Mau bagaimanapun caranya, waktu akan terus berjalan. Hari-hari berlalu dengan sendirinya. Detik berubah menjadi menit. Menit menjadi jam. Jam menjadi hari. Dan seterusnya akan seperti itu. Luhan baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya di hari Jumat. Ia mendesah berat, memandang ke salah satu loker yang baru saja ia lewati. Biasanya, ada gadis berambut panjang disana. Berdiri dengan setumpuk buku di tangannya dan suka bersenandung sendiri. Biasanya Luhan akan menghampiri gadis itu dan membuat gadis itu menjerit kesal dihadapannya. Suatu kesenangan yang sekarang tidak akan bisa dia dapatkan lagi.
Luhan tersenyum simpul memandang loker yang kini sudah kosong. Tidak ada lagi yang akan melawannya, yang mau bertengkar dengannya, bahkan berteriak kencang didepan wajahnya. Dengan berat hati, laki-laki itu berjalan menuju kafetaria yang masih ramai walaupun jam sekolah berakhir. Dari pintu, masuklah Tiffany dan Chanyeol yang langsung menjatuhkan pandangan kearah sahabat mereka, Luhan, yang sedang duduk sendiri.
“Hey, Lu!” sapa Chanyeol sambil member high-five khas kepada Luhan lalu duduk dengannya. Tiffany berlari kecil menghampiri laki-laki itu, lalu memeluknya erat sambil tersenyum.
“How have you been, huh?” tanya Tiffany, kemudian meneguk susu kotak ditangannya.
Luhan tersenyum. “I’m good. How about you both?”
Chanyeol mengangguk. “Same like you” jawabnya sambil menopang dagu.
“Masih memikirkan Seohyun?” celetuk Tiffany membuat laki-laki itu tersedak. “I’m sorry!” ujarnya sambil menepuk-nepuk pelan punggung Luhan. Lelaki itu hanya mengangguk, menandakan bahwa dia baik-baik saja.
“Aku sudah tidak memikirkan gadis itu lagi” jawab Luhan berat hati.
Tiffany dan Chanyeol menyipitkan matanya, tidak percaya dengan ucapan Luhan baru saja. “Don’t lie to your feelings, Lu” ucap Tiffany.
“I’m not lying, Tiff.”
“Liar.” Luhan mendengus singkat dan memilih diam. “Kamu tahu apartemennya kan? Kenapa tidak kesana saja? Now or never, Lu” pesan Tiffany sebelum akhirnya ia dan Chanyeol meninggalkan sahabatnya itu. Tak lupa ia menyemangati Luhan, kemudian berjalan keluar kafetaria dan menghilang dibalik pintu.
Lelaki itu terdiam dan memikirkan pesan Tiffany baru saja. Setelah lama berpikir, akhirnya Luhan angkat kaki dari tempat itu dan memilih untuk mengunjungi apartemen Seohyun. Sekedar meminta maaf dan semoga belum terlambat.
***
Seohyun baru saja sampai di apartemen pribadinya setelah lelah belajar terus menerus disekolah barunya. Mau tak mau, gadis itu harus beradaptasi lagi dengan lingkungan baru yang masih belum terlalu akrab dengannya. Ia membuka lemari, dan dengan jelas dapat melihat seragam sekolah lamanya masih rapi tersimpan. Ia merindukan sekolah lamanya, walaupun baru sebentar berada disana. Tidak ada lagi yang mencoba membuatnya marah hanya karena masalah sepele. Tidak ada lagi yang membuatnya menjerit kesal. Tidak ada lagi yang menggodanya di pagi hari hanya untuk membuatnya kesal.
Gadis itu merebahkan diri diatas kasur dengan bayang-bayang tentang sekolah lamanya. Tentang sahabat, bahkan musuh yang pernah mengisi harinya. Tanpa disadari, Seohyun tersenyum begitu mengingat saat-saat ia harus membuang waktu hanya untuk bertengkar dengan si pencari masalah, Luhan. Entah kenapa, ia merindukan saat-saat dia harus menjerit kesal, bahkan menahan tangis hanya karena makhluk menyebalkan itu. Ia ingat saat-saat dimana Luhan terus menggodanya, mencoba mengajaknya pulang bersama, tetapi ia selalu tolak.
Seohyun menutup wajahnya perlahan. Sekuat mungkin ia tidak ingin mengingat sedikitpun memori yang pernah terjadi antara dirinya dengan Luhan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Lalu, menghembuskannya perlahan. Berat. Pasrah. Kemudian, ia berjalan ke kamar mandi untuk mengganti pakaian seragam yang masih melekat di tubuhnya.
***
“Maaf, tuan, tetapi nyonya Seohyun sudah tidak tinggal disini lagi” ujar Sooyoung, salah satu resepsionis di apartemen tempat Seohyun pernah tinggal.
“Apa kamu tahu kemana dia pindah?” tanya Luhan penasaran.
Sooyoung menggeleng. “Nyonya Seohyun pindah tanpa ada penjelasan lain-lain.”
“Kalau sekolahnya, kamu tahu?” tanyanya lagi.
Sooyoung kembali menggeleng. “Maaf, tuan, kami juga tidak tahu informasi lebih dari nyonya Seohyun” jawabnya sopan.
Luhan mendesah berat. Ia berterima kasih kemudian kembali ke mobil. Entah kemana dia akan pergi untuk mencari gadis itu. Sesampainya ia di apartemennya, Luhan langsung menelfon Tiffany. Satu-satunya cara adalah menelfon gadis itu. Tanpa perlu dibentak terlebih dahulu, Tiffany langsung memberikan nomor ponsel Seohyun kepada laki-laki itu. Toh, ini juga demi kepentingan sahabatnya.
***
Seohyun asik bersenandung didalam kamar mandi, sembari ponselnya berulang kali berdering. 1 nomor tak dikenal terus menerus memanggil. Tapi tak kunjung ada jawaban dari pemiliknya. Begitu Seohyun keluar dari kamar mandi dan melihat panggilan tidak dikenal itu, dia malah berlalu tanpa memperdulikannya. Ia lebih memilih untuk makan, menonton televisi, dan melakukan hal lain tanpa mau mengangkat panggilan itu terlebih dahulu.
Disisi lain, Luhan sudah terlihat frustasi. Entah sudah keberapa kali ia menelfon Seohyun dan tidak ada jawaban dari gadis itu. Ia berjalan dari dapur, ke ruang tamu, lalu kamar, lalu dapur lagi, kemudian koridor apartemen, sambil terus menelfon gadis itu, dan hasilnya nihil. Telfon diseberang tak kunjung dijawab. Luhan melempar ponselnya keatas kasur dengan kesal hingga akhirnya ponsel itu terpelanting ke lantai yang dilapisi karpet coklat.
Ia berteriak kesal sambil menghempaskan tubuh diatas kasur. Luhan sudah seperti kehilangan arah atau kerasukan setan. Dilemparnya bantal kearah komputer hingga hampir saja komputer itu terjatuh dari meja. Ia menarik sprei hingga berantakan tidak jelas. Akhirnya, ia berjalan ke kamar mandi. Dengan mata berlinang, ia menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel.
“I miss her…” bisiknya pelan penuh rasa putus asa.
PRANG…!
Kepalan tangannya mendarat begitu saja keatas cermin hingga cermin itu pecah dan jatuh berserakan di lantai. Perlahan tapi pasti, tetesan darah menetes diatas wastafel. Luhan menyeringai tanpa memperdulikan rasa sakit yang ia alami karena tangan kanannya yang berlumuran darah segar. Ia kembali berjalan ke kamar, meraih ponselnya di lantai dan men-dial nomor yang sama. Terdengar beberapa kali nada sambung yang sama hingga nada sambung itu berhenti. Diganti dengan suara yang selama ini Luhan rindukan.
“Hello?”
“Seohyun?”
Seohyun membeku mendengar suara yang dia kenal diujung telfon. Jantungnya berdegup kencang. Darahnya berdesir cepat. Tenggorokannya seperti tercekat sesuatu hingga ia tak mampu bicara. Luhan mulai meneteskan air mata dan sayup-sayup terdengar suara tangis yang baru pertama kali Seohyun dengar.
“I miss you…” ucap Luhan lembut penuh ketulusan. Belum sempat menjawab, telfon seberang terputus begitu saja.
Mata Seohyun membulat kaget. Rasa khawatir dan takut langsung menyelimuti hatinya dan tanpa berpikir dahulu, gadis itu menarik sweater dan kunci mobil. Dengan tergesa-gesa ia memakai sneakers putih diambang pintu, kemudian tak lupa ia mengunci pintu apartemennya dan dengan cepat melesat menuju lapangan parkir basement. Ia men-dial nomor Baekhyun yang langsung mengangkat panggilan Seohyun.
“Kamu tahu alamat apartemen Luhan?” tanya Seohyun tergesa-gesa sambil menyalakan mesin mobil.
“Tentu! Memang ada apa?” tanya Baekhyun penasaran.
“Aku ada perlu. Cepat beritahu aku sekarang!” paksa Seohyun membuat Baekhyun gelagapan.
“Alamat apartemennya di Samseong-dong, Bongeunsa-ro 73-gil. Dia di kamar nomor 11807, lantai 20. Dia satu-satunya kamar di lantai itu” jawab Baekhyun ikut panik.
“Okay, thank you, Baekhyun!” Seohyun menutup panggilan dan langsung melesatkan mobil menuju alamat yang disebutkan Baekhyun. Awan mulai menggelap. Gadis itu melihat jam yang melingkar ditangannya, menunjukkan pukul 4:30 sore.
Beruntungnya, alamat itu tidak terlalu jauh dari apartemen Seohyun. Hanya butuh 45 menit dengan sedikit kemacetan, untuk sampai disana. Gadis itu memarkir mobil putihnya di lapangan parkir dan berlari kecil memasuki lobby. Beberapa orang memandang gadis yang tergesa-gesa itu dengan kening berkerut. Seohyun langsung menekan tombol 20 di dalam lift, dan level indicator diatas pintu lift terus bergerak hingga berhenti di angka 20. Seohyun terlihat bingung untuk belok kearah kanan atau kiri. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan kearah kanan dan menemukan pintu kamar apartemen Luhan, nomor 11807.
Seohyun tertawa kecil mengetahui kalau Luhan tidak mengunci pintunya. Ia bisa dengan mudah masuk dan melihat kondisi laki-laki itu. Apartemen Luhan terlihat gelap. Tidak ada lampu yang menyala, kecuali lampu dapur. Seohyun harus meraba sekitarnya agar tidak menabrak sesuatu. Hingga akhirnya, mata gadis itu melihat seseorang tertidur diatas sofa. Nafasnya yang tenang, terdengar lembut menyapu telinganya. Perlahan ia mendekati orang itu dan berlutut didepan wajahnya.
Kedua mata Luhan terkatup rapat. Tangan kirinya masih menggenggam ponsel, sedangkat tangan yang lain berada di atas dadanya. Wajahnya terlihat tenang, membuat Seohyun tidak mampu menahan diri untuk tidak menggenggam tangannya. Ia merasakan ada yang aneh dari tangan Luhan dan tersadar kalau tangan laki-laki itu terluka dan berdarah. Kontan, Seohyun berlari kecil ke beberapa ruangan di apartemen Luhan untuk mencari kotak obat dan mengobati tangan lelaki itu. Ia membuka salah satu kabinet di dapur dan menemukan kotak obat disana.
Dengan penuh kelembutan, Seohyun membersihkan luka Luhan dengan air hangat, memberinya obat tetes, kemudian membalutnya dengan perban. Ia meletakkan kotak obat di meja dibelakangnya, lalu kembali mengenggam lembut tangan Luhan dan membelai wajahnya yang halus. Kedua mata Luhan terbuka perlahan. Ia terbatuk sebentar kemudian terperangah kaget melihat sosok Seohyun disampingnya, sambil menggenggam tangannya.
“Seohyun?” ujar Luhan dengan kening berkerut dan suara lemah.
Seohyun tersenyum dan mempererat genggaman tangannya. “Yes.”
“Why you’re here?” tanya Luhan masih bingung.
“I thought you’re missed me so I decided to come” jawab Seohyun dengan suara yang halus.
Luhan tersenyum memandang wajah Seohyun yang penuh senyuman dan tatapannya sangat meneduhkan. Tangan kirinya menggenggam tangan lain Seohyun dan mencium punggung tangan itu dengan lembut.
“You don’t have to hurt yourself, Lu” ucap Seohyun pelan sambil berdiri dan berjalan ke dapur. Entah apa yang dia lakukan disana, diiringi suara perpaduan gelas dan sendok.
Luhan mendudukkan diri sambil mendesah singkat. “I’m not” jawabnya sambil memandang punggung Seohyun yang sibuk membuat cokelat hangat di dapur.
“Lalu, kenapa dengan tanganmu dan kaca pecah di kamar mandimu?” tanya Seohyun sambil menoleh singkat kebelakangnya.
“How could you know?” tanya Luhan bingung.
Seohyun tertawa kecil, lalu berjalan dan duduk disebelah Luhan dengan 2 cangkir cokelat hangat ditangannya. “I guess you’re drunk, Luhan. Kamu pikir siapa yang mengobati tanganmu itu?” Gadis itu melirik tangan kanan Luhan.
Ia memberikan secangkir cokelat panas kepada Luhan yang tak lupa berterima kasih. “Aku saja tidak tahu kamu ada disini tadinya” ujar Luhan, kemudian meneguk minumannya.
“Jangan lupa berterima kasih” desis Seohyun dengan ujung matanya yang melirik Luhan tajam.
Luhan tertawa. “Thank you so much, Seo Joohyun” ujarnya dengan manis.
Seohyun mengangguk sambil tersenyum. “You’re welcome, Xi Luhan.”
Mereka kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. Berdiam diri membiarkan keheningan menyeruak diantara mereka. hanya terdengar suara nafas dan sesekali suara angin dari luar. Semakin malam, cuaca semakin dingin. Seohyun meniup-niup tangannya untuk mencari kehangatan. Air conditioner yang menyala di ruang tamu membuat suasana semakin cozy dan dingin.
“Seo?” ujar Luhan yang hanya dijawab ‘Hmmm’ oleh Seohyun. “I’m sorry for everything I’ve do to you in the past. I feel so regret after you leave me. Yeah, well, you already know the reason why I did that, right?”
Seohyun tersenyum, menatap Luhan tepat di manik matanya, lalu melingkarkan tangannya di lengan Luhan dan meletakkan kepalanya di pundak laki-laki itu. “I know it. Aku sudah memaafkanmu” jawabnya.
“Look, I don’t wanna loose you anymore. So, I’ll never annoyed you and make you angry.”
Seohyun tertawa. “You need to know that sometimes I miss being in a little fight with you, Lu.”
Luhan menyipitkan matanya, kemudian mengacak rambut Seohyun penuh sayang dan merangkul lembut gadis itu. “I love you so much, Seo” bisiknya sambil mencium pucuk rambut gadis itu. “Do you love me?” tanya Luhan.
“Yes.”
“Will you do something for me then?”
“Hmm, anything.”
“Will you marry me?”
Luhan menggenggam lembut kedua tangan Seohyun. Menatap gadis itu dengan mata yang tenang dan senyum yang indah. Kedua mata Seohyun membelalak kaget. Pandangannya memburam, karena genangan air yang melapisi. Gadis itu tersenyum, seraya berlian-berlian bening mengalir perlahan dari matanya.
“Luhan…”
“Yes?”
“Bagaimana aku menjawabnya…” ujar Seohyun disela-sela isak tangisnya yang pelan.
“Jawab saja ‘Ya’ atau ‘Tidak’, Seo” jawab Luhan sambil tertawa kecil dan mencolek dagu Seohyun.
Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan sambil tersenyum. “Yes” jawabnya.
Dengan satu gerakan, Luhan menarik gadis itu kedalam pelukannya dan mencium rambut Seohyun yang beraroma Strawberry. Ia mempererat pelukannya. Tidak ingin melepas gadis dalam rengkuhannya. Tidak ingin mengulang kesalahan yang sama sehingga gadis itu harus pergi meninggalkannya.
“Don’t you dare to make me angry or I will leave you again” canda Seohyun berbisik, membuat Luhan tertawa.
“Never…”
- the end -
P.S: THANK YOU FOR READING, DREAMERS! NEW EXOSHIDAE FANFIC COMING SOON, KAY? :) DON'T FORGET TO LEAVE A COMMENT AND LIKES :D