“Yoo Sarah!” panggil seseorang di belakangku. Aku segera membalikkan badanku dan menemukan Kris berdiri tak jauh dariku sambil tersenyum, berjalan menghampiriku sambil membawa tumpukan buku. Ia pasti baru saja keluar dari kelasnya dan hendak membawa buku-buku tugas itu ke kantor guru.
“Ne?” secara otomatis aku berlari kecil menghampirinya dan menyahut beberapa tumpuk buku yang ia bawa untuk membantunya. “Ini akan dibawa ke kantor guru kan?” tanyaku.
“Ne, gomawo...” ucapnya. “Emm, apa siang ini kau ada waktu?” lanjutnya sambil terus melangkah.
“Emm... Ani, wae?” jawabku setelah berpikir sejenak apakah hari ini ada jadwal ekskul atau tambahan pelajaran.
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, kau mau ikut kan?” tanyanya dengan wajah mengharapkan jawaban 'iya' dariku.
“Kemana? Untuk apa?” tanyaku penuh selidik. Sebenarnya sih kata ‘iya’ jelas saja sangat mudah untuk keluar dari mulutku. Namun aku berusaha menahannya.
“Ayo kita mengaku pada hyung!” ucapnya mantap sambil menatapku tajam.
“H... hyung?” ucapku agak ragu. “Arra, ayo kita mengaku...” lanjutku. “Emm, jadi nanti kita ke rumahmu? Hyungmu sudah menunggu di sana?”
Mengaku pada hyungnya Kris. Bukankah ini berarti memperjelas bahwa tidak akan ada hubungan apa-apa antara aku dan Kris? Sebenarnya, kalau boleh jujur aku lebih suka seperti ini. Dianggap sebagai yeojachingunya. Tiba-tiba kata-kata dari Sehun tadi malam melintas di kepalaku. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya pada Kris? Haruskah aku mengakui perasaanku padanya? Tidak. Tak perlu waktu lama aku segera menyangkal batinku sendiri. Aku terlalu takut untuk mengatakannya.
“Baiklah, nanti sepulang sekolah aku menunggumu di depan gerbang seperti biasa,” ucap Kris.
...
“Kajja!” Kris segera mengegas motornya setelah aku naik dan duduk di belakangnya. Panas siang ini masih kalah dengan panasnya perasaanku memikirkan ucapan Sehun semalam tentang mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya pada Kris. Disisi lain aku takut Kris justru akan menjauh kalau aku menyatakan yang sebenarnya padanya. Walaupun aku tau sebenarnya ini ketakutan yang tidak beralasan.
“Yaaa! Sepertinya kau melewatkan gang menuju rumahmu?” ucapku menyadari Kris dengan begitu saja melewati gang menuju rumahnya dan justru melewati jalan lain.
“Arra,” jawabnya singkat dari balik helm fullfacenya.
“Kau tak putar balik?”
“Ani. Wae? Kenapa aku harus putar balik? Siapa yang bilang kita akan ke rumah?” ucapnya dengan nada yang tidak bisa aku tebak.
“Lalu, kita mau ke mana?” tanyaku penasaran. Bukankah tadi Kris bilang akan mengaku pada hyungnya? batinku.
“Sudah ikut saja,” ucapnya. Terdengar sangat dingin.
Deg! Tiba-tiba jantungku berdegup cepat tidak bisa aku kendalikan. Kris mengegas motornya semakin kencang. Aku menggenggam erat seragam Kris di bagian lengannya karena kaget.
“Yaaaak! Kau tidak menculikku kan?” teriakku sambil memukul punggung Kris. Aku bisa melihat bahunya naik turun menahan tawa. Jantungku berdegup makin kencang. Otakku sudah mulai berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana kalau benar Kris menculikku? Bagaimana...
Cukup lama Kris mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, sementara aku terus berpikiran yang tidak-tidak.
Ciiiiit. Kris mengerem motornya kasar. Badanku otomatis terhempas ke depan karena ulahnya ini.
“Yaaaak! Appo!” teriakku. “Kau ini kenapa?!” ucapku sambil melepas helmku. Kris juga melepas helmnya. Aku bisa melihat wajahnya cengengesan.
“Ani. Hahaha. Kita sudah sampai. Kau, kau tidak berpikiran macam-macam kan?” ucapnya dengan nada menggodaku yang terlihat panik ini.
“Awas saja kau berani macam macam!” ancamku sambil mengepalkan tangan kananku di depannya, yang jelas saja sangat lebih kecil dibandingkan dengan tangannya.
Kris segera meraih tangan kananku yang aku kepalkan dan menggengamnya. Kris menarikku pelan. Jantungku berdegup makin kencang. Aku bisa merasakan tubuhku menjadi dingin saat Kris meraih tanganku.
“Lihat dulu, baru komentar,” ucap Kris yang masih menggenggam tanganku sambil berjalan menuju suatu tempat.
Aku hanya mampu terdiam kagum melihat pemandangan di depanku. Aku belum pernah kesini sebelumnya. Sebuah taman kecil dengan danau buatan di bagian tengahnya. Rumput-rumput halus dan berbagai macam bunga tumbuh di sini. Kupu-kupu dan burung-burung kecil beterbangan di sekitar situ. Tempat ini sepi. Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, dan aku tidak menemukan siapapun selain Kris dan diriku sendiri di sini.
“I... ini dimana?” tanyaku ragu.
“Beautiful isn’t it?” ucapnya sambil tersenyum. “Ini taman rahasiaku dan keluargaku. Kami suka berkemah di sini. Selain pantai, aku suka tempat ini. Hampir setiap liburan dulu, aku selalu meminta Appa berkemah disini,” jelasnya panjang lebar. Kris mulai menghempaskan badannya di rerumputan taman itu. Ia menggunakan tangan kirinya sebagai alas kepalanya.
“Mengapa kau mengajakku ke sini?” tanyaku.
“Entahlah, aku pikir kau juga harus merasakan bagaimana indahnya taman rahasia ini...”
Aku segera mengikutinya dan duduk di sampingnya. Aku bisa melihatnya memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara di taman ini, begitu menikmatinya. Tanpa tersadar aku mengembangkan senyuman kecil di bibirku saat menatapnya. Wajahnya begitu menenangkan. Senyuman tipis di bibirnya, aku suka.
“Kau suka?” tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Nomu joha, nomu nomu joha,” jawabku sambil ikut menghempaskan badanku di sampingnya. Aku mengangkat tinggi-tinggi tanganku untuk bisa merasakan deru angin yang terasa sangat lembut membelai tanganku. Aku mulai memejamkan mataku mengikuti apa yang ia lakukan sebelumnya. Menghirup dalam-dalam udara segar di taman ini yang belum terlalu tersentuh polusi kota.
Tiba-tiba Kris meraih tanganku yang aku angkat tadi, menggengamnya lembut. Aku bisa merasakan hangat tangannya. Mataku membulat melihat apa yang ia lakukan. Aku segera melihat ke arahnya. Ia masih memejamkan matanya sambil tersenyum tipis. Keringat dingin langsung keluar dari tubuhku. Jantungku berdegup tidak karuan.
“Ap... apa yang kau lakukan?” tanyaku pelan tanpa berusaha melepaskan tanganku dari genggamanya.
“Ani...” jawabnya tanpa membuka sedikitpun matanya. “Tanganmu... aku bisa merasakan kehangatan di tanganmu yang dingin ini,”
Aku segera menghempaskan tanganku. Wajahku memerah mendengar apa yang ia ucapkan. Pasti tanganku sudah sangat dingin gara-gara gugup. Namun secepat kilat Kris kembali meraih tanganku lagi.
“Wae?” tanyaku lagi, kali ini sedikit tegas sambil mengibaskan tanganku agar Kris melepaskannya. “Kau bilang kita akan pergi untuk mengaku pada hyungmu? Mengapa dia tidak disini?” tanyaku berusaha mencari topik.
“Ne, aku ingin mengaku ke hyung...” jawabnya melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Ha?” ucapku tak mengerti apa yang ia pikirkan.
“Namun sebelumnya aku ingin mengaku dulu padamu, Yoo Sarah,” lanjutnya menangkap wajah bingungku.
Kris memiringkan badannya untuk menatapku. Aku yang ditatap langsung salah tingkah dan segera bangkit dari tiduran untuk duduk sambil menyandarkan punggungku di pohon yang terletak tepat di belakangku.
“Mwo? Maksudmu? Aku tidak mengerti...” ucapku semakin bingung dengan ulahnya. Degup jantungku sudah tidak terkontrol. Wajahku sudah entah seperti apa merahnya. Kris menatapku dalam dan tajam, tapi tetap lembut dan hangat. Kris ikut bangkit dan duduk di sampingku.
“Yoo Sarah, entah mengapa aku merasa nyaman seperti ini. Dianggap sebagai namjachingumu oleh hyung. Entah mengapa aku begitu menikmati peran seperti ini. Bahkan kadang aku berpikir bahwa aku benar-benar namjachingumu,” ucapnya sambil terus menatapku. Deg! Badanku langsung terasa sangat kaku mendengarkan apa yang barusan Kris ucapkan. Aku menelan ludahku dengan sangat pelan dan mencerna apa yang baru saja ia katakan, tidak ingin satu kata pun terlewat.
“Apakah kau menyukaiku?” lanjutnya setelah terdiam beberapa saat dan membiarkan rasa canggung menyelimuti diriku. Mendadak aliran darahku menjadi begitu cepat. Badanku terasa panas. Rasanya mulutku terkunci rapat sementara hatiku meledak-ledak. Aku tidak mampu menjawab apapun. Rasanya hal yang selama ini aku anggap tidak mungkin tiba-tiba menghampiriku.
“Saranghae Yoo Sarah. Jeongmal saranghae. Ayo kita mengaku ke hyung, kita mengaku bahwa kau memang benar-benar yeojachinguku dan aku namjachingumu...” Kris mendekatkan wajahnya padaku. Tatapan matanya tampak sangat serius. Aku bahkan belum pernah melihatnya menatapku dengan tatapan seserius ini sebelumnya. Aku bisa merasakan ia nafas hangat dari hidungnya. Kris mengecup keningku sejenak.
Badanku sudah benar-benar kaku. Mataku membulat. Tak satu kata pun muncul dari mulutku. Melihatku seperti ini Kris tersenyum lebar sambil terus menatapku. Perlahan badanku yang kaku ini meleleh melihatnya bertingkah seperti itu.
“Wae?” ucap Kris lagi sambil terus menyunggingkan senyumnya. Mungkin dia geli melihatku seperti ini.
“Kau bersungguh-sungguh?” tanyaku pelan setelah mengumpulkan tenaga agar mampu menjawab pertanyaannya.
“Aku selalu bersungguh-sungguh,” jawabnya sambil meraih tanganku dan menyandarkan tubuhnya di pohon mengikuti apa yang aku lakukan. “Lalu jawabanmu?” lanjutnya.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Ia kembali memejamkan matanya.
“Na doo, saranghae,” jawabku pelan. Wajahku sudah sangat amat merah. Untung Kris memejamkan matanya sehingga ia tidak melihatku seperti ini. Aku menatapnya lagi, ia tersenyum. Sangat manis. Tanpa membuka matanya, tiba-tiba Kris menarik lembut kepalaku ke pundaknya.
Kris mempererat genggaman tangannya padaku, “Kajja, kita mengaku pada hyung!” ucapnya.
...
*to be continued*