anak baru menjadi tanggung jawabnya, iya kan?” Hanyoung menyenggol lengan Hana dan gadis berambut lurus itu hanya memutar bola matanya.
“Hallo, aku Hana aku akan mengajakmu ke liling sekolah kalau kau mau” ia mencoba bersikap ramah tapi aku malah kasihan melihatnya, peluh di dahinya masih terlihat. Belum lagi sebelum aku keluar dari kelas aku melihatnya sedang mengerjakan tugas dengan terburu-buru. Awalnya juga aku mengira kalau Hana tidak ramah, karena selama di kelas hanya dia yang tidak menegurku. Atau mungkin dia kelewat serius.
“kita ke kantin saja” ajakku, Hanyoung menatapku senang. Mungkin ia juga tak tega melihat Hana yang masih mengatur napasnya. Benar, gadis itu terlihat lelah.
“Ayo ke kantin!” Hanyoung merangkul Hana sambil menariknya aku hanya tersenyum melihat gadis super aktif itu meski suara nyaringnya sedikit mengagetkan.
Kami masuk ke sebuah ruangan dengan pintu kaca yang terbuka lebar. Ternyata ini kantinya, luas dengan meja panjang berwarna putih dan kursi panjang yang saling berhadapan. Semua kursi itu tertata dari ujung kantin hingga pintu masuk. Di sisi kiri dan kanan terdapat jalanan tempat para siswa beralalu lalang di bagian kiri dekat jalan tersedia berbagai makanan yang siap dipesan. Aku dan kedua teman baruku ini berjalan mengambil nampan. Hah.. lagi-lagi beberapa mata menatapku, ada yang melempar senyum dan ada yang juga memandangku aneh. Sungguh, aku jadi salah tingkah. Harusnya aku memang memilih sekolah International saja, Sorry Mom.
Sekarang kami mulai memilih makanan, aku melirik kearah Hanyoung yang sedang memilih makanan kemudian bertanya kepada Hana makanan apa yang harus ia makan, sedangkan dia sedang menjalankan program diet, Hana langsung menjawab “makan angin saja” dan itu membuatku menahan tawa. Aku kembali menggeser nampanku dan memilih sandwich hangat untuk makan siangku.
“Hi” sebuah suara berat mengaggetkanku dan sedetik kemudian disampingku sudah berdiri seorang pria tinggi yang berpakaian ala pemain basket, atau memag ia pemain basket? Aku membalas sapanya dengan ragu.
“kau Anabelle, kan?” wow ini sangat hebat, apa aku jadi bahan pembicaraan sekarang? Orang yang belum aku tahu namanya sudah mengenalku. Aku tahu ini bukan sekedar efek anak baru karena tidak semua anak baru disambut sebaik ini.
“ya, dari mana kau tahu?” aku kembali menggeser nampan ku dan dia mengikuti.
“Anak baru pasti selalu dikenali, hanya saja kau berbeda, disini jarang sekali ada murid pindahan dari luar negri apa lagi dari San Francisco” padahal aku hanya bertanya satu kalimat dan Anak ini membalasnya panjang sekali. Aku mengangguk samar.
“Namaku Seungjae” lanjutnya lagi dan kali ini tanpa pertanyaan dariku aku tersenyum kearahnya.
“kau sudah tau namaku, kan?” balasku singkat. Ia mengangguk dan mengikutiku duduk bersama Hanyoung dan Hana.
“Seungjae?” Hanyoung memandang aku dan Seungjae bergantian.
“Hallo teman-teman, kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian bersama anak baru?” aku melirik Seungjae yang sedang membuat mimik sedih.
“dia sekelas dengan Hana, tanya saja pada anak ini” ucap Hanyoung setelah menyeruput minumannya. Seungjae kemudian melihat Hana yang sibuk dengan buku agendanya. Aku ikut menatap Hana dengan wajah penasaran. Tapi tak lama kemudian buku itu sudah direbut oleh Seungjae.
“woah! ternyata besok ada kunjungan ke Museum aku baru ingat berarti besok tidak ada latihan basket” Seungjae kembali memasang wajah sedihnya sedangkan Hana memandang nanar buku angendanya yang sekarang sudah berada di tangan Hanyoung.
“wah! Senangnya” sekarang wajah Hanyoung berbanding terbalik dengan Seungjae “aku sudah lama menunggu untuk pergi ke Museum!” ucap Hanyoung girang, Hana kembali merebut bukunya dan menepuk-nepukk buku itu seolah terdapat banyak debu disana.
“aku akan menemukan bukti kalau makhluk itu benar ada!” aku berhenti mengunyah dan menatap Hanyoung yang mengapalkan tangan seolah memberi semangat pada dirinya sendiri. Tak lama kemudian aku mendengar helaan napas dari Hana ia seperti sudah tahu apa yang akan di ucapkan Hanyoung.
“Hya! Kau ini masih saja percaya dengan hal seperti itu” Seungjae memasukan makanan ke mulutnya dengan tidak napsu.
“memang makhluk apa?” tanyaku hati-hati, aku pura-pura tertarik saja agar Hanyoung tidak kecewa. Masalahnya Seungaje dan Hana terlihat tak suka membicarakan topik ini dan Hanyoung mulai memasang wajah suram. Aku hanya ingin membantu.
“kau tahu vampir? Makhluk setengah manusia yang menghisap darah?” Hanyoung mulai melupakan makananya dan memandangku serius “aku pernah baca kalau mahluk-mahkluk mitos seperti itu masih berkeliaran, biasanya mereka memilih rumah kosong atau Museum tua sebagai tempat tinggal mereka” aku mengangguk samar berusaha fokus apa yang dikatakan Hanyoung karena beberapa murid masih terlihat memperhatikanku atau mungkin akunya saja yang terlalu percaya diri “dan satu lagi, apa kau tahu tentang peramal, dukun atau semacamnya? Mereka itu keturunan dari penyihir” Hanyoung menyelesaikan ceritanya dan terdengar sekali Seungjae yang menahan tawa.
“jangan dengarkan dia, dia ini gadis gila” Seungjae tertawa puas dan Hana ikut tersenyum melihatnya. Aku melirik Hanyoung yang sudah menekuk wajahnya sambil melipat tangan. Mereka ini sangat menggemaskan, aku jadi rindu L. Kadang ia juga memanggilku gadis gila.
Setelah lama terdiam aku kembali melirik ke sekelilingku “apa kalian merasa banyak yang memperhatikan kita?” tanyaku sedikit berbisik.
Hanyoung mengendus geli “tentu saja, kami biasa diperhatikan seperti ini apa lagi ada anak baru bisa duduk bersama ketua Organisasi sekolah, ketua cheerleaders dan kapten tim basket, itu sangat menarik perhatian, kan?” aku baru menyadari hal yang baru saja Hanyoung katakan. Aku jadi merasa tak enak hati. Setelah Hanyoung mengatakan hal itu aku dapat melihat Hana menendang pelan kaki Hanyoung, begitu juga Seungjae yang menyenggol lengannya.
“jangan dengarkan dia,” Seungjae melambaikan tangan kearahku dengan wajah kaku aku hanya tersenyum tipis sambil kembali memakan makananku.
“jangan diambil hati, kau akan terbiasa dengan sifat kami” Hana berbisik kepadaku dan lagi-lagi aku hanya dapat terseyum samar.
Hari pertama sekolah sudah selesai, setelah semua yang terjadi di Sekolah aku baru sadar dua hal. Yang pertama, tidak semua apa yang aku pikirkan benar dan kedua tidak semua yang disarankan orang akan cocok denganmu. Aku tidak menyalahkan Taemin karena memberiku saran untuk masuk SHINWA, sekolah itu cukup menarik, tapi benar apa yang dikatakana kepala Sekolah tentang perbedaan yang dimilikiku pasti akan menarik perhatian dan aku tidak nyaman dengan hal itu.
Haruskah aku pindah sekolah? Ibu mungkin tidak akan marah kalau mendengar alasanku. Aku hanya perlu meminta maaf karena tidak mengikuti sarannya untuk masuk ke sekolah international saja. Tunggu, aku masih punya hari kedua, kan? mungkin dihari kedua akan berbeda jadi aku akan mencobanya sekali lagi. Sekarang aku benar-benar tahu sekolah di Korea sangatlah berbeda, aku harus memakai seragam, aku harus ramah dan beberapa sistem belajarnya yang agak berbeda. Tapi harusnya aku tidak perlu terkejut karena ketika aku masuk Sekolah Dasar dulu semuanya kejadiaanya hampir sama, hanya saja Ayahku yang mengantar ke Sekolah jadi tidak banyak pertanyaan yang ditujukan kepadaku kenapa mataku berwarna hijau dan tidak sipit.
Setelah berganti pakaian aku segera menikmati jus jeruk dari atas balkon kamarku. Sepulang sekolah aku melihat Juno makan sendiri di meja makan karena Ibu dan Teo Joong belum pulang, tadinya aku ingin menghampirinya tapi dia lebih dulu melirikku dengan sinis jadi aku membatalkan niatku dan langsung berjalan ke kamar.
Aku masih memandangi pemandangan dari atas balkon ini sampai sebuah suara dari rumah Taemin membuyarkan lamunanku. Terlihat Taemin sedang mengeluarkan motornya kemudian mengeluarkan beberapa alat untuk memperbaiki motornya. Aku baru ingat kalau tadi pagi aku membuat janji dengannya, jadi segeralah aku keluar kamar dan menuju rumah Taemin.
Pagarnya tertutup rapat aku mendekat dan melihat Taemin di balik pagar. Taemin menyadari kedatanganku.
“loh, Ana? Kenapa berdiri disitu ayo masuk” ajaknya, dengan perasaan senang aku membuka pagarnya dan masuk ke dalam.
“sedang memperbaiki motor?” tanyaku basa-basi.
“tidak, aku sedang menunggumu” jawabnya.
“apa?”
“kau bilang ingin memperbaiki motornya?” Taemin melipat tangannya.
“Ah itu” aku menggaruk leherku, sebenarnya aku tidak yakin dengan hal itu.
“Begini, aku punya penawaran bagus untukmu, kalau kau bisa memperbaikinya, motor ini aku berikan untukmu” tawarnya, aku membulatkan mataku dan menatapnya tak percaya. Dari dulu aku ingin sekali menggunakan motor tapi Ayah selalu melarangku.
“benarkah?”
“tentu saja” Taemin menepuk motor itu. Aku menatapnya senang, setidaknya aku bisa memakai motor itu untuk jalan-jalan, bahkan ke sekolah juga. Aku tidak terlalu suka naik mobil mewah.
“kau baik sekali Opp.. Oppa”
“tidak, tidak, panggil aku Taemin saja, kau agak aneh menyebutkan kata itu” aku mengangguk sambil menahan tawa.
“jadi kapan kita mulai?” ucap Taemin dan aku langsung berjalan menuju kotak peralatan. Aku berusaha mengingat bagian-bagian pada motor itu sambil berjongkok. Motor ini terlihat keluaran lama bentuknya seperti scoopy, didepan motor ini terdapat lampu berbentuk bulat yang lebih mirip senter dan gagang spion yang panjang mengarah keluar, sepertinya motor ini sering di pakai kakekku ketika masih muda.
“kau yakin bisa memperbaikinya?” Taemin ikut berjongkok di sebelahku, pandangannya seperti tak yakin.
“aku sering membantu memperbaiki mobil ayahku di San Francisco”
“tapikan itu mobil” aku memutarkan bola mataku berpikir, benar juga.
“aku juga pernah memperbaiki motor temanku” ucapku meyakinkan tapi aku sendiri juga tak yakin karena aku tak pernah ingat kalau L punya motor. Aku melirik Taemin yang seperti menahan tawa.
“oh ya bagaimana hari pertamamu di sekolah?” sudah ku duga Taemin pasti menanyakan hal ini.
“baik” balasku singkat.
“hanya itu?” aku tahu ia penasaran, aku berhenti kemudian menoleh kearahnya.
“hanya beberapa hal yang baru aku sadari, harusnya aku tahu aku tidak terlihat seperti orang Korea jadi harusnya juga aku tidak sekolah di sekolah biasa” aku memandang Taemin dengan wajah tak enak. Sekarang aku melihatnya menarik bibirnya membentuk senyuman.
“menurutku itu bukan masalah, mereka hanya merasa kau berbeda di hari pertama saja setelah kau berbaur dengan mereka semuanya akan biasa saja” entah ini efek tanaman segar yang ditanam Taemin di halaman rumahnya atau efek dari wajah Taemin yang menenangkan. Tapi aku merasa perkataanya membuatku lebih baik kemudian mengangguk menyetujui.
Sepertinya ini sudah lewat satu jam dan aku belum selesai memperbaiki motor yang sudah terlihat memprihatinkan ini. Sesekali Taemin mengajakku mengobrol membuatku sedikit menikmati pekerjaanku ini. Beberapa kali Taemin membantuku dan beberapa kali pula aku mencoba menyalakan mesin motor itu tapi belum kunjung menyala hanya beberapa kali sukses mengeluarkan suara tapi kembali mati.
“sudah hampir malam, kita lanjutkan besok saja” ucap Taemin dan aku menatapnya dengan pandangan memohon “mungkin mesinnya baru bisa menyala besok pagi” aku menunduk melihat motor dengan cat warna merah pudar itu “besok juga kau harus sekolah” lanjutnya aku mengangguk pasrah.
“kalau begitu aku pulang dulu” aku pamit dan Taemin mengangguk sambil tersenyum.
“sampai bertemu besok” aku kembali menoleh dan melihat Taemin masih dengan senyumnya menatapku. Aku ikut melempar senyum kemudian menutup rapat pagar rumah Taemin.
Aku mulai menginjak anak tangga rumahku (rumah Teo Joong maksudku) rasa lelah baru terasa ketika sampai di rumah membuatku berjalan gontai menuju kamar. Sampailah aku melewati kamar Juno yang ternyata terbuka membuatku berjalan ke kamarnya dengan raut.
Kamarnya terlihat bersih dan rapi, bahkan wanginya sangat sejuk. Seperti wangi jeruk yang segar, kamarnya juga rapi. Anak sekecil itu bisa merawat kamarnya seperti ini, berbeda sekali dengan kamarku yang terlihat menyeramkan itu.
“huwa!” aku melonjat kaget melihat Juno ternyata berdiri disampingku sambil menggunakan masker. Matanya menatapku sinis. Belum sempat aku menegurnya ia sudah berjalan masuk ke kamarnya dan membanting pintu. Sebenarnya apa salahku?
Setelah memandang kesal pintu kamar Juno aku kembali berjalan kearah kamar. Hah.. Aku bersyukur kasurku tidak sekeras yang dulu jadi ketika ku banting tubuhku punggungku akan baik-baik saja. Sejauh ini, sejauh aku tinggal di Korea tidak banyak perubahan yang berarti. Maksudku, aku tidak menemukan hal yang luar biasa, aku merasa datang ke Korea percuma karena Ibu sibuk pergi dengan Teo Joong dan meninggalkanku dengan anak semata wayang mereka yang pintar membuatku kesal karena tingkah sinisnya. Dia melihatku bagaikan pelayan baru yang tiba-tiba naik pangkat jadi pemilik rumah. Menyebalkan.
Setelah membersihkan tubuhku dan berganti pakaian aku segera turun kamar untuk makan malam. Ini adalah makan malam pertamaku hanya dengan Juno semoga nanti aku tidak memuntahkan makananku. Kakiku sangat berat ketika aku melangkah menuruni tangga, seperti biasanya malam hari terasa sangat sepi. Sepertinya aku mulai bosan tinggal disini, Ayolah Ana ini ini baru dua hari!
Sebelum aku melangkah lebih jauh aku memutar tubuhku karena merasa heran melihat lampu ruangan tempat Juno bermain sangat terang. Aku berjalan mendekat dan mendapati Juno tengah bermain disana. Bukannya sekarang waktunya makan malam?
“permisi” aku menghadang seorang pelayan yang kebetulan muncul disana. “inikan sudah waktunya makan malam, bisakah kau buju Juno untuk makan?”
“maaf Nona, tapi Tuan muda Juno sudah makan, kalau Nona ingin makan sudah di siapkan di meja makan” mataku membulat setelah pelayan itu memberitahuku. Ternyata aku benar-benar tidak dianggap dirumah ini, Juno terus bersikap cuek padaku, bahkan Ibu tidak menelpon untuk sekedar menanyakan bagaimana hari pertamaku di sekolah. Astaga, kepalaku mulai pening. Aku jadi rindu Ayah.
“Nona, baik-baik saja?” tegurnya ketika aku menempelkan telapak tangannku di kening.
“ya aku tidak apa-apa, aku hanya baru ingat aku harus menelpon seseorang” jawabku berusaha mengibur, baru satu langkah aku berjalan aku kembali membalikkan badanku, “ah, satu lagi bereskan saja mejanya aku merasa sudah tidak lapar lagi” pelayan itu terlihat menyernyit heran tapi aku langsung berjalan keruang tengah dan mengambil telpon rumah.
Sembari menunggu panggilan masuk aku duduk di sofa yang masih berwarna kunig itu kemudian menatap lampu kecil yang bebaris di langkit rumah. Tanpa menunggu lama panggilannya sudah tersambung.
“Hallo, Dad?”
“ini aku L” ternyata yang mengangkat adalah L baguslah kalau Ayah menepati janjinya.
“Hi, jadi kau berada dirumahku sekarang?” candaku, aku tidak bisa bayangkan kalau Ayah dan L berada dalam satu ruangan.
“hem, begitulah. Hey tapi harusnya kau menanyakan kabarku, bukannya meledekku” aku terkekeh sendiri mendengar suaranya. Aku jadi ingin kembali ke San Francisco dan mecubit pipinya dengan kencang.
“kedengarannya kau baik, sudah berapa buku yang kau makan hari ini?”
“Hey cheese, jangan mulai ya” tegurnya. Aku berhenti terkekeh dan tiba-tiba merasa haru. Sudah lama L tidak memanggilku seperti itu. “kenapa jadi diam? Apa karena aku panggil cheese?” tebakkannya benar, L memang cepat paham kalau tentang diriku. Waktu itu kami masih duduk di bangku SMP, L tahu kalau aku tidak suka manis dan lebih memilih keju dari pada coklat, jadi ia suka memanggilku itu dari SMP tapi saat kami masuk SMA ia jarang memanggilku begitu.
“aku lupa kapan terakhir kau memanggilku begitu” aku memainkan kuku jariku.
“mungkin ini efek rindu”
“apa?”
“tidak”
“barusan kau bilang apa?”
“aku mual”
“hey!” aku pura-pura marah tapi sebenarnya sedang menahan tawa, L seperti memberi sedikit energi untukku. Aku merasa lebih baik jika ia sudah mulai berguyon seperti itu. Mendengar jelas kata rindu keluar dari mulutnya dan itu seperti menggelitik perutku.
“oh ya bagaimana sekolahmu?” aku tahu ia mulai mengalihkan pembicaraan.
“baik, besok juga aku ada kunjungan ke Museum”
“oh benarkah? Pasti akan menyenangkan”
“aku harap begitu” kalau ingat besok aku harus sekolah aku jadi ingin kembali mengulur waktu. Ya, Andai aku bisa mengulur waktu. “oh ya, aku ingin bicara pada Ayahku, bisa berikan telpon padanya?”
“eeh” aku menunggu dan aku masih mendengar suarah L yang tak jelas “eeh dia di kamar mandi”
Aku menyipitkan mata dan mendengarkan dengan baik. Aku tahu L sedang berbohong karena tiba-tiba napasnya jadi tak beraturan.
“Apa Ayahku keluar?”
“ehm, sebentar”
“sejak kapan?”
“bagaimana kalau kita bicarakan yang lain saja”
“apa dengan Stacy?”
“Ana, aku mohon”
“sekarang aku tahu” aku berdiri dari dudukku “jadi sejak tadi kau dirumahku tapi Ayahku keluar?, bersama Stacy?”
“Ana, aku tidak berkata begitu!”
“sekarang aku tahu, memang tidak ada yang benar-benar menganggapku, pulanglah L maaf merepotkanmu dan satu lagi jangan tutup pintu rumah biar saja perampok masuk dan membawa semua barang-barang! Biar Dad tahu rasa” aku tidak mendengar suara L menjawab jadi aku berniat mematikan sambunganya tapi ada yang aku lupa “jangan bilang pada Ayahku kalau aku menelpon”
“Ana! Kau mau Ayahmu membunuhku ya?”
“bye L” aku menutup telpon dengan kasar kemudian berlari ke kamar sambil menahan tangis.
Aku tidak pernah meminta apapun dalam hidupku. Bahkan aku belum sempat meminta kebahagian pada Tuhan, karena aku tahu kebahagian itu sudah selesai ketika Ayah dan Ibu bercerai, jadi aku menerima keadaan dengan caraku. Aku berusaha bertahan dan aku kira Ayah dan Ibu mengerti dengan sikap ku yang mulai menurut, itu karena aku masih ingin menjalin hubungan baik dengan Ibu dan Ayahku. Hanya saja aku seperti baru disadarkan kalau mereka sebenarnya tidak mementingkanku, tidak mengerti aku dan sibuk mencari kebahagian mereka sendiri. Lalu apa gunanya aku disini? Bahkan tempatku juga bukan di San Francisco.
Ya Tuhan, aku tidak pernah meminta apapun dalam hidupku tapi bolehkah aku meminta satu permintaan sekarang?
Jadikanlah hidupku lebih berarti atau paling tidak berikanlah aku satu alasan kenapa aku harus hidup di dunia ini.